Ads

Friday, November 19, 2021

Kidung Senja Jatuh di Pajajaran 025

“Saya sudah sehat berkat doa seluruh penghuni puri ini,” ujar Suji Angkara.

“Bagus kalau begitu. Tapi entah bagaimana aku harus berterima kasih padamu, Raden. Sebab menurut para tugur, bila tak ada engkau, sudah bagaimana nasi… maksudku keselamatan harta benda dan kekayaan yang ada di puri ini. Engkau tahu bukan, di puri ini kita simpan benda-benda peninggalan para leluhur raja-raja Sunda sejak ratusan tahun silam…”

“Hm, mungkinkah penjahat itu hendak menjarah barang-barang pusaka?” kata Suji Angkara tak kalah menyusun banyolan.

“Tapi benar atau tidak alasan penjahat itu masuk ke puri karena benda pusaka, kita harus selidiki dengan seksama, Ayahanda,” kata Banyak Angga. “Penjahat itu amat merendahkan penghuni puri ini. Sehingga bila kelak dia tertangkap, hanya hukuman mati bagiannya,” sambungnya.

“Hanya orang-orang yang sudah tahu situasi di sini yang sekiranya bisa mudah menyelundup ke puri, Gusti,” kata Ginggi tiba-tiba.

Semua orang memandang kepadanya. Seta dan Madi malah melotot marah sebab dianggapnya Ginggi lancang mengemukakan pendapat. Padahal yang tengah berbicara itu siapa? Dan Ginggi yang dianggapnya golongan cacah (orang kebanyakan), tak pantas berlaku itu. Namun yang nampak tak senang akan ulah Ginggi hanya Suji Angkara dan anak buahnya, sedangkan orang tua gagah itu beserta Banyak Angga nampak mengerutkan dahi seperti memikirkan apa yang dikemukakan Ginggi.

“Benar perkiraanmu anak muda,” gumam orang tua bercelana beludru komprang itu. “hanya orang yang sudah hafal keadaan di sini yang leluasa menyelundup ke sini… Dan apalagi langsung memburu kamar yang dimaksud,” sambungnya sedikit tersendat.

Ya, siapa yang tahu persis di mana kamar Nyimas Banyak Inten bila bukan orang yang biasa masuk ke puri ini, kata Ginggi dalam hatinya.

“Kita periksa orang dalam, kalau-kalau benar perkiraan ini,” kata Banyak Angga sungguh-sungguh.

“Betul, sebab bukankah di puri ini terdapat orang luar tapi yang kini sudah menjadi orang dalam, Ramanda?” Suji Angkara lebih meyakinkan, namun gilanya dia berkata sambil memandang ke arah pemuda yang berdiri di samping Banyak Angga.

Yang ditatap mendadak pucatpasi. Kemudian secara tiba-tiba wajah pucat itu berubah menjadi merah-padam. Ginggi bisa menduga pemuda itu tengah menahan kemarahannya. Ya, siapa tidak akan marah difitnah serampangan seperti itu? Tapi pemuda itu pandai menahan kemarahan. Barangkali karena di sana ada orang tua yang amat dihormatinya.

“Seyogianya Ramanda tidak terlalu mempercayai orang luar tinggal di puri yang damai ini,” kata Suji Angkara seperti terus memanas-manasi pemuda itu.

“Aku akan bertindak hati-hati terhadap orang-orang yang biasa hilir-mudik di puri ini, termasuk yang sudah tinggal di puri ini,” kata orang tua berkain batik jenis pupunjungan ini. Hanya bedanya, orang tua ini bicara dengan wajar dan tidak khusus tertuju kepada seseorang seperti layaknya Suji Angkara.

“Itu sebuah tindakan yang bijaksana Ramanda, Saya pun pasti ikut membantu membuka tabir kejahatan ini,” kata Suji Angkara, kembali melirik ke arah pemuda di samping Banyak Angga.

“Nah, Raden, hari ini sudah ada yang menjemputmu. Kau sudah nampak agak mendingan. Jadi bila engkau mau pulang sekarang, aku akan pinjamkan engkau jampana (tandu) agar bisa diangkut ke sana dengan tenang,” kata orang tua itu.

Suji Angkara nampak turun semangatnya ketika mendengar ucapan orang tua itu. Keinginannya barangkali ingin terus-terusan tinggal di puri ini agar terus mendapat pelayanan Nyimas Banyak Inten. Begitu perkiraan Ginggi. Namun Suji Angkara nampaknya bisa menahan keinginan ini. Dia memang pandai membuat citra bahwa dirinya benar-benar seorang bangsawan yang memiliki etika tinggi.

“Betul, saya harus pulang sekarang sebab di sini hanya merepotkan saja. Lagi pula, tak baik bagi seorang pemuda tinggal di puri yang dihuni oleh seorang gadis rupawan macam Nyimas Banyak Inten. Oh … ya! Terima kasih atas rawatanmu Nyimas. Aku tak akan melupakan jasa baikmu sampai tiba saatnya nyawaku dicabut,” kata Suji Angkara lemah-lembut sambil sekilas melirik ke arah Nyimas Banyak Inten yang masih duduk bersimpuh di tepi pembaringan.

“Tidak usah menggunakan jampana, saya akan berjalan kaki saja,” kata Suji Angkara turun dari pembaringan dan segera disambut Seta dan Madi. Ginggi pun mau ikut memegangi tubuh Suji Angkara tapi oleh Madi disuruh minggir saja.

“Lebih baik kau ikut aku anak muda. Aku pinjami seekor kuda agar Raden Suji bisa naik kuda saja,” kata Banyak Angga kepada Ginggi. “Mari kau ikut ke istal,” kata Banyak Angga mengajak Ginggi keluar dari ruangan itu.

Tapi setiba di luar, Banyak Angga malah memohon pada Ginggi agar sudi menyerahkan surat pada Nyimas Layang Kingkin.

“Bila kau berhasil menyerahkan kotak surat ini, aku tambah lagi hadiahnya,” kata pemuda itu menyerahkan kotak kecil berukir dan sekantung kecil entah apa isinya.

“Hanya sekadar menyerahkan surat saja, mengapa meski memberi hadiah kepada saya, Raden?” tanya Ginggi dan berupaya menolak pemberian ini.

“Kau terimalah. Tidak besar tapi kau pasti perlu,” kata pemuda itu.”Yang penting, kau sampaikan surat itu, ya?”

“Tentu…” kata Ginggi.

Pemuda di samping Banyak Angga hanya menunduk saja.

“Purbajaya, engkau tak perlu risau dengan ucapan Raden Suji. Terlalu gegabah bila kami mencurigai engkau seperti itu,” kata Banyak Angga.



Tersentak hati Ginggi mendengar nama pemuda itu disebut. Raden Purbajaya, itulah nama pemuda yang masuk dalam rencana penyelidikannya. Purbajaya ini tengah dikejar Suji Angkara karena dianggap “penyebab” bunuh dirinya putri Juragan Ilun Rosa di wilayah Kandagalante Tanjungpura. Tapi melihat tindak-tanduk dan perbuatan Suji Angkara, Ginggi tak percaya akan semua berita yang disampaikan mengenai Purbajaya. Dan kalau nanti kejadian sebenarnya dari Purbajaya sudah dia teliti, maka akan semakin terbuka kebohongan-kebohongan Suji Angkara!

Ginggi menerima kuda pinjaman dari Banyak Angga yang akan digunakan Suji Angkara. Sebelum Ginggi pergi menuntun kuda, sempat dia menatap Purbajaya yang nampak masih murung. Namun perasaan Ginggi lega, bahwa sampai saat ini pemuda itu masih dalam keadaan bugar. Menurut ancaman yang disampaikan kepada badega Juragan Ilun Rosa, Suji Angkara mengatakan akan melenyapkan pemuda itu sebagai tindakan “balas dendam” atas kelakuannya yang membuat gadis cantik penghuni Tanjungpura itu mati bunuh diri karena dikhianati cintanya. Jahat sekali Suji Angkara, pikir Ginggi. Dan di tengah perjalanan, di saat dia menuntun kuda, ketika Suji Angkara menclok di atas kuda yang dituntun Ginggi, semakin jelas pula siapa pemuda itu sebenarnya.

“Sialan! Aku harus menyelidiki siapa penjahat itu. Aku rasa, penjahat itu telah menyerangku beberapa waktu lalu, dan ini serangan yang kedua kalinya…” gumam Suji Angkara seorang diri.

Ginggi menengok sebentar ke atas kuda. Nampak Suji Angkara mengusap-usap jidatnya yang benjut sebesar telur. Sambil senyum tipis Ginggi kembali menghadap ke depan. Rasakan kau, katanya dalam hati. Tak jelas benar apa yang dimaksud serangan yang kedua kali seperti apa yang diucapkan pemuda itu. Tapi bila Ginggi mau menduganya, yang dimaksud pemuda itu tentu serangan di sebuah perbukitan Desa Cae. Bukankah dulu Ginggi pernah memukul jidat seorang pemerkosa dengan cara yang sama? Jadi benarkah yang dia pukul sampai tubuhnya terjengkang menubruk dinding gua ketika itu tak lain dari Suji Angkara? Ingin sekali Ginggi bertanya langsung kepada pemuda yang kini menclok di atas kuda dengan kepala benjut itu. Tapi tentu ini suatu hal yang tak mungkin bila tak ingin penyelidikannya terbongkar.

Sambil berjalan menuntun kuda, Ginggi terus berpikir. Kini semakin dirasakan bahwa Suji Angkara benar-benar orang yang berbahaya. Dia pandai menyembunyikan nafsu iblisnya dalam penampilan sopan dan anggun. Bila tak hati-hati menyimak perangainya, semua orang akan tertipu dan menganggap pemuda itu benar-benar seorang bangsawan terhormat yang santun dan jujur.

Kini baru Ginggi seorang yang sanggup membuktikan bahwa pemuda yang kini dituntunnya di atas pelana kuda itu seorang durjana licin. Betapa tidak, orang ini sanggup menciptakan sebuah reka-perdaya seketika di saat dirinya terdesak. Ketika tiga hari yang lalu Ginggi memukulnya dengan telak sehingga pemuda itu terjajar dan tak sanggup bangun lagi, Ginggi berharap Suji Angkara ditangkap orang-orang puri Yogascitra. Namun dengan kepandaiannya mengukir kata, pemuda itu malah dianggap pahlawan dalam upaya mengusir “penjahat” yang hendak menyerang puri. Agar semua orang memperlebar rasa curiga, maka Suji Angkara menganjurkan penghuni puri berhati-hati terhadap orang dalam. Dan sambil bicara demikian, Suji Angkara melirik penuh arti kepada Purbajaya. Ini hanya menandakan bahwa pemuda licin itu berusaha menyebar fitnah agar peranan dirinya dalam peristiwa itu makin tertimbun.

Tapi yang paling mengkhawatirkan dari tipu-muslihat ini adalah ketika Ginggi melihat apa yang dilakukan Nyimas Banyak Inten. Ketika Ginggi tiba di puri untuk menjemput Suji Angkara, gadis itu nampak penuh perhatian merawat pemuda jahat itu. Ginggi khawatir dan sekaligus panas hatinya manakala melihat gadis itu tengah menyuapi Suji Angkara. Ini hanya menandakan bahwa Nyimas Banyak Inten pun terkecoh oleh akal bulus pemuda sinting itu.

Ginggi khawatir, Nyimas Banyak Inten tidak sekadar terkecoh oleh tipu-daya Suji Angkara tapi lebih jauh dari itu amat berterima kasih terhadap “kepahlawanan” pemuda bejat itu. Dan apa tanda terima kasih gadis itu terhadap Suji Angkara? Ginggi takut membayangkannya bila melihat kelakuan Nyimas Banyak Inten yang begitu telaten merawat pemuda penipu itu.

“Hei … mau kau bawa ke mana aku? Belok!” teriak Suji Angkara manakala merasakan Ginggi menuntun kuda lurus mengikuti jalan pedati berbalay.

Madi menggetok belakang kepala Ginggi sebagai tanda teguran atas kesalahan pemuda itu.

“Maaf Raden…” gumam Ginggi membelokkan kuda dan berjalan menyusuri lorong yang diapit dua benteng.

Satu bulan sudah berlalu pula. Dan selama itu, Ginggi masih “bekerja” di puri Suji Angkara. Selama pemuda itu tinggal di sana, sudah banyak pengetahuan didapat mengenai situasi Pakuan. Ki Bagus Seta, murid kedua Ki Darma sebenarnya hampir lima tahun bekerja sebagai muhara, yaitu pejabat yang bertugas mengurusi seba (pajak) negara. Hampir sepuluh tahun lamanya dia mengabdi di Pakuan dan karirnya meningkat pesat. Ki Bagus Seta bisa bernasib demikian baik karena di samping berkepandaian tinggi juga pandai mempengaruhi seorang bangsawan kerabat dekat raja, yaitu Bangsawan Soka.

Menurut pengamatan Ginggi yang didapat dari percakapan orang lain dan kemudian masuk ke telinganya, antara Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta terbentuk persahabatan yang sangat erat. Keduanya dikenal sebagai sepasang pejabat yang amat kuat pengaruhnya di Pakuan. Menurut khabar, berbagai kebijakan raja yang ada hubungannya dengan ketatanegaraan, boleh dikata lahir dari sepasang pejabat itulah. Gagasan sepasang pejabat ini menurut pengamatan beberapa pejabat lainnya terkadang dinilai terlalu berani sehingga mengakibatkan berbagai ketidak-puasan di sementara pejabat istana.

Contoh paling jelas adalah kebijakan dalam memungut seba, Seba yang ditarik ke Pakuan dinilai beberapa penguasa daerah (kerajaan kecil yang berada di bawah kekuasaan Pajajaran) terlalu membebani mereka, sehingga banyak rakyat menderita karena pajak-pajak tinggi. Mengenai seba atau pajak yang demikian tinggi sempat menjadi bahan perdebatan di balai penghadapan raja. Sebagian pejabat mengkhawatirkan bahwa dengan adanya kebijakan pajak yang demikian tinggi akan mengurangi kecintaan raja-raja kecil ke Pakuan. Apalagi akhir-akhir ini tengah terjadi perebutan pengaruh dengan penguasa-penguasa yang memiliki agama baru.

Bila kerajaan-kerajaan kecil merasa terus-terusan ditekan agar kekayaan daerah lebih banyak ditarik ke pusat, mereka lambat-laun akan melepaskan diri dan bergabung dengan agama baru itu. Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta menolak kekhawatiran ini. Menurut kedua pejabat ini, memang benar ada beberapa kerajaan kecil yang sudah berpaling dari Pajajaran dan memilih bergabung dengan pengkuasa agama baru. Tapi menurut kedua pejabat itu, yang melepaskan diri dari Pajajaran adalah negara-negara kecil yang letaknya jauh dari jangkauan Pakuan dan kedudukannya lebih dekat ke pusat kekuasaan agama baru.

“Mengapa mereka melepaskan diri dari kita? Ini karena kekuatan Pakuan sudah tidak seutuh dahulu. Sebelum hadir kekuatan baru, Pajajaran kuat di mana-mana, ke barat hingga ke Ujungkulon dan ke timur sampai ke Muara Cimanuk (Indramayu). Kita menguasai lautan dan pelabuhan-pelabuhan seperti Bantam (Banten), Pontang, Cigude, Cimanuk, Tangerang, dan Kalapa. Sanggup menghasilkan perdagangan antar negri sehingga kekayaan negara bisa diambil dari perdagangan seluas-luasnya. Tapi sesudah semua wilayah pantai direbut oleh penguasa baru dari Cirebon dan Banten, maka Pajajaran kehilangan penghasilan padahal tetap butuh pemasukan untuk membangun negri. Maka dari mana lagi Pakuan bias mendapatkan penghasilan bila bukan datang dari pemasukan seba ?” kata Ki Bagus Seta berbicara dibalai penghadapan raja, di hadapan para pejabat istana.

Kata Ki Bagus Seta, wajar bila pajak yang dibebankan kepada negara-negara kecil semakin meningkat, sebab di samping kebutuhan negara kini hanya bisa diambil dari sektor pajak, juga jumlah wilayah yang dimiliki Pajajaran semakin sempit. Bila pajak tak dinaikkan, penghasilan negara akan semakin kecil.

“Padahal kita tengah berjuang ingin mengembalikan kejayaan Pajajaraan seperti masa silam,” kata Ki Bagus Seta lagi.

Kata beberapa pengamat, kedua pejabat ini benar-benar berambisi ingin mengembalikan kebesaran seperti masa-masa leluhur Sunda. Untuk kepentingan ini, mereka selalu mempengaruhi Raja agar menurunkan berbagai kebijakan yang pada hematnya bisa menghasilkan berbagai keuntungan.

Rupanya Raja pun amat cocok dengan gagasan-gagasan kedua pejabat itu. Buktinya, tak ada gagasan mereka yang disetujui Raja. Bahkan Raja pun semakin percaya kepada kedua pejabat ini, sesudah keduanya melontarkan gagasan membentuk petugas-petugas terampil untuk memperjuangkan pemasukan seba dari wilayah-wilayah timur yang punya kecendrungan lebih mendekatkan diri kepada kekuasaan Cirebon.

Dikhabarkan pula, bahwa memang benar ada petugas penting yang menangani seba di wilayah timur. Ginggi cepat menduga, itulah mungkin Ki Banaspati. Hanya yang hingga kini Ginggi belum sanggup menduga adalah hubungan Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta. Kedua orang ini jelas bekerja dalam satu urusan, tapi mengapa satu sama lain seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Salah satu contoh adalah hubungannya dengan Suji Angkara. Menurut pengakuan Suji Angkara, Ki Bagus Seta adalah ayahandanya, tetapi mengapa Ki Banaspati seperti tak mengenal pemuda ini sebagai orang yang erat hubungannya dengan Ki Bagus Seta?

“Bunuhlah pemuda itu, sebab kukira dia akan membahayakan gerakan kita,” kata-kata ini dikeluarkan Ki Banaspati kepada Ginggi di Sagaraherang.

Ki Banaspati memerintahkannya untuk membunuh pemuda pesolek itu karena pertama Suji Angkara dianggap sudah tahu rahasia gerakan Ki Banaspati dan keduanya Ki Banaspati menduga Suji Angkara punya hubungan erat dengan Pakuan padahal sepengetahuannya pemuda itu hanyalah sebagai anak kepala desa saja. Ada sesuatu rahasia di sini. Paling tidak, Ki Bagus Seta pernah mencoba melakukan satu rahasia terhadap Ki Banaspati, dengan cara menyembunyikan identitas Suji Angkara terhadap Ki Banaspati. Ingin Ginggi tahu, bagaimana pendapat dan kesan Ki Banaspati bila sudah mengetahui siapa Suji Angkara sebenarnya.

Ginggi juga kini sudah mengenal siapa Bangsawan Yogascitra. Bangsawan ini masih kerabat raja juga. Di Pakuan menjadi pejabat puhawang .Puhawang adalah seorang akhli dalam mendalami ilmu teluk dan lautan. Dulu ketika zamannya Pajajaran memiliki kekuatan di lautan, maka bagian ini punya peranan amat penting. Tiga pelabuhan samudra dan tiga pelabuhan muara yang dimiliki Pajajaran secara strategis adalah hasil pekerjaan puhawang, Dan Bangsawan Yogascitra sejak muda adalah seorang puhawang yang benar-benar akhli. Dia adalah pekerja yang ulet dan jujur, serta pengabdiannya terhadap Pakuan demikian tinggi dan tanpa batas. Seluruh adipati yang menguasai enam pelabuhan besar milik Pajajaran, benar-benar segan terhadap Pangeran Yogascitra.

Sekarang di saat menjelang tua, Bangsawan Yogascitra masih tetap didudukkan sebagai pejabat dalam urusan puhawang, Suatu jabatan yang sebetulnya sudah tak terasa lagi fungsinya. Jabatan itu tetap dipertahankan karena Bangsawan Soka dan Ki Bagus Seta menginginkannya. Mengapa demikian?

“Kita harus tetap memiliki puhawang yang tangguh, sebab dengan demikian kita tetap memiliki peluang untuk menguasai teluk, muara dan lautan. Sudah aku katakana kepada Raja, bahwa Pajajaran harus dikembalikan ke masa silam. Ini hanya punya arti bahwa seluruh wilayah yang dulu pernah dikuasai Pajajaran harus kembali menjadi milik kita!” ujar Ki Bagus Seta dengan penuh semangat.

Begitu tingginya cita-cita Ki Bagus Seta, sehingga gagasan-gagasannya amat memukau Raja. Sang Prabu Ratu Sakti begitu terkesan. Siapa orang Pajajaran yang tak mau kembali ke masa kejayaannya? Kejayaan janganlah dianggap sebagai kenangan atau mimpi semata. Tapi harus dihidupkan kembali. Dan bangkitnya kejayaan Pajajaran hanya bisa dilakukan melalui perjuangan nyata. Tapi menurut Ki Bagus Seta dan Bangsawan Soka, perjuangan ini merupakan suatu perjuangan berat dan amat memerlukan bantuan dana yang amat besar. Itulah sebabnya, mengapa mereka berdua meminta persetujuan Raja untuk selalu meningkatkan pemasukan Negara melalui seba,

Bila benar penelitian Ginggi ini, maka terbukti bahwa pajak berat yang melanda ambarahayat Pajajaran karena gagasan-gagasan kedua pejabat ini. Kini Ginggi berpikir, dirinya disuruh turun gunung oleh Ki Darma untuk ikut menyelamatkan rakyat dari tekanan Raja. Barangkali benar seperti apa kata Ki Darma, bahwa Sang Prabu Ratu Sakti sejak pertama kali menggantikan tampuk pemerintahan ayahandanya Sang Prabu Ratu Dewata tujuh tahun lalu (1543 Masehi) selalu bertindak keras. Dia tak segan-segan untuk menghukum siapa saja yang dianggapnya bersalah. Tapi, tahukah Ki Darma bahwa kebijakan Sang Raja dalam menarik pajak tinggi kepada rakyat di antaranya merupakan lontaran gagasan Ki Bagus Seta, muridnya sendiri?

Ginggi menghitung waktu, Ki Darma mengundurkan diri dari urusan kenegaraan tiga tahun sebelum Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan naik tahta. Kalau Ki Bagus Seta mulai mengabdi pada Pakuan sejak lima tahun lalu, maka ada beda waktu tujuh tahun antara kepergian Ki Darma dari Pakuan dengan kedatangan Ki Bagus Seta ke tempat yang sama untuk mengabdi. Mudah diduga kalau Ki Darma tak mengetahui kegiatan murid-muridnya sebab selama itu Ki Darma menyembunyikan diri di tempat sunyi dan jauh dari kehidupan yang ramai. Hanya yang patut Ginggi puji adalah pandainya Ki Bagus Seta atau pun Ki Banaspati dalam menyembunyikan identitas dirinya masing-masing.

Waktu mereka muncul di Pakuan, adalah masa-masa di mana Ki Darma dicari dan diburu sebab dianggap memberontak. Raja pun pernah mengeluarkan titah bahwa setiap orang yang punya hubungan dengan Ki Darma kedudukannya juga disamakan dengan Ki Darma yaitu dicap sebagai pemberontak. Sekarang kedua murid Ki Darma ini malah malang-melintang sebagai pejabat penting di Pakuan. Ini hanya menandakan bahwa Raja dan kalangan istana bisa dikelabui oleh murid Ki Darma ini.

Namun pandainya mereka menyembunyikan jati diri barangkali juga karena jasa Ki Darma itu sendiri. Seperti terhadap Ginggi, barangkali kepada semua muridnya pun Ki Darma selalu memberikan pesan jangan membuka identitas. Setiap yang mendapat pelajaran dari Ki Darma diperintahkan untuk tidak sembarangan mengaku punya hubungan dengan orang tua itu. Ternyata belakangan terbukti bahwa perintah Ki Darma untuk menyembunyikan jati diri telah amat menguntungkan peranan setiap murid-muridnya.

Memang menguntungkan, kendati tetap menjadikan kebingungan bagi diri pemuda itu. Ginggi diperintah Ki Darma untuk membantu rakyat membebaskan diri dari tekanan Raja. Sedangkan di lain fihak, Ki Bagus Seta seolah-olah membantu situasi sehingga rakyat semakin tertekan hidupnya. Dalam situasi ini Ginggi bingung menempatkan posisinya, mau berada di mana sebenarnya dia?

“Kalau saudara seperguruanmu masih berjalan di atas apa yang aku amanatkan, kau ikutilah mereka,” kata Ki Darma ketika melepas dirinya pergi.

Kepala Ginggi serasa berat karena memikirkan misteri-misteri ini. Sebelum menentukan sikap, aku akan lihat perkembangannya saja, pikirnya. Yang tak kalah menimbulkan bahan pikiran adalah Suji Angkara. Tapi kini Ginggi mengkaitkan urusan pemuda ini dengan Nyimas Banyak Inten. Dengan berbagai akal dan tipu dayanya, sepertinya pemuda itu telah berhasil menundukkan gadis itu.

Gadis putri Bangsawan Yogascitra itu nampaknya terlalu jujur, terlalu mempercayai omongan orang dan mudah merasa kasihan. Ketika Ginggi hendak menyerahkan surat Suji Angkara untuk kedua kalinya, gadis itu seperti hendak menolak kehadiran cinta pemuda itu. Tapi setelah ada peristiwa penjahat memasuki purinya dan berhasil “digagalkan” Suji Angkara, sikap gadis itu mulai lunak. Terus-terang, Ginggi amat berkhawatir mengingatnya. Ginggi takut Nyimas Banyak Inten terperangkap dalam permainan cinta pemuda pembohong itu. Kalau dibiarkan, Ginggi akan membayangkan gadis itu ibarat seekor anak menjangan yang dipermainkan harimau, atau ikan kecil yang jadi santapan burung bangau. Bila permainan pemuda itu semakin sengit, Ginggi harus mencoba dan berupaya untuk menggagalkannya.

“Hati-hati, kau…” gumam Ginggi sendirian sambil bekerja menyeka kuda-kuda puri.

Hampir dua bulan ini Ginggi memang bekerja sebagai perawat kuda. Setingkat di atas badega tapi setingkat di bawah Seta dan Madi yang lebih berfungsi sebagai orang-orang kepercayaan Suji Angkara. Selama bekerja di puri ini, memang tak ada perlakuan yang jelek terhadapnya. Dalam sehari dia mendapat jatah makan dua kali. Bila Raja mengajak para bangsawan menghirup udara segar di Tajur Agung (kebun istana), Ginggi pun suka diajak serta. Dan bila semua bangsawan pesta-pora makan buah durian yang banyak ditanam di sana, Ginggi pun terlibat pesta-pora itu kendati di tempat terpisah.

Tak ada tekanan dari sang “majikan”, kecuali satu saja, Ginggi tak diperkenankan lagi menggunakan pakaian yang pernah dipergunakan sebelumnya. Sebelum datang ke Pakuan, Ginggi memang memiliki tiga stel pakaian pemberian Kuwu Wado. Ketiga stel pakaian itu termasuk jenis mahal sebab terbuat dari kain halus buatan negri sebrang. Hanya kaum bangsawan atau paling rendah golongan santana yang biasa menggunakannya. Dan ketika Suji Angkara menggantinya dengan jenis pakaian katun kasar warna hitam dengan celana sontog dan baju lengan pendek tanpa kancing, Ginggi tak banyak komentar dan menerima aturan itu.

Pemuda itu tersenyum sendiri. Semakin kenal etika orang kota, semakin ruwet menyimaknya. Kendati semua manusia dilahirkan sama, tapi akhirnya membawa tingkatan hidup berbeda. Entah siapa yang mengatur, tapi begitulah jadinya, termasuk dalam urusan pakaian. Menggunakan pakaian ternyata tidak sebebas yang dia kira. Ada semacam ukuran kelayakan. Kendati Ginggi punya pakaian bagus tapi harus diukur dulu, apakah layak dipakai olehnya? Ternyata petugas istal tak diperkenankaan secara etika memakai pakaian yang biasa dikenakan kaum bangsawan. Kaum bangsawan juga terikat etika yang sebenarnya mereka pun serasa sesak menerimanya. Karena etika menentukan bahwa kaum bangsawan harus santun dalam segala hal, termasuk urusan cinta, maka menjadikan siksaan bagi Suji Angkara. Dengan terpaksa dia ketat menjaga kebangsawanannya di muka umum, sehingga desakan-desakan birahi yang dia ingin salurkan sebebas mungkin, terpaksa dia lakukan secara gelap.

Jadi menurut Suji Angkara, kehormatan hanya diperjuangkan atau dipertontonkan di muka umum saja, sedangkan di belakang di saat umum tak mengetahuinya, dirinya tak terlalu banyak peradatan untuk melakukannya. Persis seperti Ginggi dalam menggunakan pakaiannya. Hanya ketika selama di depan orang banyak saja dia memakai baju orang kebanyakan. Sedangkan di saat pergi tidur, pakaian bagus yang pantas dikenakan kaum santana itu dia pakai tidur. Barangkali di saat tidur sendirian di bangunan samping istal, etika tak berlaku lagi.

Suatu senja Ginggi dipanggil menghadap. Sudah beberapa kali dia dipanggil bila Suji Angkara memang punya keperluan khusus terhadapnya. Namun pemanggilan kali ini menimbulkan perhatian besar ke dalam hatinya.

“Tiba saatnya kau bertugas di puri ayahku, Ginggi,” kata Suji Angkara sambil duduk bersila dengan tubuh tegak berwibawa.

Di hadapannya tergelar penganan yang cocok disantap senja hari yaitu ulen ketan bakar dan minuman kopi panas di cangkir logam berukir indah yang asapnya mengepul ke udara dan menimbulkan aroma sedap. Ginggi hanya duduk bersila saja di lantai bawah dengan kepala tertunduk.

“Sudah kukatakan sejak dua bulan lalu bahwa kau akan bekerja di puri Bangsawan Bagus Seta. Tapi selama ini kau ku uji dulu di sini agar aku tahu, sejauh mana kesetiaanmu padaku,” kata pemuda itu.

Ginggi masih tetap mendengarkan sambil menunduk dan tanpa komentar.

“Namun sebelum kau kukirim ke sana, perlu aku jelaskan sesuatu,” lanjutnya lagi menatap Ginggi. “Sekalipun kau sehari-hari bekerja di sana, tapi sebenarnya kau adalah orangku. Dengan perkataan lain, kendati kau tinggal di sana akan tetapi kau sebetulnya bekerja untukku!”

Ginggi mengangkat wajah dan menatap Suji Angkara. “Saya belum mengerti maksudmu, Raden …” katanya. Ginggi berkata seperti ini memang bukan sekadar basa-basi, melainkan benar-benar belum paham maksud pemuda itu.

“Engkau bekerja untukku dalam memata-matai kegiatan yang ada di puri Bagus Seta!” kata Suji Angkara berkata sungguh-sungguh.

“Memata-matai…?” Ginggi bergumam mengulangi ucapan pemuda itu.

“Ya, kau bekerja di sana sebagai mata-mata untuk kepentinganku,’ kata Suji Angkara lagi.

“Mengapa saya harus memata-matai ayahandamu sendiri, Raden?” tanya Ginggi heran.

Suji Angkara tepekur sejenak. Dia mendekap sebelah dada bagian kanan dengan tangan kirinya, sedangkan yang kanan memegangi dagunya.

“Ki Bagus Seta hanyalah ayah tiriku semata, sebab aku sebenarnya anak seorang kuwu…” gumam Suji Angkara seperti melamun.

“Pasti engkau putra Kuwu Suntara di Desa Cae, Raden,” kata Ginggi.

Suji Angkara menganggukkan kepalanya sehingga ornamen warna emas yang dikenakan di bagian muka bendo bergoyang-goyang indah.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment