Ginggi masih menatap pemuda itu karena belum mengerti mengapa dia dipilih untuk mengantarkan surat.
“Aku sebetulnya tak senang rahasia hidupku diketahui orang lain. Kau tak bisa baca tulisan. Jadi kalau aku mengirim surat cinta melalui kamu, rahasia cintaku tak terbongkar,” kata Suji Angkara memberikan alasan memilih Ginggi sebagai pengirim surat.
“Biasanya surat diantar di dalam kotak kayu jati tertutup. Mengapa takut benar isi surat itu dibuka orang?” Tanya Ginggi.
“Aku tak mau mengirim surat secara resmi, mungkin aku lebih senang melayangkan surat secara diam-diam saja. Surat daun nipah akan tersusun begitu saja seperti susunan daun sirih di atas tempayan. Akan lebih aman bila dibawa oleh orang yang tak bisa baca sepertimu,” kata Suji Angkara menerangkan.
Ginggi mengangguk karena baru mengerti apa yang ada dalam pikiran pemuda yang tengah dilanda kasmaran.
“Kalau saya dipercaya, tak apa menugaskan saya mengirimkan suratmu itu, Raden,” kata Ginggi akhirnya dan hanya dibalas senyum tipis di bibir pemuda tampan itu.
Ginggi pun ikut tersenyum. Pemuda yang berkulit putih itu mau menugaskan Ginggi bukan karena percaya, tapi karena beranggapan Ginggi tak bisa baca. Akhirnya Ginggi memang diberi tugas untuk mengirimkan surat daun nipah. Dua kali banyaknya. Surat itu tidak dibungkus apa pun. Suji Angkara hanya menyuruh Ginggi agar menyelipkan saja di pinggangnya.
“Tapi awas, jangan kau perlihatkan surat ini pada siapa pun juga. Kau pun harus hati-hati, daun nipah boleh kau serahkan kepada Nyimas Banyak Inten di saat dia duduk sendirian,” kata Suji Angkara sebelum Ginggi melaksanakan tugasnya.
Tengah hari Ginggi menuntun kuda-kuda kepunyaan Suji Angkara dengan alasan akan disuruhnya merumput. Padahal yang sesungguhnya Ginggi menuju Taman Mila Kancana. Itu adalah sebuah taman istana. Hanya para putri raja beserta kerabatnya saja yang bisa bercengkrama di sana.
Kaum lelaki sebetulnya dilarang memasuki kompleks taman tanpa seizin jagabaya. Tapi Ginggi mudah akrab dengan siapa saja, termasuk dengan para jagabaya. Hampir semua jagabaya tahu belaka bahwa pemuda tampan tapi lugu dan sedikit bodoh itu adalah pekerja Suji Angkara. Hanya kaum pria dari sesama bangsawan saja yang mendapat pertanyaan agak teliti bila hendak memasuki taman. Tapi para pekerja kasar yang sudah benar-benar dipercaya tidak terlalu dipersulit untuk masuk ke taman apalagi dengan alasan jelas, misalnya hendak membersihkan rumput atau kolam taman.
Kaum lelaki golongan kebanyakan yang menjadi pekerja kasar dianggapnya tak akan berani mati mengganggu para gadis istana. Lain lagi dengan pria kaum bangsawan yang kemungkinan berani menggoda para gadis. Dan itu sebuah pelanggaran etika. Semua orang tidak membiarkan kaum bangsawan atau kerabat istana melanggar etika yang bias menjatuhkan martabat mereka.
Ini untuk yang kedua kalinya Ginggi memasuki kompleks Taman Mila Kancana dengan alas an membersihkan rumput taman sambil memberi makan kuda. Padahal yang sesungguhnya dikerjakan adalah mengirimkan surat daun nipah kepada gadis cantik putri Bangsawan Yogascitra itu.
Ginggi tidak pernah tahu, bagaimana macamnya etika surat menyurat kaum bangsawan. Tapi ketika mencuri baca surat daun nipah yang ditulis Suji Angkara, isinya begitu lugas dan terus terang dalam memaparkan maksud-maksud cintanya. Surat pertama menggambarkan kerinduan yang sangat dalam Suji Angkara terhadap Nyimas Banyak Inten. Dikatakannya, hanya kematian yaang akan menyambut nasibnya bila Nyimas Banyak Inten tidak memperhatikan cintanya.
“Ketika aku dirampok perampok ganas setiap bertugas mengirim barang-barang seba, aku hadapi segalanya dengan gagah berani, pantang mundur atau putus asa. Tapi bila jiwaku dihadang cinta, maka hatiku tak berbuat apa-apa. Bila cintaku terabaikan, maka tak ada lagi cara memupusnya selain kematian,” tutur surat itu menyebalkan. Ya, menyebalkan.
Tapi di lain fihak Ginggi pun bingung sendiri, mengapa menyebalkan bagi dirinya? Ginggi membayangkan kembali, betapa rambut hitam Nyimas Banyak Inten tersibak-sibak indah ketika angin sore di tepi leuwi Kamala Wijaya di Sungai Cihaliwung menerpanya. Betapa sepasang mata itu berbinar tajam menyorot dirinya ketika tak sengaja beradu pandang. Betapa pula mulut mungil merah merekah ketika gadis itu menertawakan dirinya ketika wajahnya berkelepotan lumpur lubuk leuwi dalam upaya menangkap ikan di sana. Dan rasanya ada semacam kemesraan tak sengaja ketika putri yang berkulit putih halus dengan sepasang pipi kemerahan itu ikut membantu membalik-balikkan ikan yang tengah dibakar Ginggi. Denyut jantung pemuda itu bergetar hebat ketika kulit tangan halus gadis itu secara tak sengaja bersinggungan dengan kulit tangannya. Gadis itu jongkok di sisinya. Dia ikut sibuk menggerak-gerakkan kipas agar api cepat menyala, sampai matanya berair kepedihan oleh asap perapian. Bahagia sekali hari itu. Sepertinya gadis bangsawan itu bukan teman baik Suji Angkara tapi merupakan sahabat dia seorang. Sekarang, gadis yang berperangai halus tapi mudah akrab itu “dilamar” orang, siapa tidak sebal?
Surat kedua yang akan diberikan Ginggi pada gadis itu bahkan lebih menyebalkan lagi isinya. Surat itu secara terang-terangan mengajak Nyimas Banyak Inten untuk melakukan pertemuan rahasia. Gila! Ada keragu-raguan Ginggi, apakah akan diberikan saja atau sebaliknya dibuang ke parit istana? Bila surat tak diserahkan, Ginggi takut rencananya dalam melakukan penyelidikan terhadap Suji Angkara akan gagal total. Bila surat tak disampaikan dan diketahui oleh Suji Angkara, dia pasti akan mendapat kemarahan pemuda bengal itu. Kalau tak dihukum pasti akan diusir pergi. Dan ini hanya akan merugikan rencananyaa saja. Padahal posisinya kini sudah amat menguntungkan karena telah dipercaya pemuda itu. Maka ingat ini, dengan berat hati akhirnya dia membawa lembaran daun nipah ke Taman Mila Kancana untuk diserahkan pada Nyimas Banyak Inten.
Taman Mila Kancana itu cukup luas. Di sana banyak pohon rindang, rumput-rumput menghijau dan semerbak macam-macam bunga karena di sana-sini terdapat hamparan bunga beraneka warna. Kolam-kolam berair jernih dengan macam-macam ikan menghiasinya.
Ginggi hadir ke tempat itu sambil berbekal keranjang bambu dan alat penyabit rumput seperti yang diatur Suji Angkara. Namun kendati penyamaran sudah sempurna, pemuda itu tidak bisa segera memberikan surat daun nipah kepada Nyimas Banyak Inten. Di dangau kecil beratap injuk di bawah pohon kecik memang dilihat Ginggi ada dua orang gadis tengah mengobrol santai. Kedua gadis itu dikelilingi para pengasuhnya, terdiri dari sekumpulan wanita setengah baya. Macam-macam tingkah mereka. Ada yang tengah merajut kain, ada juga yang memilin benang. Beberapa pengasuh malah duduk-duduk di bawah pohon sambil ngobrol kesana-kemari.
Tidak terlalu jauh Ginggi berada, namun dia jongkok menyabit rumput di tempat yang agak tersembunyi. Kedua gadis yang berpakaian mewah itu adalah Nyimas Banyak Inten dan Nyimas Layang Kingkin. Kepada Ginggi, gadis ini diperkenalkan sebagai adik Suji Angkara. Hanya bedanya, Nyimas Layang Kingkin tinggal di puri Ki Bagus Seta, ayahandanya.
Ginggi tak begitu bisa menangkap apa yang dibicarakan kedua gadis belia itu, sebab suara pengasuh terdengar lebih keras karena posisi mereka lebih dekat ke arah Ginggi.
Selagi banyak orang seperti ini, Ginggi tidak akan mungkin memberikan surat kepada Nyimas Banyak Inten. Oleh sebab itu Ginggi hanya menggerak-gerakkan penyabit rumput dengan asal-asalan, menunggu Nyimas Banyak Inten tinggal sendirian.
“Aku sebetulnya tak senang rahasia hidupku diketahui orang lain. Kau tak bisa baca tulisan. Jadi kalau aku mengirim surat cinta melalui kamu, rahasia cintaku tak terbongkar,” kata Suji Angkara memberikan alasan memilih Ginggi sebagai pengirim surat.
“Biasanya surat diantar di dalam kotak kayu jati tertutup. Mengapa takut benar isi surat itu dibuka orang?” Tanya Ginggi.
“Aku tak mau mengirim surat secara resmi, mungkin aku lebih senang melayangkan surat secara diam-diam saja. Surat daun nipah akan tersusun begitu saja seperti susunan daun sirih di atas tempayan. Akan lebih aman bila dibawa oleh orang yang tak bisa baca sepertimu,” kata Suji Angkara menerangkan.
Ginggi mengangguk karena baru mengerti apa yang ada dalam pikiran pemuda yang tengah dilanda kasmaran.
“Kalau saya dipercaya, tak apa menugaskan saya mengirimkan suratmu itu, Raden,” kata Ginggi akhirnya dan hanya dibalas senyum tipis di bibir pemuda tampan itu.
Ginggi pun ikut tersenyum. Pemuda yang berkulit putih itu mau menugaskan Ginggi bukan karena percaya, tapi karena beranggapan Ginggi tak bisa baca. Akhirnya Ginggi memang diberi tugas untuk mengirimkan surat daun nipah. Dua kali banyaknya. Surat itu tidak dibungkus apa pun. Suji Angkara hanya menyuruh Ginggi agar menyelipkan saja di pinggangnya.
“Tapi awas, jangan kau perlihatkan surat ini pada siapa pun juga. Kau pun harus hati-hati, daun nipah boleh kau serahkan kepada Nyimas Banyak Inten di saat dia duduk sendirian,” kata Suji Angkara sebelum Ginggi melaksanakan tugasnya.
Tengah hari Ginggi menuntun kuda-kuda kepunyaan Suji Angkara dengan alasan akan disuruhnya merumput. Padahal yang sesungguhnya Ginggi menuju Taman Mila Kancana. Itu adalah sebuah taman istana. Hanya para putri raja beserta kerabatnya saja yang bisa bercengkrama di sana.
Kaum lelaki sebetulnya dilarang memasuki kompleks taman tanpa seizin jagabaya. Tapi Ginggi mudah akrab dengan siapa saja, termasuk dengan para jagabaya. Hampir semua jagabaya tahu belaka bahwa pemuda tampan tapi lugu dan sedikit bodoh itu adalah pekerja Suji Angkara. Hanya kaum pria dari sesama bangsawan saja yang mendapat pertanyaan agak teliti bila hendak memasuki taman. Tapi para pekerja kasar yang sudah benar-benar dipercaya tidak terlalu dipersulit untuk masuk ke taman apalagi dengan alasan jelas, misalnya hendak membersihkan rumput atau kolam taman.
Kaum lelaki golongan kebanyakan yang menjadi pekerja kasar dianggapnya tak akan berani mati mengganggu para gadis istana. Lain lagi dengan pria kaum bangsawan yang kemungkinan berani menggoda para gadis. Dan itu sebuah pelanggaran etika. Semua orang tidak membiarkan kaum bangsawan atau kerabat istana melanggar etika yang bias menjatuhkan martabat mereka.
Ini untuk yang kedua kalinya Ginggi memasuki kompleks Taman Mila Kancana dengan alas an membersihkan rumput taman sambil memberi makan kuda. Padahal yang sesungguhnya dikerjakan adalah mengirimkan surat daun nipah kepada gadis cantik putri Bangsawan Yogascitra itu.
Ginggi tidak pernah tahu, bagaimana macamnya etika surat menyurat kaum bangsawan. Tapi ketika mencuri baca surat daun nipah yang ditulis Suji Angkara, isinya begitu lugas dan terus terang dalam memaparkan maksud-maksud cintanya. Surat pertama menggambarkan kerinduan yang sangat dalam Suji Angkara terhadap Nyimas Banyak Inten. Dikatakannya, hanya kematian yaang akan menyambut nasibnya bila Nyimas Banyak Inten tidak memperhatikan cintanya.
“Ketika aku dirampok perampok ganas setiap bertugas mengirim barang-barang seba, aku hadapi segalanya dengan gagah berani, pantang mundur atau putus asa. Tapi bila jiwaku dihadang cinta, maka hatiku tak berbuat apa-apa. Bila cintaku terabaikan, maka tak ada lagi cara memupusnya selain kematian,” tutur surat itu menyebalkan. Ya, menyebalkan.
Tapi di lain fihak Ginggi pun bingung sendiri, mengapa menyebalkan bagi dirinya? Ginggi membayangkan kembali, betapa rambut hitam Nyimas Banyak Inten tersibak-sibak indah ketika angin sore di tepi leuwi Kamala Wijaya di Sungai Cihaliwung menerpanya. Betapa sepasang mata itu berbinar tajam menyorot dirinya ketika tak sengaja beradu pandang. Betapa pula mulut mungil merah merekah ketika gadis itu menertawakan dirinya ketika wajahnya berkelepotan lumpur lubuk leuwi dalam upaya menangkap ikan di sana. Dan rasanya ada semacam kemesraan tak sengaja ketika putri yang berkulit putih halus dengan sepasang pipi kemerahan itu ikut membantu membalik-balikkan ikan yang tengah dibakar Ginggi. Denyut jantung pemuda itu bergetar hebat ketika kulit tangan halus gadis itu secara tak sengaja bersinggungan dengan kulit tangannya. Gadis itu jongkok di sisinya. Dia ikut sibuk menggerak-gerakkan kipas agar api cepat menyala, sampai matanya berair kepedihan oleh asap perapian. Bahagia sekali hari itu. Sepertinya gadis bangsawan itu bukan teman baik Suji Angkara tapi merupakan sahabat dia seorang. Sekarang, gadis yang berperangai halus tapi mudah akrab itu “dilamar” orang, siapa tidak sebal?
Surat kedua yang akan diberikan Ginggi pada gadis itu bahkan lebih menyebalkan lagi isinya. Surat itu secara terang-terangan mengajak Nyimas Banyak Inten untuk melakukan pertemuan rahasia. Gila! Ada keragu-raguan Ginggi, apakah akan diberikan saja atau sebaliknya dibuang ke parit istana? Bila surat tak diserahkan, Ginggi takut rencananya dalam melakukan penyelidikan terhadap Suji Angkara akan gagal total. Bila surat tak disampaikan dan diketahui oleh Suji Angkara, dia pasti akan mendapat kemarahan pemuda bengal itu. Kalau tak dihukum pasti akan diusir pergi. Dan ini hanya akan merugikan rencananyaa saja. Padahal posisinya kini sudah amat menguntungkan karena telah dipercaya pemuda itu. Maka ingat ini, dengan berat hati akhirnya dia membawa lembaran daun nipah ke Taman Mila Kancana untuk diserahkan pada Nyimas Banyak Inten.
Taman Mila Kancana itu cukup luas. Di sana banyak pohon rindang, rumput-rumput menghijau dan semerbak macam-macam bunga karena di sana-sini terdapat hamparan bunga beraneka warna. Kolam-kolam berair jernih dengan macam-macam ikan menghiasinya.
Ginggi hadir ke tempat itu sambil berbekal keranjang bambu dan alat penyabit rumput seperti yang diatur Suji Angkara. Namun kendati penyamaran sudah sempurna, pemuda itu tidak bisa segera memberikan surat daun nipah kepada Nyimas Banyak Inten. Di dangau kecil beratap injuk di bawah pohon kecik memang dilihat Ginggi ada dua orang gadis tengah mengobrol santai. Kedua gadis itu dikelilingi para pengasuhnya, terdiri dari sekumpulan wanita setengah baya. Macam-macam tingkah mereka. Ada yang tengah merajut kain, ada juga yang memilin benang. Beberapa pengasuh malah duduk-duduk di bawah pohon sambil ngobrol kesana-kemari.
Tidak terlalu jauh Ginggi berada, namun dia jongkok menyabit rumput di tempat yang agak tersembunyi. Kedua gadis yang berpakaian mewah itu adalah Nyimas Banyak Inten dan Nyimas Layang Kingkin. Kepada Ginggi, gadis ini diperkenalkan sebagai adik Suji Angkara. Hanya bedanya, Nyimas Layang Kingkin tinggal di puri Ki Bagus Seta, ayahandanya.
Ginggi tak begitu bisa menangkap apa yang dibicarakan kedua gadis belia itu, sebab suara pengasuh terdengar lebih keras karena posisi mereka lebih dekat ke arah Ginggi.
Selagi banyak orang seperti ini, Ginggi tidak akan mungkin memberikan surat kepada Nyimas Banyak Inten. Oleh sebab itu Ginggi hanya menggerak-gerakkan penyabit rumput dengan asal-asalan, menunggu Nyimas Banyak Inten tinggal sendirian.
Namun harapannya tak akan mencapai hasil, sebab sebelum Nyimas Layang Kingkin pergi, dari jauh ada satu rombongan lain menuju ke tempat itu. Rombongan itu hampir sepuluh orang jumlah banyaknya, laki-laki dan perempuan. Mereka berpakaian bagus-bagus. Satu orang yang berjalan tenang paling depan bahkan berpakaian amat mewah. Dia tidak memakai pakaian tertutup di bagian atasnya, namun tubuhnya yang bidang banyak dihiasi selendang sutra warna-warni. Sebagian membungkus dadanya, sebagian berkibar-kibar di tangannya. Kepala orang itu diikat hiasan beludru hitam yang banyak ditempeli ornamen emas.
Ginggi terkejut. Lelaki usia 40 tahunan berkulit putih halus berkumis tipis dengan sorot mata menyala ini, siapa lagi kalau bukan Susuhunan Pakuan, Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan? Ginggi tak salah menduga, sebab kedua orang gadis beserta pengasuhnya serempak bersimpuh di hamparan rumput hijau serta menyembah takzim kepada rombongan yang baru datang itu.
Ginggi semakin menyembunyikan dirinya, takut kalau-kalau Sang Susuhunan tersinggung oleh kelakuannya. Ingat ini, pemuda ini menjadi serba salah. Tetapi bersembunyi saja di sana akan amat berbahaya bila tiba-tiba diketahui jagabaya dia main sembunyi. Tapi keluar dari tempat itu pun sama tak enaknya. Akhirnya dia memilih tetap saja tinggal di tempat gelap oleh rimbunan pepohonan, dengan harapan kehadirannya tidak diketahui jagabaya. Namun kendati begitu, rasa penasaran tetap menggelitik hatinya. Sambil sembunyi, kepalanya diusahakan nongol dan matanya menatap ke sana. Dia ingin tahu, apa saja yang dilakukan Sang Susuhunan di taman dengan para putri bangsawan itu.
Dilihatnya Sang Raja tengah berbincang-bincang dengan kedua putri bangsawan itu. Suaranya halus dan lemah lembut, sehingga Ginggi tak sanggup mendengar ucapan raja tampan berkumis tipis itu. Yang dia saksikan, hanya senyum dan kerling mata tajam dari Sang Prabu Ratu Sakti saja. Secara bergiliran, nampak sepasang mata tajam berbinar itu melirik ke arah Nyimas Banyak Inten dengan sorot penuh kagum dan setelah itu beralih kepada Nyimas Layang Kingkin. Sedang yang diberi kerlingan mata, keduanya hanya menunduk dengan rona merah di pipi dan sesekali menyembah takzim.
Para pengawal seolah tak mendengar apa yang diucapkan Sang Prabu. Mereka hanya berdiri tegap ke segala penjuru arah dengan senjata tombak siap di tangan. Sedang para wanita yang cantik-cantik dan pakaiannya yang indah-indah itu, hanya menunduk dengan senyum simpul di mulutnya yang rata-rata manis memikat itu.
Sang Prabu tidak terlalu lama mengajak para gadis bangsawan mengobrol. Ketika raja berkulit putih dan berhidung mancung itu akan berlalu, semua orang menunduk dan menyembah takzim dan tak berani menatap muka sebelum rombongan itu benar-benar pergi meninggalkan tempat itu.
Rombongan raja berjalan ke jalan berbalay (dibuat dari susunan batu sungai) yang kebetulan lewat ke tempat Ginggi sembunyi. Maka untuk menghindari pandangan Raja dan pengawalnya, pemuda itu menggeser badannya sesuai dengan gerakan rombongan. Namun ketika rombongan sudah berjalan jauh, ada suara sepertinya gerakan benda yang ditimpukkan dari arah belakang tubuhnya. Sejenak Ginggi merasa terkejut, kalau-kalau itu sebuah serangan rahasia. Namun mendengar gerakannya, timpukan itu tidak dilakukan dengan pengerahan tenaga khusus.
“Tuk!”
Benda itu menimpuk tepat di tengkuknya. Ginggi pura-pura terkejut dan berpaling ke belakang. Terdengar cekikikan kaum wanita. Dan Ginggi akhirnya jadi ketawa sendiri. Bagaimana tak ketawa sebab yang dikiranya masih sembunyi, nyatanya tubuhnya sudah berada di tempat yang terbuka dan dengan jelas dilihat sekumpulan wanita itu.
“Hei, laki-laki ceriwis, engkau tukang intip. Berani-beraninya, ya?” teriak wanita-wanita pengasuh dengan tingkah polah macam-macam yang pada intinya mencoba menakut-nakuti Ginggi.
Pemuda itu merunduk-rundukkan badan dengan wajah penuh khawatir membuat yang melihat tertawa. Kedua putri bangsawan itu pun tersenyum sambil menutupi mulutnya.
“Ke sini kau! Namamu Ginggi, bukan? Badega (pelayan) Raden Suji, bukan? Kerjamu mengintip orang, bukan?” Salah seorang pengasuh berusia tigapuluhan nyerocos memeriksa pemuda itu.
Ginggi hanya menganguk-angguk sembarangan.
“Jadi engkau mengakui main intip orang, ya?”
“Tidak, tidak mengintip. Saya sembunyi, Bibi …!” jawab Ginggi menggeleng-gelengkan kepala.
“Kalau tidak sedang main intip mengapa kau di sini?”
“Lihatlah keranjang bambu yang ada di tangan kiriku, dan lihat pula alat penyabit rumput di tangan kananku. Dengan demikian sudah jelas, apa yang tengah aku kerjakan, Bibi …” kata Ginggi memperlihatkan kedua benda itu.
“Tapi aku tadi melihat kamu berindap-indap?”
“Saya malu diketahui Sang Susuhunan. Kalau beliau tahu saya ada di sini, wah berabe…” kata Ginggi pula.
“Tapi kamu tidak takut oleh kami, ya?”
“Wah… kalian kan baik-baik dan ramah-ramah kepada semua orang?”
“Menjilat, ya…”
“Betul, Bibi! Kalian semua ramah dan pemaaf. Bijaksana lagi!”
“Huh, cari muka,ya!”
“Saya sudah punya muka, bibi!”
“Cerewet! Mukamu jelek!” teriak wanita pengasuh itu.
Ginggi hanya garuk-garuk kepala.
“Sudahlah Bibi, jangan terus dimarahi. Dia memang tak salah,” kata Nyimas Banyak Inten halus.
Ginggi tersenyum mendengarnya, membuat Si Bibi pengasuh kembali mengomel.
“Kau ke sinilah badega…” Nyimas Layang Kingkin memanggilnya.
Ginggi merunduk-runduk datang mendekat. Dia tak berani memandang putri bangsawan ini. Namun walau pun sekilas, Ginggi pandai menilai, gadis yang hampir empat tahun di atas usianya terlihat amat jelita, sehingga Ginggi susah membedakan, mana yang paling elok, wajah Nyimas Banyak Inten ataukah Nyimas Layang Kingkin? Dua-duanya memilik sepasang mata berbinar, berhidung kecil mancung dengan cuping hidung kembang kempis serta ada lesung pipit di pipi bila keduanya tersenyum. Yang membedakan keduanya, Nyimas Banyak Inten usianya lebih belia, mungkin sekitar 15 tahun atau setahun di bawah usia Ginggi. Sedangkan Nyimas Layang Kingkin nampak lebih dewasa baik raut wajahnya, mau pun potongan tubuhnya yang lebih berisi dan membentuk.
“Ada apakah Tuan Putri …?” tanya Ginggi bersila dan menyembah takzim tanda hormat.
“Seharusnya aku yang tanya padamu, ada apakah engkau datang ke sini?” putri elok Nyimas Layang Kingkin balas bertanya.
Pemuda itu kian menunduk. Beberapa lama dia tak sanggup memberikan jawaban.
“Mengambil rumput untuk makanan kuda, ya? Kok ambil rumputnya ke sini saja?” tanya Nyimas Layang Kingkin sambil mengerling ke arah Nyimas Banyak Inten.
Ginggi juga ikut mengerling dan rona merah di pipi Nyimas Banyak Inten nampak kentara. Ginggi menunduk dan berdegup jantungnya. Rupanya hubungan Suji Angkara dan Nyimas Banyak Inten sudah diketahui orang lain, paling tidak oleh Nyimas Layang Kingkin, adik Suji Angkara.
“Tapi tak apalah ambil rumput di Taman Mila Kancana ini. Yang penting, kau jangan ganggu adikku, Nyimas Banyak Inten,” kata Nyimas Layang Kingkin penuh arti.
Kembali rona merah di wajah Nyimas Banyak Inten membayang.
“Hari sudah semakin siang, mari Bibi kita kembali ke puri. Ada burung pipit tengah menanti. Siapakah yang datang dan siapakah yang akan dipilih. Burung pipit mesti menimbang-nimbang, Bibi …” kata Nyimas Layang Kingkin kembali mengerling ke arah Nyimas Banyak Inten sambil senyum penuh arti.
Dan yang dikerling hanya menunduk malu membuat Ginggi tak mengerti apa yang sebenarnya mereka maksudkan. Tinggallah Nyimas Banyak Inten ditemani dua orang pengasuhnya. Nampak mereka semua tengah termangu-mangu membuat Ginggi tak enak hati.
“Engkau ke sini menyabit rumput, eu ….”
“Nama saya Ginggi Tuan Putri.”
“Jangan sebut aku begitu. Panggil saja Nyimas,” potong Nyimas Banyak Inten.
“Tuan Putri adalah kerabat Raja juga …” gumam Ginggi.
“Ya, tapi kerabat jauh. Kau baru boleh memanggil seperti itu kepada turunan langsung Raja saja,” kata Nyimas Banyak Inten lagi.
Ginggi tersenyum. Macam-macam kehendak keluarga bangsawan ini. Nyimas Banyak Inten seperti tak suka disebut tuan putri sedangkan Nyimas Layang Kingkin seperti kebalikannya. Mata Nyimas Layang Kingkin seperti berbinar ketika dipanggil tuan putri oleh Ginggi tadi.
“Baiklah … Nyimas” kata Ginggi akhirnya.
Nyimas Banyak Inten puas dengan kesanggupan Ginggi ini. “Engkau datang ke sini karena menyabit rumput, ya?”
Ginggi merenung tapi kemudian mengangguk.
“Terima kasih kalau engkau datang ke sini hanya menyabit rumput,” gumam Nyimas Banyak Inten seperti bicara pada diri sendiri, membuat Ginggi merasa heran.
Kini pemuda itu mengangkat wajah dan memandang muka yang bak bidadari turun dari kahyangan ini. Nyimas Banyak Inten balik menatap, rupanya tahu akan keheranan Ginggi.
“Entahlah Ginggi… aku belum memikirkan hal yang bukan-bukan…” kata Nyimas Banyak Inten masih setengah bergumam.
Ginggi menatap tajam wajah rembulan yang kini nampak murung itu. Dia tak menyadarinya bahwa tindakan ini tidak layak bila dilakukan oleh kebanyakan orang sepertinya. Namun kesadaran pemuda itu tertutup oleh gejolak rasa yang menggebu di hatinya. Rembulan itu begitu murung, begitu kelabu bagaikan ada awan tipis memoles wajahnya. Ingin sekali Ginggi jadi penguasa angin dan segera meniup jauh awan kelabu yang menutup sang rembulan. Tapi awan kelabu yang manakah yang membuat si jelita begitu murung?
“Kau katakan pada Raden Suji … aku belum memikirkan urusan seperti itu, Ginggi…” kata Nyimas Banyak Inten menghela nafas panjang.
Ginggi ingin berkata sesuatu, namun lidahnya seperti terpotong di tengah jalan. Tidak, tidak akan kukatakan perihal surat yang kubawa ini, kata Ginggi dalam hatinya. Surat itu tak pantas dibaca oleh gadis sehalus Nyimas Banyak Inten. Bayangkan, surat itu mengajak putri berperangai halus itu untuk melakukan kencan-kencan rahasia. Suji Angkara terlalu merendahkan harga diri gadis itu. Kalau surat itu diberikan kepada Nyimas Banyak Inten, Ginggi tak sanggup melihat hancurnya rasa hati gadis itu.
Bayangkanlah, wanita anggun sehalus Nyimas Banyak Inten diperlakukan Suji Angkara seolah-olah gadis itu wanita murahan dan bisa diajak apa saja. Ginggi serasa punya alasan untuk menjegal surat itu ketika Nyimas Banyak Inten bicara seperti tadi, “Aku belum memikirkan urusan seperti itu,” tentu yang dimaksudnya urusan cinta.
Bukankah tempo hari Suji Angkara pernah mengutusnya mengirim surat yang isinya permohonan agar gadis ini suka menjadi kekasih pemuda itu? Nyimas Banyak Inten telah menolaknya, berarti surat yang isinya sembrono ini tak perlu diberikan Ginggi kepada gadis itu.
“Saya mohon diri, Nyimas…?” gumam Ginggi menyembah takzim.
Nyimas Banyak Inten mengangguk lesu. Ginggi segera akan berjingkat tapi gadis itu menahannya sebentar.
“Ada apa Nyimas…?” kata Ginggi menatap wajah gadis itu.
“Bagaimana kau katakan agar Raden Suji tak tersinggung perasaannya, Ginggi?” tanya putri berdagu tipis berbibir merekah merah itu.
Ditanya seperti ini Ginggi tercenung sejenak. Ya, Ginggi pun tak tahu, omongan apa yang harus dia sampaikan kepada pemuda tampan tapi berkesan pemarah itu?
“Saya akan coba bicara benar dan wajar sehingga Raden Suji pun akan menanggapinya dengan wajar, Nyimas…” kata Ginggi.
Namun gadis itu sepertinya menyangsikan kemampuan Ginggi dalam menyampaikan maksudnya.
“Bagi laki-laki, biasanya cinta itu seperti pertandingan, Nyimas. Ada menang ada kalah. Jadi, kedua hal ini seharusnya sudah diperkirakan oleh Raden Suji,” kata Ginggi lagi.
Nyimas Banyak Inten seperti tak puas dengan ucapan Ginggi ini. Dia nampak hanya menunduk sambil memilin-milin kain yang oleh pengasuhnya tadi tengah disulam benang emas.
“Bagaimana kalau Nyimas sendiri saja yang sampaikan?” giliran pengasuhnya yang memberikan saran.
“Aku tak biasa berkunjung ke kediaman laki-laki, Bibi…” gumam gadis itu menunduk.
“Tulislah surat di daun nipah, biar saya yang menyampaikannya,” kata Ginggi.
Tapi Nyimas Banyak Inten menggelengkan kepala. “Surat suka dijadikan kenangan oleh seseorang. Kalau itu surat baik, akan dijadikan kenangan bahagia. Tapi kalau surat itu isinya buruk, hanya akan dijadikan kenangan menyedihkan. Dan aku akan merasa berdosa bila harus memaksa Raden Suji setiap saat merangkul kenangan pahit,” tutur Nyimas Banyak Inten sendu.
Gadis yang memiliki rambut ikal dan harum ini terlalu berperasaan dan akibatnya jalan pikiran menyiksanya dirinya, pikir Ginggi.
“Kalau segalanya menjadi tidak tepat, jadi harus bagaimana, Nyimas?” tanya Ginggi bingung.
Gadis itu masih termangu-mangu seperti tak sanggup mengambil keputusan. “Ginggi, begitu ruwetkah urusan cinta?” tanya gadis itu tiba-tiba.
Ginggi menatap wajah Nyimas Banyak Inten. Tapi kemudian menundukkan kepala lagi bila ingat etika di Pakuan tak membenarkan orang kebanyakan saling pandang dengan kaum bangsawan apalagi dengan para wanitanya. Namun biar pun hanya sejenak, Ginggi sanggup menerobos ke dasar lubuk hati gadis itu. Ya, melalui sorot matanya yang bening dan polos, betapa gadis itu berkata bahwa lembaran hidupnya yang putih bersih belum tergores oleh tulisan hitam tentang cinta. Gadis itu belum mengenal relung pahit-getirnya cinta. Bagaimana harus Ginggi jawab atas pertanyaannya ini. Apakah cinta itu bagaikan mega berarak-arak di langit biru, atau berupa aliran air di sungai berjeram? Pemuda itu pernah merasakannya tapi segalanya serba tak berketentuan. Dan cinta yang datang tanpa persiapan serta tanpa ancang-ancang yang tepat membuat segalanya berantakan.
“Yang membuat ruwet bukan cinta tapi manusianya itu sendiri, Nyimas…” jawab Ginggi pada akhirnya.
“Karena manusianya itu sendiri …?”
“Betul, karena cinta itu urusan hati. Dia bisa datang tanpa diundang dan pergi tanpa diusir. Cinta juga tak bias diundang dan tak bisa diusir,” kata Ginggi.
“Tidak bisa diundang dan tidak bisa diusir?”
“Kalau hati tak punya perasaan cinta, diganggu oleh apa pun kita tak tergoda. Namun sebaliknya bila di hati ada cinta, dipisahkan karena dunia terbelah pun perasaan itu tetap melekat,” kata Ginggi lagi.
“Oh, bila begitu cinta hanya derita saja…” sergah gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya, seolah yang namanya cinta terbentang di hadapannya, membendung dan menghalangi pandangan matanya.
“Engkau hanya membuat Nyimas lebih bingung saja menghadapinya anak muda. Ah, apa sih pengalamanmu bercinta, sehingga berani melontarkan petuah-petuah seperti itu?” wanita pengasuh Nyimas Banyak Inten menyela dan tak senang atas kata-kata Ginggi yang dianggapnya lancang dan terlalu sembrono memberikan berbagai petuah.
“Barangkali ucapannya ada benarnya, Bibi…” potong gadis itu seperti membela Ginggi.
“Tapi membikin Nyimas tambah ruwet saja. Nyimas berdiri di antara dua tantangan yang amat berat,” kata wanita pengasuhnya dengan ucapan serius.
“Dua tantangan berat?” Ginggi mengeryitkan dahi.
“Nyimas juga tengah dilanda kebingungan karena dicinta oleh Sang Susuhunan Pakuan!”
“Bibi!” teriak Nyimas Banyak Inten setengah menjerit dan membelalakkan matanya.
Si wanita pengasuhnya pun nampak terkejut dan baru menyadarinya, mengapa dia mengucapkan perkataan seperti itu.
“Ah, dasar engkau bocah tolol! Mengapa kau datang ke sini dan kasak-kusuk bicara soal cinta? Kau yang salah bocah gendeng!” pengasuh menyumpah-nyumpah kepada Ginggi.
Ginggi sendiri tak begitu memperhatikan sumpah serapah perempuan setengah baya itu, sebab ucapan awal dari pengasuh gadis itu sudah berdebum menimpa hatinya. Serasa menggeletar seluruh urat tubuhnya mendengar penjelasan singkat ini. Nyimas Banyak Inten juga dicintai Raja? Terpukul rasa hati pemuda itu dan serentak semangatnya jatuh seperti sebatang pohon keropos yang dilanda angin kencang.
“Maafkan saya Tuan Putri…” kata Ginggi tak terasa menyebut gadis itu dengan julukan yang sebetulnya tak disukai gadis itu. Tapi pemuda itu tak tahu, permohonan maafnya itu untuk apa. Apakah karena dia sudah berlaku sembrono memberikan petuah-petuah yang belum tentu kebenarannya, ataukah minta maaf karena … karena apa? Ginggi mencoba mengorek-orek sesuatu yang ada di lubuk hatinya. Perasaan apa yang ada di sana mengenai putri Bangsawan Yogascitra itu? Bah! Sialan benar! Dasar lelaki tak tahu diri! Apa yang kau rasakan terhadap gadis yang derajatnya ada di langit ke tujuh itu? Engkau seperti siput yang hendak mendaki ke puncak bukit, atau bagaikan anak itik yang akan menyebrangi lautan. Mana mungkin ada burung gagak minta disejajarkan dengan burung merak? Dia pun mencintai Nyimas Banyak Inten? Bah? Berkaca dululah hei lelaki dungu! Teriak Ginggi di dalam hatinya.
Ginggi terkejut. Lelaki usia 40 tahunan berkulit putih halus berkumis tipis dengan sorot mata menyala ini, siapa lagi kalau bukan Susuhunan Pakuan, Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan? Ginggi tak salah menduga, sebab kedua orang gadis beserta pengasuhnya serempak bersimpuh di hamparan rumput hijau serta menyembah takzim kepada rombongan yang baru datang itu.
Ginggi semakin menyembunyikan dirinya, takut kalau-kalau Sang Susuhunan tersinggung oleh kelakuannya. Ingat ini, pemuda ini menjadi serba salah. Tetapi bersembunyi saja di sana akan amat berbahaya bila tiba-tiba diketahui jagabaya dia main sembunyi. Tapi keluar dari tempat itu pun sama tak enaknya. Akhirnya dia memilih tetap saja tinggal di tempat gelap oleh rimbunan pepohonan, dengan harapan kehadirannya tidak diketahui jagabaya. Namun kendati begitu, rasa penasaran tetap menggelitik hatinya. Sambil sembunyi, kepalanya diusahakan nongol dan matanya menatap ke sana. Dia ingin tahu, apa saja yang dilakukan Sang Susuhunan di taman dengan para putri bangsawan itu.
Dilihatnya Sang Raja tengah berbincang-bincang dengan kedua putri bangsawan itu. Suaranya halus dan lemah lembut, sehingga Ginggi tak sanggup mendengar ucapan raja tampan berkumis tipis itu. Yang dia saksikan, hanya senyum dan kerling mata tajam dari Sang Prabu Ratu Sakti saja. Secara bergiliran, nampak sepasang mata tajam berbinar itu melirik ke arah Nyimas Banyak Inten dengan sorot penuh kagum dan setelah itu beralih kepada Nyimas Layang Kingkin. Sedang yang diberi kerlingan mata, keduanya hanya menunduk dengan rona merah di pipi dan sesekali menyembah takzim.
Para pengawal seolah tak mendengar apa yang diucapkan Sang Prabu. Mereka hanya berdiri tegap ke segala penjuru arah dengan senjata tombak siap di tangan. Sedang para wanita yang cantik-cantik dan pakaiannya yang indah-indah itu, hanya menunduk dengan senyum simpul di mulutnya yang rata-rata manis memikat itu.
Sang Prabu tidak terlalu lama mengajak para gadis bangsawan mengobrol. Ketika raja berkulit putih dan berhidung mancung itu akan berlalu, semua orang menunduk dan menyembah takzim dan tak berani menatap muka sebelum rombongan itu benar-benar pergi meninggalkan tempat itu.
Rombongan raja berjalan ke jalan berbalay (dibuat dari susunan batu sungai) yang kebetulan lewat ke tempat Ginggi sembunyi. Maka untuk menghindari pandangan Raja dan pengawalnya, pemuda itu menggeser badannya sesuai dengan gerakan rombongan. Namun ketika rombongan sudah berjalan jauh, ada suara sepertinya gerakan benda yang ditimpukkan dari arah belakang tubuhnya. Sejenak Ginggi merasa terkejut, kalau-kalau itu sebuah serangan rahasia. Namun mendengar gerakannya, timpukan itu tidak dilakukan dengan pengerahan tenaga khusus.
“Tuk!”
Benda itu menimpuk tepat di tengkuknya. Ginggi pura-pura terkejut dan berpaling ke belakang. Terdengar cekikikan kaum wanita. Dan Ginggi akhirnya jadi ketawa sendiri. Bagaimana tak ketawa sebab yang dikiranya masih sembunyi, nyatanya tubuhnya sudah berada di tempat yang terbuka dan dengan jelas dilihat sekumpulan wanita itu.
“Hei, laki-laki ceriwis, engkau tukang intip. Berani-beraninya, ya?” teriak wanita-wanita pengasuh dengan tingkah polah macam-macam yang pada intinya mencoba menakut-nakuti Ginggi.
Pemuda itu merunduk-rundukkan badan dengan wajah penuh khawatir membuat yang melihat tertawa. Kedua putri bangsawan itu pun tersenyum sambil menutupi mulutnya.
“Ke sini kau! Namamu Ginggi, bukan? Badega (pelayan) Raden Suji, bukan? Kerjamu mengintip orang, bukan?” Salah seorang pengasuh berusia tigapuluhan nyerocos memeriksa pemuda itu.
Ginggi hanya menganguk-angguk sembarangan.
“Jadi engkau mengakui main intip orang, ya?”
“Tidak, tidak mengintip. Saya sembunyi, Bibi …!” jawab Ginggi menggeleng-gelengkan kepala.
“Kalau tidak sedang main intip mengapa kau di sini?”
“Lihatlah keranjang bambu yang ada di tangan kiriku, dan lihat pula alat penyabit rumput di tangan kananku. Dengan demikian sudah jelas, apa yang tengah aku kerjakan, Bibi …” kata Ginggi memperlihatkan kedua benda itu.
“Tapi aku tadi melihat kamu berindap-indap?”
“Saya malu diketahui Sang Susuhunan. Kalau beliau tahu saya ada di sini, wah berabe…” kata Ginggi pula.
“Tapi kamu tidak takut oleh kami, ya?”
“Wah… kalian kan baik-baik dan ramah-ramah kepada semua orang?”
“Menjilat, ya…”
“Betul, Bibi! Kalian semua ramah dan pemaaf. Bijaksana lagi!”
“Huh, cari muka,ya!”
“Saya sudah punya muka, bibi!”
“Cerewet! Mukamu jelek!” teriak wanita pengasuh itu.
Ginggi hanya garuk-garuk kepala.
“Sudahlah Bibi, jangan terus dimarahi. Dia memang tak salah,” kata Nyimas Banyak Inten halus.
Ginggi tersenyum mendengarnya, membuat Si Bibi pengasuh kembali mengomel.
“Kau ke sinilah badega…” Nyimas Layang Kingkin memanggilnya.
Ginggi merunduk-runduk datang mendekat. Dia tak berani memandang putri bangsawan ini. Namun walau pun sekilas, Ginggi pandai menilai, gadis yang hampir empat tahun di atas usianya terlihat amat jelita, sehingga Ginggi susah membedakan, mana yang paling elok, wajah Nyimas Banyak Inten ataukah Nyimas Layang Kingkin? Dua-duanya memilik sepasang mata berbinar, berhidung kecil mancung dengan cuping hidung kembang kempis serta ada lesung pipit di pipi bila keduanya tersenyum. Yang membedakan keduanya, Nyimas Banyak Inten usianya lebih belia, mungkin sekitar 15 tahun atau setahun di bawah usia Ginggi. Sedangkan Nyimas Layang Kingkin nampak lebih dewasa baik raut wajahnya, mau pun potongan tubuhnya yang lebih berisi dan membentuk.
“Ada apakah Tuan Putri …?” tanya Ginggi bersila dan menyembah takzim tanda hormat.
“Seharusnya aku yang tanya padamu, ada apakah engkau datang ke sini?” putri elok Nyimas Layang Kingkin balas bertanya.
Pemuda itu kian menunduk. Beberapa lama dia tak sanggup memberikan jawaban.
“Mengambil rumput untuk makanan kuda, ya? Kok ambil rumputnya ke sini saja?” tanya Nyimas Layang Kingkin sambil mengerling ke arah Nyimas Banyak Inten.
Ginggi juga ikut mengerling dan rona merah di pipi Nyimas Banyak Inten nampak kentara. Ginggi menunduk dan berdegup jantungnya. Rupanya hubungan Suji Angkara dan Nyimas Banyak Inten sudah diketahui orang lain, paling tidak oleh Nyimas Layang Kingkin, adik Suji Angkara.
“Tapi tak apalah ambil rumput di Taman Mila Kancana ini. Yang penting, kau jangan ganggu adikku, Nyimas Banyak Inten,” kata Nyimas Layang Kingkin penuh arti.
Kembali rona merah di wajah Nyimas Banyak Inten membayang.
“Hari sudah semakin siang, mari Bibi kita kembali ke puri. Ada burung pipit tengah menanti. Siapakah yang datang dan siapakah yang akan dipilih. Burung pipit mesti menimbang-nimbang, Bibi …” kata Nyimas Layang Kingkin kembali mengerling ke arah Nyimas Banyak Inten sambil senyum penuh arti.
Dan yang dikerling hanya menunduk malu membuat Ginggi tak mengerti apa yang sebenarnya mereka maksudkan. Tinggallah Nyimas Banyak Inten ditemani dua orang pengasuhnya. Nampak mereka semua tengah termangu-mangu membuat Ginggi tak enak hati.
“Engkau ke sini menyabit rumput, eu ….”
“Nama saya Ginggi Tuan Putri.”
“Jangan sebut aku begitu. Panggil saja Nyimas,” potong Nyimas Banyak Inten.
“Tuan Putri adalah kerabat Raja juga …” gumam Ginggi.
“Ya, tapi kerabat jauh. Kau baru boleh memanggil seperti itu kepada turunan langsung Raja saja,” kata Nyimas Banyak Inten lagi.
Ginggi tersenyum. Macam-macam kehendak keluarga bangsawan ini. Nyimas Banyak Inten seperti tak suka disebut tuan putri sedangkan Nyimas Layang Kingkin seperti kebalikannya. Mata Nyimas Layang Kingkin seperti berbinar ketika dipanggil tuan putri oleh Ginggi tadi.
“Baiklah … Nyimas” kata Ginggi akhirnya.
Nyimas Banyak Inten puas dengan kesanggupan Ginggi ini. “Engkau datang ke sini karena menyabit rumput, ya?”
Ginggi merenung tapi kemudian mengangguk.
“Terima kasih kalau engkau datang ke sini hanya menyabit rumput,” gumam Nyimas Banyak Inten seperti bicara pada diri sendiri, membuat Ginggi merasa heran.
Kini pemuda itu mengangkat wajah dan memandang muka yang bak bidadari turun dari kahyangan ini. Nyimas Banyak Inten balik menatap, rupanya tahu akan keheranan Ginggi.
“Entahlah Ginggi… aku belum memikirkan hal yang bukan-bukan…” kata Nyimas Banyak Inten masih setengah bergumam.
Ginggi menatap tajam wajah rembulan yang kini nampak murung itu. Dia tak menyadarinya bahwa tindakan ini tidak layak bila dilakukan oleh kebanyakan orang sepertinya. Namun kesadaran pemuda itu tertutup oleh gejolak rasa yang menggebu di hatinya. Rembulan itu begitu murung, begitu kelabu bagaikan ada awan tipis memoles wajahnya. Ingin sekali Ginggi jadi penguasa angin dan segera meniup jauh awan kelabu yang menutup sang rembulan. Tapi awan kelabu yang manakah yang membuat si jelita begitu murung?
“Kau katakan pada Raden Suji … aku belum memikirkan urusan seperti itu, Ginggi…” kata Nyimas Banyak Inten menghela nafas panjang.
Ginggi ingin berkata sesuatu, namun lidahnya seperti terpotong di tengah jalan. Tidak, tidak akan kukatakan perihal surat yang kubawa ini, kata Ginggi dalam hatinya. Surat itu tak pantas dibaca oleh gadis sehalus Nyimas Banyak Inten. Bayangkan, surat itu mengajak putri berperangai halus itu untuk melakukan kencan-kencan rahasia. Suji Angkara terlalu merendahkan harga diri gadis itu. Kalau surat itu diberikan kepada Nyimas Banyak Inten, Ginggi tak sanggup melihat hancurnya rasa hati gadis itu.
Bayangkanlah, wanita anggun sehalus Nyimas Banyak Inten diperlakukan Suji Angkara seolah-olah gadis itu wanita murahan dan bisa diajak apa saja. Ginggi serasa punya alasan untuk menjegal surat itu ketika Nyimas Banyak Inten bicara seperti tadi, “Aku belum memikirkan urusan seperti itu,” tentu yang dimaksudnya urusan cinta.
Bukankah tempo hari Suji Angkara pernah mengutusnya mengirim surat yang isinya permohonan agar gadis ini suka menjadi kekasih pemuda itu? Nyimas Banyak Inten telah menolaknya, berarti surat yang isinya sembrono ini tak perlu diberikan Ginggi kepada gadis itu.
“Saya mohon diri, Nyimas…?” gumam Ginggi menyembah takzim.
Nyimas Banyak Inten mengangguk lesu. Ginggi segera akan berjingkat tapi gadis itu menahannya sebentar.
“Ada apa Nyimas…?” kata Ginggi menatap wajah gadis itu.
“Bagaimana kau katakan agar Raden Suji tak tersinggung perasaannya, Ginggi?” tanya putri berdagu tipis berbibir merekah merah itu.
Ditanya seperti ini Ginggi tercenung sejenak. Ya, Ginggi pun tak tahu, omongan apa yang harus dia sampaikan kepada pemuda tampan tapi berkesan pemarah itu?
“Saya akan coba bicara benar dan wajar sehingga Raden Suji pun akan menanggapinya dengan wajar, Nyimas…” kata Ginggi.
Namun gadis itu sepertinya menyangsikan kemampuan Ginggi dalam menyampaikan maksudnya.
“Bagi laki-laki, biasanya cinta itu seperti pertandingan, Nyimas. Ada menang ada kalah. Jadi, kedua hal ini seharusnya sudah diperkirakan oleh Raden Suji,” kata Ginggi lagi.
Nyimas Banyak Inten seperti tak puas dengan ucapan Ginggi ini. Dia nampak hanya menunduk sambil memilin-milin kain yang oleh pengasuhnya tadi tengah disulam benang emas.
“Bagaimana kalau Nyimas sendiri saja yang sampaikan?” giliran pengasuhnya yang memberikan saran.
“Aku tak biasa berkunjung ke kediaman laki-laki, Bibi…” gumam gadis itu menunduk.
“Tulislah surat di daun nipah, biar saya yang menyampaikannya,” kata Ginggi.
Tapi Nyimas Banyak Inten menggelengkan kepala. “Surat suka dijadikan kenangan oleh seseorang. Kalau itu surat baik, akan dijadikan kenangan bahagia. Tapi kalau surat itu isinya buruk, hanya akan dijadikan kenangan menyedihkan. Dan aku akan merasa berdosa bila harus memaksa Raden Suji setiap saat merangkul kenangan pahit,” tutur Nyimas Banyak Inten sendu.
Gadis yang memiliki rambut ikal dan harum ini terlalu berperasaan dan akibatnya jalan pikiran menyiksanya dirinya, pikir Ginggi.
“Kalau segalanya menjadi tidak tepat, jadi harus bagaimana, Nyimas?” tanya Ginggi bingung.
Gadis itu masih termangu-mangu seperti tak sanggup mengambil keputusan. “Ginggi, begitu ruwetkah urusan cinta?” tanya gadis itu tiba-tiba.
Ginggi menatap wajah Nyimas Banyak Inten. Tapi kemudian menundukkan kepala lagi bila ingat etika di Pakuan tak membenarkan orang kebanyakan saling pandang dengan kaum bangsawan apalagi dengan para wanitanya. Namun biar pun hanya sejenak, Ginggi sanggup menerobos ke dasar lubuk hati gadis itu. Ya, melalui sorot matanya yang bening dan polos, betapa gadis itu berkata bahwa lembaran hidupnya yang putih bersih belum tergores oleh tulisan hitam tentang cinta. Gadis itu belum mengenal relung pahit-getirnya cinta. Bagaimana harus Ginggi jawab atas pertanyaannya ini. Apakah cinta itu bagaikan mega berarak-arak di langit biru, atau berupa aliran air di sungai berjeram? Pemuda itu pernah merasakannya tapi segalanya serba tak berketentuan. Dan cinta yang datang tanpa persiapan serta tanpa ancang-ancang yang tepat membuat segalanya berantakan.
“Yang membuat ruwet bukan cinta tapi manusianya itu sendiri, Nyimas…” jawab Ginggi pada akhirnya.
“Karena manusianya itu sendiri …?”
“Betul, karena cinta itu urusan hati. Dia bisa datang tanpa diundang dan pergi tanpa diusir. Cinta juga tak bias diundang dan tak bisa diusir,” kata Ginggi.
“Tidak bisa diundang dan tidak bisa diusir?”
“Kalau hati tak punya perasaan cinta, diganggu oleh apa pun kita tak tergoda. Namun sebaliknya bila di hati ada cinta, dipisahkan karena dunia terbelah pun perasaan itu tetap melekat,” kata Ginggi lagi.
“Oh, bila begitu cinta hanya derita saja…” sergah gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya, seolah yang namanya cinta terbentang di hadapannya, membendung dan menghalangi pandangan matanya.
“Engkau hanya membuat Nyimas lebih bingung saja menghadapinya anak muda. Ah, apa sih pengalamanmu bercinta, sehingga berani melontarkan petuah-petuah seperti itu?” wanita pengasuh Nyimas Banyak Inten menyela dan tak senang atas kata-kata Ginggi yang dianggapnya lancang dan terlalu sembrono memberikan berbagai petuah.
“Barangkali ucapannya ada benarnya, Bibi…” potong gadis itu seperti membela Ginggi.
“Tapi membikin Nyimas tambah ruwet saja. Nyimas berdiri di antara dua tantangan yang amat berat,” kata wanita pengasuhnya dengan ucapan serius.
“Dua tantangan berat?” Ginggi mengeryitkan dahi.
“Nyimas juga tengah dilanda kebingungan karena dicinta oleh Sang Susuhunan Pakuan!”
“Bibi!” teriak Nyimas Banyak Inten setengah menjerit dan membelalakkan matanya.
Si wanita pengasuhnya pun nampak terkejut dan baru menyadarinya, mengapa dia mengucapkan perkataan seperti itu.
“Ah, dasar engkau bocah tolol! Mengapa kau datang ke sini dan kasak-kusuk bicara soal cinta? Kau yang salah bocah gendeng!” pengasuh menyumpah-nyumpah kepada Ginggi.
Ginggi sendiri tak begitu memperhatikan sumpah serapah perempuan setengah baya itu, sebab ucapan awal dari pengasuh gadis itu sudah berdebum menimpa hatinya. Serasa menggeletar seluruh urat tubuhnya mendengar penjelasan singkat ini. Nyimas Banyak Inten juga dicintai Raja? Terpukul rasa hati pemuda itu dan serentak semangatnya jatuh seperti sebatang pohon keropos yang dilanda angin kencang.
“Maafkan saya Tuan Putri…” kata Ginggi tak terasa menyebut gadis itu dengan julukan yang sebetulnya tak disukai gadis itu. Tapi pemuda itu tak tahu, permohonan maafnya itu untuk apa. Apakah karena dia sudah berlaku sembrono memberikan petuah-petuah yang belum tentu kebenarannya, ataukah minta maaf karena … karena apa? Ginggi mencoba mengorek-orek sesuatu yang ada di lubuk hatinya. Perasaan apa yang ada di sana mengenai putri Bangsawan Yogascitra itu? Bah! Sialan benar! Dasar lelaki tak tahu diri! Apa yang kau rasakan terhadap gadis yang derajatnya ada di langit ke tujuh itu? Engkau seperti siput yang hendak mendaki ke puncak bukit, atau bagaikan anak itik yang akan menyebrangi lautan. Mana mungkin ada burung gagak minta disejajarkan dengan burung merak? Dia pun mencintai Nyimas Banyak Inten? Bah? Berkaca dululah hei lelaki dungu! Teriak Ginggi di dalam hatinya.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment