Ki Bagus Seta berteriak memanggil dirinya untuk suatu keperluan. Ginggi tercekat hatinya. Tidak datang menghampiri akan jadi pertanyaan. Tapi kalau meloncat turun juga akan menjadi kecurigaan sebab burung-burung akan kembali terkejut oleh gerakannya.
Namun karena suasana begitu menjepitnya, pemuda itu mengambil risiko. Secara hati-hati dia meloncat turun dan sepasang kakinya menjejak tanah dengan ringan. Namun naluri merpati itu begitu halus. Gerakan meloncat turun tubuh pemuda itu masih terkontrol kendati tak menimbulkan bunyi. Desiran angin ketika tubuh pemuda itu turun rupanya yeng menyebabkan beberapa merpati terkejut dan beterbangan secara mendadak.
Ginggi cepat menyelinap masuk ke ruangan belakang dan tergopoh-gopoh menuju ruangan tengah. Pemuda itu sedikit berdebar ketika kedua orang pejabat itu memandangnya dengan penuh selidik, terutama pandangan mata Ki Bagus Seta yang demikian tajam seperti hendak menembus ke lubuk hatinya.
“Ada apa, Juragan?” kata Ginggi mencoba bicara dengan suara wajar.
“Aku dengar di luar amat berisik, ada apakah?” Ki Bagus Seta masih menatap penuh selidik.
“Oh…Baik saya periksa, ada apa di luar sana…” Ginggi hendak berlalu.
“Tidak usah pergi. Aku tahu di atas atap banyak burung dara menumpang tidur,” gumam Ki Bagus Seta lagi.
Ginggi tak jadi melangkah pergi.
“Kau bawalah oncor (obor), kemudian antar Juragan Soka pulang ke purinya!” kata Ki Bagus Seta.
Ginggi mengangguk dan segera beranjak dari tempat itu. Dia menuju ruangan belakang di mana di setiap sudut tiang penyangga banyak obor yang batangnya terbuat dari logam dengan sinar apinya menyala merah. Salah satunya dia ambil untuk dipakai penerangan dalam mengantar tamu Ki Bagus Seta. Di pekarangan depan Bangsawan Soka sudah menantinya. Sedangkan Ki Bagus Seta hanya berdiri di beranda. Kedua pejabat itu memandang dirinya dengan penuh seksama, saling pandang, kemudian menatap Ginggi lagi penuh selidik.
“Ya, antarkan Juragan Soka ke rumahnya. Tapi kau harus kembali lagi secepatnya!” kata Ki Bagus Seta.
“Baik, Juragan … Saya jalan di depan,” kata Ginggi sambil melangkah duluan.
Bangsawan Soka berjalan di belakangnya. “Sudah berapa lama kau menjadi badega di puri Bagus Seta?” tanya Bangsawan Soka di tengah perjalanan.
“Hampir satu bulan, Juragan…” jawab Ginggi mengawasi jalan tempat mereka melangkah.
Jalanan cukup gelap, sedangkan cahaya obor yang apinya bergoyang-goyang terkena hembusan angin, hanya membuat matanya silau saja.
“Rupanya engkau bukan badega biasa …” gumam Bangsawan Soka lagi.
“Mengapa, Juragan?”
“Langkahmu ringan, begitu pun gerakanmu. Aku suka padamu. Kalau semua badega memiliki kepandaian sepertimu, semua majikan akan merasa terjaga keamanannya,” kata lagi Bangsawan Soka.
Berdebar dada pemuda itu ketika mendengar omongan ini. Baru disadarinya kini, bahwa selama ini dia kurang berhati-hati dalam bertindak. Membodohi pemuda Seta, Madi atau bahkan setingkat Suji Angkara masih tak mengapa sebab kepandaian mereka yang sudah dia ukur berapa tingginya tidak akan bermata jeli. Namun kedua orang tua ini sudah memiliki asam-garam pengalaman. Ginggi sudah mendengar, Bangsawan Soka dulunya adalah anggota perwira seribu pengawal Raja. Ki Bagus Seta, selain murid terpandai Ki Darma juga dikhabarkan banyak mencari ilmu tambahan sesudah lama berpisah dengan sang guru. Ginggi terlalu merendahkan kemampuan mereka, sebab terbukti kini, Bangsawan Soka sudah bisa meraba bahwa dirinya “berisi”. Ginggi kini sudah tak mungkin berpura-pura lagi. Kalau secara tiba-tiba gerakannya diperberat, hanya akan menambah kecurigaan bangsawan ini saja.
“Sebelum bertugas di Puri Bagus Seta, saya adalah badega Raden Suji Angkara. Di sana banyak jagabaya pandai-pandai dan kadang-kadang saya diperbolehkan ikut serta latihan kewiraan. Saya memang berhasrat jadi jagabaya juga…” kata Ginggi mencari-cari alasan semampunya.
Namun rupanya bangsawan ini sedikit maklum dan dapat mengurangi rasa curiganya. Sampai tiba di puri kediamannya, Bangsawan Soka tidak mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh lagi dan membuat pemuda itu merasa lega karenanya. Tapi sesudah mengantar pulang bangsawan bertubuh gemuk itu, perasaan khawatir mulai menyelimuti dirinya. Sekilas tadi Ginggi bisa menyaksikan sorot tajam penuh selidik dari Ki Bagus seta. Barangkali benar, selama ini Ki Bagus Seta sudah memendam rasa curiga terhadapnya. Bayangkan, hanya dalam sekilas, Bangsawan Soka bisa menduga dia “berisi”, apalagi Ki Bagus Seta yang hampir sebulan punya kesempatan menelitinya.
“Mudah-mudahan penilaianmu tidak keliru, sehingga aku pun tak meragukannya…” terngiang lagi ucapan Ki Bagus Seta terhadap Suji Angkara ketika pemuda itu menyerahkan Ginggi untuk mulai bertugas di puri Ki Bagus Seta.
Sejak hari itu pun sebenarnya Ginggi sudah merasakan ada kesangsian dari orang tua tangguh itu. Namun dugaannya ini dia tepis kembali dan suara hatinya yang lain mengatakan bahwa perasaannya hanya sesuatu yang dilebih-lebihkan saja. Sekarang terbukti bahwa dugaannya tempo hari benar belaka. Ginggi perlu hati-hati dan bersiap menghadapi segala kemungkinan setibanya di Puri Bagus Seta. Perlukah dia berterus-terang saja bahwa dirinya adalah murid Ki Darma juga? Kalau Ki Bagus Seta tahu Ginggi masih utusan Ki Darma yang mengemban amanat orang tua itu, bagaimana pandangan Ki Bagus Seta terhadapnya? Akan menariknya sebagai sekutu? Sekutu dalam hal apa?
Ginggi masih bingung memikirkannya. Ki Bagus Seta selama ini bergerak di lingkungan istana. Namun pemuda itu belum tahu persis, apa sebenarnya yang tengah dilakukan Ki Bagus Seta di sana. Apakah semua kegiatan di Pakuan masih ada pertaliannya dengan misi yang dibebankan Ki Darma? Bila menyimak obrolan Ki Bagus Seta dengan Bangsawan Soka senja tadi, kentara sekali murid Ki Darma ini berupaya memegang kendali di Pakuan. Dan kalau dipertalikan dengan gerakan Ki Banaspati sepertinya punya persamaan tujuan, yaitu sama-sama berambisi memiliki pengaruh di Pakuan.
Namun karena suasana begitu menjepitnya, pemuda itu mengambil risiko. Secara hati-hati dia meloncat turun dan sepasang kakinya menjejak tanah dengan ringan. Namun naluri merpati itu begitu halus. Gerakan meloncat turun tubuh pemuda itu masih terkontrol kendati tak menimbulkan bunyi. Desiran angin ketika tubuh pemuda itu turun rupanya yeng menyebabkan beberapa merpati terkejut dan beterbangan secara mendadak.
Ginggi cepat menyelinap masuk ke ruangan belakang dan tergopoh-gopoh menuju ruangan tengah. Pemuda itu sedikit berdebar ketika kedua orang pejabat itu memandangnya dengan penuh selidik, terutama pandangan mata Ki Bagus Seta yang demikian tajam seperti hendak menembus ke lubuk hatinya.
“Ada apa, Juragan?” kata Ginggi mencoba bicara dengan suara wajar.
“Aku dengar di luar amat berisik, ada apakah?” Ki Bagus Seta masih menatap penuh selidik.
“Oh…Baik saya periksa, ada apa di luar sana…” Ginggi hendak berlalu.
“Tidak usah pergi. Aku tahu di atas atap banyak burung dara menumpang tidur,” gumam Ki Bagus Seta lagi.
Ginggi tak jadi melangkah pergi.
“Kau bawalah oncor (obor), kemudian antar Juragan Soka pulang ke purinya!” kata Ki Bagus Seta.
Ginggi mengangguk dan segera beranjak dari tempat itu. Dia menuju ruangan belakang di mana di setiap sudut tiang penyangga banyak obor yang batangnya terbuat dari logam dengan sinar apinya menyala merah. Salah satunya dia ambil untuk dipakai penerangan dalam mengantar tamu Ki Bagus Seta. Di pekarangan depan Bangsawan Soka sudah menantinya. Sedangkan Ki Bagus Seta hanya berdiri di beranda. Kedua pejabat itu memandang dirinya dengan penuh seksama, saling pandang, kemudian menatap Ginggi lagi penuh selidik.
“Ya, antarkan Juragan Soka ke rumahnya. Tapi kau harus kembali lagi secepatnya!” kata Ki Bagus Seta.
“Baik, Juragan … Saya jalan di depan,” kata Ginggi sambil melangkah duluan.
Bangsawan Soka berjalan di belakangnya. “Sudah berapa lama kau menjadi badega di puri Bagus Seta?” tanya Bangsawan Soka di tengah perjalanan.
“Hampir satu bulan, Juragan…” jawab Ginggi mengawasi jalan tempat mereka melangkah.
Jalanan cukup gelap, sedangkan cahaya obor yang apinya bergoyang-goyang terkena hembusan angin, hanya membuat matanya silau saja.
“Rupanya engkau bukan badega biasa …” gumam Bangsawan Soka lagi.
“Mengapa, Juragan?”
“Langkahmu ringan, begitu pun gerakanmu. Aku suka padamu. Kalau semua badega memiliki kepandaian sepertimu, semua majikan akan merasa terjaga keamanannya,” kata lagi Bangsawan Soka.
Berdebar dada pemuda itu ketika mendengar omongan ini. Baru disadarinya kini, bahwa selama ini dia kurang berhati-hati dalam bertindak. Membodohi pemuda Seta, Madi atau bahkan setingkat Suji Angkara masih tak mengapa sebab kepandaian mereka yang sudah dia ukur berapa tingginya tidak akan bermata jeli. Namun kedua orang tua ini sudah memiliki asam-garam pengalaman. Ginggi sudah mendengar, Bangsawan Soka dulunya adalah anggota perwira seribu pengawal Raja. Ki Bagus Seta, selain murid terpandai Ki Darma juga dikhabarkan banyak mencari ilmu tambahan sesudah lama berpisah dengan sang guru. Ginggi terlalu merendahkan kemampuan mereka, sebab terbukti kini, Bangsawan Soka sudah bisa meraba bahwa dirinya “berisi”. Ginggi kini sudah tak mungkin berpura-pura lagi. Kalau secara tiba-tiba gerakannya diperberat, hanya akan menambah kecurigaan bangsawan ini saja.
“Sebelum bertugas di Puri Bagus Seta, saya adalah badega Raden Suji Angkara. Di sana banyak jagabaya pandai-pandai dan kadang-kadang saya diperbolehkan ikut serta latihan kewiraan. Saya memang berhasrat jadi jagabaya juga…” kata Ginggi mencari-cari alasan semampunya.
Namun rupanya bangsawan ini sedikit maklum dan dapat mengurangi rasa curiganya. Sampai tiba di puri kediamannya, Bangsawan Soka tidak mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh lagi dan membuat pemuda itu merasa lega karenanya. Tapi sesudah mengantar pulang bangsawan bertubuh gemuk itu, perasaan khawatir mulai menyelimuti dirinya. Sekilas tadi Ginggi bisa menyaksikan sorot tajam penuh selidik dari Ki Bagus seta. Barangkali benar, selama ini Ki Bagus Seta sudah memendam rasa curiga terhadapnya. Bayangkan, hanya dalam sekilas, Bangsawan Soka bisa menduga dia “berisi”, apalagi Ki Bagus Seta yang hampir sebulan punya kesempatan menelitinya.
“Mudah-mudahan penilaianmu tidak keliru, sehingga aku pun tak meragukannya…” terngiang lagi ucapan Ki Bagus Seta terhadap Suji Angkara ketika pemuda itu menyerahkan Ginggi untuk mulai bertugas di puri Ki Bagus Seta.
Sejak hari itu pun sebenarnya Ginggi sudah merasakan ada kesangsian dari orang tua tangguh itu. Namun dugaannya ini dia tepis kembali dan suara hatinya yang lain mengatakan bahwa perasaannya hanya sesuatu yang dilebih-lebihkan saja. Sekarang terbukti bahwa dugaannya tempo hari benar belaka. Ginggi perlu hati-hati dan bersiap menghadapi segala kemungkinan setibanya di Puri Bagus Seta. Perlukah dia berterus-terang saja bahwa dirinya adalah murid Ki Darma juga? Kalau Ki Bagus Seta tahu Ginggi masih utusan Ki Darma yang mengemban amanat orang tua itu, bagaimana pandangan Ki Bagus Seta terhadapnya? Akan menariknya sebagai sekutu? Sekutu dalam hal apa?
Ginggi masih bingung memikirkannya. Ki Bagus Seta selama ini bergerak di lingkungan istana. Namun pemuda itu belum tahu persis, apa sebenarnya yang tengah dilakukan Ki Bagus Seta di sana. Apakah semua kegiatan di Pakuan masih ada pertaliannya dengan misi yang dibebankan Ki Darma? Bila menyimak obrolan Ki Bagus Seta dengan Bangsawan Soka senja tadi, kentara sekali murid Ki Darma ini berupaya memegang kendali di Pakuan. Dan kalau dipertalikan dengan gerakan Ki Banaspati sepertinya punya persamaan tujuan, yaitu sama-sama berambisi memiliki pengaruh di Pakuan.
Gerakan Ki Banaspati malah lebih jelas dalam pandangan Ginggi, yaitu ingin merebut kekuasaan negara dari tangan Raja yang ada sekarang. Keduanya memiliki persamaan tujuan, tapi apakah mereka sejalan dan bergabung dalam satu persekutuan? Ginggi belum bisa menebak sampai ke sana. Di Pakuan, hanya satu kali dia melihat Ki Banaspati, yaitu di saat uji ketrampilan di alun-alun benteng luar. Sesudah itu, Ginggi tak melihatnya lagi, sehingga pemuda itu tak sempat menyelidik, sejauh mana hubungan Ki Bagus Seta dan Ki Banaspati berlangsung.
Ginggi mendapat khabar, Ki Banaspati hari itu datang ke Pakuan pertama untuk melaporkan kegiatannya di wilayah timur dan kedua untuk menghadiri perayaan Kuwerabakti (penghormatan pada dewa suami Dewi Sri, penguasa padi-padian dan dilangsungkan 49 hari sehabis panen tahunan). Sesudah perayaan itu selesai, khabarnya dia pun segera kembali ke timur.
Gerakan Ki Banaspati yang di wilayah timur tengah membangun pasukan, dengan jelas sudah bisa disimak oleh Ginggi. Segalanya kini tinggal bergantung pada Ginggi, apakah akan bergabung dengan gerakan Ki Banaspati atau tidak. Tapi terhadap Ki Bagus seta dia perlu hati-hati dan penyelidikan harus terus dilakukan. Menurut penilaiannya, gerakan Ki Bagus Seta di Pakuan masih samar-samar. Sekali pun benar orang ini berusaha menanamkan pengaruhnya di Pakuan, namun Ginggi belum bisa meraba, apa tujuan sebenarnya. Apakah benar demi amanat yang dibebankan Ki Darma? Masih adakah hubungan antara gerakan Ki Bagus Seta dengan amanat Ki Darma? Kalau benar Ki bagus Seta melangkah di atas perintah guru, mengapa dia berperan sebagai pengendali penarikan pajak tinggi? Gerakan Ki Bagus Seta sepertinya bertolak belakang dengan perintah Ki Darma yang menginginkan semua muridnya berdiri di atas kepentingan rakyat. Sebelum benar-benar tahu apa tujuan sebenarnya Ki Bagus Seta, Ginggi berniat akan terus menyembunyikan identitas pribdinya.
Ginggi mengetuk pintu benteng puri yang sudah ditutup jagabaya. Namun pintu tidak lama sudah dibuka sebab jagabaya tahu siapa yang akan masuk “Padamkan oncor …” kata seorang jagabaya bertubuh kekar dengan cambang bauk cukup lebat. Ginggi menurut memadamkan cahaya obor dan situasi di pintu menjadi meremang karena hanya mendapatkan cahaya sebatas penerangan lampu pekarangan yang letaknya agak jauh. Ginggi heran, mengapa di depan puri tak dipasang obor, padahal biasanya di kiri-kanan tembok benteng dipasang masing-masing dua buah obor. Pintu benteng segera ditutup dan di keremangan terdapat empat orang jagabaya lagi.
“Ikut aku…” kata si cambang bauk bertubuh kekar.
Ginggi pun ikut di belakangnya, sedangkan di belakang dirinya ada dua jagabaya ikut menguntit. Berdesir darah pemuda itu. Nalurinya mengatakan, ada sesuatu yang tak beres menyangkut dirinya. Tidakkah ini lantaran kecurigaan Ki Bagus Seta terhadapnya? Ginggi harus siap-siap, kendati belum tahu persiapan apa yang musti dia lakukan.
Kecurigaan semakin menebal ketika jagabaya kekar itu membawanya ke sebuah gudang halaman belakang yang amat sunyi. Bangunan itu besar dan terkesan angker, letaknya terpencil, sehingga kalau ada kejadian membayakan yang menyangkut dirinya, tak mungkin diketahui penghuni puri yang lainnya.
“Masuk,” gumam jagabaya ketus.
Ginggi menghentikan langkah.
“Ada apakah, Paman?” tanya Ginggi heran dan sengaja menampakkan wajah takut penuh khawatir. Harus begitu, sebab bila pemuda itu berlaku tenang hanya akan membuat curiga mereka saja.
“Masuk, kataku!”
Dan Ginggi didorong masuk. Sesudah tiba di dalam, daun pintu segera ditutup oleh dua jagabaya yang ikut di belakang. Namun, begitu pintu tertutup rapat, ketiga orang itu segera menghambur ke depan dan mengirim beberapa pukulan telak terhadap Ginggi. Walau pun ada serangan dari tiga jurusan sekaligus, namun dalam pandangan Ginggi, serangan ketiganya hanya lamban saja. Ketiga jagabaya ini hanya memiliki gerakan-gerakan luar dan mengandalkan tenaga kasar saja. Kalau Ginggi mau, hanya satu tindak ke belakang sudah bisa menghindar gebrakan mereka. Dan kalau Ginggi mau, dalam satu sapuan kaki kirinya saja sebetulnya sudah bias merobohkan ketiganya sekaligus, sebab kuda-kuda kaki mereka lemah. Tapi bila Ginggi melakukan kesemuanya, mereka akan bisa membuktikan kecurigaannya. Ginggi maklum, ketiga orang jagabaya ini tengah menjalankan tugas majikannya untuk menguji dan mengorek dirinya. Ginggi tak mau kecurigaan Ki Bagus Seta terbukti. Untuk itulah dia membiarkan serangan itu berlangsung.
“Bak-bik-buk, bak-bik-buk!”
Beberapa pukulan bersarang ke tubuh Ginggi. Ada yang mengarah telak ke arah hidung sehingga dari lubang hidung Ginggi keluar darah segar. Ada juga yang mengarah ke ulu hati sehingga tubuh Ginggi terjengkang dan ulu hatinya terasa sedikit ngilu.
“Ada apa ini! Ada apa ini?” Ginggi berguling-guling di tanah ketika ketiganya terus mengejarnya.
“Hei, kalau mau berkelahi harap jujur, ya! Jangan main keroyok seperti ini. Aduh! Pengecut kamu!” Ginggi berteriak-teriak.
“Coba kau layani sendirian, Sarpani!” kata Si Kekar terhadap seorang jagabaya.
“Disangka aku tak bisa berkelahi, ya? Ayo, maju satu persatu!” kata Ginggi menyeka darah di hidungnya.
Ginggi memasang kuda-kuda, namun gerakannya kasar saja. Ketika datang serangan pukulan tangan kanan lawan, Ginggi tepis dengan tangan kiri. Dua pasang tangan beradu keras dan Ginggi berteriak “kesakitan” memegangi pergelangan tangannya. Sebelum dia berjingkat mundur, sudah datang lagi sodokan tangan kiri lawan, kali ini mengarah ke ulu hati. Ginggi mundur setindak namun kakinya tersandung ember kayu dan tubuhnya jatuh telentang. Sodokan gagal dan si penyerang menggantinya dengan menggerakkan kaki kanan dengan niat memijak perut pemuda itu. Ginggi tak sempat berguling. Akibatnya kaki yang bertelapak kasar itu dia tahan dengan sepasang tangannya. Kini terjadi adu tenaga. Lawan dari atas berusaha keras menekan kakinya dan Ginggi di bawah berusaha menahannya.
Tenaga pijakan itu sebetulnya biasa saja dan tak mengakibatkan bahaya apa pun. Dan kalau mau, sekali pelintir kaki lawan bukan saja sekadar keseleo, tapi sambungan tulang-tulangnya akan patah dan lepas. Namun Ginggi tak melakukan ini. Dia malah berteriak-teriak minta tolong karena sedikit-sedikit tangan yang menahan pijakan kaki semakin turun karena “tak kuat”.
Akhirnya serangan kaki “berhasil” masuk ke ulu hati. Ginggi menjerit-jerit ketika kaki bertelapak kasar itu menekan-nekan ke ulu hatinya. Pintu gudang tiba-tiba terbuka dari luar dan Ki Bagus Seta nampak berdiri membentuk bayangan hitam karena ruangan gudang hanya remang-remang saja.
“Cukup!” kata Ki Bagus Seta.
Ginggi terengah-engah bangun dan memegangi perutnya. Sesekali disekanya hidung yang masih mengeluarkan sedikit darah.
“Apa dosa saya, Juragan, disiksa seperti ini?” keluh Ginggi namun dengan nada hormat.
Ki Bagus Seta tidak menjawabnya, kecuali memberi tanda agar para pembantunya segera meninggalkan tempat itu.
“Engkau mencurigakan, anak muda. Siapa kau sebenarnya?” tanya Ki bagus Seta sesudah yang lain pergi meninggalkan tempat itu.
“Nama saya Ginggi, Juragan!”
“Itu aku sudah tahu. Yang aku maksud, mengapa kau datang ke puri ini?”
“Saya tak bermaksud ke puri ini. Siapa saja yang menyalurkan saya kerja, di sanalah saya berada, Juragan. Saya tinggal di sini karena Raden Suji mengirim saya ke sini dan kebetulan Juragan mau menerima saya. Hanya itu. Dan mengapa dianggap sesuatu dosa sehingga saya musti dianiaya seperti ini?” Ginggi kembali menyeka darah di lubang hidungnya.
Ki Bagus Seta mendengus kemudian menatap Ginggi dalam-dalam. “Tidakkah kau datang karena diutus anakku?” tanyanya.
Giliran Ginggi yang balik menatap. “Ya, memang begitu. Bukankan tadi sudah saya katakana demikian?’ jawab Ginggi berpura-pura polos.
“Tapi engkau diutus anakku untuk mencari dengar atau meneliti apa yang terjadi di sini, begitu kan?”
Ginggi terkejut. Benar murid Ki Darma ini selalu penuh selidik. Buktinya pikirannya ada menduga sampai ke sana.
“Saya tak tahu apa yang dimaksud Juragan…” kata Ginggi mengerutkan dahi.
“Kepandaianmu kasar, tak sebanding dengan para pembantuku. Tapi sebetulnya tak layak bagi seorang badega memiliki ilmu kewiraan. Benar-benarkah engkau seorang badega atau kau berlindung di balik pekerjaanmu agar bebas melakukan penyelidikan?” tanya Ki bagus Seta lagi, tetap penuh selidik.
“Saya seorang badega tulen, Juragan. Tapi kalau saya pandai memainkan jurus, itu karena di puri Raden Suji banyak didapat orang pandai dan saya diam-diam berlatih meniru-niru mereka yang sedang latihan. Saya masih muda dan cita-cita saya tinggi. Masa dari mulai kecil sampai sekarang saya terus-terusan jadi badega ? Tahun depan pada perayaan Kuwerabakti saya akan ikut uji ketrampilan. Siapa tahu saya lulus jadi prajurit Pakuan,” kata pemuda itu berkelak-kelok mencari alasan.
Mendengar ocehan ini, Ki bagus seta termangu sejenak, kemudian tertawa terkekeh-kekeh. Ginggi tak bisa menduga, apa maksusd tawa ini. Apakah karena mencemooh semata ataukah benar-benar tertawa karena mendengar akal-akalannya yang sebenarnya sudah diketahui olehnya.
Yang jelas, hari itu Ginggi dibebaskan dan Ki Bagus Seta tak berkepanjangan lagi terhadapnya. Ginggi kembali mengerjakan tugas sehari-hari di puri, yaitu berdinas sebagai aparat rumah tangga di puri. Kerjanya menyodor-nyodorkan makanan, pakaian atau keperluan apa saja bagi pemilik puri.
Kini, setelah peristiwa itu, Ginggi semakin hati-hati dalam bertindak. Setiap dia berjalan diusahakan tidak segesit dan seringan sebelumnya, sebab gerakan-gerakan seperti itu nyatanya mengundang perhatian khusus bagi orang-orang pandai seperti Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta. Pemuda itu pun tak berlaku sembrono lagi menguping pembicaraan Ki Bagus Seta. Peristiwa penting yang bisa dia simak di puri ini sesudah kejadian malam itu, hanyalah rencana Ki Bagus Seta “menawarkan” putrinya pada Sang Prabu.
Suatu senja Ginggi masuk ke ruangan tengah dan di sana tengah duduk-duduk anak-beranak, yaitu Ki Bagus Seta dan istri di lain fihak, serta Nyimas Layang Kingkin di fihak lain. Mereka duduk saling berhadapan. Ki Bagus Seta bersila duduk tegak di atas bangku terbuat dari kayu jati berukir dan istri serta putrinya duduk bersimpuh di atas hamparan tikar beludru hitam bersulam benang emas. Tidak semua pembicaraan mereka bisa didengar Ginggi. Tapi inti dari percakapan adalah perihal keinginan Ki Bagus Seta itu.
“Bagaimana, sudah kau pikirkan baik-baik, anakku?” tanya Ki Bagus Seta menatap gadis elok yang duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk malu.
“Kehormatan paling besar Nyimas bila kau berhasil dipersunting Raja …” istri Ki Bagus Seta berkomentar dan nampaknya begitu mendukung cita-cita suaminya.
“Hidup saya adalah untuk kebahagiaan Ramanda dan Ibunda. Namun saya mempunyai masalah berat yang mungkin Ramanda dan Ibunda pun maklum adanya,” kata Nyimas Layang Kingkin tetap menunduk.
Nampak Ki Bagus Seta tersenyum mendengarnya. “Ucapanmu hanya berarti kau setuju dengan pendapatku, anakku,” katanya masih mengulum senyum. “Jangan kau risaukan urusan itu. Aku memang maklum, kau menghadapi masalah berat sebab engkau sudah berhubungan intim dengan Raden Banyak Angga. Pertunanganmu dulu itu aku yang buat dan aku pula yang akan memutuskannya,” kata Ki Bagus Seta.
“Saya tak berani menghadapi kemarahan Raden Banyak Angga beserta Pangeran Yogascitra, Ramanda…”
“Mereka tidak akan marah sebab risikonya amat tinggi. Marah terhadapmu, sama dengan marah terhadap Raja. Beranikah mereka berlaku kurang ajar terhadap Sang Prabu?” tanya Ki Bagus Seta.
Istrinya ikut mengangguk.
“Hai, Ginggi! Pergi kau!” Ki Bagus Seta setengah membentak menyuruh Ginggi pergi dari ruangan itu.
Serta-merta pemuda itu pun pergi berjingkat dari ruangan itu sambil menjinjing baki kayu. Sesampainya di ruangan belakang, Ginggi termangu-mangu. Dia masih mengingat-ingat pembicaraan penghuni puri ini barusan. Aneh sekali rasanya, cinta bisa dioper-oper sedemikian mudahnya. Setahu Ginggi, antara Nyimas Layang Kingkin dan Banyak Angga sudah lama menjalin hubungan cinta. Bahkan khabarnya, Pangeran Yogascitra pun sudah mengirimkan surat pinangan untuk kepentingan putranya itu dan Ki Bagus Seta sudah menerimanya. Sekarang, bagaimana mungkin ikatan ini akan dibatalkan demikian mudahnya?
Yang amat mengherankan adalah sikap Nyi Mas Layang Kingkin itu sendiri. Masih terbayang di pelupuk mata Ginggi ketika acara marak dileuwi Kamala Wijaya atau Leuwi Sipatahunan dalam mengisi acara perayaan Kuwerabakti beberapa bulan yang lalu. Hubungan pasangan muda-mudi bangsawan itu demikian mesra dan intim. Nampak sekali ada perhatian berlebih dari Banyak Angga terhadap Nyimas layang Kingkin, dan demikian pun sebaliknya. Beberapa minggu lalu bahkan Ginggi sibuk mondar-mandir sebab bertugas sebagai pengirim surat untuk kepentingan dua belah fihak.
“Pantas saja akhir-akhir ini Nyimas Layang Kingkin tak lagi menyuruhku mengantarkan suratnya …” gumam Ginggi dalam kesendirian di ruangan belakang puri.
Begitu tegakah Nyi Mas Layang Kingkin mempermainkan cinta? Namun demikian, pemuda itu pun ingat akan beberapa kejadian yang berlangsung di kalangan istana Pakuan ini. Dalam beberapa bulan ini ada putra-putri bangsawan yang melangsungkan perkawinan. Kebanyakan dari mereka, perkawinan ini seperti tidak didasari cinta, melainkan karena kewajiban terhadap orang tuanya semata.
Apabila putri nangganan (salah satu tingkatan jabatan) dicintai oleh atasannya, misalnya pejabat berpangkat mangkubumi, maka sang putri akan diserahkannya tanpa bertanya apakah putrinya itu bersedia ataukah tidak, apalagi harus berbicara urusan cinta. Keberadaan putra-putri bangsawan istana, sepertinya hanya berfungsi sebagi penguat kedudukan para orang-tua belaka.
Begitu pun rupanya yang terjadi atas nasib diri Nyimas Layang Kingkin. Dulu hubungan antara Nyimas Layang Kingkin dan Banyak Angga direstui Ki Bagus Seta karena rupanya murid Ki Darma ini ingin memperkuat kedudukannya di Pakuan. Bangsawan Yogascitra merupakan orang penting, termasuk kerabat Raja. Mungkin perhitungan Ki Bagus Seta pada waktu itu, bila bisa berbesan dengan kerabat Raja, akan memperkuat kedudukannya di Pakuan.
Namun belakangan, Bangsawan Yogascitra secara tak sadar telah menjadi “rival” bagi Ki Bagus Seta. Didukung oleh pengaruh-pengaruh Bangsawan Soka sebagai sahabat perjuangannya dalam memperkuat ambisi di Pakuan, akhirnya Ki Bagus Seta secara berani akan memutuskan sefihak hubungan pertunangan anaknya dan segera akan “menyerahkannya” kepada Raja.
Berbesan dengan Raja secara politis akan lebih menguntungkan ketimbang berbesan dengan Pangeran Yogascitra yang kemungkinan kelak akan menjadi penghalang ambisinya. Ya, menurut pengamatan Ginggi, tindak-tanduk sebagian bangsawan Pakuan ini ternyata menyebalkan. Mereka lebih banyak berbicara urusan kedudukan dari pada hal-hal yang lainnya. Membela kepentingan rakyat, misaknya. Sepertinya sudah tak ada lagi kata hati sebab yang ada hanyalah ambisi!
Suatu hari, Ginggi pun menyaksikan kerunyaman akibat dari kebijaksanaan Ki Bagus Seta ini. Ketika Ginggi tengah menuntun kuda dijalan durian (sepanjang jalan menuju istana, tepi-tepinya ditanami pohon buah durian), dia dicegat oleh Banyak Angga. Rupanya pemuda itu secara khusus menunggunya. Tiga kali dalam seminggu, Ginggi sudah biasa membawa kuda dari Puri Bangsawan Bagus Seta. Kuda-kuda pilihan itu tinggi besar dan larinya kencang. Tapi kalau kuda-kuda itu tak dipakai, Ginggi mesti membawanya keliling-keliling agar binatang itu tidak kaku dan tidak jenuh tinggal di dalam istal.
“Ginggi…!”
“Oh… Raden Angga!”
Ginggi menghentikan langkah-langkah kuda dan menghampiri Banyak Angga yang berteduh di bawah pohon durian.
“Sedang apakah, Raden?” tanya Ginggi menatap wajah pemuda yang putih dan tampan itu.
“Sudah lama aku tak melihatmu. Biasanya kau datang ke puriku. Ke mana sajakah kau akhir-akhir ini?” Tanya pemuda itu ikut mengusap-usap leher kuda yang berbulu hitam tebal.
“Saya tak ke mana-mana. Sekurang-kurangnya tiga hari dalam seminggu saya lewati jalan durian ini,” jawab Ginggi hormat. Namun Ginggi tahu, yang dimaksud pemuda ini bukanlah apa yang barusan ditanyakannya.
Banyak Angga mengambil sesuatu yang disimpan di saku bajunya yang lebar. Benda itu ternyata kotak surat terbuat dari kayu cendana. Tercium wangi kayu itu ketika pemuda itu menyodorkannya kepada Ginggi.
“Untuk Nyimas Layang Kingkinkah?” tanya Ginggi.
Banyak Angga mengangguk. “Tolong balasannya, Ginggi…” gumam Banyak Angga penuh harap.
Ginggi hanya menganggukkan kepala, tak lebih dari itu. Sesudah itu Ginggi mohon diri, takut kalau-kalau pemuda itu bertanya lebih jauh perihal gadis kekasihnya. Hari itu juga kotak surat diserahkannya kepada Nyimas Layang Kingkin. Dan Ginggi selintas melihat wajah gadis itu sedikit berubah. Sebentar nampak pucat, sebentar kemudian bersemu merah. Ginggi akan segera berlalu sebab serasa tak pantas menyaksikan orang membaca surat.
“Kau tunggulah di sini, Ginggi…” gadis itu mencegah Ginggi meninggalkan tempat itu.
Namun lama sekali, tak tahu apa yang sedang dilakukan gadis itu di ruangan dalam. Yang jelas, Ginggi begitu penat menunggunya. Sesudah menunggu lama, baru kemudian gadis itu muncul. Wajahnya kelabu dan nampak sekali tengah gundah.
“Ginggi…sudah, pergilah kamu!” gumamnya seperti bingung.
Ginggi hendak berlalu. Tapi kemudian gadis itu memanggilnya lagi, membuat Ginggi sedikit kesal dibuatnya.
“Ada apakah, Nyimas?” tanya Ginggi menatap gadis itu.
“Aku barusan mau membuat surat balasan. Tapi tak ada kata-kata yang harus kususun dengan baik. Setiap aku goreskan kata, setiap itu pula terasa berat tanganku…” gadis itu sedikit mengeluh.
“Jadi harus bagaimana aku?” tanyanya menatap Ginggi.
Yang ditatap hanya tersenyum tipis. “Bagaimana saya bisa membantu, sedangkan masalahnya saja saya tidak tahu…” jawab Ginggi berpura-pura.
Gadis itu nampak menghela napas panjang. “Aku berdosa besar padanya. Bagaimana aku harus katakan perihalku?” tanyanya lebih ditekankan pada dirinya sendiri saja.
Ginggi mendapat khabar, Ki Banaspati hari itu datang ke Pakuan pertama untuk melaporkan kegiatannya di wilayah timur dan kedua untuk menghadiri perayaan Kuwerabakti (penghormatan pada dewa suami Dewi Sri, penguasa padi-padian dan dilangsungkan 49 hari sehabis panen tahunan). Sesudah perayaan itu selesai, khabarnya dia pun segera kembali ke timur.
Gerakan Ki Banaspati yang di wilayah timur tengah membangun pasukan, dengan jelas sudah bisa disimak oleh Ginggi. Segalanya kini tinggal bergantung pada Ginggi, apakah akan bergabung dengan gerakan Ki Banaspati atau tidak. Tapi terhadap Ki Bagus seta dia perlu hati-hati dan penyelidikan harus terus dilakukan. Menurut penilaiannya, gerakan Ki Bagus Seta di Pakuan masih samar-samar. Sekali pun benar orang ini berusaha menanamkan pengaruhnya di Pakuan, namun Ginggi belum bisa meraba, apa tujuan sebenarnya. Apakah benar demi amanat yang dibebankan Ki Darma? Masih adakah hubungan antara gerakan Ki Bagus Seta dengan amanat Ki Darma? Kalau benar Ki bagus Seta melangkah di atas perintah guru, mengapa dia berperan sebagai pengendali penarikan pajak tinggi? Gerakan Ki Bagus Seta sepertinya bertolak belakang dengan perintah Ki Darma yang menginginkan semua muridnya berdiri di atas kepentingan rakyat. Sebelum benar-benar tahu apa tujuan sebenarnya Ki Bagus Seta, Ginggi berniat akan terus menyembunyikan identitas pribdinya.
Ginggi mengetuk pintu benteng puri yang sudah ditutup jagabaya. Namun pintu tidak lama sudah dibuka sebab jagabaya tahu siapa yang akan masuk “Padamkan oncor …” kata seorang jagabaya bertubuh kekar dengan cambang bauk cukup lebat. Ginggi menurut memadamkan cahaya obor dan situasi di pintu menjadi meremang karena hanya mendapatkan cahaya sebatas penerangan lampu pekarangan yang letaknya agak jauh. Ginggi heran, mengapa di depan puri tak dipasang obor, padahal biasanya di kiri-kanan tembok benteng dipasang masing-masing dua buah obor. Pintu benteng segera ditutup dan di keremangan terdapat empat orang jagabaya lagi.
“Ikut aku…” kata si cambang bauk bertubuh kekar.
Ginggi pun ikut di belakangnya, sedangkan di belakang dirinya ada dua jagabaya ikut menguntit. Berdesir darah pemuda itu. Nalurinya mengatakan, ada sesuatu yang tak beres menyangkut dirinya. Tidakkah ini lantaran kecurigaan Ki Bagus Seta terhadapnya? Ginggi harus siap-siap, kendati belum tahu persiapan apa yang musti dia lakukan.
Kecurigaan semakin menebal ketika jagabaya kekar itu membawanya ke sebuah gudang halaman belakang yang amat sunyi. Bangunan itu besar dan terkesan angker, letaknya terpencil, sehingga kalau ada kejadian membayakan yang menyangkut dirinya, tak mungkin diketahui penghuni puri yang lainnya.
“Masuk,” gumam jagabaya ketus.
Ginggi menghentikan langkah.
“Ada apakah, Paman?” tanya Ginggi heran dan sengaja menampakkan wajah takut penuh khawatir. Harus begitu, sebab bila pemuda itu berlaku tenang hanya akan membuat curiga mereka saja.
“Masuk, kataku!”
Dan Ginggi didorong masuk. Sesudah tiba di dalam, daun pintu segera ditutup oleh dua jagabaya yang ikut di belakang. Namun, begitu pintu tertutup rapat, ketiga orang itu segera menghambur ke depan dan mengirim beberapa pukulan telak terhadap Ginggi. Walau pun ada serangan dari tiga jurusan sekaligus, namun dalam pandangan Ginggi, serangan ketiganya hanya lamban saja. Ketiga jagabaya ini hanya memiliki gerakan-gerakan luar dan mengandalkan tenaga kasar saja. Kalau Ginggi mau, hanya satu tindak ke belakang sudah bisa menghindar gebrakan mereka. Dan kalau Ginggi mau, dalam satu sapuan kaki kirinya saja sebetulnya sudah bias merobohkan ketiganya sekaligus, sebab kuda-kuda kaki mereka lemah. Tapi bila Ginggi melakukan kesemuanya, mereka akan bisa membuktikan kecurigaannya. Ginggi maklum, ketiga orang jagabaya ini tengah menjalankan tugas majikannya untuk menguji dan mengorek dirinya. Ginggi tak mau kecurigaan Ki Bagus Seta terbukti. Untuk itulah dia membiarkan serangan itu berlangsung.
“Bak-bik-buk, bak-bik-buk!”
Beberapa pukulan bersarang ke tubuh Ginggi. Ada yang mengarah telak ke arah hidung sehingga dari lubang hidung Ginggi keluar darah segar. Ada juga yang mengarah ke ulu hati sehingga tubuh Ginggi terjengkang dan ulu hatinya terasa sedikit ngilu.
“Ada apa ini! Ada apa ini?” Ginggi berguling-guling di tanah ketika ketiganya terus mengejarnya.
“Hei, kalau mau berkelahi harap jujur, ya! Jangan main keroyok seperti ini. Aduh! Pengecut kamu!” Ginggi berteriak-teriak.
“Coba kau layani sendirian, Sarpani!” kata Si Kekar terhadap seorang jagabaya.
“Disangka aku tak bisa berkelahi, ya? Ayo, maju satu persatu!” kata Ginggi menyeka darah di hidungnya.
Ginggi memasang kuda-kuda, namun gerakannya kasar saja. Ketika datang serangan pukulan tangan kanan lawan, Ginggi tepis dengan tangan kiri. Dua pasang tangan beradu keras dan Ginggi berteriak “kesakitan” memegangi pergelangan tangannya. Sebelum dia berjingkat mundur, sudah datang lagi sodokan tangan kiri lawan, kali ini mengarah ke ulu hati. Ginggi mundur setindak namun kakinya tersandung ember kayu dan tubuhnya jatuh telentang. Sodokan gagal dan si penyerang menggantinya dengan menggerakkan kaki kanan dengan niat memijak perut pemuda itu. Ginggi tak sempat berguling. Akibatnya kaki yang bertelapak kasar itu dia tahan dengan sepasang tangannya. Kini terjadi adu tenaga. Lawan dari atas berusaha keras menekan kakinya dan Ginggi di bawah berusaha menahannya.
Tenaga pijakan itu sebetulnya biasa saja dan tak mengakibatkan bahaya apa pun. Dan kalau mau, sekali pelintir kaki lawan bukan saja sekadar keseleo, tapi sambungan tulang-tulangnya akan patah dan lepas. Namun Ginggi tak melakukan ini. Dia malah berteriak-teriak minta tolong karena sedikit-sedikit tangan yang menahan pijakan kaki semakin turun karena “tak kuat”.
Akhirnya serangan kaki “berhasil” masuk ke ulu hati. Ginggi menjerit-jerit ketika kaki bertelapak kasar itu menekan-nekan ke ulu hatinya. Pintu gudang tiba-tiba terbuka dari luar dan Ki Bagus Seta nampak berdiri membentuk bayangan hitam karena ruangan gudang hanya remang-remang saja.
“Cukup!” kata Ki Bagus Seta.
Ginggi terengah-engah bangun dan memegangi perutnya. Sesekali disekanya hidung yang masih mengeluarkan sedikit darah.
“Apa dosa saya, Juragan, disiksa seperti ini?” keluh Ginggi namun dengan nada hormat.
Ki Bagus Seta tidak menjawabnya, kecuali memberi tanda agar para pembantunya segera meninggalkan tempat itu.
“Engkau mencurigakan, anak muda. Siapa kau sebenarnya?” tanya Ki bagus Seta sesudah yang lain pergi meninggalkan tempat itu.
“Nama saya Ginggi, Juragan!”
“Itu aku sudah tahu. Yang aku maksud, mengapa kau datang ke puri ini?”
“Saya tak bermaksud ke puri ini. Siapa saja yang menyalurkan saya kerja, di sanalah saya berada, Juragan. Saya tinggal di sini karena Raden Suji mengirim saya ke sini dan kebetulan Juragan mau menerima saya. Hanya itu. Dan mengapa dianggap sesuatu dosa sehingga saya musti dianiaya seperti ini?” Ginggi kembali menyeka darah di lubang hidungnya.
Ki Bagus Seta mendengus kemudian menatap Ginggi dalam-dalam. “Tidakkah kau datang karena diutus anakku?” tanyanya.
Giliran Ginggi yang balik menatap. “Ya, memang begitu. Bukankan tadi sudah saya katakana demikian?’ jawab Ginggi berpura-pura polos.
“Tapi engkau diutus anakku untuk mencari dengar atau meneliti apa yang terjadi di sini, begitu kan?”
Ginggi terkejut. Benar murid Ki Darma ini selalu penuh selidik. Buktinya pikirannya ada menduga sampai ke sana.
“Saya tak tahu apa yang dimaksud Juragan…” kata Ginggi mengerutkan dahi.
“Kepandaianmu kasar, tak sebanding dengan para pembantuku. Tapi sebetulnya tak layak bagi seorang badega memiliki ilmu kewiraan. Benar-benarkah engkau seorang badega atau kau berlindung di balik pekerjaanmu agar bebas melakukan penyelidikan?” tanya Ki bagus Seta lagi, tetap penuh selidik.
“Saya seorang badega tulen, Juragan. Tapi kalau saya pandai memainkan jurus, itu karena di puri Raden Suji banyak didapat orang pandai dan saya diam-diam berlatih meniru-niru mereka yang sedang latihan. Saya masih muda dan cita-cita saya tinggi. Masa dari mulai kecil sampai sekarang saya terus-terusan jadi badega ? Tahun depan pada perayaan Kuwerabakti saya akan ikut uji ketrampilan. Siapa tahu saya lulus jadi prajurit Pakuan,” kata pemuda itu berkelak-kelok mencari alasan.
Mendengar ocehan ini, Ki bagus seta termangu sejenak, kemudian tertawa terkekeh-kekeh. Ginggi tak bisa menduga, apa maksusd tawa ini. Apakah karena mencemooh semata ataukah benar-benar tertawa karena mendengar akal-akalannya yang sebenarnya sudah diketahui olehnya.
Yang jelas, hari itu Ginggi dibebaskan dan Ki Bagus Seta tak berkepanjangan lagi terhadapnya. Ginggi kembali mengerjakan tugas sehari-hari di puri, yaitu berdinas sebagai aparat rumah tangga di puri. Kerjanya menyodor-nyodorkan makanan, pakaian atau keperluan apa saja bagi pemilik puri.
Kini, setelah peristiwa itu, Ginggi semakin hati-hati dalam bertindak. Setiap dia berjalan diusahakan tidak segesit dan seringan sebelumnya, sebab gerakan-gerakan seperti itu nyatanya mengundang perhatian khusus bagi orang-orang pandai seperti Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta. Pemuda itu pun tak berlaku sembrono lagi menguping pembicaraan Ki Bagus Seta. Peristiwa penting yang bisa dia simak di puri ini sesudah kejadian malam itu, hanyalah rencana Ki Bagus Seta “menawarkan” putrinya pada Sang Prabu.
Suatu senja Ginggi masuk ke ruangan tengah dan di sana tengah duduk-duduk anak-beranak, yaitu Ki Bagus Seta dan istri di lain fihak, serta Nyimas Layang Kingkin di fihak lain. Mereka duduk saling berhadapan. Ki Bagus Seta bersila duduk tegak di atas bangku terbuat dari kayu jati berukir dan istri serta putrinya duduk bersimpuh di atas hamparan tikar beludru hitam bersulam benang emas. Tidak semua pembicaraan mereka bisa didengar Ginggi. Tapi inti dari percakapan adalah perihal keinginan Ki Bagus Seta itu.
“Bagaimana, sudah kau pikirkan baik-baik, anakku?” tanya Ki Bagus Seta menatap gadis elok yang duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk malu.
“Kehormatan paling besar Nyimas bila kau berhasil dipersunting Raja …” istri Ki Bagus Seta berkomentar dan nampaknya begitu mendukung cita-cita suaminya.
“Hidup saya adalah untuk kebahagiaan Ramanda dan Ibunda. Namun saya mempunyai masalah berat yang mungkin Ramanda dan Ibunda pun maklum adanya,” kata Nyimas Layang Kingkin tetap menunduk.
Nampak Ki Bagus Seta tersenyum mendengarnya. “Ucapanmu hanya berarti kau setuju dengan pendapatku, anakku,” katanya masih mengulum senyum. “Jangan kau risaukan urusan itu. Aku memang maklum, kau menghadapi masalah berat sebab engkau sudah berhubungan intim dengan Raden Banyak Angga. Pertunanganmu dulu itu aku yang buat dan aku pula yang akan memutuskannya,” kata Ki Bagus Seta.
“Saya tak berani menghadapi kemarahan Raden Banyak Angga beserta Pangeran Yogascitra, Ramanda…”
“Mereka tidak akan marah sebab risikonya amat tinggi. Marah terhadapmu, sama dengan marah terhadap Raja. Beranikah mereka berlaku kurang ajar terhadap Sang Prabu?” tanya Ki Bagus Seta.
Istrinya ikut mengangguk.
“Hai, Ginggi! Pergi kau!” Ki Bagus Seta setengah membentak menyuruh Ginggi pergi dari ruangan itu.
Serta-merta pemuda itu pun pergi berjingkat dari ruangan itu sambil menjinjing baki kayu. Sesampainya di ruangan belakang, Ginggi termangu-mangu. Dia masih mengingat-ingat pembicaraan penghuni puri ini barusan. Aneh sekali rasanya, cinta bisa dioper-oper sedemikian mudahnya. Setahu Ginggi, antara Nyimas Layang Kingkin dan Banyak Angga sudah lama menjalin hubungan cinta. Bahkan khabarnya, Pangeran Yogascitra pun sudah mengirimkan surat pinangan untuk kepentingan putranya itu dan Ki Bagus Seta sudah menerimanya. Sekarang, bagaimana mungkin ikatan ini akan dibatalkan demikian mudahnya?
Yang amat mengherankan adalah sikap Nyi Mas Layang Kingkin itu sendiri. Masih terbayang di pelupuk mata Ginggi ketika acara marak dileuwi Kamala Wijaya atau Leuwi Sipatahunan dalam mengisi acara perayaan Kuwerabakti beberapa bulan yang lalu. Hubungan pasangan muda-mudi bangsawan itu demikian mesra dan intim. Nampak sekali ada perhatian berlebih dari Banyak Angga terhadap Nyimas layang Kingkin, dan demikian pun sebaliknya. Beberapa minggu lalu bahkan Ginggi sibuk mondar-mandir sebab bertugas sebagai pengirim surat untuk kepentingan dua belah fihak.
“Pantas saja akhir-akhir ini Nyimas Layang Kingkin tak lagi menyuruhku mengantarkan suratnya …” gumam Ginggi dalam kesendirian di ruangan belakang puri.
Begitu tegakah Nyi Mas Layang Kingkin mempermainkan cinta? Namun demikian, pemuda itu pun ingat akan beberapa kejadian yang berlangsung di kalangan istana Pakuan ini. Dalam beberapa bulan ini ada putra-putri bangsawan yang melangsungkan perkawinan. Kebanyakan dari mereka, perkawinan ini seperti tidak didasari cinta, melainkan karena kewajiban terhadap orang tuanya semata.
Apabila putri nangganan (salah satu tingkatan jabatan) dicintai oleh atasannya, misalnya pejabat berpangkat mangkubumi, maka sang putri akan diserahkannya tanpa bertanya apakah putrinya itu bersedia ataukah tidak, apalagi harus berbicara urusan cinta. Keberadaan putra-putri bangsawan istana, sepertinya hanya berfungsi sebagi penguat kedudukan para orang-tua belaka.
Begitu pun rupanya yang terjadi atas nasib diri Nyimas Layang Kingkin. Dulu hubungan antara Nyimas Layang Kingkin dan Banyak Angga direstui Ki Bagus Seta karena rupanya murid Ki Darma ini ingin memperkuat kedudukannya di Pakuan. Bangsawan Yogascitra merupakan orang penting, termasuk kerabat Raja. Mungkin perhitungan Ki Bagus Seta pada waktu itu, bila bisa berbesan dengan kerabat Raja, akan memperkuat kedudukannya di Pakuan.
Namun belakangan, Bangsawan Yogascitra secara tak sadar telah menjadi “rival” bagi Ki Bagus Seta. Didukung oleh pengaruh-pengaruh Bangsawan Soka sebagai sahabat perjuangannya dalam memperkuat ambisi di Pakuan, akhirnya Ki Bagus Seta secara berani akan memutuskan sefihak hubungan pertunangan anaknya dan segera akan “menyerahkannya” kepada Raja.
Berbesan dengan Raja secara politis akan lebih menguntungkan ketimbang berbesan dengan Pangeran Yogascitra yang kemungkinan kelak akan menjadi penghalang ambisinya. Ya, menurut pengamatan Ginggi, tindak-tanduk sebagian bangsawan Pakuan ini ternyata menyebalkan. Mereka lebih banyak berbicara urusan kedudukan dari pada hal-hal yang lainnya. Membela kepentingan rakyat, misaknya. Sepertinya sudah tak ada lagi kata hati sebab yang ada hanyalah ambisi!
Suatu hari, Ginggi pun menyaksikan kerunyaman akibat dari kebijaksanaan Ki Bagus Seta ini. Ketika Ginggi tengah menuntun kuda dijalan durian (sepanjang jalan menuju istana, tepi-tepinya ditanami pohon buah durian), dia dicegat oleh Banyak Angga. Rupanya pemuda itu secara khusus menunggunya. Tiga kali dalam seminggu, Ginggi sudah biasa membawa kuda dari Puri Bangsawan Bagus Seta. Kuda-kuda pilihan itu tinggi besar dan larinya kencang. Tapi kalau kuda-kuda itu tak dipakai, Ginggi mesti membawanya keliling-keliling agar binatang itu tidak kaku dan tidak jenuh tinggal di dalam istal.
“Ginggi…!”
“Oh… Raden Angga!”
Ginggi menghentikan langkah-langkah kuda dan menghampiri Banyak Angga yang berteduh di bawah pohon durian.
“Sedang apakah, Raden?” tanya Ginggi menatap wajah pemuda yang putih dan tampan itu.
“Sudah lama aku tak melihatmu. Biasanya kau datang ke puriku. Ke mana sajakah kau akhir-akhir ini?” Tanya pemuda itu ikut mengusap-usap leher kuda yang berbulu hitam tebal.
“Saya tak ke mana-mana. Sekurang-kurangnya tiga hari dalam seminggu saya lewati jalan durian ini,” jawab Ginggi hormat. Namun Ginggi tahu, yang dimaksud pemuda ini bukanlah apa yang barusan ditanyakannya.
Banyak Angga mengambil sesuatu yang disimpan di saku bajunya yang lebar. Benda itu ternyata kotak surat terbuat dari kayu cendana. Tercium wangi kayu itu ketika pemuda itu menyodorkannya kepada Ginggi.
“Untuk Nyimas Layang Kingkinkah?” tanya Ginggi.
Banyak Angga mengangguk. “Tolong balasannya, Ginggi…” gumam Banyak Angga penuh harap.
Ginggi hanya menganggukkan kepala, tak lebih dari itu. Sesudah itu Ginggi mohon diri, takut kalau-kalau pemuda itu bertanya lebih jauh perihal gadis kekasihnya. Hari itu juga kotak surat diserahkannya kepada Nyimas Layang Kingkin. Dan Ginggi selintas melihat wajah gadis itu sedikit berubah. Sebentar nampak pucat, sebentar kemudian bersemu merah. Ginggi akan segera berlalu sebab serasa tak pantas menyaksikan orang membaca surat.
“Kau tunggulah di sini, Ginggi…” gadis itu mencegah Ginggi meninggalkan tempat itu.
Namun lama sekali, tak tahu apa yang sedang dilakukan gadis itu di ruangan dalam. Yang jelas, Ginggi begitu penat menunggunya. Sesudah menunggu lama, baru kemudian gadis itu muncul. Wajahnya kelabu dan nampak sekali tengah gundah.
“Ginggi…sudah, pergilah kamu!” gumamnya seperti bingung.
Ginggi hendak berlalu. Tapi kemudian gadis itu memanggilnya lagi, membuat Ginggi sedikit kesal dibuatnya.
“Ada apakah, Nyimas?” tanya Ginggi menatap gadis itu.
“Aku barusan mau membuat surat balasan. Tapi tak ada kata-kata yang harus kususun dengan baik. Setiap aku goreskan kata, setiap itu pula terasa berat tanganku…” gadis itu sedikit mengeluh.
“Jadi harus bagaimana aku?” tanyanya menatap Ginggi.
Yang ditatap hanya tersenyum tipis. “Bagaimana saya bisa membantu, sedangkan masalahnya saja saya tidak tahu…” jawab Ginggi berpura-pura.
Gadis itu nampak menghela napas panjang. “Aku berdosa besar padanya. Bagaimana aku harus katakan perihalku?” tanyanya lebih ditekankan pada dirinya sendiri saja.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment