“Saya mohon diri… Saya mohon diri… Maafkan saya, Tuan Putri…” berkali-kali Ginggi bicara terbata-bata atau setengah bergumam. Hatinya marah, menyesal juga sedih. Tanpa mendapatkan jawaban dari gadis itu, Ginggi cepat-cepat menjinjing keranjang bambu dan alat sabitnya, berlalu dari tempat itu.
Tiba di kediaman Suji Angkara, ternyata sudah didapatkan Nyimas Layang Kingkin bercakap-cakap dengan Suji Angkara. Kedua orang kakak-beradik itu terlibat percakapan yang nampaknya amat penting sekali. Ginggi akan segera berjingkat dari tempat itu kalau saja Suji Angkara tak memanggilnya. Maka Ginggi menghampirinya. Sesudah berada di atas beranda berlantai papan jati mengkilap, Ginggi menghadap sambil beringsut, kemudian menyembah takzim.
“Bagaimana, apa kau sampaikan suratku padanya?” tanya Suji Angkara.
Terbayang wajah cemas ketika Ginggi memandangnya. “Ampun Raden, saya tak berani menyampaikannya, ditaman banyak orang…” Kata Ginggi sambil melirik ke arah Nyimas Layang Kingkin.
“Bagus! Aku malah khawatir bila surat itu kau sampaikan…” Suji Angkara bernapas lega.
“Tapi seharusnya kau sampaikan surat itu, Ginggi. Biar Nyimas banyak Inten tahu bahwa kakakku menyimpan harapan padanya,” kata Nyimas Layang Kingkin menyela.
“Hus, engkau ceroboh Nyimas! Bagaimana mungkin aku berani mati mencintai gadis yang sedang digandrungi Sang Susuhunan?” Suji Angkara menegur adiknya.
“Tapi kanda, di Pakuan ini bertebaran putri cantik. Sang Susuhunan bisa leluasa memilih yang mana saja kalau beliau tahu Nyimas banyak Inten telah ada yang punya,” sanggah Nyimas Layang Kingkin menatap tajam kakaknya.
Tapi yang ditatap hanya menghela nafas. Ada kerut-merut di dahinya. Mungkin pemuda tampan itu sedang bingung atau mungkin juga tengah berpikir sesuatu. Hanya yang jelas, ada semacam kebimbangan yang mendera hatinya. Barangkali pemuda itu sedang tergoda untuk memikirkan apa yang diucapkan adiknya.
“Entahlah…aku bingung memikirkannya, Dinda,” gumam Suji Angkara terpekur.
“Tidak cintakah Kanda pada Nyimas Banyak Inten?” tanya Nyimas Layang Kingkin mendesak.
Ditanya begitu, Suji Angkara menghela nafas. Dia berdiri dari duduknya dan berjalan menuju jendela. Sesampainya di tepi jendela, pemuda itu termangu-mangu sambil menatap taman belakang rumahnya. Di sana terhampar lapangan rumput. Tidak begitu luas tapi di sana-sini diberi hiasan-hiasan tanaman bunga beraneka warna. Ada beberapa ekor angsa berjalan-jalan di tepi kolam dan sesekali menjulurkan patuknya ke permukaan tepi kolam.
“Cintaku selalu kelabu, Dinda…” gumam Suji Angkara hampir seperti berbisik dan menyerupai sebuah ucapan untuk dirinya sendiri saja.
“Perjuangkanlah cintamu itu. Kalau Kanda benar-benar mengharapkan kehadiran Nyimas Banyak Inten dalam kebahagiaan hidupmu, jangan melakukannya dengan setengah hati. Raihlah sampai apa yang Kanda cita-citakan berhasil kau dapatkan!” kata lagi Nyimas Layang Kingkin.
“Sudah sejak lama aku mendambakan cintanya. Tapi semakin aku mengharapkannya, semakin besar tantangannya. Untuk mendapatkan gadis itu, aku harus bersaing dengan Raja…” gumam pemuda itu lagi mengeluh.
“Tapi Dinda akan selalu berdoa di kuil agar cintamu terlaksana dengan sempurna, Kanda….” ujar Nyimas Layang Kingkin sungguh-sungguh.
“Kau amat baik padaku, adikku. Aku pun akan berdoa setiap waktu agar cintamu tak kurang suatu apa…” kata Suji Angkara menatap wajah Nyimas Layang Kingkin.
Tapi gadis itu nampak menunduk lesu sekali pun pada akhirnya dia tersenyum tipis. Ginggi yang menyimak percakapan kedua orang itu tidak bisa menduga, apa pula yang ada di hati gadis berwajah bulat telur ini. Namun Ginggi serasa punya naluri, bahwa gadis itu pun memiliki sesuatu yang tengah dirahasiakannya.
Percakapan kedua kakak-beradik itu terhenti ketika mereka melirik ke arah Ginggi. Rupanya mereka baru sadar bahwa ada orang ketiga di ruangan itu. Suji Angkara nampak mengerutkan dahi, sepertinya tak senang dengan kehadiran Ginggi di sana.
“Mengapa kau berada di sini, hei duruwiksa ?” tanya Suji Angkara dengan suara sedikit ketus.
“Bukankah saya tadi dipanggil olehmu, Raden?” jawab Ginggi.
Suji Angkara tersenyum, sepertinya dia baru ingat bahwa memang tadi dia menahan Ginggi untuk tidak meninggalkan tempat itu.
“Cepat kembalikan daun nipah itu padaku,” kata Suji Angkara pada akhirnya.
Ginggi menyerahkan surat yang sedianya diserahkan pada Nyimas Banyak Inten. Lembaran daun nipah yang sudah diikat benang warna hitam itu serta-merta diremas-remasnya sehingga hancur.
Pemuda itu rupanya belum puas. Dia segera mengambil paneker dan bulu lunglum, kemudian segera membuat api. Surat daun nipah segera dibakarnya habis. Semua perbuatan Suji hanya disaksikan saja oleh adiknya.
“Aku amat mencintainya. Adakah cara terbaik agar aku bisa memiliki gadis itu…?” gumam Suji pelan tapi nadanya mengandung rasa penasaran amat sangat.
Tiba di kediaman Suji Angkara, ternyata sudah didapatkan Nyimas Layang Kingkin bercakap-cakap dengan Suji Angkara. Kedua orang kakak-beradik itu terlibat percakapan yang nampaknya amat penting sekali. Ginggi akan segera berjingkat dari tempat itu kalau saja Suji Angkara tak memanggilnya. Maka Ginggi menghampirinya. Sesudah berada di atas beranda berlantai papan jati mengkilap, Ginggi menghadap sambil beringsut, kemudian menyembah takzim.
“Bagaimana, apa kau sampaikan suratku padanya?” tanya Suji Angkara.
Terbayang wajah cemas ketika Ginggi memandangnya. “Ampun Raden, saya tak berani menyampaikannya, ditaman banyak orang…” Kata Ginggi sambil melirik ke arah Nyimas Layang Kingkin.
“Bagus! Aku malah khawatir bila surat itu kau sampaikan…” Suji Angkara bernapas lega.
“Tapi seharusnya kau sampaikan surat itu, Ginggi. Biar Nyimas banyak Inten tahu bahwa kakakku menyimpan harapan padanya,” kata Nyimas Layang Kingkin menyela.
“Hus, engkau ceroboh Nyimas! Bagaimana mungkin aku berani mati mencintai gadis yang sedang digandrungi Sang Susuhunan?” Suji Angkara menegur adiknya.
“Tapi kanda, di Pakuan ini bertebaran putri cantik. Sang Susuhunan bisa leluasa memilih yang mana saja kalau beliau tahu Nyimas banyak Inten telah ada yang punya,” sanggah Nyimas Layang Kingkin menatap tajam kakaknya.
Tapi yang ditatap hanya menghela nafas. Ada kerut-merut di dahinya. Mungkin pemuda tampan itu sedang bingung atau mungkin juga tengah berpikir sesuatu. Hanya yang jelas, ada semacam kebimbangan yang mendera hatinya. Barangkali pemuda itu sedang tergoda untuk memikirkan apa yang diucapkan adiknya.
“Entahlah…aku bingung memikirkannya, Dinda,” gumam Suji Angkara terpekur.
“Tidak cintakah Kanda pada Nyimas Banyak Inten?” tanya Nyimas Layang Kingkin mendesak.
Ditanya begitu, Suji Angkara menghela nafas. Dia berdiri dari duduknya dan berjalan menuju jendela. Sesampainya di tepi jendela, pemuda itu termangu-mangu sambil menatap taman belakang rumahnya. Di sana terhampar lapangan rumput. Tidak begitu luas tapi di sana-sini diberi hiasan-hiasan tanaman bunga beraneka warna. Ada beberapa ekor angsa berjalan-jalan di tepi kolam dan sesekali menjulurkan patuknya ke permukaan tepi kolam.
“Cintaku selalu kelabu, Dinda…” gumam Suji Angkara hampir seperti berbisik dan menyerupai sebuah ucapan untuk dirinya sendiri saja.
“Perjuangkanlah cintamu itu. Kalau Kanda benar-benar mengharapkan kehadiran Nyimas Banyak Inten dalam kebahagiaan hidupmu, jangan melakukannya dengan setengah hati. Raihlah sampai apa yang Kanda cita-citakan berhasil kau dapatkan!” kata lagi Nyimas Layang Kingkin.
“Sudah sejak lama aku mendambakan cintanya. Tapi semakin aku mengharapkannya, semakin besar tantangannya. Untuk mendapatkan gadis itu, aku harus bersaing dengan Raja…” gumam pemuda itu lagi mengeluh.
“Tapi Dinda akan selalu berdoa di kuil agar cintamu terlaksana dengan sempurna, Kanda….” ujar Nyimas Layang Kingkin sungguh-sungguh.
“Kau amat baik padaku, adikku. Aku pun akan berdoa setiap waktu agar cintamu tak kurang suatu apa…” kata Suji Angkara menatap wajah Nyimas Layang Kingkin.
Tapi gadis itu nampak menunduk lesu sekali pun pada akhirnya dia tersenyum tipis. Ginggi yang menyimak percakapan kedua orang itu tidak bisa menduga, apa pula yang ada di hati gadis berwajah bulat telur ini. Namun Ginggi serasa punya naluri, bahwa gadis itu pun memiliki sesuatu yang tengah dirahasiakannya.
Percakapan kedua kakak-beradik itu terhenti ketika mereka melirik ke arah Ginggi. Rupanya mereka baru sadar bahwa ada orang ketiga di ruangan itu. Suji Angkara nampak mengerutkan dahi, sepertinya tak senang dengan kehadiran Ginggi di sana.
“Mengapa kau berada di sini, hei duruwiksa ?” tanya Suji Angkara dengan suara sedikit ketus.
“Bukankah saya tadi dipanggil olehmu, Raden?” jawab Ginggi.
Suji Angkara tersenyum, sepertinya dia baru ingat bahwa memang tadi dia menahan Ginggi untuk tidak meninggalkan tempat itu.
“Cepat kembalikan daun nipah itu padaku,” kata Suji Angkara pada akhirnya.
Ginggi menyerahkan surat yang sedianya diserahkan pada Nyimas Banyak Inten. Lembaran daun nipah yang sudah diikat benang warna hitam itu serta-merta diremas-remasnya sehingga hancur.
Pemuda itu rupanya belum puas. Dia segera mengambil paneker dan bulu lunglum, kemudian segera membuat api. Surat daun nipah segera dibakarnya habis. Semua perbuatan Suji hanya disaksikan saja oleh adiknya.
“Aku amat mencintainya. Adakah cara terbaik agar aku bisa memiliki gadis itu…?” gumam Suji pelan tapi nadanya mengandung rasa penasaran amat sangat.
“Ya, Kanda harus memilikinya. Carilah akal yang paling baik. Kita harus berani mengalahkan Sang Prabu tanpa menyakitinya, Kanda…” kata Nyimas Layang Kingkin mendesak dan penuh harap.
Malam hari Ginggi tidur sendirian di sebuah ruangan berlantai tanah, berdempetan dengan istal kuda. Malam demikian dingin sebab langit nampak jernih tak terhalang mega sedikit pun. Kalau Ginggi mau menengok ke halaman, suasana sudah demikian sunyi. Hanya suara binatang malam saja yang terdengar di semak-semak.
Di malam yang dingin dan membuat tulang-tulang sumsum terasa ngilu, seharusnya tak membuat betah orang-orang berkeliaran di luar rumah. Barangkali yang paling pantas adalah membungkus tubuh dengan selimut tebal, tidur meringkuk hingga badan melipat, atau bila mereka sepasang suami-istri, maka dinginnya malam mereka usir dengan cara tidur saling peluk. Namun tentu saja tak semua orang telah beruntung menjadi sepasang suami-istri. Seta dan Madi misalnya, entah kapan mereka akan menjadi seorang suami yang mendapatkan kebahagiaan dari istri tercinta di malam dingin seperti ini.
Ginggi sendiri tidak pernah mencita-citakan suasana seperti itu. Baginya, punya istri dan membangun rumah-tangga adalah sebuah pekerjaan besar yang amat memerlukan pengorbanan. Menyinta saja tanpa dicinta wanita adalah sebuah siksaan. Tapi, dicinta wanita tanpa bisa membalas cintanya juga sebuah derita. Terbayang di mata Ginggi wajah gadis pemilik kedai di Tanjungpura. Gadis itu hanya dalam sehari-semalam saja telah berani menyatakan cintanya. Tidak melalui ucapan langsung. Tapi sorotan matanya yang penuh harap, ucapan-ucapannya yang seperti mengikat, segalanya membeberkan perasaan hatinya,
“Kalau engkau kembali lagi ke Tanjungpura, ayah amat menantikanmu,” kata gadis itu yang sengaja mencegatnya di tengah jalan saat Ginggi akan meninggalkan Tanjungpura.
Mulanya gadis itu mencurigainya sebagi pemuda ugal-ugalan yang senang mengganggu wanita. Namun setelah belakangan terbukti bahwa Ginggi seorang yang sopan terhadap wanita, maka gadis itu berbalik 180 derajat. Ini derita buat Ginggi, sebab dirinya tak tega membayangkan bahwa gadis itu kini tengah hidup dalam penantian dan harapan kosong. Pemuda itu tak pernah menolak tapi juga tak pernah menjanjikan sesuatu. Cinta itu sendiri bagi Ginggi hanyalah sebuah kegelapan. Dia tak pernah tahu, apa sebenarnya cinta itu. Seperti kelelawar mencari makanan di malam hari, di saat tak ada cahaya apa pun yang memberi tahu.
Kelelawar hanya makan makanan yang dirasa di mulut enak dan manis. Tapi makanan apa itu sebenarnya, dia sendiri pun tak tahu sebab semua yang dimakannya selalu di saat keadaan gelap-gulita. Dan menurut Ginggi, cinta itu sendiri pun gulita. Dia tak tahu, apakah cinta yang dirasakannya benar-benar murni atau palsu belaka. Ginggi teringat kembali peristiwa aib di hutan kecil di Desa Cae setahun lalu. Bersama Nyi Santimi dia terperosok ke jurang cinta yang hanya mementingkan nafsu lahiriyah belaka. Ketika gejolak birahi meninggi dan bergelombang, serasa itulah cinta. Tapi ketika segalanya sudah berlalu, berlalu pulalah perasaan cintanya. Ginggi tak percaya bila yang namanya cinta hanya sebatas kenikmatan lahiriyah saja. Itulah sebabnya, ketika gejolak darah sudah tak menggelegak lagi, pemuda itu segera sadar dari kekeliruannya. Ginggi menyesal. Dan celakanya, rasa sesalnya hanya ditampilkannya lewat perbuatan pengecut. Ginggi lari menghindar dari kungkungan cinta yang dianggapnya palsu, kendati sampai kini dia sebetulnya tak bisa lepas dari kuntitan dosa.
Sekarang perasaan-perasaan yang sebetulnya dibencinya telah mulai lagi merobek-robek hatinya. Tak kepalang tanggung, perasaannya kini tergoda wajah anggun Nyimas Banyak Inten, putri bangsawan yang banyak diperebutkan setiap ksatria Pakuan. Tidak kepalang tanggung, yang memendam rasa dan cita-cita untuk memetik kembang Taman Mila Kancana itu adalah juga Sang Prabu Ratu Sakti, penguasa Pakuan.
Kalau Ginggi tetap bertahan dengan perasaannya yang sebetulnya dianggap menyebalkan ini, berarti dia harus bersaing dengan Raja, dengan banyak ksatria Pakuan, termasuk juga bersaing dengan Suji Angkara. Suji Angkara? Ginggi serentak bangun dari tidurnya. Dia duduk di atas dipannya. Benarkah Suji Angkara juga menyinta Nyimas Banyak Inten secara sungguh-sungguh? Ginggi memicingkan sepasang matanya karena berpikir keras. Suji Angkara sejak awal dicurigainya sebagai pemuda misterius. Bukan saja peranannya di Pakuan sebagai apa, tapi juga tindak-tanduknya yang erat kaitannya dengan urusan wanita.
Sejak mulai dari Desa Cae setahun yang lalu, Ginggi sudah mendapatkan sesuatu keganjilan yaitu di mana ada Suji Angkara, di situ terjadi peristiwa yang menyangkut wanita. Di Desa Cae, di Tanjungpura dan baru-baru ini di puri milik Bangsawan Yogascitra kendati tidak sempat menjadi peristiwa yang menggegerkan karena baru terpegok Ki Banen. Dan Ki Banen walau pun tidak bisa meyakinkan secara pasti tapi tetap menaruh curiga bahwa Suji Angkara secara gelap memasuki puri Yogascitra. Ki Banen curiga, Suji Angkara akan ganggu Nyimas Banyak Inten.
Ginggi menjadi bimbang. Mungkin saja dia bercuriga bahwa Suji Angkara gemar berbuat tak senonoh terhadap wanita. Tapi bukankah pemuda itu mengaku bahwa cintanya tulus terhadap Nyimas Banyak Inten. Tapi amat mustahil seorang yang memiliki cinta tulus nekad melakukan hal yang tak senonoh? Bila mengingat hal-hal yang seperti ini, Ginggi menjadi semakin tak percaya bila Suji Angkara gemar melampiaskan birahi secara jahat. Pemuda itu kaya dan tampan. Sehari-harinya senang berpakaian bagus, anak pejabat lagi. Mustahil tak ada seorang wanita pun yang menyintainya secara benar terhadapnya. Mustahil tak ada wanita yang mau melayani cintanya secara wajar sehingga memaksa pemuda itu melakukan tindakan tak senonoh. Ya, bisa saja seorang lelaki melakukan tindakan berahi secara tak terpuji bila dia sudah merasa bahwa dirinya rendah, takut tak dihargai bahkan takut dibenci wanita. Mungkinkah pemuda itu mempunyai perasaan rendah diri seperti yang Ginggi pikirkan?
Ginggi mengingat-ingat obrolannya beberapa waktu lalu dengan pemuda itu. Tidak, Suji Angkara sebenarnya tidak punya sikap rendah diri. Dia adalah lelaki yang selalu ceria tapi sedikit angkuh. Bila di hadapan umum dia selalu menampilkan dirinya sebagai kaum bangsawan yang terhormat, pandai menjaga diri dan taat kepada etika kebangsawanannya. Di hadapan umum dia adalah benar-benar seorang bangsawan yang pandai membawa diri, hormat terhadap sesama juga terhadap wanita. Sampai di sini, Ginggi tersentak kaget. Suji Angkara benar-benar pandai menjaga kehormatan di hadapan umum. Ya. Di muka umum. Kalau di belakang bagaimana? Ginggi jadi teringat ucapan Nyi Santimi di Desa Cae dulu yang mengatakan takut terhadap perangai Suji Angkara.
“Raden Suji bila di muka orang banyak nampak sopan terhadap wanita, tapi bila kebetulan sedang berduaan matanya tajam sedikit jalang, sepertinya sorot matanya sanggup menembus pakaian dan menjilati seluruh tubuh yang dilihatnya. Mulutnya senyum meyeringai dan nafasnya sedikit memburu, membuat bulu kuduk merinding,” kata Nyi Santimi ketika itu.
Ginggi juga ingat perkataan Suji Angkara, bahwa menjadi bangsawan itu berat. Perilaku harus dijaga, sebab sedikit melanggar saja, sesama bangsawan akan tersinggung. Kata-kata Suji Angkara terdengar seperti kecewa bahwa dia dilahirkan sebagai bangsawan atau sekurang-kuranmgnya kecewa sebab dia berada di lingkungan kaum bangsawan yang ketat dengan berbagai aturan. Sepertinya pemuda itu merasa terkungkung dengan kebangsawanannya. Dan bila menyimak “keluhannya” pemuda itu, seolah-olah membuktikan bahwa di muka umum dia ketat memegang etika sebagai bangsawan karena keterikatan saja, karena terpaksa saja. Sedangkan hatinya berontak, sedangkan dirinya ingin bebas melakukan apa saja, termasuk…termasuk apa? Tidakkah juga termasuk melakukan percintaan dengan bebas seperti kuda binal?
Ginggi dengar, di wilayah Kandagalante Sagaraherang malam hari ada pesta makan dan minum bahkan pesta berahi sebab di sana tersedia wanita-wanita penghibur. Dari sekian orang pengawal barang-barang seba, hanya dua orang yang tidak bermain cinta. Pertama Seta karena dia setia terhadap Nyi Santimi calon istrinya, dan kedua Suji Angkara. Karena apa? Ya, karena dia harus menjaga etika kebangsawanannya. Kalau dia ketika itu menerima tawaran tuan rumah yang sengaja menjamunya dengan wanita penghibur, maka akan rusaklah mutu kebangsawanannya.
Tidak, Suji Angkara tak mau bermain wanita di muka umum. Bila di belakang bagaimana? Ginggi teringat lagi kesaksian badega Juragan Ilun Rosa yang putrinya mati bunuh diri. Dua malam sebelum peristiwa, Suji Angkara dipergoki tengah mencumbu dan merayu anak gadis Juragan Ilun untuk melakukan hubungan suami-istri. Gadis itu walau pun tersinggung tapi menolak dengan sopan dan mengatakan dirinya sudah bertunangan dengan pemuda bernama Purbajaya. Sesudah terjadi penolakan, maka musibah datang. Gadis itu esok malamnya bunuh diri dan di samping mayatnya ada surat daun nipah yang isinya menerangkan bahwa Purbajaya pamitan kepada kekasihnya akan melakukan pernikahan dengan gadis bangsawan Pakuan. Seolah-olah surat itulah pembawa bencana bunuh dirinya gadis itu. Betulkah bunuh diri karena putus asa ditinggal kekasih, atau mati bunuh diri karena diperkosa? Atau dibunuh setelah diperkosa terlebih dahulu?
Ada titik-titik terang yang memandu Ginggi. Bila pemuda itu akan tetap mencurigai Suji Angkara sebagai penjahat berahi, maka alasan-alasannya cukup jelas, mengapa pemuda itu melakukan perbuatan cabul. Ya, dia sebetulnya laki-laki biasa yang lemah terhadap godaan kecantikan wanita. Tapi karena dia seorang bangsawan, harus menjaga etika kebangsawanannya. Namun sebetulnya dia tak bisa menjaganya. Apalagi di lain fihak bila harus menyintai wanita secara berterang, pemuda itu beberapa kali tersandung batu. Seperti pernah diungkapkannya terhadap Ginggi, bahwa Suji Angkara beberapa kali merasa sakit hati karena ditolak cintanya.
Bermain cinta secara wajar dia tidak bisa, tapi mencari wanita penghibur secara terang-terangan dia takut kebangsawanannya ternoda. Maka satu-satunya jalan dalam mencurahkan hasrat berahinya, dia lakukan tindakan-tindakan gelap. Ya, mungkin begitu, termasuk kepada Nyimas Banyak Inten yang menolak cintanya.
Hah? Terhadap Nyimas Banyak Inten? Ginggi kembali tersentak. Suji Angkara amat menyinta Nyimas Banyak Inten, tapi dia menghadapi hambatan berat. Selain gadis itu menolak cintanya, juga ada halangan amat besar, dia harus bersaing dengan Raja.
“Aku amat mencintainya. Adakah cara terbaik agar bias memiliki gadis itu…?” tanya Suji Angkara ketika itu. Dan Ginggi masih ingat saran-saran Nyimas Layang Kingkin kepada kakaknya.
“Ya, Kanda harus memilikinya. Carilah akal yang paling baik. Kita harus berani mengalahkan Sang Prabu tanpa menyakitinya,” begitu tutur Nyimas Layang Kingkin ketika itu.
Nyimas Layang Kingkin begitu mendesak-desak agar kakaknya tak putus asa dalam mendapatkan cintanya. Adakah ucapan ini punya makna? Atau, akankah ucapan ini dijadikan makna oleh Suji Angkara untuk melakukan sesuatu agar cintanya terlaksana? Ginggi tertegun dengan jalan pikirannya ini. Kalau benar dugaannya, ada beberapa kemungkinan yang akan dilakukan Suji Angkara. Pertama dia akan meminta dengan halus terhadap Sang Prabu, atau menggantikannya dengan gadis lain yang sekiranya Sang Prabu sama menghargainya. Atau kedua, Suji Angkara akan berlaku nekad, memperlakukan Nyimas Banyak Inten secara diam-diam, yang penting hasrat cintanya tersalurkan.
Ginggi serentak bangun. Dengan perasaan tak keruan dia keluar rumah. Di halaman keadaan cukup gelap sebab beberapa penerangan sudah kehilangan minyak bakar. Ada cahaya dari ribuan bintang-gemintang tapi tidak akan sanggup menerangi bumi. Dengan dada berdebar kencang Ginggi berlari. Yang dituju adalah puri Bangsawan Yogascitra.
Ya, Ginggi harus ke sana agar kekhawatirannya tidak terbukti. Ginggi takut sekali perkiraannya benar, sebab kalau semua dihubung-hubungkan, ada kecenderungan Suji Angkara melakukan tindakan yang membahayakan keselamatan Nyimas Banyak Inten. Pemuda itu diduga akan mendahului “mengambil” Nyimas Banyak Inten secara gelap bila secara terang-terangan dia tak akan bias mendapatkannya. Ginggi teringat kecurigaan Ki Banen bahwa Suji Angkara pernah menyelundup masuk ke puri Bangsawan Yogascitra. Kalau ini benar, bukan tidak mungkin dia akan kembali mengulangi tindakannya.
Ginggi meloncat-loncat di atas kuta (benteng) untuk memotong perjalanan. Dan segera meloncat ke atas dahan pohon bila berpapasan dengan rombongan tugur (ronda). Ginggi tidak memastikan bahwa malam ini Suji Angkara akan menyelundup masuk ke puri Bangsawan Yogascitra. Tapi Ginggi perlu menjaganya agar kejahatan pemuda itu tidak berlangsung. Kalau tak terjadi malam ini mungkin besok, atau lusa, atau mungkin kapan saja. Tapi kapan pun itu terjadi, Ginggi harus berusaha menjaga dan menggagalkannya. Dan untuk itu terpaksa dia harus memata-matainya. Kalau mungkin, setiap malam dia akan mengawasi puri Bangsawan Yogascitra.
Sekarang Ginggi sudah tiba di belakang puri. Dia tak pernah keluyuran memasuki wilayah puri ini. Namun melihat beberapa bangunan yang terdapat di sana, Ginggi bisa mengira-ngira, mana kediaman pemilik puri dan mana bangunan-bangunan yang biasanya hanya dihuni para badega atau pelayan. Bangunan-bangunan di sana amat kokoh, terbuat dari jati pilihan. Atapnya dibuat dari sirap hitam dan beberapa bagian berupa atap ijuk.
Suasana demikian sunyi sebab rupanya semua orang sudah terlelap dalam mimpi. Tapi Ginggi telah memiliki ilmu yang Ki Darma namai sebagai Hiliwir Sumping Ketika di Puncak Cakrabuana. Ginggi kerap kali diajarkan ini. Dia belajar menulikan telinga di saat banyak terdengar suara keras, atau sebaliknya harus sanggup mendengar sesuatu di saat sunyi. Dari kepandaian seperti ini, Ginggi bias memilah-milah, suara seputarnya. Maka dari sekian jenis suara, mulai dari suara jangkrik bernyanyi sampai bunyi dengkur, pemuda itu bisa melakukannya.
Ketika dia pergunakan ilmu tersebut, sempat mendengar bunyi aneh. Ginggi memiring-miringkan kepalanya, menggerak-gerakkan daun telinganya. Ada suara desah dan bisikan parau. Sebentar kemudian suara itu berganti menjadi kekeh halus seperti tertahan-tahan. Ginggi meloncat seperti kucing, mendekati arah suara itu. Datangnya di sebuah kamar di sudut bangunan besar. Di bagian sudutnya ada jendela. Ginggi memeriksa dengan hati-hati. Jendela itu tidak terkunci. Ditelitinya sudut-sudut daun jendela.
Terkesiap pemuda itu sebab jendela jelas dibuka dari luar. Ginggi mencoba membuka jendela sedikit-sedikit dan amat pelan. Didalam ruangan amat remang-remang sebab cahaya pelita sungguh kecil. Tapi biar begitu remang Ginggi bisa menyaksikan sebuah pemandangan yang membuat darahnya naik ke ubun-ubun. Di sebuah ranjang kayu berukir terbaring seorang gadis dan sepertinya tidur pulas. Sedangkan di sisinya duduk seorang pemuda. Pemuda itu berusaha menanggalkan pakaian gadis itu.
“Hhh… Nyimas… Nyimas… Kau jangan siksa aku! Jangan biarkan aku hidup penuh derita. Mengapa kau tolak aku … mengapa kau pilih Sang Prabu…”
Pemuda itu sudah berhasil menanggalkan sebagian pakaian gadis itu yang nampaknya tetap tidur pulas. Namun sebelum niat jahatnya terlaksana, Ginggi sudah melontarkan sebuah kerikil ke arah pundak pemuda itu.
“Aduhhh!” pemuda itu berseru kaget.
Serentak dia berjingkat dan meloncat ke arah jendela. Namun begitu dia keluar dari lubang jendela serta-merta disambut oleh pukulan telapak tangan terbuka.
“Plak!”
Terdengar jerit kesakitaan dan tubuh pemuda itu terlontar menubruk dinding kayu dan menimbulkan suara keras. Rupanya suara ribut-ribut ini sudah mulai terdengar oleh peronda, bahkan oleh orang-orang yang sedang tidur. Ada banyak kaki berlari ke arah tempat itu. Namun sebelum mereka tiba, Ginggi sudah meloncat pergi ke arah kegelapan malam.
“Ada apa ini? Ada apa ini?” penjaga berteriak-teriak sambil meneliti tempat itu.
“Tolong! Ada penjahat! Ada penjahat mau mengganggu rumah ini! Dia lari ke sana! Ohh…” suara ini hanya sayup-sayup ditangkap telinga Ginggi sebab dia sendiri sudah melarikan diri menjauhi tempat itu.
Esok harinya saja Ginggi mendengar ribut-ribut bahwa Suji Angkara telah “berhasil” menggagalkan penjahat yang akan memasuki puri Bangsawan Yogascitra.
“Tapi Raden terluka oleh serangan penjahat itu. Sekarang dia dirawat di puri Pangeran Yogascitra!” kata Madi yang mengabarkan berita ini kepada Seta.
Ginggi menatap wajah Seta yang sedikit heran kendati rasa terkejut dan khawatirnya nampak nyata.
“Mari kita lihat keadaan Raden…” kata Madi sesudah termangu sejenak.
“Mari!” jawab Ginggi dengan semangat.
“Eh, aku tak mengajakmu tolol!” umpat Madi ketus.
“Tugasmu memandikan kuda, mengapa ikut-ikutan ribut?”
“Kau sendiri pun hari ini punya tugas, mengapa ikut ribut ingin mengetahui keadaan Raden Suji?” jawab Ginggi, selalu ingin mempermainkan pemuda itu yang selalu angkuh padanya.
“Setan, Raden Suji adalah atasanku. Kalau ada apa-apa terhadapnya aku ikut bertanggungjawab!” teriak Madi kesal.
“Aku juga anak buahnya. Apa yang kau rasakan kali ini, juga sama aku rasakan!” kata Ginggi tak mau kalah.
“Sialan kau!” umpat Madi mendelik.
“Biarlah, tak apa dia ikut. Lagi pula untuk apa ribut-ribut dengan pemuda dungu ini?” kata Seta yang kendati masih menampilkan keangkuhannya namun mau juga berkata bijaksana.
Akhirnya ketiga pemuda itu pergi ke puri Bangsawan Yogascitra. Seta dan Madi jalan berdampingan dan Ginggi ikut di belakang. Benar saja Suji Angkara di rumah Pangeran Yogascitra nampak terbaring dengan jidat dibebat kain. Menurut keterangan para penjaga, Suji Angkara berjuang mati-matian menggagalkan penjahat yang akan mengganggu ketentraman puri Bangsawan Yogascitra. Namun penjahat itu amat licik dan kejam. Kata penjaga, kalau Suji Angkara tidak memiliki kepandaian, barangkali nyawanya tidak akan tertolong.
“Penjahat itu memang kejam, sepertinya dia hendak membunuhku karena kesal niat jahatnya aku gagalkan…” kata Suji Angkara sedikit terengah-engah, mungkin merasakan sesuatu yang sakit di tubuhnya.
Kalau aku berniat membunuhmu, maka batok kepalamu akan berantakan, tidak sekadar benjut saja, kata Ginggi dalam hatinya. Namun perkataan yang keluar melalui mulutnya lain lagi.
“Engkau sungguh mulia Raden, mau berpayah-payah menjadi tugur di puri Pangeran Yogascitra,” kata Ginggi. “Penjahat itu mau mencuri apa sebetulnya?” sambungnya lagi seraya menatap Suji Angkara.
Sejenak mulut Suji Angkara seperti terpatri. Namun seterusnya hanya erangan-erangan kecil yang menghiasi mulutnya. Peristiwa apa yang sebenarnya terjadi, semua orang hampir-hampir tidak mengetahuinya. Berita yang tersebar dari mulut ke mulut hanya menyebutkan bahwa ke puri Bangsawan Yogascitra ada penjahat yang berusaha masuk untuk melakukan pencurian. Secuil pun tak ada yang mengabarkan peristiwa yang sebenarnya. Ginggi menduga, barangkali kejadian sebenarnya, yaitu percobaan perkosaan terhadap Nyimas Banyak Inten telah diketahui, minimal penghuni puri. Namun untuk menjaga aib, peristiwa itu tidak dikemukakan kepada orang luar.
Tiga hari kemudian Madi, Seta dan Ginggi mendapatkan perintah untuk menjemput Suji Angkara yang dikabarkan lukanya sudah agak membaik. Ketika Ginggi tiba di puri Bangsawan Yogascitra, mendapatkan Suji Angkara sudah membuka bebatnya. Namun luka itu belum benar-benar sembuh. Jidat Suji Angkara nampak bengkak dan ada benjolan sebesar telur ayam berwarna hijau. Namun Ginggi agak bercekat hatinya sebab Suji Angkara nampak dilayani makan oleh Nyimas Banyak Inten. Gadis itu begitu sopan dan hati-hati dalam melayani pemuda benjut itu. Dan Ginggi panas hatinya ketika Nyimas Banyak Inten menyuapi Suji Angkara dengan penuh perhatian. Gadis itu baru berhenti menyuapi ketika ada rombongan anak buah Suji Angkara datang menjemput. Dengan tersipu-sipu gadis itu hendak berlalu dari ruangan itu.
“Tak usah pergi Nyimas, mereka hanyalah orang-orangku semata,” kata Suji Angkara sopan tapi bernada penuh kemenangan.
Nyimas Banyak Inten duduk bersimpuh di tepi pembaringan Suji Angkara. Tak lama kemudian ke ruangan itu hadir pula beberapa orang. Mereka terdiri dari dua pemuda dan satu orang tua setengah baya. Yang seorang Ginggi sudah kenal yaitu Banyak Angga. Tapi pemuda satunya lagi Ginggi tak tahu siapa dia. Sedangkan orang tua setengah baya itu, Ginggi hanya menduga-duga saja. Barangkali inilah Pangeran Yogascitra, seorang bangsawan Pakuan masih kerabat raja.
Bila Ginggi tak lupa, sebetulnya dia pernah melihat bangsawan ini di panggung kehormatan alun-alun benteng luar ketika terjadi uji keterampilan prajurit dalam rangka mencari calon perwira pengawal raja. Waktu itu Pangeran Yogascitra duduk di deretan kaum bangsawan.
Ginggi belum memastikan bahwa lelaki setengah baya ini Pangeran Yogascitra. Tapi melihat penampilannya yang gagah menggunakan baju beludru senting bedahan lima dan kepala dibungkus bendo kain batik hihinggulan berornamen perak, memberi tanda bahwa dia bangsawan tinggi. Ginggi pun semakin yakin bahwa orang tua ini benar-benar orang yang dihormati di puri ini. Terbukti Suji Angkara pun serentak bangun dan berupaya menyembah takzim. Semua orang sudah menyembah lebih dahulu tak terkecuali Ginggi.
“Sudahlah Raden, kau tak perlu susah payah untuk berbasa-basi sepeti itu,” kata orang tua berkumis tipis agak memutih ini.
“Saya orang muda, sudah seharusnya memberi penghormatan ini,” kata Suji Angkara halus dan sopan.
Orang tua itu hanya mengangguk-angguk biasa. Selanjutnya dia memeriksa kesehatan pemuda itu dengan bertanya itu dan ini.
Malam hari Ginggi tidur sendirian di sebuah ruangan berlantai tanah, berdempetan dengan istal kuda. Malam demikian dingin sebab langit nampak jernih tak terhalang mega sedikit pun. Kalau Ginggi mau menengok ke halaman, suasana sudah demikian sunyi. Hanya suara binatang malam saja yang terdengar di semak-semak.
Di malam yang dingin dan membuat tulang-tulang sumsum terasa ngilu, seharusnya tak membuat betah orang-orang berkeliaran di luar rumah. Barangkali yang paling pantas adalah membungkus tubuh dengan selimut tebal, tidur meringkuk hingga badan melipat, atau bila mereka sepasang suami-istri, maka dinginnya malam mereka usir dengan cara tidur saling peluk. Namun tentu saja tak semua orang telah beruntung menjadi sepasang suami-istri. Seta dan Madi misalnya, entah kapan mereka akan menjadi seorang suami yang mendapatkan kebahagiaan dari istri tercinta di malam dingin seperti ini.
Ginggi sendiri tidak pernah mencita-citakan suasana seperti itu. Baginya, punya istri dan membangun rumah-tangga adalah sebuah pekerjaan besar yang amat memerlukan pengorbanan. Menyinta saja tanpa dicinta wanita adalah sebuah siksaan. Tapi, dicinta wanita tanpa bisa membalas cintanya juga sebuah derita. Terbayang di mata Ginggi wajah gadis pemilik kedai di Tanjungpura. Gadis itu hanya dalam sehari-semalam saja telah berani menyatakan cintanya. Tidak melalui ucapan langsung. Tapi sorotan matanya yang penuh harap, ucapan-ucapannya yang seperti mengikat, segalanya membeberkan perasaan hatinya,
“Kalau engkau kembali lagi ke Tanjungpura, ayah amat menantikanmu,” kata gadis itu yang sengaja mencegatnya di tengah jalan saat Ginggi akan meninggalkan Tanjungpura.
Mulanya gadis itu mencurigainya sebagi pemuda ugal-ugalan yang senang mengganggu wanita. Namun setelah belakangan terbukti bahwa Ginggi seorang yang sopan terhadap wanita, maka gadis itu berbalik 180 derajat. Ini derita buat Ginggi, sebab dirinya tak tega membayangkan bahwa gadis itu kini tengah hidup dalam penantian dan harapan kosong. Pemuda itu tak pernah menolak tapi juga tak pernah menjanjikan sesuatu. Cinta itu sendiri bagi Ginggi hanyalah sebuah kegelapan. Dia tak pernah tahu, apa sebenarnya cinta itu. Seperti kelelawar mencari makanan di malam hari, di saat tak ada cahaya apa pun yang memberi tahu.
Kelelawar hanya makan makanan yang dirasa di mulut enak dan manis. Tapi makanan apa itu sebenarnya, dia sendiri pun tak tahu sebab semua yang dimakannya selalu di saat keadaan gelap-gulita. Dan menurut Ginggi, cinta itu sendiri pun gulita. Dia tak tahu, apakah cinta yang dirasakannya benar-benar murni atau palsu belaka. Ginggi teringat kembali peristiwa aib di hutan kecil di Desa Cae setahun lalu. Bersama Nyi Santimi dia terperosok ke jurang cinta yang hanya mementingkan nafsu lahiriyah belaka. Ketika gejolak birahi meninggi dan bergelombang, serasa itulah cinta. Tapi ketika segalanya sudah berlalu, berlalu pulalah perasaan cintanya. Ginggi tak percaya bila yang namanya cinta hanya sebatas kenikmatan lahiriyah saja. Itulah sebabnya, ketika gejolak darah sudah tak menggelegak lagi, pemuda itu segera sadar dari kekeliruannya. Ginggi menyesal. Dan celakanya, rasa sesalnya hanya ditampilkannya lewat perbuatan pengecut. Ginggi lari menghindar dari kungkungan cinta yang dianggapnya palsu, kendati sampai kini dia sebetulnya tak bisa lepas dari kuntitan dosa.
Sekarang perasaan-perasaan yang sebetulnya dibencinya telah mulai lagi merobek-robek hatinya. Tak kepalang tanggung, perasaannya kini tergoda wajah anggun Nyimas Banyak Inten, putri bangsawan yang banyak diperebutkan setiap ksatria Pakuan. Tidak kepalang tanggung, yang memendam rasa dan cita-cita untuk memetik kembang Taman Mila Kancana itu adalah juga Sang Prabu Ratu Sakti, penguasa Pakuan.
Kalau Ginggi tetap bertahan dengan perasaannya yang sebetulnya dianggap menyebalkan ini, berarti dia harus bersaing dengan Raja, dengan banyak ksatria Pakuan, termasuk juga bersaing dengan Suji Angkara. Suji Angkara? Ginggi serentak bangun dari tidurnya. Dia duduk di atas dipannya. Benarkah Suji Angkara juga menyinta Nyimas Banyak Inten secara sungguh-sungguh? Ginggi memicingkan sepasang matanya karena berpikir keras. Suji Angkara sejak awal dicurigainya sebagai pemuda misterius. Bukan saja peranannya di Pakuan sebagai apa, tapi juga tindak-tanduknya yang erat kaitannya dengan urusan wanita.
Sejak mulai dari Desa Cae setahun yang lalu, Ginggi sudah mendapatkan sesuatu keganjilan yaitu di mana ada Suji Angkara, di situ terjadi peristiwa yang menyangkut wanita. Di Desa Cae, di Tanjungpura dan baru-baru ini di puri milik Bangsawan Yogascitra kendati tidak sempat menjadi peristiwa yang menggegerkan karena baru terpegok Ki Banen. Dan Ki Banen walau pun tidak bisa meyakinkan secara pasti tapi tetap menaruh curiga bahwa Suji Angkara secara gelap memasuki puri Yogascitra. Ki Banen curiga, Suji Angkara akan ganggu Nyimas Banyak Inten.
Ginggi menjadi bimbang. Mungkin saja dia bercuriga bahwa Suji Angkara gemar berbuat tak senonoh terhadap wanita. Tapi bukankah pemuda itu mengaku bahwa cintanya tulus terhadap Nyimas Banyak Inten. Tapi amat mustahil seorang yang memiliki cinta tulus nekad melakukan hal yang tak senonoh? Bila mengingat hal-hal yang seperti ini, Ginggi menjadi semakin tak percaya bila Suji Angkara gemar melampiaskan birahi secara jahat. Pemuda itu kaya dan tampan. Sehari-harinya senang berpakaian bagus, anak pejabat lagi. Mustahil tak ada seorang wanita pun yang menyintainya secara benar terhadapnya. Mustahil tak ada wanita yang mau melayani cintanya secara wajar sehingga memaksa pemuda itu melakukan tindakan tak senonoh. Ya, bisa saja seorang lelaki melakukan tindakan berahi secara tak terpuji bila dia sudah merasa bahwa dirinya rendah, takut tak dihargai bahkan takut dibenci wanita. Mungkinkah pemuda itu mempunyai perasaan rendah diri seperti yang Ginggi pikirkan?
Ginggi mengingat-ingat obrolannya beberapa waktu lalu dengan pemuda itu. Tidak, Suji Angkara sebenarnya tidak punya sikap rendah diri. Dia adalah lelaki yang selalu ceria tapi sedikit angkuh. Bila di hadapan umum dia selalu menampilkan dirinya sebagai kaum bangsawan yang terhormat, pandai menjaga diri dan taat kepada etika kebangsawanannya. Di hadapan umum dia adalah benar-benar seorang bangsawan yang pandai membawa diri, hormat terhadap sesama juga terhadap wanita. Sampai di sini, Ginggi tersentak kaget. Suji Angkara benar-benar pandai menjaga kehormatan di hadapan umum. Ya. Di muka umum. Kalau di belakang bagaimana? Ginggi jadi teringat ucapan Nyi Santimi di Desa Cae dulu yang mengatakan takut terhadap perangai Suji Angkara.
“Raden Suji bila di muka orang banyak nampak sopan terhadap wanita, tapi bila kebetulan sedang berduaan matanya tajam sedikit jalang, sepertinya sorot matanya sanggup menembus pakaian dan menjilati seluruh tubuh yang dilihatnya. Mulutnya senyum meyeringai dan nafasnya sedikit memburu, membuat bulu kuduk merinding,” kata Nyi Santimi ketika itu.
Ginggi juga ingat perkataan Suji Angkara, bahwa menjadi bangsawan itu berat. Perilaku harus dijaga, sebab sedikit melanggar saja, sesama bangsawan akan tersinggung. Kata-kata Suji Angkara terdengar seperti kecewa bahwa dia dilahirkan sebagai bangsawan atau sekurang-kuranmgnya kecewa sebab dia berada di lingkungan kaum bangsawan yang ketat dengan berbagai aturan. Sepertinya pemuda itu merasa terkungkung dengan kebangsawanannya. Dan bila menyimak “keluhannya” pemuda itu, seolah-olah membuktikan bahwa di muka umum dia ketat memegang etika sebagai bangsawan karena keterikatan saja, karena terpaksa saja. Sedangkan hatinya berontak, sedangkan dirinya ingin bebas melakukan apa saja, termasuk…termasuk apa? Tidakkah juga termasuk melakukan percintaan dengan bebas seperti kuda binal?
Ginggi dengar, di wilayah Kandagalante Sagaraherang malam hari ada pesta makan dan minum bahkan pesta berahi sebab di sana tersedia wanita-wanita penghibur. Dari sekian orang pengawal barang-barang seba, hanya dua orang yang tidak bermain cinta. Pertama Seta karena dia setia terhadap Nyi Santimi calon istrinya, dan kedua Suji Angkara. Karena apa? Ya, karena dia harus menjaga etika kebangsawanannya. Kalau dia ketika itu menerima tawaran tuan rumah yang sengaja menjamunya dengan wanita penghibur, maka akan rusaklah mutu kebangsawanannya.
Tidak, Suji Angkara tak mau bermain wanita di muka umum. Bila di belakang bagaimana? Ginggi teringat lagi kesaksian badega Juragan Ilun Rosa yang putrinya mati bunuh diri. Dua malam sebelum peristiwa, Suji Angkara dipergoki tengah mencumbu dan merayu anak gadis Juragan Ilun untuk melakukan hubungan suami-istri. Gadis itu walau pun tersinggung tapi menolak dengan sopan dan mengatakan dirinya sudah bertunangan dengan pemuda bernama Purbajaya. Sesudah terjadi penolakan, maka musibah datang. Gadis itu esok malamnya bunuh diri dan di samping mayatnya ada surat daun nipah yang isinya menerangkan bahwa Purbajaya pamitan kepada kekasihnya akan melakukan pernikahan dengan gadis bangsawan Pakuan. Seolah-olah surat itulah pembawa bencana bunuh dirinya gadis itu. Betulkah bunuh diri karena putus asa ditinggal kekasih, atau mati bunuh diri karena diperkosa? Atau dibunuh setelah diperkosa terlebih dahulu?
Ada titik-titik terang yang memandu Ginggi. Bila pemuda itu akan tetap mencurigai Suji Angkara sebagai penjahat berahi, maka alasan-alasannya cukup jelas, mengapa pemuda itu melakukan perbuatan cabul. Ya, dia sebetulnya laki-laki biasa yang lemah terhadap godaan kecantikan wanita. Tapi karena dia seorang bangsawan, harus menjaga etika kebangsawanannya. Namun sebetulnya dia tak bisa menjaganya. Apalagi di lain fihak bila harus menyintai wanita secara berterang, pemuda itu beberapa kali tersandung batu. Seperti pernah diungkapkannya terhadap Ginggi, bahwa Suji Angkara beberapa kali merasa sakit hati karena ditolak cintanya.
Bermain cinta secara wajar dia tidak bisa, tapi mencari wanita penghibur secara terang-terangan dia takut kebangsawanannya ternoda. Maka satu-satunya jalan dalam mencurahkan hasrat berahinya, dia lakukan tindakan-tindakan gelap. Ya, mungkin begitu, termasuk kepada Nyimas Banyak Inten yang menolak cintanya.
Hah? Terhadap Nyimas Banyak Inten? Ginggi kembali tersentak. Suji Angkara amat menyinta Nyimas Banyak Inten, tapi dia menghadapi hambatan berat. Selain gadis itu menolak cintanya, juga ada halangan amat besar, dia harus bersaing dengan Raja.
“Aku amat mencintainya. Adakah cara terbaik agar bias memiliki gadis itu…?” tanya Suji Angkara ketika itu. Dan Ginggi masih ingat saran-saran Nyimas Layang Kingkin kepada kakaknya.
“Ya, Kanda harus memilikinya. Carilah akal yang paling baik. Kita harus berani mengalahkan Sang Prabu tanpa menyakitinya,” begitu tutur Nyimas Layang Kingkin ketika itu.
Nyimas Layang Kingkin begitu mendesak-desak agar kakaknya tak putus asa dalam mendapatkan cintanya. Adakah ucapan ini punya makna? Atau, akankah ucapan ini dijadikan makna oleh Suji Angkara untuk melakukan sesuatu agar cintanya terlaksana? Ginggi tertegun dengan jalan pikirannya ini. Kalau benar dugaannya, ada beberapa kemungkinan yang akan dilakukan Suji Angkara. Pertama dia akan meminta dengan halus terhadap Sang Prabu, atau menggantikannya dengan gadis lain yang sekiranya Sang Prabu sama menghargainya. Atau kedua, Suji Angkara akan berlaku nekad, memperlakukan Nyimas Banyak Inten secara diam-diam, yang penting hasrat cintanya tersalurkan.
Ginggi serentak bangun. Dengan perasaan tak keruan dia keluar rumah. Di halaman keadaan cukup gelap sebab beberapa penerangan sudah kehilangan minyak bakar. Ada cahaya dari ribuan bintang-gemintang tapi tidak akan sanggup menerangi bumi. Dengan dada berdebar kencang Ginggi berlari. Yang dituju adalah puri Bangsawan Yogascitra.
Ya, Ginggi harus ke sana agar kekhawatirannya tidak terbukti. Ginggi takut sekali perkiraannya benar, sebab kalau semua dihubung-hubungkan, ada kecenderungan Suji Angkara melakukan tindakan yang membahayakan keselamatan Nyimas Banyak Inten. Pemuda itu diduga akan mendahului “mengambil” Nyimas Banyak Inten secara gelap bila secara terang-terangan dia tak akan bias mendapatkannya. Ginggi teringat kecurigaan Ki Banen bahwa Suji Angkara pernah menyelundup masuk ke puri Bangsawan Yogascitra. Kalau ini benar, bukan tidak mungkin dia akan kembali mengulangi tindakannya.
Ginggi meloncat-loncat di atas kuta (benteng) untuk memotong perjalanan. Dan segera meloncat ke atas dahan pohon bila berpapasan dengan rombongan tugur (ronda). Ginggi tidak memastikan bahwa malam ini Suji Angkara akan menyelundup masuk ke puri Bangsawan Yogascitra. Tapi Ginggi perlu menjaganya agar kejahatan pemuda itu tidak berlangsung. Kalau tak terjadi malam ini mungkin besok, atau lusa, atau mungkin kapan saja. Tapi kapan pun itu terjadi, Ginggi harus berusaha menjaga dan menggagalkannya. Dan untuk itu terpaksa dia harus memata-matainya. Kalau mungkin, setiap malam dia akan mengawasi puri Bangsawan Yogascitra.
Sekarang Ginggi sudah tiba di belakang puri. Dia tak pernah keluyuran memasuki wilayah puri ini. Namun melihat beberapa bangunan yang terdapat di sana, Ginggi bisa mengira-ngira, mana kediaman pemilik puri dan mana bangunan-bangunan yang biasanya hanya dihuni para badega atau pelayan. Bangunan-bangunan di sana amat kokoh, terbuat dari jati pilihan. Atapnya dibuat dari sirap hitam dan beberapa bagian berupa atap ijuk.
Suasana demikian sunyi sebab rupanya semua orang sudah terlelap dalam mimpi. Tapi Ginggi telah memiliki ilmu yang Ki Darma namai sebagai Hiliwir Sumping Ketika di Puncak Cakrabuana. Ginggi kerap kali diajarkan ini. Dia belajar menulikan telinga di saat banyak terdengar suara keras, atau sebaliknya harus sanggup mendengar sesuatu di saat sunyi. Dari kepandaian seperti ini, Ginggi bias memilah-milah, suara seputarnya. Maka dari sekian jenis suara, mulai dari suara jangkrik bernyanyi sampai bunyi dengkur, pemuda itu bisa melakukannya.
Ketika dia pergunakan ilmu tersebut, sempat mendengar bunyi aneh. Ginggi memiring-miringkan kepalanya, menggerak-gerakkan daun telinganya. Ada suara desah dan bisikan parau. Sebentar kemudian suara itu berganti menjadi kekeh halus seperti tertahan-tahan. Ginggi meloncat seperti kucing, mendekati arah suara itu. Datangnya di sebuah kamar di sudut bangunan besar. Di bagian sudutnya ada jendela. Ginggi memeriksa dengan hati-hati. Jendela itu tidak terkunci. Ditelitinya sudut-sudut daun jendela.
Terkesiap pemuda itu sebab jendela jelas dibuka dari luar. Ginggi mencoba membuka jendela sedikit-sedikit dan amat pelan. Didalam ruangan amat remang-remang sebab cahaya pelita sungguh kecil. Tapi biar begitu remang Ginggi bisa menyaksikan sebuah pemandangan yang membuat darahnya naik ke ubun-ubun. Di sebuah ranjang kayu berukir terbaring seorang gadis dan sepertinya tidur pulas. Sedangkan di sisinya duduk seorang pemuda. Pemuda itu berusaha menanggalkan pakaian gadis itu.
“Hhh… Nyimas… Nyimas… Kau jangan siksa aku! Jangan biarkan aku hidup penuh derita. Mengapa kau tolak aku … mengapa kau pilih Sang Prabu…”
Pemuda itu sudah berhasil menanggalkan sebagian pakaian gadis itu yang nampaknya tetap tidur pulas. Namun sebelum niat jahatnya terlaksana, Ginggi sudah melontarkan sebuah kerikil ke arah pundak pemuda itu.
“Aduhhh!” pemuda itu berseru kaget.
Serentak dia berjingkat dan meloncat ke arah jendela. Namun begitu dia keluar dari lubang jendela serta-merta disambut oleh pukulan telapak tangan terbuka.
“Plak!”
Terdengar jerit kesakitaan dan tubuh pemuda itu terlontar menubruk dinding kayu dan menimbulkan suara keras. Rupanya suara ribut-ribut ini sudah mulai terdengar oleh peronda, bahkan oleh orang-orang yang sedang tidur. Ada banyak kaki berlari ke arah tempat itu. Namun sebelum mereka tiba, Ginggi sudah meloncat pergi ke arah kegelapan malam.
“Ada apa ini? Ada apa ini?” penjaga berteriak-teriak sambil meneliti tempat itu.
“Tolong! Ada penjahat! Ada penjahat mau mengganggu rumah ini! Dia lari ke sana! Ohh…” suara ini hanya sayup-sayup ditangkap telinga Ginggi sebab dia sendiri sudah melarikan diri menjauhi tempat itu.
Esok harinya saja Ginggi mendengar ribut-ribut bahwa Suji Angkara telah “berhasil” menggagalkan penjahat yang akan memasuki puri Bangsawan Yogascitra.
“Tapi Raden terluka oleh serangan penjahat itu. Sekarang dia dirawat di puri Pangeran Yogascitra!” kata Madi yang mengabarkan berita ini kepada Seta.
Ginggi menatap wajah Seta yang sedikit heran kendati rasa terkejut dan khawatirnya nampak nyata.
“Mari kita lihat keadaan Raden…” kata Madi sesudah termangu sejenak.
“Mari!” jawab Ginggi dengan semangat.
“Eh, aku tak mengajakmu tolol!” umpat Madi ketus.
“Tugasmu memandikan kuda, mengapa ikut-ikutan ribut?”
“Kau sendiri pun hari ini punya tugas, mengapa ikut ribut ingin mengetahui keadaan Raden Suji?” jawab Ginggi, selalu ingin mempermainkan pemuda itu yang selalu angkuh padanya.
“Setan, Raden Suji adalah atasanku. Kalau ada apa-apa terhadapnya aku ikut bertanggungjawab!” teriak Madi kesal.
“Aku juga anak buahnya. Apa yang kau rasakan kali ini, juga sama aku rasakan!” kata Ginggi tak mau kalah.
“Sialan kau!” umpat Madi mendelik.
“Biarlah, tak apa dia ikut. Lagi pula untuk apa ribut-ribut dengan pemuda dungu ini?” kata Seta yang kendati masih menampilkan keangkuhannya namun mau juga berkata bijaksana.
Akhirnya ketiga pemuda itu pergi ke puri Bangsawan Yogascitra. Seta dan Madi jalan berdampingan dan Ginggi ikut di belakang. Benar saja Suji Angkara di rumah Pangeran Yogascitra nampak terbaring dengan jidat dibebat kain. Menurut keterangan para penjaga, Suji Angkara berjuang mati-matian menggagalkan penjahat yang akan mengganggu ketentraman puri Bangsawan Yogascitra. Namun penjahat itu amat licik dan kejam. Kata penjaga, kalau Suji Angkara tidak memiliki kepandaian, barangkali nyawanya tidak akan tertolong.
“Penjahat itu memang kejam, sepertinya dia hendak membunuhku karena kesal niat jahatnya aku gagalkan…” kata Suji Angkara sedikit terengah-engah, mungkin merasakan sesuatu yang sakit di tubuhnya.
Kalau aku berniat membunuhmu, maka batok kepalamu akan berantakan, tidak sekadar benjut saja, kata Ginggi dalam hatinya. Namun perkataan yang keluar melalui mulutnya lain lagi.
“Engkau sungguh mulia Raden, mau berpayah-payah menjadi tugur di puri Pangeran Yogascitra,” kata Ginggi. “Penjahat itu mau mencuri apa sebetulnya?” sambungnya lagi seraya menatap Suji Angkara.
Sejenak mulut Suji Angkara seperti terpatri. Namun seterusnya hanya erangan-erangan kecil yang menghiasi mulutnya. Peristiwa apa yang sebenarnya terjadi, semua orang hampir-hampir tidak mengetahuinya. Berita yang tersebar dari mulut ke mulut hanya menyebutkan bahwa ke puri Bangsawan Yogascitra ada penjahat yang berusaha masuk untuk melakukan pencurian. Secuil pun tak ada yang mengabarkan peristiwa yang sebenarnya. Ginggi menduga, barangkali kejadian sebenarnya, yaitu percobaan perkosaan terhadap Nyimas Banyak Inten telah diketahui, minimal penghuni puri. Namun untuk menjaga aib, peristiwa itu tidak dikemukakan kepada orang luar.
Tiga hari kemudian Madi, Seta dan Ginggi mendapatkan perintah untuk menjemput Suji Angkara yang dikabarkan lukanya sudah agak membaik. Ketika Ginggi tiba di puri Bangsawan Yogascitra, mendapatkan Suji Angkara sudah membuka bebatnya. Namun luka itu belum benar-benar sembuh. Jidat Suji Angkara nampak bengkak dan ada benjolan sebesar telur ayam berwarna hijau. Namun Ginggi agak bercekat hatinya sebab Suji Angkara nampak dilayani makan oleh Nyimas Banyak Inten. Gadis itu begitu sopan dan hati-hati dalam melayani pemuda benjut itu. Dan Ginggi panas hatinya ketika Nyimas Banyak Inten menyuapi Suji Angkara dengan penuh perhatian. Gadis itu baru berhenti menyuapi ketika ada rombongan anak buah Suji Angkara datang menjemput. Dengan tersipu-sipu gadis itu hendak berlalu dari ruangan itu.
“Tak usah pergi Nyimas, mereka hanyalah orang-orangku semata,” kata Suji Angkara sopan tapi bernada penuh kemenangan.
Nyimas Banyak Inten duduk bersimpuh di tepi pembaringan Suji Angkara. Tak lama kemudian ke ruangan itu hadir pula beberapa orang. Mereka terdiri dari dua pemuda dan satu orang tua setengah baya. Yang seorang Ginggi sudah kenal yaitu Banyak Angga. Tapi pemuda satunya lagi Ginggi tak tahu siapa dia. Sedangkan orang tua setengah baya itu, Ginggi hanya menduga-duga saja. Barangkali inilah Pangeran Yogascitra, seorang bangsawan Pakuan masih kerabat raja.
Bila Ginggi tak lupa, sebetulnya dia pernah melihat bangsawan ini di panggung kehormatan alun-alun benteng luar ketika terjadi uji keterampilan prajurit dalam rangka mencari calon perwira pengawal raja. Waktu itu Pangeran Yogascitra duduk di deretan kaum bangsawan.
Ginggi belum memastikan bahwa lelaki setengah baya ini Pangeran Yogascitra. Tapi melihat penampilannya yang gagah menggunakan baju beludru senting bedahan lima dan kepala dibungkus bendo kain batik hihinggulan berornamen perak, memberi tanda bahwa dia bangsawan tinggi. Ginggi pun semakin yakin bahwa orang tua ini benar-benar orang yang dihormati di puri ini. Terbukti Suji Angkara pun serentak bangun dan berupaya menyembah takzim. Semua orang sudah menyembah lebih dahulu tak terkecuali Ginggi.
“Sudahlah Raden, kau tak perlu susah payah untuk berbasa-basi sepeti itu,” kata orang tua berkumis tipis agak memutih ini.
“Saya orang muda, sudah seharusnya memberi penghormatan ini,” kata Suji Angkara halus dan sopan.
Orang tua itu hanya mengangguk-angguk biasa. Selanjutnya dia memeriksa kesehatan pemuda itu dengan bertanya itu dan ini.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment