“Dulu ibuku adalah istri ayahku, Kuwu Suntara. Pada suata saat Ki Bagus Seta mengadakan perjalanan hingga tiba di Desa Cae. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Belakangan, ayahku menceraikan ibuku. Tak berapa lama kemudian ibuku diboyong ke Pakuan karena dinikahi bangsawan itu…” kata Suji Angkara sambil matanya menerawang jauh ke luar jendela. “Aku tak tahu, mengapa dulu ayahku menceraikan ibu tanpa sebab. Belakangan hanya bisa diduga, bahwa Bangsawan Pakuan itu tertarik pada ibu dan memintanya untuk dinikahi. Rupanya ayah taat akan keinginan bangsawan itu dan menyerahkan ibu padanya…” Suji Angkara kembali menerawang ke luar jendela.
Kuda warna pekat tunggangan pemuda itu nampak berkeliaran di lapangan rumput samping puri.
“Engkau sakit hati kepada Bangsawan Bagus Seta, Raden?” tanya Ginggi.
Tapi Suji Angkara menggelengkan kepala. “Aku tak marah sebab imbalannya besar. Ayahku diberi kekayaan melimpah dan aku boleh keluar-masuk purinya sekendak hatiku. Belakangan aku pun diangkat Bangsawan Bagus Seta untuk melakukan satu tugas penting, yaitu secara diam-diam mengawasi kelancaran penarikan seba di wilayah timur,” kata Suji Angkara.
“Kau memata-matai ayah tiriku bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk negara, untuk Pakuan Pajajaran!” lanjut pemuda itu sungguh-sungguh.
“Engkau mau bekerja untuk kepentingan Pakuan?” tanya Suji Angkara menatap tajam.
“Saya siap bekerja untuk kepentingan negara!” sahut Ginggi dengan mengganti “Pakuan” menjadi “negara”. Ginggi perlu mengubahnya takut janjinya disalah gunakan untuk membela kepentingan orang-orang Pakuan.
“Bagus!” seru Suji Angkara gembira tanpa menyadari apa yang diucapkan Ginggi, sebab barangkali perubahan ucapan ini bila tak disimak secara teliti sepertinya tidak menimbulkan perubahaan arti yang khusus.
“Tapi saya juga musti tahu, mengapa Raden percaya saya dan apa yang harus saya mata-matai di sana?” Tanya Ginggi kembali menatap tajam pemuda itu yang duduk tegak di atas tilam sulaman beludru.
“Engkau pemuda lugu dan terkesan bodoh. Tak akan ada orang percaya bahwa engkau dibebani satu misi yang penting,” ujar Suji Angkara membuat kagum hati Ginggi.
Ya, benar. Suatu waktu orang bodoh bisa melaksanakan tugas rahasia sebab bakal diremehkan banyak orang dan akibatnya bakal jauh dari kecurigaan orang.
“Dan tugas saya kelak apa saja?”
“Engkau akan ditempatkan di bagian rumah-tangga puri, melayani berbagai kebutuhan sehari-hari ayah tiriku. Dengan demikian, setiap saat engkau bisa mencuri dengar percakapan ayah tiriku. Bila ada percakapan tentang apa saja antara ayah tiriku dengan tamu-tamu puri, kau catat dan kau laporkan padaku, paham?”
“Paham Raden…”
“Bagus!”
“Tapi percayakah ayahandamu pada saya, Raden?”
“Aku sudah atur sedemikian rupa. Lagi pula ayah tiriku tak pernah berpikiran lain padaku. Kalau aku kemukakan kau orang jujur, maka ayah tiriku pun akan berpendapat begitu,” Suji Angkara begitu memastikan.
“Baik bila begitu…” gumam Ginggi.
Ginggi dijanjikan esok paginya akan diantar ke puri Bagus Seta. Malam hari Ginggi diperintahkan tidak terlalu banyak bekerja kecuali berkemas untuk persiapan pindah rumah esok paginya.
Semalaman memang Ginggi hanya tiduran saja di balik kamarnya. Namun sepanjang malam otaknya berputar keras menduga-duga sikap Suji Angkara. Ini sesuatu yang mengherankan bila Suji Angkara melakukan penyelidikan terhadap ayah tirinya.
Kesimpulan yang tiba ke hati Ginggi, Suji mencurigai sesuatu terhadap ayah tirinya. Tapi bercuriga tentang apa? Ini yang harus Ginggi selidiki. Dan menerima tugas seperti yang dibebankan Suji Angkara ini, bagi Ginggi tak ubahnya orang yang mau meyebrang dikasih jembatan. Padahal, tidak diberi perintah pun Ginggi akan tetap melakukan penyelidikan seperti itu. Sekarang malah dia serasa dibantu dan dipandu oleh Suji Angkara.
Untuk memasuki puri Bangsawan Bagus Seta tanpa alasan jelas, merupakan sebuah pekerjaan sulit, kendati jarak antara puri Suji Angkara dan puri Bangsawan Bagus Seta hanya dekat saja dan boleh dibilang terletak di satu kompleks. Ginggi juga serasa dipandu. Kecurigaan Suji Angkara terhadap Ki Bagus Seta hanya memberi panduan padanya bahwa Ki Bagus Seta benar-benar perlu diselidiki. Ginggi perlu dengan penyelidikan ini. Apakah hasil penyelidikannya kelak akan disampaikan kepada Suji Angkara atau tidak, itu lain soal.
Ingin sekali hari cepat siang agar dirinya bisa segera masuk ke puri Bangsawan yang sebetulnya masih erat kaitannya dengan dirinya itu. Namun karena pada malam itu berbagai pikiran bergayut dalam benaknya, pemuda itu jadi susah memejamkan matanya. Sampai malam menjelang subuh, Ginggi belum juga bisa tertidur. Dia baru menguap dan akan terlelap manakala suara kokok ayam pertama terdengar merdu sayup-sayup.
Dan serasa sekejap dia tidur, sebab di pekarangan, para badega sudah ribut keluar rumah untuk memulai tugas baru di hari yang baru itu. Sambil mata masih pedih karena kurang tidur, Ginggi pun cepat bangun untuk mandi dan berkemas menurut apa perintah Suji Angkara.
Ginggi memasuki sebuah pelataran luas mengikuti Suji Angkara yang melangkah di depannya. Pelataran itu benar-benar luas, dibelah oleh sebuah jalan berbalay susunan batu hitam yang menuju ke sebuah beranda bangunan besar. Rumah itu indah terbuat dari kayu pilihan. Atapnya berbentuk jure (silang) dan tiap sudutnya disangga sebuah tiang kayu besar berukir dan dipoles warna hitam mengkilap.
Kuda warna pekat tunggangan pemuda itu nampak berkeliaran di lapangan rumput samping puri.
“Engkau sakit hati kepada Bangsawan Bagus Seta, Raden?” tanya Ginggi.
Tapi Suji Angkara menggelengkan kepala. “Aku tak marah sebab imbalannya besar. Ayahku diberi kekayaan melimpah dan aku boleh keluar-masuk purinya sekendak hatiku. Belakangan aku pun diangkat Bangsawan Bagus Seta untuk melakukan satu tugas penting, yaitu secara diam-diam mengawasi kelancaran penarikan seba di wilayah timur,” kata Suji Angkara.
“Kau memata-matai ayah tiriku bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk negara, untuk Pakuan Pajajaran!” lanjut pemuda itu sungguh-sungguh.
“Engkau mau bekerja untuk kepentingan Pakuan?” tanya Suji Angkara menatap tajam.
“Saya siap bekerja untuk kepentingan negara!” sahut Ginggi dengan mengganti “Pakuan” menjadi “negara”. Ginggi perlu mengubahnya takut janjinya disalah gunakan untuk membela kepentingan orang-orang Pakuan.
“Bagus!” seru Suji Angkara gembira tanpa menyadari apa yang diucapkan Ginggi, sebab barangkali perubahan ucapan ini bila tak disimak secara teliti sepertinya tidak menimbulkan perubahaan arti yang khusus.
“Tapi saya juga musti tahu, mengapa Raden percaya saya dan apa yang harus saya mata-matai di sana?” Tanya Ginggi kembali menatap tajam pemuda itu yang duduk tegak di atas tilam sulaman beludru.
“Engkau pemuda lugu dan terkesan bodoh. Tak akan ada orang percaya bahwa engkau dibebani satu misi yang penting,” ujar Suji Angkara membuat kagum hati Ginggi.
Ya, benar. Suatu waktu orang bodoh bisa melaksanakan tugas rahasia sebab bakal diremehkan banyak orang dan akibatnya bakal jauh dari kecurigaan orang.
“Dan tugas saya kelak apa saja?”
“Engkau akan ditempatkan di bagian rumah-tangga puri, melayani berbagai kebutuhan sehari-hari ayah tiriku. Dengan demikian, setiap saat engkau bisa mencuri dengar percakapan ayah tiriku. Bila ada percakapan tentang apa saja antara ayah tiriku dengan tamu-tamu puri, kau catat dan kau laporkan padaku, paham?”
“Paham Raden…”
“Bagus!”
“Tapi percayakah ayahandamu pada saya, Raden?”
“Aku sudah atur sedemikian rupa. Lagi pula ayah tiriku tak pernah berpikiran lain padaku. Kalau aku kemukakan kau orang jujur, maka ayah tiriku pun akan berpendapat begitu,” Suji Angkara begitu memastikan.
“Baik bila begitu…” gumam Ginggi.
Ginggi dijanjikan esok paginya akan diantar ke puri Bagus Seta. Malam hari Ginggi diperintahkan tidak terlalu banyak bekerja kecuali berkemas untuk persiapan pindah rumah esok paginya.
Semalaman memang Ginggi hanya tiduran saja di balik kamarnya. Namun sepanjang malam otaknya berputar keras menduga-duga sikap Suji Angkara. Ini sesuatu yang mengherankan bila Suji Angkara melakukan penyelidikan terhadap ayah tirinya.
Kesimpulan yang tiba ke hati Ginggi, Suji mencurigai sesuatu terhadap ayah tirinya. Tapi bercuriga tentang apa? Ini yang harus Ginggi selidiki. Dan menerima tugas seperti yang dibebankan Suji Angkara ini, bagi Ginggi tak ubahnya orang yang mau meyebrang dikasih jembatan. Padahal, tidak diberi perintah pun Ginggi akan tetap melakukan penyelidikan seperti itu. Sekarang malah dia serasa dibantu dan dipandu oleh Suji Angkara.
Untuk memasuki puri Bangsawan Bagus Seta tanpa alasan jelas, merupakan sebuah pekerjaan sulit, kendati jarak antara puri Suji Angkara dan puri Bangsawan Bagus Seta hanya dekat saja dan boleh dibilang terletak di satu kompleks. Ginggi juga serasa dipandu. Kecurigaan Suji Angkara terhadap Ki Bagus Seta hanya memberi panduan padanya bahwa Ki Bagus Seta benar-benar perlu diselidiki. Ginggi perlu dengan penyelidikan ini. Apakah hasil penyelidikannya kelak akan disampaikan kepada Suji Angkara atau tidak, itu lain soal.
Ingin sekali hari cepat siang agar dirinya bisa segera masuk ke puri Bangsawan yang sebetulnya masih erat kaitannya dengan dirinya itu. Namun karena pada malam itu berbagai pikiran bergayut dalam benaknya, pemuda itu jadi susah memejamkan matanya. Sampai malam menjelang subuh, Ginggi belum juga bisa tertidur. Dia baru menguap dan akan terlelap manakala suara kokok ayam pertama terdengar merdu sayup-sayup.
Dan serasa sekejap dia tidur, sebab di pekarangan, para badega sudah ribut keluar rumah untuk memulai tugas baru di hari yang baru itu. Sambil mata masih pedih karena kurang tidur, Ginggi pun cepat bangun untuk mandi dan berkemas menurut apa perintah Suji Angkara.
Ginggi memasuki sebuah pelataran luas mengikuti Suji Angkara yang melangkah di depannya. Pelataran itu benar-benar luas, dibelah oleh sebuah jalan berbalay susunan batu hitam yang menuju ke sebuah beranda bangunan besar. Rumah itu indah terbuat dari kayu pilihan. Atapnya berbentuk jure (silang) dan tiap sudutnya disangga sebuah tiang kayu besar berukir dan dipoles warna hitam mengkilap.
Sepagi itu Ki Bagus Seta sudah duduk-duduk di beranda bersama dengan istrinya, yang Ginggi bisa menduga inilah istri Kuwu Suntara yang “diambil-alih” oleh Ki Bagus Seta. Memang tak percuma murid Ki Darma ini nekad “merebut” istri orang. Wanita yang usianya sekitar empatpuluh tahunan lebih itu nampak masih memiliki goresan-goresan kecantikan. Ginggi bisa membayangkan, sepuluh atau limabelas tahun silam wanita itu pasti memiliki kecantikan laksana dewi dari kahyangan. Sekarang memang terdapat kerut-merut garis ketuaan, namun wanita itu tetap cantik. Sepasang pipinya masih bulat berisi, tubuhnya pun masih tampak sintal. Suji pun tak percuma memiliki ibu seperti ini. Barangkali wajah tampan pemuda itu sebetulnya turunan dari sang ibu.
Wanita ini pun amat cocok bersanding dengan Ki Bagus Seta. Murid Ki Darma yang amat bernasib baik menjadi pejabat ini sebetulnya berwajah gagah. Kulit wajahnya boleh dikata putih. Hidungnya juga sedikit mancung dan sorotan matanya tajam. Ki Bagus Seta yang memiliki kumis tipis ini sedikit memicingkan mata ketika melihat sepagi ini Suji Angkara datang diiringkan seorang pemuda yang dianggapnya kurang dikenal. Namun ketika Suji Angkara tiba dan kemudian memperkenalkan Ginggi sebagai pekerja yang baru di purinya, Ki Bagus Seta mengangguk-angguk maklum.
“Kau bekerjalah di sini dengan baik agar aku senang melihatmu,” kata Ki Bagus Seta melirik tipis kepada Ginggi.
“Baik Juragan…” kata Ginggi hormat.
“Tugasmu tidak terlalu berat. Kau hanya bekerja menyediakan makan dan minum buatku. Atau bisa juga membereskan perabot rumah sehingga setiap hari terbebas dari debu dan kotoran lainnya,” kata istri Ki Bagus Seta menimpali.
Untuk yang kesekian kalinya Ginggi mengangguk hormat.
“Nah, sekarang kau pergi ke ruangan belakang dan temui para pengurus rumah tangga puri ini,” kata Ki Bagus Seta.
Ginggi menyembah takzim dan mundur dari beranda. Dia jalan memutar ke sisi bangunan karena hendak menuju ke ruangan belakang. Namun sebelum jauh benar, pemuda itu sempat mendengar obrolan mereka yang pada pokoknya berkisar memperbincangkan perihal dirinya. Suji meyakinkan bahwa Ginggi bisa dipercaya sebab berpenampilan lugu dan bodoh, namun terampil dalam bekerja.
“Mudah-mudahan penilaianmu tidak keliru, sehingga aku pun tak meragukannya,” kata Ki Bagus Seta.
Berdebar Ginggi mendengarnya. Suara Ki Bagus Seta ini nadanya biasa saja. Namun bagi Ginggi ucapan Ki Bagus Seta seperti memiliki makna lain. Curigakah Ki Bagus Seta terhadapnya? Ginggi kembali melanjutkan langkahnya manakala obrolan di beranda berhenti.
Sudah hampir sebulan pula Ginggi bekerja di puri Ki Bagus Seta ini. Namun selama itu, belum ada laporan berarti yang disampaikannya kepada Suji Angkara. Bukan berarti Ginggi tak menemukan hasil yang dianggap penting. Namun Ginggi memang tak menganggap Suji Angkara sebagai atasan yang harus dia beri laporan penting sebab semua hasil penemuannya di puri ini hanya diperlukan bagi dirinya saja.
Dalam sebulan ini Ki Bagus Seta tengah dipusingkan oleh laporan-laporan yang datang dari para pembantunya. Beberapa orang pembantu melaporkan bahwa terjadi keresahan di beberapa wilayah barat tepi Kali Tangerang (Cisadane). Di sana ada wilayah kerajaan kecil hampir terletak di daerah muara. Pelapor mengabarkan bahwa wilayah itu sepertinya hendak memalingkan muka dari Pakuan dan akan berpaling ke Banten. Penyebabnya, wilayah kecil itu amat mudah dijangkau melalui laut. Padahal laut utara sudah dikuasai Banten dan Cirebon. Kedua negara agama baru itu semakin hari semakin malang-melintang dan kian berpengaruh di wilayah utara.
“Kami mendapat laporan bahwa wilayah Tangerang kerapkali dipengaruhi Banten atau Cirebon. Mereka selalu membujuk bahwa apabila ingin lancar melakukan perdagangan di muara, sebaiknya bergabung dengan Cirebon atau Banten,” kata pelapor.
“Sikap penguasa wilayah Cisadane itu bagaimana?” tanya Ki Bagus Seta.
“Rupanya mereka mulai terpengaruh juga. Buktinya seba (pajak) yang mereka serahkan ke Pakuan tahun ini jumlahnya semakin kurang dan cenderung mengabaikan kebijaksanaan kita,” ujar pelapor itu.
“Kurang ajar! Harus kita siapkan pasukan untuk menggempurnya! Aku akan menghadap Sang Prabu agar segera menitahkan pasukan penyerbu!” kata Ki Bagus Seta kesal.
“Kita sudah didahului Bangsawan Yogascitra, Gusti,”ujar pelapor.
“Maksudmu?”
“Bangsawan Yogascitra kami dengar sudah melapor kepada Raja tentang kekurang-setiaan wilayah barat ini. Namun Pangeran itu sambil mengemukakan alasan, mengapa wilayah barat bertindak begitu. Kata Bangasawan Yogascitra, jangan setiap wilayah yang menipis kesetiaannya lantas diserbu dan dihancurkan, tapi harus diteliti apa penyebabnya. Pangeran itu menjelaskan bahwa pajak yang semakin tinggi adalah penyebab menurunnya rasa setia negara-negara kecil terhadap Pakuan.”
“Kurang ajar Si Yogascitra. Dia mencari pengaruh di istana…” gumam Ki Bagus Seta.
“Dia adalah kerabat dekat Raja, Gusti,” kata pembantunya.
“Seharusnya Raja tidak melihat kepada kekerabatan. Yang harus dia lihat adalah siapa yang berjuang mempertahankan keberadaan Pakuan!” kata Ki Bagus Seta bersuara keras.
Ini adalah perkembangan paling akhir yang disimak Ginggi. Hanya dalam satu bulan jaraknya, telah terjadi beberapa perubahan yang menyangkut keberadaan Ki Bagus Seta.
Sebelum Ginggi masuk ke puri ini, pengetahuan yang didapat olehnya adalah betapa pengaruh Ki Bagus Seta demikian hebat terhadap Raja. Hampir setiap gagasan yang dilontarkannya disetujui dengan baik oleh Raja. Kebijaksanaan Raja yang selalu berupaya mencari kekayaan negara melalui pajak-pajak tinggi dilahirkan sesudah menerima gagasan-gagasan Ki Bagus Seta yang dibantu Bangsawan Soka. Namun akibat dari kebijaksanaan ini, banyak wilayah merasa keberatan. Wilayah kerajaan kecil seperti yang berada di sebelah timur dan merasa memiliki kekuatan karena dibantu oleh Cirebon dan Demak secara terang-terangan menghentikan kewajibannya mengirim pajak.
Belakangan, bukan saja wilayah timur yang begitu jauh letaknya, bahkan wilayah barat yang hanya memakan perjalanan tiga hari saja dari Pakuan, diketahui sudah berani memalingkan kesetiaannya. Usaha-usaha Ki Bagus Seta yang dibantu Bangsawan Soka dalam memungut pajak, ternyata jauh dari harapan semula. Dulu kedua bangsawan ini mengusulkan agar Pakuan membuat aturan pajak tinggi karena negara butuh dana besar dalam mengembalikan kebesarannya seperti masa-masa silam. Namun belakangan, kebijaksanaan ini hanya membuat wilayah-wilayah Pajajaran yang tinggal sedikit itu semakin resah saja. Banyak negara kecil membangkang. Dan karena Raja berperangai keras, setiap wilayah yang membangkang selalu ditindak. Kerapkali terjadi penyerbuan pasukan Pakuan ke wilayah yang dianggapnya membangkang. Namun kebijaksanaan melumpuhkan pembangkang tidak menghasilkan sesuatu yang berarti. Pembangkang yang kuat dan sulit dijatuhkan jelas akan semakin menjauh dari kungkungan Pakuan.
Mereka tidak sudi lagi tunduk kepada peraturan-peraturan yang dibuat Pakuan, termasuk dalam memenuhi kewajiban pajak. Sebaliknya negara kecil yang lemah tetapi berani membangkang, sesudah digempur Pasukan Pakuan, akhirnya jadi semakin tak berarti bagi keuntungan Pakuan. Wilayah yang sudah digempur habis sulit untuk berdiri kembali dan akhirnya sama sekali tak menghasilkan apa-apa, termasuk memenuhi kewajiban pajak.
Dan Ki Bagus Seta semakin gundah ketika pada suatu hari didatangi seorang tamu. Tamu tersebut tak lain adalah Bangsawan Soka, mitra kerjanya selama ini. Mereka berdua mengobrol penting di ruangan tengah, duduk bersila saling berhadapan di hamparan alketip tebal dan empuk buatan Negri Parasi (Parsi atau kini Iran). Keduanya duduk dengan perasaan tegang. Ketika Ginggi menyodorkan minuman ke ruangan tengah sejenak saja dia bisa menatap Bangsawan Soka. Dia bertubuh gemuk, bermata sipit dengan wajah bundar dan hidung sedikit pesek. Ada kumis tebal dan janggut namun nampak kurang terpelihara sehingga membentuk cambang bauk tak beraturan. Hanya cara berpakaian saja yang menentukan bahwa dirinya seorang bangsawan.
Hanya sebentar Ginggi berada di sana sebab serta-merta Ki Bagus Seta segera mengusirnya. Ginggi sebetulnya ingin sekali mencuri dengar percakapan mereka. Namun karena diusir pergi, rasanya sudah tak mungkin melakukannya lagi. Ginggi berpikir keras, bagaimana caranya agar bias mengintip obrolan mereka? Ruangan tengah begitu luas. Tak tepat untuk bersembunyi. Satu-satunya cara adalah naik ke atas atap sirap. Namun hari masih senja walau pun suasana sudah agak meremang. Bukan sebuah tindakan tepat bila harus naik ke atas atap. Risikonya terlalu tinggi untuk diketahui orang. Padahal di puri Ki Bagus Seta yang dikelilingi kuta (benteng) tinggi ini banyak dihuni puluhan jagabaya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
Tapi aku harus bisa mencuri dengar percakapan mereka, kata Ginggi dalam hatinya. Apa boleh buat, Ginggi harus berspekulasi naik ke atas atap sirap. Dia ingat, ada beberapa bagian atap yang dihiasi lengkungan-lengkungan kayu hias. Kalau dia sanggup mendekam di atas sirap, tentu tubuhnya akan terlindungi lengkungan kayu tersebut. Berpikir sampai di sini, pemuda itu segera ke luar bangunan. Sejenak dia terpaku, kemudian menoleh ke kiri dan ke kanan, mencoba memeriksa kalau-kalau ada jagabaya lewat ke tempat di mana Ginggi berada.
Sudah yakin tidak didapatkan siapa-siapa, Ginggi segera menotol tanah menggunakan inti tenaga di bagian ujung telapak kaki. Ginggi melayang naik seringan burung merpati.
Namun begitu kakinya menginjak atap sirap, ada kelepak beberapa burung merpati yang sebelumnya sedang hinggap di sana. Burung-burung itu terbang sambil sedikit riuh rendah karena terkejut melihat tubuh besar melayang naik. Begitu menjejak atap, Ginggi langsung menjatuhkan dirinya untuk segera mendekam. Gerakannya ini sedikit menimbulkan suara kendati tidak keras namun bias didengar orang yang berada di dalam bangunan.
Terdengar oleh Ginggi suara kaki-kaki melangkah ke luar halaman. Pemuda itu tak tahu siapa yang datang, sebab tubuhnya terus mendekam bahkan kian merapat di sudut lengkungan kayu hias. Sampai beberapa lama dia tak berani bergerak barang sedikit. Baru ketika terdengar langkah kaki untuk kedua kalinya, Ginggi agak mendongakkan kepala untuk mengusir sedikit rasa pegal di tengkuknya.
“Ada apa?” suara Bangsawan Soka terdengar mengajukan pertanyaan.
“Entahlah mungkin merpati. Di puriku memang banyak burung merpati bersarang di atas atap,” jawab Ki Bagus Seta.
Ginggi terus mendekam sebab nampaknya kedua bangsawan itu akan melanjutkan percakapan penting mereka.
“Aku kira kita sekarang ada dalam bahaya, Seta …”
“Barangkali…”
“Kita harus segera bertindak. Jangan sampai Sang Prabu terlanjur mengangkat Pangeran Yogascitra menjadi penasihat Raja. Bila sampai begitu, kedudukan kita terancam. Kita harus saling menolong. Kalau Pangeran Yogascitra dibiarkan menjadi penasihat Raja, maka akan memukul kebijaksanaanmu dalam melakukan tugas sebagai muhara,” kata Bangsawan Soka.
Sunyi sejenak sebab kedua orang itu rupanya tengah berpikir sesuatu. Sementara suasana sudah semakin gelap karena matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Keremangan kian bertambah sebab kompleks puri ini selain dikelilingi benteng tinggi juga banyak dikepung pohon-pohon besar seperti kecik, tanjung bahkan beringin. Suasana akan semakin meremang gelap bila seandainya tidak datang petugas penyulut lampu-lampu taman.
“Coba kau katakan akal terbaik untuk menjegal keputusan Raja,” kata Ki Bagus Seta.
“Engkau harus mencoba mengusulkan nama baru yang kau anggap paling cocok menjabat penasihat Raja,” kata Bangsawan Soka.
“Siapa yang harus aku ajukan?”
“Seseorang yang kelak kebijaksanaannya akan menguntungkan posisimu sebagai muhara, Seta,” kata Bangsawan Soka.
“Ya, siapa?” desak Bangsawan Bagus Seta tak sabar.
“Aku!”
“Engkau yang harus aku ajukan pada Raja?”
“Benar, Seta…”
Suasana kembali sepi. Rupanya Ki Bagus Seta lagi berpikir mengenai usul ini. “Aku perlu pikirkan kemungkinannya…” kata suara Ki Bagus Seta yang kedengaran oleh Ginggi seperti menderita kebingungan.
“Engkau meragukanku, Bagus Seta?”
“Bukan begitu,” kata Ki Bagus Seta. “Aku sedang berpikir sejauh mana kekuatan dan pengaruh Pangeran Yogascitra di mata Sang Prabu. Aku tidak hafal benar kepadanya. Yogascitra jarang bergaul, sehingga sifatnya pun aku kurang mengenalnya. Kalau sekarang secara tiba-tiba Sang Prabu akan memilihnya sebagai Penasihat Raja, tentu ada sesuatu sebab…” kata Ki Bagus Seta.
“Kalau engkau tak tersinggung, ingin kukemukakan sesuatu, barangkali akan terungkap mengapa Sang Prabu menoleh kepada Bangsawan Yogascitra,” kata Bangsawan Soka.
“Cobalah kau katakan…”
Sunyi lagi sejenak. Rupanya Bangsawan Soka tengah menyusun perkataan agar bisa diterima dengan baik oleh Ki Bagus Seta. Sementara malam sudah mulai jatuh, sehingga penerangan di sekeliling hanya mengandalkan lampu taman saja.
“Aku merasa bahwa kepercayaan Sang Prabu mulai terganggu…” kata Bangsawan Soka pada akhirnya.
“Hm… terganggu, ya…” gumam Ki Bagus Seta pelan.
“Dalam beberapa bulan terakhir ini engkau banyak mengalami kegagalan. Pemasukan pajak semakin berkurang dan ada beberapa wilayah di sebelah barat Cisadane mulai berpaling dari Pakuan. engkau harus berusaha mengembalikan kepercayaan Sang Pabu agar kedudukanmu kuat kembali, Bagus Seta,” kata Bangsawan Soka.
Sunyi lagi.
“Selama ini aku berusaha mengatur kebijaksanaan agar pajak masuk dengan lancar dan besar…”
“Bagaimana dengan wilayah timur yang kau katakana tengah diperjuangkan?” tanya Bangsawan Soka.
“Jangan salah mengerti. Sejak dulu kita bersatu dalam memperkuat kedudukan kita di Pakuan. Pertanyaanku tadi justru menginginkan satu jawaban pasti bahwa kedudukan kita tak terganggu,” sanggah Bangsawan Soka.
Sunyi lagi.
“Kau pernah melaporkan kepada Sang Prabu, untuk memperkuat pengaruh Pakuan di wilayah timur Sungai Citarum, di beberapa wilayah kekuasaan Kandagalante harus dibangun kekuatan pasukan. Penyusunan pasukan sudah dilaksanakan. Tapi sejauh ini, wilayah timur belum terasa apa-apa bagi Pakuan. Hasil pajak yang diambil dari wilayah timur masih tak berarti ketimbang dana yang sudah dikirim ke sana untuk membangun pasukan. Engkau harus bertanya pada pejabat kepercayaanmu yang bernama Ki Banaspati, sejauh mana dia berjuang untuk kepentingan Pakuan,” kata Bangsawan Soka.
“Sudah aku tanyai dia. Menurutnya, seba atau pajak yang ditarik dari wilayah timur untuk tahun-tahun awal pembentukan pasukan akan sangat sedikit dikirim ke Pakuan sebab sebagian besar masih digunakan untuk mengongkosi pembentukan pasukan itu sendiri,” jawab Ki Bagus Seta pasti.
Bangsawan Soka untuk sementara tak memberikan komentar sehingga Ginggi hanya menyimak sesuatu yang sunyi sekali kecuali suara binatang malam jenis serangga yang terdengar dari arah pekarangan.
“Tapi apa pun yang terjadi, kita harus berjuang agar perhatian dan kepercayaan Sang Prabu jangan sampai pindah kepada Bangsawan Yogascitra!” tiba-tiba Bangsawan Soka berkata lagi.
“Ya, memang harus diusahakan. Tapi kita menghadapi kendala amat berat. Sang Prabu tengah menginginkan sesuatu dari Bangsawan Yogascitra. Beliau tertarik kepada keelokan Nyimas Banyak Inten. Kalau keinginan Sang Prabu terlaksana dan putri Bangsawan Yogascitra menjadi selir Raja, kedudukan bangsawan itu akan semakin kuat!”
“Hahaha!” Bangsawan Soka terdengar tawanya.
“Mengapa engkau tertawa, Soka?”
“Itulah rupanya kuncinya. Kalau putri Bangsawan Yogascitra dipersunting Raja hubungan mereka semakin erat dan kedudukan Bangsawan itu semakin kuat!”
“Ya, begitu. Tapi mengapa kau tertawa?” Ki Bagus Seta bertanya bingung.
“Sudah aku katakan, itulah kuncinya. Jadi, kalau kau inginkan Yogascitra gagal memegang jabatan penasihat Raja, maka carilah akal agar hubungan mereka menjadi renggang!” kata Bangsawan Soka.
“Kau maksudkan, keinginan Sang Prabu dalam mempersunting putri Yogascitra harus kita gagalkan?”
“Nah, ternyata kau pandai menebak!” seru Bangsawan Soka.
“Tapi amat berbahaya menjegal keinginan Raja…” kata Ki Bagus Seta sesudah agak lama tak terdengar komentarnya. “Rasanya itu perjuangan amat berat dan penuh risiko…” lanjutnya.
“Tidak berat kalau kau tahu caranya,” desak Bangsawan Soka, “Raja belum pernah mengemukakan keinginannya itu secara langsung. Berita ini pun datangnya baru berupa bisik-bisik para dayang istana Raja saja. Oleh karena itu, kita harus berpacu. Kau cepatlah pinang Nyimas Banyak Inten untuk putramu Suji Angkara, sebab bukankah kau pun maklum tentang keinginan putramu itu?”
Sunyi sebentar.
“Jangan kau risau dengan ini. Barangkali benar Sang Prabu akan sedikit tersinggung. Namun aku hafal betul perangai Sang Prabu. Kemarahannya akan cepat sirna kalau ada sesuatu keinginan lain sebagai penggantinya. Kau serahkanlah putrimu, Nyimas Layang Kingkin pada Raja, beliau pasti senang!”
“Gila!”
“Kau jangan merendahkan anakmu sendiri, Seta! Nyimas Banyak Inten memang putri elok tapi Nyimas Layang Kingkin lebih matang dan lebih dewasa. Dia akan lebih pandai melayani keinginan-keinginan Sang Prabu!”
“Tapi kau harus tahu, putriku sudah lama berhubungan dengan Banyak Angga, bahkan Bangsawan Yogascitra sudah mengajukan pinangan. Kami hanya menunggu waktu yang baik, kapan mereka akan kunikahkan!” kata Ki Bagus Seta.
“Betul, tapi persetujuanmu dengan keluarga Bangsawan Yogascitra terjadi sebelum ada masalah pencalonan penasihat Raja. Sekarang kau harus berpikir lain. Urusan pernikahan putrimu kini sudah bukan sekadar memilih besan, melainkan sudah beranjak ke masalah kedudukan bahkan mempengaruhi nasib kerajaan ini sendiri. Segalanya kini bergantung kepada kebijaksanaanmu. Kalau kau mengalah dan membiarkan Yogascitra menjadi penasihat Raja, kebijaksanaan di Pakuan dengan sendirinya akan banyak bergulir. Padahal selama ini kebijaksanaan Raja dalam mengendalikan Pakuan, lebih terpusat dari lontaran-lontaran gagasan kita. Kau pikirkanlah itu, Seta!” kata Bangsawan Soka sungguh-sungguh.
Kembali keheningan terjadi, sehingga Ginggi yang mendekam di atas atap sirap tidak mengetahui lagi, apa yang sebetulnya tengah mereka lakukan.
Burung merpati yang senang berkeliaran di sekitar puri, sudah banyak mencari tempat berlindung dalam menghabiskan malam. Beberapa di antaranya ada yang hinggap di tepi-tepi genteng sirap di mana Ginggi mendekam. Semula, binatang-binatang unggas yang bentuknya lucu-lucu itu tidak menjadikan masalah bagi Ginggi. Namun suatu saat, pemuda itu amat terkejut ketika ada suara panggilan datang untuknya.
Wanita ini pun amat cocok bersanding dengan Ki Bagus Seta. Murid Ki Darma yang amat bernasib baik menjadi pejabat ini sebetulnya berwajah gagah. Kulit wajahnya boleh dikata putih. Hidungnya juga sedikit mancung dan sorotan matanya tajam. Ki Bagus Seta yang memiliki kumis tipis ini sedikit memicingkan mata ketika melihat sepagi ini Suji Angkara datang diiringkan seorang pemuda yang dianggapnya kurang dikenal. Namun ketika Suji Angkara tiba dan kemudian memperkenalkan Ginggi sebagai pekerja yang baru di purinya, Ki Bagus Seta mengangguk-angguk maklum.
“Kau bekerjalah di sini dengan baik agar aku senang melihatmu,” kata Ki Bagus Seta melirik tipis kepada Ginggi.
“Baik Juragan…” kata Ginggi hormat.
“Tugasmu tidak terlalu berat. Kau hanya bekerja menyediakan makan dan minum buatku. Atau bisa juga membereskan perabot rumah sehingga setiap hari terbebas dari debu dan kotoran lainnya,” kata istri Ki Bagus Seta menimpali.
Untuk yang kesekian kalinya Ginggi mengangguk hormat.
“Nah, sekarang kau pergi ke ruangan belakang dan temui para pengurus rumah tangga puri ini,” kata Ki Bagus Seta.
Ginggi menyembah takzim dan mundur dari beranda. Dia jalan memutar ke sisi bangunan karena hendak menuju ke ruangan belakang. Namun sebelum jauh benar, pemuda itu sempat mendengar obrolan mereka yang pada pokoknya berkisar memperbincangkan perihal dirinya. Suji meyakinkan bahwa Ginggi bisa dipercaya sebab berpenampilan lugu dan bodoh, namun terampil dalam bekerja.
“Mudah-mudahan penilaianmu tidak keliru, sehingga aku pun tak meragukannya,” kata Ki Bagus Seta.
Berdebar Ginggi mendengarnya. Suara Ki Bagus Seta ini nadanya biasa saja. Namun bagi Ginggi ucapan Ki Bagus Seta seperti memiliki makna lain. Curigakah Ki Bagus Seta terhadapnya? Ginggi kembali melanjutkan langkahnya manakala obrolan di beranda berhenti.
Sudah hampir sebulan pula Ginggi bekerja di puri Ki Bagus Seta ini. Namun selama itu, belum ada laporan berarti yang disampaikannya kepada Suji Angkara. Bukan berarti Ginggi tak menemukan hasil yang dianggap penting. Namun Ginggi memang tak menganggap Suji Angkara sebagai atasan yang harus dia beri laporan penting sebab semua hasil penemuannya di puri ini hanya diperlukan bagi dirinya saja.
Dalam sebulan ini Ki Bagus Seta tengah dipusingkan oleh laporan-laporan yang datang dari para pembantunya. Beberapa orang pembantu melaporkan bahwa terjadi keresahan di beberapa wilayah barat tepi Kali Tangerang (Cisadane). Di sana ada wilayah kerajaan kecil hampir terletak di daerah muara. Pelapor mengabarkan bahwa wilayah itu sepertinya hendak memalingkan muka dari Pakuan dan akan berpaling ke Banten. Penyebabnya, wilayah kecil itu amat mudah dijangkau melalui laut. Padahal laut utara sudah dikuasai Banten dan Cirebon. Kedua negara agama baru itu semakin hari semakin malang-melintang dan kian berpengaruh di wilayah utara.
“Kami mendapat laporan bahwa wilayah Tangerang kerapkali dipengaruhi Banten atau Cirebon. Mereka selalu membujuk bahwa apabila ingin lancar melakukan perdagangan di muara, sebaiknya bergabung dengan Cirebon atau Banten,” kata pelapor.
“Sikap penguasa wilayah Cisadane itu bagaimana?” tanya Ki Bagus Seta.
“Rupanya mereka mulai terpengaruh juga. Buktinya seba (pajak) yang mereka serahkan ke Pakuan tahun ini jumlahnya semakin kurang dan cenderung mengabaikan kebijaksanaan kita,” ujar pelapor itu.
“Kurang ajar! Harus kita siapkan pasukan untuk menggempurnya! Aku akan menghadap Sang Prabu agar segera menitahkan pasukan penyerbu!” kata Ki Bagus Seta kesal.
“Kita sudah didahului Bangsawan Yogascitra, Gusti,”ujar pelapor.
“Maksudmu?”
“Bangsawan Yogascitra kami dengar sudah melapor kepada Raja tentang kekurang-setiaan wilayah barat ini. Namun Pangeran itu sambil mengemukakan alasan, mengapa wilayah barat bertindak begitu. Kata Bangasawan Yogascitra, jangan setiap wilayah yang menipis kesetiaannya lantas diserbu dan dihancurkan, tapi harus diteliti apa penyebabnya. Pangeran itu menjelaskan bahwa pajak yang semakin tinggi adalah penyebab menurunnya rasa setia negara-negara kecil terhadap Pakuan.”
“Kurang ajar Si Yogascitra. Dia mencari pengaruh di istana…” gumam Ki Bagus Seta.
“Dia adalah kerabat dekat Raja, Gusti,” kata pembantunya.
“Seharusnya Raja tidak melihat kepada kekerabatan. Yang harus dia lihat adalah siapa yang berjuang mempertahankan keberadaan Pakuan!” kata Ki Bagus Seta bersuara keras.
Ini adalah perkembangan paling akhir yang disimak Ginggi. Hanya dalam satu bulan jaraknya, telah terjadi beberapa perubahan yang menyangkut keberadaan Ki Bagus Seta.
Sebelum Ginggi masuk ke puri ini, pengetahuan yang didapat olehnya adalah betapa pengaruh Ki Bagus Seta demikian hebat terhadap Raja. Hampir setiap gagasan yang dilontarkannya disetujui dengan baik oleh Raja. Kebijaksanaan Raja yang selalu berupaya mencari kekayaan negara melalui pajak-pajak tinggi dilahirkan sesudah menerima gagasan-gagasan Ki Bagus Seta yang dibantu Bangsawan Soka. Namun akibat dari kebijaksanaan ini, banyak wilayah merasa keberatan. Wilayah kerajaan kecil seperti yang berada di sebelah timur dan merasa memiliki kekuatan karena dibantu oleh Cirebon dan Demak secara terang-terangan menghentikan kewajibannya mengirim pajak.
Belakangan, bukan saja wilayah timur yang begitu jauh letaknya, bahkan wilayah barat yang hanya memakan perjalanan tiga hari saja dari Pakuan, diketahui sudah berani memalingkan kesetiaannya. Usaha-usaha Ki Bagus Seta yang dibantu Bangsawan Soka dalam memungut pajak, ternyata jauh dari harapan semula. Dulu kedua bangsawan ini mengusulkan agar Pakuan membuat aturan pajak tinggi karena negara butuh dana besar dalam mengembalikan kebesarannya seperti masa-masa silam. Namun belakangan, kebijaksanaan ini hanya membuat wilayah-wilayah Pajajaran yang tinggal sedikit itu semakin resah saja. Banyak negara kecil membangkang. Dan karena Raja berperangai keras, setiap wilayah yang membangkang selalu ditindak. Kerapkali terjadi penyerbuan pasukan Pakuan ke wilayah yang dianggapnya membangkang. Namun kebijaksanaan melumpuhkan pembangkang tidak menghasilkan sesuatu yang berarti. Pembangkang yang kuat dan sulit dijatuhkan jelas akan semakin menjauh dari kungkungan Pakuan.
Mereka tidak sudi lagi tunduk kepada peraturan-peraturan yang dibuat Pakuan, termasuk dalam memenuhi kewajiban pajak. Sebaliknya negara kecil yang lemah tetapi berani membangkang, sesudah digempur Pasukan Pakuan, akhirnya jadi semakin tak berarti bagi keuntungan Pakuan. Wilayah yang sudah digempur habis sulit untuk berdiri kembali dan akhirnya sama sekali tak menghasilkan apa-apa, termasuk memenuhi kewajiban pajak.
Dan Ki Bagus Seta semakin gundah ketika pada suatu hari didatangi seorang tamu. Tamu tersebut tak lain adalah Bangsawan Soka, mitra kerjanya selama ini. Mereka berdua mengobrol penting di ruangan tengah, duduk bersila saling berhadapan di hamparan alketip tebal dan empuk buatan Negri Parasi (Parsi atau kini Iran). Keduanya duduk dengan perasaan tegang. Ketika Ginggi menyodorkan minuman ke ruangan tengah sejenak saja dia bisa menatap Bangsawan Soka. Dia bertubuh gemuk, bermata sipit dengan wajah bundar dan hidung sedikit pesek. Ada kumis tebal dan janggut namun nampak kurang terpelihara sehingga membentuk cambang bauk tak beraturan. Hanya cara berpakaian saja yang menentukan bahwa dirinya seorang bangsawan.
Hanya sebentar Ginggi berada di sana sebab serta-merta Ki Bagus Seta segera mengusirnya. Ginggi sebetulnya ingin sekali mencuri dengar percakapan mereka. Namun karena diusir pergi, rasanya sudah tak mungkin melakukannya lagi. Ginggi berpikir keras, bagaimana caranya agar bias mengintip obrolan mereka? Ruangan tengah begitu luas. Tak tepat untuk bersembunyi. Satu-satunya cara adalah naik ke atas atap sirap. Namun hari masih senja walau pun suasana sudah agak meremang. Bukan sebuah tindakan tepat bila harus naik ke atas atap. Risikonya terlalu tinggi untuk diketahui orang. Padahal di puri Ki Bagus Seta yang dikelilingi kuta (benteng) tinggi ini banyak dihuni puluhan jagabaya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
Tapi aku harus bisa mencuri dengar percakapan mereka, kata Ginggi dalam hatinya. Apa boleh buat, Ginggi harus berspekulasi naik ke atas atap sirap. Dia ingat, ada beberapa bagian atap yang dihiasi lengkungan-lengkungan kayu hias. Kalau dia sanggup mendekam di atas sirap, tentu tubuhnya akan terlindungi lengkungan kayu tersebut. Berpikir sampai di sini, pemuda itu segera ke luar bangunan. Sejenak dia terpaku, kemudian menoleh ke kiri dan ke kanan, mencoba memeriksa kalau-kalau ada jagabaya lewat ke tempat di mana Ginggi berada.
Sudah yakin tidak didapatkan siapa-siapa, Ginggi segera menotol tanah menggunakan inti tenaga di bagian ujung telapak kaki. Ginggi melayang naik seringan burung merpati.
Namun begitu kakinya menginjak atap sirap, ada kelepak beberapa burung merpati yang sebelumnya sedang hinggap di sana. Burung-burung itu terbang sambil sedikit riuh rendah karena terkejut melihat tubuh besar melayang naik. Begitu menjejak atap, Ginggi langsung menjatuhkan dirinya untuk segera mendekam. Gerakannya ini sedikit menimbulkan suara kendati tidak keras namun bias didengar orang yang berada di dalam bangunan.
Terdengar oleh Ginggi suara kaki-kaki melangkah ke luar halaman. Pemuda itu tak tahu siapa yang datang, sebab tubuhnya terus mendekam bahkan kian merapat di sudut lengkungan kayu hias. Sampai beberapa lama dia tak berani bergerak barang sedikit. Baru ketika terdengar langkah kaki untuk kedua kalinya, Ginggi agak mendongakkan kepala untuk mengusir sedikit rasa pegal di tengkuknya.
“Ada apa?” suara Bangsawan Soka terdengar mengajukan pertanyaan.
“Entahlah mungkin merpati. Di puriku memang banyak burung merpati bersarang di atas atap,” jawab Ki Bagus Seta.
Ginggi terus mendekam sebab nampaknya kedua bangsawan itu akan melanjutkan percakapan penting mereka.
“Aku kira kita sekarang ada dalam bahaya, Seta …”
“Barangkali…”
“Kita harus segera bertindak. Jangan sampai Sang Prabu terlanjur mengangkat Pangeran Yogascitra menjadi penasihat Raja. Bila sampai begitu, kedudukan kita terancam. Kita harus saling menolong. Kalau Pangeran Yogascitra dibiarkan menjadi penasihat Raja, maka akan memukul kebijaksanaanmu dalam melakukan tugas sebagai muhara,” kata Bangsawan Soka.
Sunyi sejenak sebab kedua orang itu rupanya tengah berpikir sesuatu. Sementara suasana sudah semakin gelap karena matahari sudah tenggelam di ufuk barat. Keremangan kian bertambah sebab kompleks puri ini selain dikelilingi benteng tinggi juga banyak dikepung pohon-pohon besar seperti kecik, tanjung bahkan beringin. Suasana akan semakin meremang gelap bila seandainya tidak datang petugas penyulut lampu-lampu taman.
“Coba kau katakan akal terbaik untuk menjegal keputusan Raja,” kata Ki Bagus Seta.
“Engkau harus mencoba mengusulkan nama baru yang kau anggap paling cocok menjabat penasihat Raja,” kata Bangsawan Soka.
“Siapa yang harus aku ajukan?”
“Seseorang yang kelak kebijaksanaannya akan menguntungkan posisimu sebagai muhara, Seta,” kata Bangsawan Soka.
“Ya, siapa?” desak Bangsawan Bagus Seta tak sabar.
“Aku!”
“Engkau yang harus aku ajukan pada Raja?”
“Benar, Seta…”
Suasana kembali sepi. Rupanya Ki Bagus Seta lagi berpikir mengenai usul ini. “Aku perlu pikirkan kemungkinannya…” kata suara Ki Bagus Seta yang kedengaran oleh Ginggi seperti menderita kebingungan.
“Engkau meragukanku, Bagus Seta?”
“Bukan begitu,” kata Ki Bagus Seta. “Aku sedang berpikir sejauh mana kekuatan dan pengaruh Pangeran Yogascitra di mata Sang Prabu. Aku tidak hafal benar kepadanya. Yogascitra jarang bergaul, sehingga sifatnya pun aku kurang mengenalnya. Kalau sekarang secara tiba-tiba Sang Prabu akan memilihnya sebagai Penasihat Raja, tentu ada sesuatu sebab…” kata Ki Bagus Seta.
“Kalau engkau tak tersinggung, ingin kukemukakan sesuatu, barangkali akan terungkap mengapa Sang Prabu menoleh kepada Bangsawan Yogascitra,” kata Bangsawan Soka.
“Cobalah kau katakan…”
Sunyi lagi sejenak. Rupanya Bangsawan Soka tengah menyusun perkataan agar bisa diterima dengan baik oleh Ki Bagus Seta. Sementara malam sudah mulai jatuh, sehingga penerangan di sekeliling hanya mengandalkan lampu taman saja.
“Aku merasa bahwa kepercayaan Sang Prabu mulai terganggu…” kata Bangsawan Soka pada akhirnya.
“Hm… terganggu, ya…” gumam Ki Bagus Seta pelan.
“Dalam beberapa bulan terakhir ini engkau banyak mengalami kegagalan. Pemasukan pajak semakin berkurang dan ada beberapa wilayah di sebelah barat Cisadane mulai berpaling dari Pakuan. engkau harus berusaha mengembalikan kepercayaan Sang Pabu agar kedudukanmu kuat kembali, Bagus Seta,” kata Bangsawan Soka.
Sunyi lagi.
“Selama ini aku berusaha mengatur kebijaksanaan agar pajak masuk dengan lancar dan besar…”
“Bagaimana dengan wilayah timur yang kau katakana tengah diperjuangkan?” tanya Bangsawan Soka.
“Jangan salah mengerti. Sejak dulu kita bersatu dalam memperkuat kedudukan kita di Pakuan. Pertanyaanku tadi justru menginginkan satu jawaban pasti bahwa kedudukan kita tak terganggu,” sanggah Bangsawan Soka.
Sunyi lagi.
“Kau pernah melaporkan kepada Sang Prabu, untuk memperkuat pengaruh Pakuan di wilayah timur Sungai Citarum, di beberapa wilayah kekuasaan Kandagalante harus dibangun kekuatan pasukan. Penyusunan pasukan sudah dilaksanakan. Tapi sejauh ini, wilayah timur belum terasa apa-apa bagi Pakuan. Hasil pajak yang diambil dari wilayah timur masih tak berarti ketimbang dana yang sudah dikirim ke sana untuk membangun pasukan. Engkau harus bertanya pada pejabat kepercayaanmu yang bernama Ki Banaspati, sejauh mana dia berjuang untuk kepentingan Pakuan,” kata Bangsawan Soka.
“Sudah aku tanyai dia. Menurutnya, seba atau pajak yang ditarik dari wilayah timur untuk tahun-tahun awal pembentukan pasukan akan sangat sedikit dikirim ke Pakuan sebab sebagian besar masih digunakan untuk mengongkosi pembentukan pasukan itu sendiri,” jawab Ki Bagus Seta pasti.
Bangsawan Soka untuk sementara tak memberikan komentar sehingga Ginggi hanya menyimak sesuatu yang sunyi sekali kecuali suara binatang malam jenis serangga yang terdengar dari arah pekarangan.
“Tapi apa pun yang terjadi, kita harus berjuang agar perhatian dan kepercayaan Sang Prabu jangan sampai pindah kepada Bangsawan Yogascitra!” tiba-tiba Bangsawan Soka berkata lagi.
“Ya, memang harus diusahakan. Tapi kita menghadapi kendala amat berat. Sang Prabu tengah menginginkan sesuatu dari Bangsawan Yogascitra. Beliau tertarik kepada keelokan Nyimas Banyak Inten. Kalau keinginan Sang Prabu terlaksana dan putri Bangsawan Yogascitra menjadi selir Raja, kedudukan bangsawan itu akan semakin kuat!”
“Hahaha!” Bangsawan Soka terdengar tawanya.
“Mengapa engkau tertawa, Soka?”
“Itulah rupanya kuncinya. Kalau putri Bangsawan Yogascitra dipersunting Raja hubungan mereka semakin erat dan kedudukan Bangsawan itu semakin kuat!”
“Ya, begitu. Tapi mengapa kau tertawa?” Ki Bagus Seta bertanya bingung.
“Sudah aku katakan, itulah kuncinya. Jadi, kalau kau inginkan Yogascitra gagal memegang jabatan penasihat Raja, maka carilah akal agar hubungan mereka menjadi renggang!” kata Bangsawan Soka.
“Kau maksudkan, keinginan Sang Prabu dalam mempersunting putri Yogascitra harus kita gagalkan?”
“Nah, ternyata kau pandai menebak!” seru Bangsawan Soka.
“Tapi amat berbahaya menjegal keinginan Raja…” kata Ki Bagus Seta sesudah agak lama tak terdengar komentarnya. “Rasanya itu perjuangan amat berat dan penuh risiko…” lanjutnya.
“Tidak berat kalau kau tahu caranya,” desak Bangsawan Soka, “Raja belum pernah mengemukakan keinginannya itu secara langsung. Berita ini pun datangnya baru berupa bisik-bisik para dayang istana Raja saja. Oleh karena itu, kita harus berpacu. Kau cepatlah pinang Nyimas Banyak Inten untuk putramu Suji Angkara, sebab bukankah kau pun maklum tentang keinginan putramu itu?”
Sunyi sebentar.
“Jangan kau risau dengan ini. Barangkali benar Sang Prabu akan sedikit tersinggung. Namun aku hafal betul perangai Sang Prabu. Kemarahannya akan cepat sirna kalau ada sesuatu keinginan lain sebagai penggantinya. Kau serahkanlah putrimu, Nyimas Layang Kingkin pada Raja, beliau pasti senang!”
“Gila!”
“Kau jangan merendahkan anakmu sendiri, Seta! Nyimas Banyak Inten memang putri elok tapi Nyimas Layang Kingkin lebih matang dan lebih dewasa. Dia akan lebih pandai melayani keinginan-keinginan Sang Prabu!”
“Tapi kau harus tahu, putriku sudah lama berhubungan dengan Banyak Angga, bahkan Bangsawan Yogascitra sudah mengajukan pinangan. Kami hanya menunggu waktu yang baik, kapan mereka akan kunikahkan!” kata Ki Bagus Seta.
“Betul, tapi persetujuanmu dengan keluarga Bangsawan Yogascitra terjadi sebelum ada masalah pencalonan penasihat Raja. Sekarang kau harus berpikir lain. Urusan pernikahan putrimu kini sudah bukan sekadar memilih besan, melainkan sudah beranjak ke masalah kedudukan bahkan mempengaruhi nasib kerajaan ini sendiri. Segalanya kini bergantung kepada kebijaksanaanmu. Kalau kau mengalah dan membiarkan Yogascitra menjadi penasihat Raja, kebijaksanaan di Pakuan dengan sendirinya akan banyak bergulir. Padahal selama ini kebijaksanaan Raja dalam mengendalikan Pakuan, lebih terpusat dari lontaran-lontaran gagasan kita. Kau pikirkanlah itu, Seta!” kata Bangsawan Soka sungguh-sungguh.
Kembali keheningan terjadi, sehingga Ginggi yang mendekam di atas atap sirap tidak mengetahui lagi, apa yang sebetulnya tengah mereka lakukan.
Burung merpati yang senang berkeliaran di sekitar puri, sudah banyak mencari tempat berlindung dalam menghabiskan malam. Beberapa di antaranya ada yang hinggap di tepi-tepi genteng sirap di mana Ginggi mendekam. Semula, binatang-binatang unggas yang bentuknya lucu-lucu itu tidak menjadikan masalah bagi Ginggi. Namun suatu saat, pemuda itu amat terkejut ketika ada suara panggilan datang untuknya.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment