“Anak buahku lihai-lihai. Jadi bila kau sudah bersamaku, kau harus hati-hati,” kata Suji Angkara.
Ginggimengangguk setuju dengan persyaratan ini. “Bagus sekarang kau bahagiakan sahabat-sahabatku. Kau tangkaplah ikan terbaik di lubuk. Hari ini kami ingin pesta makan ikan di Pulo Parakan Baranangsiang,” kata Suji Angkara pelan namun bernada perintah tegas.
Sialan, dengus Ginggi dalam hatinya. Namun suka atau tak suka, karena telanjur sudah “ikrar” ingin “mengabdi” pada pemuda itu, dia terpaksa membuka baju dan menyingsingkan celana sontognya. Dan brus, brus, dia turun ke lubuk. Orang-orang tercengang-cengang melihat pemuda berpakaian santana ikut terjun menangkap ikan. Menurut penonton, ini tak lazim, sebab yang biasa mengerjakan langsung pajak calagara hanyalah golongan kebanyakan saja.
Ginggi tak tahu apa yang dipikirkan mereka. Hanya yang jelas, pemuda ini menjadi bergembira juga bisa ikut ramai-ramai menangkap ikan. Baginya sebenarnya tak mengalami banyak kesulitan untuk menangkap ikan berapa banyak pun, apalagi di kubangan yang airnya sudah begitu surut. Bila dilakukan benar-benar, dalam sekejap puluhan ikan besar bisa dia lemparkan ke darat. Hanya tentu saja Ginggi tak berani pamer kepandaian, kalau tak ingin dicurigai orang. Itulah sebabnya, dalam menangkap ikan dia perlihatkan “kebegoan” dan pura-pura lugu, sehingga membuat tawa renyah bagi yang menyaksikannya.
Ginggi gembira berpura-pura dungu seperti itu, sebab dari bawah lubuk dia saksikan Nyimas Banyak Inten terpingkal-pingkal merasa lucu melihat Ginggi jatuh bangun menangkap ikan. Nyimas Banyak Inten sampai keluar airmata saking gelinya melihat wajah Ginggi yang tak keruan karena simbahan air lumpur.
Dengan “susah-payah” akhirnya Ginggi berhasil menangkap beberapa ekor ikan tagih dan hampal yang besar-besar. Orang-orang pun bersorak riang ketika tiba-tiba tangan Ginggi menangkap seekor ikan balidra, Sebetulnya ini ikan jenis ganas, sebab sirip-siripnya lebar dan tajam menyerupai sirip ikan gurame. Tenaga ikan balidra sesungguhnya sungguh amat besar, apalagi didukung bentuk tubuhnya yang bulat besar. Bila tak hati-hati menangkapnya, sekali sentak ikan belidra sanggup menampar dada orang yang berani menangkapnya dengan sirip-siripnya sehingga akan menimbulkan luka sayatan gergaji.
Namun ikan balidra yang dipegang ekornya oleh Ginggi hanya bergerak-gerak lemah saja. Semula penonton menganggap Ginggi benar-benar akhli menangkap ikan besar. Tapi belakangan mereka tertawa terkekeh-kekeh setelah tahu ikan belidra bertubuh besar dan gagah itu sudah lemas karena terlalu lama di kubangan lumpur. Begitu perkiraan orang-orang yang menyaksikan. Padahal yang sebenar-benarnya terjadi, secara diam-diam Ginggi memencet bagian tubuh ikan besar itu agar gerakannya menjadi lemah. Ginggi disuruh naik oleh Suji Angkara sesudah merasa bahwa hasil tangkapan itu dianggap cukup.
“Ambillah buleng, lalu pikullah ke sana!” Suji Angkara menunjuk ke arah hilir.
Suji memberikan perintah agar Ginggi memikul buleng menuju utara, di mana Pulo Parakan Baranangsiang terdapat. Yang dimaksud Pulo Parakan Baranangsiang adalah sebuah gugusan tanah terletak di tengah-tengah Sungai Cihaliwung. Letaknya tak begitu jauh tapi juga tak begitu dekat dari leuwi Kamala Wijaya. Sepemakan sirih lamanya Ginggi memikul buleng yang berisi ikan tangkapannya itu.
Keempat muda-mudi yang ditemani Seta ternyata sudah ada di tengah Pulo. Mereka rupanya menyebrang dengan memakai perahu hias. Mereka sudah duduk-duduk di bangku-bangku yang terletak di sebuah bangunan kayu beratap ijuk. Bangunan kayu itu amat indah dan akan membuat orang senang bila duduk di sana. Pemandangan alam amat mempesona sebab gugusan pulau kecil itu dikelilingi air Sungai Ciliwung yang mengalir tenang. Masih ada biduk kecil yang tertambat di tepinya. Dan tanpa ragu, Ginggi menaikkan buleng-buleng ke atas biduk, melepaskan tali dan menyusul mereka ke tengah gugusan pulau.
“Hahaha! Ayo bersihkan dan cepat masak untuk kami!” kata Suji Angkara tertawa gembira.
“Ah, Raden, mengapa terlalu menyiksa pemuda itu. Lebih baik kita kerjakan bersama, agar kita bisa makan dengan enaknya,” kata Nyimas Banyak Inten seraya mendekati Ginggi dan akan ikut memasak.
Nyimas Layang Kingkin dan Raden Banyak Angga pun nampak ikut merubung Ginggi dan siap membantunya.
“Hahaha! Baik, bantulah anak lamban itu biar kita cepat-cepat menikmati ikan bakar,” seru Suji Angkara gembira.
Dan ternyata dia pun ikut sekalian membeset ikan dan menyalakan api sendiri. Selama memasak ikan, mereka mengobrol dan bercanda. Suji Angkara nampak selalu menggoda Nyimas Banyak Inten. Terkadang godaan-godaannya terlalu mengarah kepada hal-hal yang mengarah kepada yang membuat sepasang pipi gadis itu merah-merona.
Sekarang ikan sudah masak, baunya sudah menyengat membuat perut siapa pun semakin lapar. Keempat muda-mudi makan ikan dengan suka-cita namun tanpa meninggalkan sopan-santun dan etika makan. Mereka makan dengan tertib, tidak tergesa-gesa juga tidak banyak bicara. Hanya sesekali saja ada suara aduh atau ah karena ikan bakar masih panas atau karena ada duri mengganjal di lidah. Hanya Ginggi dan Seta yang tidak ikut makan. Seta berdiri mematung sambil melihat ke kejauhan dan Ginggi malah duduk di balai-balai sambil kedua kaki digoyang-goyang.
“Hei, akan lebih ramai nampaknya bila kalian pun ikut makan sama-sama,” kata Nyimas Banyak Inten.
“Betul, makanlah sama-sama,” kata Nyimas Layang Kingkin.
Banyak Angga pun ikut menawari. Karena ditawari, Ginggi mendekat dan akan segera ikut makan kalau saja Seta tak menghardiknya.
“Lho, kita kan sudah ditawari mereka, lagi pula ikan-ikan ini aku yang tangkap. Mengapa kau halangi?” Tanya Ginggi membuat kedua gadis senyum dikulum.
“Anak setan, engkau tak sopan bila harus sama-sama makan bersama mereka!” kata Seta mendelik.
Ginggi menundukkan kepala. Dia baru sadar kedudukannya di lingkungan mereka.
“Yah, biarlah bila begitu aturannya …” gumamnya menjauh lagi.
Namun Nyimas Banyak Inten seperti menaruh kasihan kepada Ginggi. Gadis itu setengah memaksa mengajak pemuda itu agar ikut makan. Dan karena kebetulan yang lain sudah merasa cukup makan ikan, oleh yang lainnya Ginggi dipersilakan mencicipi makanan-makanan enak itu. Karena memang sudah lapar sejak tadi pagi. Ginggi makan ikan dengan lahapnya. Seta yang beberapa kali ditawari hanya mendengus sebagai tanda menolak. Sehingga akhirnya hanya Ginggi saja yang sibuk makan ikan. Keempat orang muda-mudi hanya tersenyum saja melihat Ginggi makan dengan perasaan tak canggung.
“Sudah aku katakan, anak muda itu selain bodoh juga punya kejujuran dalam bertindak,” kata Suji Angkara sambil memperhatikan tangan Ginggi comot sana comot sini.
Ginggimengangguk setuju dengan persyaratan ini. “Bagus sekarang kau bahagiakan sahabat-sahabatku. Kau tangkaplah ikan terbaik di lubuk. Hari ini kami ingin pesta makan ikan di Pulo Parakan Baranangsiang,” kata Suji Angkara pelan namun bernada perintah tegas.
Sialan, dengus Ginggi dalam hatinya. Namun suka atau tak suka, karena telanjur sudah “ikrar” ingin “mengabdi” pada pemuda itu, dia terpaksa membuka baju dan menyingsingkan celana sontognya. Dan brus, brus, dia turun ke lubuk. Orang-orang tercengang-cengang melihat pemuda berpakaian santana ikut terjun menangkap ikan. Menurut penonton, ini tak lazim, sebab yang biasa mengerjakan langsung pajak calagara hanyalah golongan kebanyakan saja.
Ginggi tak tahu apa yang dipikirkan mereka. Hanya yang jelas, pemuda ini menjadi bergembira juga bisa ikut ramai-ramai menangkap ikan. Baginya sebenarnya tak mengalami banyak kesulitan untuk menangkap ikan berapa banyak pun, apalagi di kubangan yang airnya sudah begitu surut. Bila dilakukan benar-benar, dalam sekejap puluhan ikan besar bisa dia lemparkan ke darat. Hanya tentu saja Ginggi tak berani pamer kepandaian, kalau tak ingin dicurigai orang. Itulah sebabnya, dalam menangkap ikan dia perlihatkan “kebegoan” dan pura-pura lugu, sehingga membuat tawa renyah bagi yang menyaksikannya.
Ginggi gembira berpura-pura dungu seperti itu, sebab dari bawah lubuk dia saksikan Nyimas Banyak Inten terpingkal-pingkal merasa lucu melihat Ginggi jatuh bangun menangkap ikan. Nyimas Banyak Inten sampai keluar airmata saking gelinya melihat wajah Ginggi yang tak keruan karena simbahan air lumpur.
Dengan “susah-payah” akhirnya Ginggi berhasil menangkap beberapa ekor ikan tagih dan hampal yang besar-besar. Orang-orang pun bersorak riang ketika tiba-tiba tangan Ginggi menangkap seekor ikan balidra, Sebetulnya ini ikan jenis ganas, sebab sirip-siripnya lebar dan tajam menyerupai sirip ikan gurame. Tenaga ikan balidra sesungguhnya sungguh amat besar, apalagi didukung bentuk tubuhnya yang bulat besar. Bila tak hati-hati menangkapnya, sekali sentak ikan belidra sanggup menampar dada orang yang berani menangkapnya dengan sirip-siripnya sehingga akan menimbulkan luka sayatan gergaji.
Namun ikan balidra yang dipegang ekornya oleh Ginggi hanya bergerak-gerak lemah saja. Semula penonton menganggap Ginggi benar-benar akhli menangkap ikan besar. Tapi belakangan mereka tertawa terkekeh-kekeh setelah tahu ikan belidra bertubuh besar dan gagah itu sudah lemas karena terlalu lama di kubangan lumpur. Begitu perkiraan orang-orang yang menyaksikan. Padahal yang sebenar-benarnya terjadi, secara diam-diam Ginggi memencet bagian tubuh ikan besar itu agar gerakannya menjadi lemah. Ginggi disuruh naik oleh Suji Angkara sesudah merasa bahwa hasil tangkapan itu dianggap cukup.
“Ambillah buleng, lalu pikullah ke sana!” Suji Angkara menunjuk ke arah hilir.
Suji memberikan perintah agar Ginggi memikul buleng menuju utara, di mana Pulo Parakan Baranangsiang terdapat. Yang dimaksud Pulo Parakan Baranangsiang adalah sebuah gugusan tanah terletak di tengah-tengah Sungai Cihaliwung. Letaknya tak begitu jauh tapi juga tak begitu dekat dari leuwi Kamala Wijaya. Sepemakan sirih lamanya Ginggi memikul buleng yang berisi ikan tangkapannya itu.
Keempat muda-mudi yang ditemani Seta ternyata sudah ada di tengah Pulo. Mereka rupanya menyebrang dengan memakai perahu hias. Mereka sudah duduk-duduk di bangku-bangku yang terletak di sebuah bangunan kayu beratap ijuk. Bangunan kayu itu amat indah dan akan membuat orang senang bila duduk di sana. Pemandangan alam amat mempesona sebab gugusan pulau kecil itu dikelilingi air Sungai Ciliwung yang mengalir tenang. Masih ada biduk kecil yang tertambat di tepinya. Dan tanpa ragu, Ginggi menaikkan buleng-buleng ke atas biduk, melepaskan tali dan menyusul mereka ke tengah gugusan pulau.
“Hahaha! Ayo bersihkan dan cepat masak untuk kami!” kata Suji Angkara tertawa gembira.
“Ah, Raden, mengapa terlalu menyiksa pemuda itu. Lebih baik kita kerjakan bersama, agar kita bisa makan dengan enaknya,” kata Nyimas Banyak Inten seraya mendekati Ginggi dan akan ikut memasak.
Nyimas Layang Kingkin dan Raden Banyak Angga pun nampak ikut merubung Ginggi dan siap membantunya.
“Hahaha! Baik, bantulah anak lamban itu biar kita cepat-cepat menikmati ikan bakar,” seru Suji Angkara gembira.
Dan ternyata dia pun ikut sekalian membeset ikan dan menyalakan api sendiri. Selama memasak ikan, mereka mengobrol dan bercanda. Suji Angkara nampak selalu menggoda Nyimas Banyak Inten. Terkadang godaan-godaannya terlalu mengarah kepada hal-hal yang mengarah kepada yang membuat sepasang pipi gadis itu merah-merona.
Sekarang ikan sudah masak, baunya sudah menyengat membuat perut siapa pun semakin lapar. Keempat muda-mudi makan ikan dengan suka-cita namun tanpa meninggalkan sopan-santun dan etika makan. Mereka makan dengan tertib, tidak tergesa-gesa juga tidak banyak bicara. Hanya sesekali saja ada suara aduh atau ah karena ikan bakar masih panas atau karena ada duri mengganjal di lidah. Hanya Ginggi dan Seta yang tidak ikut makan. Seta berdiri mematung sambil melihat ke kejauhan dan Ginggi malah duduk di balai-balai sambil kedua kaki digoyang-goyang.
“Hei, akan lebih ramai nampaknya bila kalian pun ikut makan sama-sama,” kata Nyimas Banyak Inten.
“Betul, makanlah sama-sama,” kata Nyimas Layang Kingkin.
Banyak Angga pun ikut menawari. Karena ditawari, Ginggi mendekat dan akan segera ikut makan kalau saja Seta tak menghardiknya.
“Lho, kita kan sudah ditawari mereka, lagi pula ikan-ikan ini aku yang tangkap. Mengapa kau halangi?” Tanya Ginggi membuat kedua gadis senyum dikulum.
“Anak setan, engkau tak sopan bila harus sama-sama makan bersama mereka!” kata Seta mendelik.
Ginggi menundukkan kepala. Dia baru sadar kedudukannya di lingkungan mereka.
“Yah, biarlah bila begitu aturannya …” gumamnya menjauh lagi.
Namun Nyimas Banyak Inten seperti menaruh kasihan kepada Ginggi. Gadis itu setengah memaksa mengajak pemuda itu agar ikut makan. Dan karena kebetulan yang lain sudah merasa cukup makan ikan, oleh yang lainnya Ginggi dipersilakan mencicipi makanan-makanan enak itu. Karena memang sudah lapar sejak tadi pagi. Ginggi makan ikan dengan lahapnya. Seta yang beberapa kali ditawari hanya mendengus sebagai tanda menolak. Sehingga akhirnya hanya Ginggi saja yang sibuk makan ikan. Keempat orang muda-mudi hanya tersenyum saja melihat Ginggi makan dengan perasaan tak canggung.
“Sudah aku katakan, anak muda itu selain bodoh juga punya kejujuran dalam bertindak,” kata Suji Angkara sambil memperhatikan tangan Ginggi comot sana comot sini.
“Ayahanda perlu orang yang lugu tapi jujur. Nanti aku ajak kau menghadap ayahanda,” kata Suji Angkara.
Ginggi menatap tajam ke arah pemuda itu.
“Engkau harus berterimakasih kepada Raden Suji, sebab kau akan bekerja di puri ayahandanya, yaitu Bangsawan Bagus Seta,” kata Banyak Angga.
Bergetar hati Ginggi mendengarnya. Ki Bagus Seta, murid Ki Darma adalah ayahanda Suji Angkara? Ini amat mengejutkan, sekaligus membingungkan. Ginggi terkejut dan bingung, bukankah ayahanda Suji adalah Kuwu Suntara, Kepala Desa Cae? Kembali ada misteri baru menyelimuti anak muda tampan tapi terkesan angkuh ini. Namun di samping keheranannya, Ginggi pun amat gembira. Kalau benar dirinya akan dipekerjakan di puri ayahanda Suji Angkara, berarti dia akan bertemu dengan Ki Bagus Seta. Dengan begitu, lengkaplah pertemuan dirinya dengan keempat murid Ki Darma.
Bersama tiga murid Ki Darma yang telah ditemukan terlebih dahulu, dia menemukan harapan sekaligus kekecewaan dan tanda tanya. Ketika bertemu dengan Ki Rangga Guna ada secercah harapan bahwa murid ketiga Ki Darma ini sepertinya setia dengan amanat guru. Namun menemukan Ki Rangga Wisesa hanya ada rasa sesal dan kecewa saja sebab orang itu berotak miring dan perangai serta tindakannya memalukan Ki Darma. Ki Banaspati, murid pertama Ki Darma masih berupa teka-teki bagi Ginggi. Sekarang teka-teki makin besar bila ingat Ki Bagus Seta. Dia menjadi bangsawan, dia menjadi pejabat pemungut pajak. Apa yang tengah dilakukan sebenarnya oleh murid kedua ini, Ginggi belum bisa menebaknya.
“Saya amat berbahagia bila dipercaya bekerja di puri ayahandamu, Raden. Bangsawan Bagus Seta sudah lama saya kenal dan saya kagum kepadanya,” kata Ginggi menyembah takzim.
Suji mengangguk-angguk sebagai tanda senang. “Ya, nanti sore aku perkenalkan kau pada ayahanda,” kata Suji Angkara.
Untuk yang kesekian kalinya Ginggi menyembah takzim, disambut dengan sedikit dengus pemuda Seta dari kejauhan. Ginggi tak dengar dengusan ini sebab hatinya diliputi kegembiraan bisa berhubungan dengan Ki Bagus Seta.
Sudah hampir dua minggu Ginggi berada di Pakuan. Suji Angkara yang pernah berkata akan mempekerjakan Ginggi di kediaman Ki Bagus Seta belum pula melaksanakan janjinya. Selama dua minggu ini, Ginggi malah disuruhnya berada dekat-dekat dengannya.
Suji Angkara ternyata diam sendirian di sebuah rumah besar tapi masih satu kompleks dengan rumah yang lebih besar lagi, yaitu rumah milik Ki Bagus Seta. Ginggi belum berkenalan dengan Ki Bagus Seta, namun wajahnya sudah dia kenal. Orang itu bila bepergian selalu mendapatkan pengawalan empat sampai lima orang petugas. Dan melihat gerak-gerik para pengawalnya, Ginggi mendapatkan bahwa mereka bukan dari jagabaya biasa, melainkan kedudukannya jauh lebih tinggi lagi. Mungkin bukan perwira setingkat pengawal raja, namun sepertinya mempunyai kepandaian yang tinggi, dan Ginggi harus demikian hati-hati untuk menyelidikinya.
Ki Bagus Seta berperawakan gagah. Tubuhnya tinggi besar dan selalu berpakaian mewah. Matanya tajam seperti burung elang dan dagunya runcing. Seperti menandakan bahwa orang ini pemikir keras dan selalu bertindak tegas dalam mengambil keputusan. Dan bila memperhatikan sepasang matanya yang tajam bagai mata burung elang itu, Ginggi amat yakin, bahwa orang seperti itu pemerhati yang serius, baik terhadap situasi, mau pun terhadap tindak-tanduk orang lain. Kalau benar dugaannya, maka Ginggi pun harus semakin hati-hati pula dalam bertindak. Sikap-sikap ini sebenarnya hampir sama dengan tindak-tanduk yang diperlihatkan Suji Angkara. Anak muda ini pun seorang pemerhati dan penyelidik. Namun bedanya, Suji Angkara ini orang yang gila hormat. Bila keinginannya sudah terkabul dia sudah percaya terhadap mulut manis.
Selama beberapa hari Ginggi berada dekatnya, masih ada kesan menyelidik dan menguji dari “majikannya” ini. Tapi karena Ginggi selalu bersikap sopan dan selalu “bodoh namun jujur”, anak muda itu akhirnya memiliki kepercayaan penuh bahwa Ginggi datang ke hadapannya tidak memiliki tujuan apa-apa selain hendak mengabdi belaka. Ginggi berpikir bahwa sangat mungkin Suji Angkara mudah percaya akan hal ini karena memang selama ini banyak orang yang mengharapkan bisa mengabdi kepadanya. Buktinya, Seta dan Madi, adalah pengabdi yang baik. Ki Ogel dan Ki Banen pun mungkin pada mulanya dianggap pengabdi yang baik kalau saja kedua orang tua ini tidak memperlihatkan sikap-sikap menentang terhadap Suji Angkara.
Dengan siapa kini dekat, bagi Ginggi tak ada bedanya sebab semua orang akan dia selidiki. Kepada anak muda pesolek ini, berbagai kecurigaan sudah menumpuk. Kini usaha Ginggi adalah bagaimana cara mengungkapkannya. Dan bila sekarang sudah bisa berdekatan dengan pemuda itu, akan banyak cara mengungkapkannya. Namun bagi Ginggi kini ada tantangan yang lebih besar lagi. Dia harus sanggup membuka tabir penuh misteri dari Ki Bagus Seta. Seperti ada rangkaian yang sambung menyambung dan semakin melebar saja, dan semuanya terselubung misteri.
Ginggi harus sanggup membuka tabir, sejauh mana peran Ki Bagus Seta yang di Pakuan ini berhasil menempatkan dirinya sebagai bangsawan yang memiliki jabatan penting, padahal gurunya sendiri sudah dianggap pengkhianat dan selalu dikejar-kejar. Ginggi juga harus mengetahui, bagaimana hubungan Ki Bagus Seta dengan Ki Banaspati yang menjadi bawahan dalam mengurus pajak-pajak negara.
Ini misteri paling besar dan amat menyangkut urusan negara. Bayangkanlah, Ki Banaspati bertugas sebagai muhara untuk wilayah timur tapi diketahui Ginggi menyembunyikan hasil-hasil pajak sebab akan digunakan menghimpun kekuatan pasukan dalam upaya melawan raja.
Sedangkan Ki Bagus Seta di ibukota bertindak sebagai pejabat muhara dan bertanggung jawab penuh dalam memasukkan penghasilan negara. Adakah hubungan kedua orang itu dalam upaya melaksanakan amanat guru? Betulkah Ki Bagus Seta berusaha menjadi muhara juga karena ingin melaksanakan amanat guru? Ginggi perlu menyelidikinya lebih jelas lagi.
Pemberontakan adalah sesuatu yang tidak disukai Ki Rangga Guna. Tapi kalau ternyata upaya-upaya yang dilakukan Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta merupakan upaya menolong kepentingan rakyat seperti yang diamanatkan Ki Darma Tunggara, maka tak ada jalan lain, Ginggi harus ikut mendukungnya. Mengapa tidak begitu? Selama dua minggu dia berada di ibukota Pajajaran ini, melihat kaum bangsawan hidupnya senang, melihat pula bagaimana bahagianya raja dan keluarganya yang acapkali bercengkrama di Taman Mila Kancana, atau makan-makan buah durian di Tajur Agung (kebun istana), itu karena jasa pengabdinya yaitu ambaraahayat. Tapi apa balas budi Raja kepada Ki Darma, perwira yang puluhan tahun mengabdi kepada negara? Ki Darma bahkan dikejar dan diburu serta dicap pemberontak.
Selama dua minggu ini, hampir setiap malam Ginggi menyimak tembang-tembang prepantun (pelantun cerita), dari prepantun istana sampai prepantun yang menggelar pertunjukannya dijawi khita (benteng luar), selalu menceritakan pengkhianatan Ki Darma Tunggara.
Siapa berkhianat itu yang jahat
seribu perwira siap mati
seribu perwira hampir mati
mati karena pengkhianatan
mati karena pengkhianatan
oh,hai, pengkhianat
dialah Ki Darma Tunggara!
dialah Ki Darma Tunggara!
Ginggi hampir setiap malam mendengarkan lantunan prepantun yang mengisahkan pertempuran mati-matian di alun-alun luar kota Pakuan antara seribu perwira pengawal raja melawan musuh yang datang menyerbu. Dalam peristiwa ini Ki Darma Tunggara dicurigai melakukan pengkhianatan dengan sengaja mengundang musuh dari barat. Peristiwa itu terjadi belasan atau puluhan tahun yang lalu, ketika Pakuan diperintah Sang Prabu Dewata Buana atau lebih dikenal sebagai Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543 Masehi). Ki Darma Tunggara yang merasa lebih berpengalaman dalam membela negara karena sudah sejak Pakuan dipimpin Sang Ratu Jaya Dewata atau lebih dikenal dengan Sri Baduga Maharaja atau Sang Prabu Siliwangi (1482-1521 Masehi), mengeritik kebijaksanaan Sang Prabu Ratu Dewata yang lebih memperhatikan kehidupan agama ketimbang yang lainnya.
Ayahanda Sang Prabu Ratu Dewata, yaitu Ratu Sangiang, atau lebih dikenal sebagai Sang Prabu Surawisesa (1521-1543 Masehi) semasa memerintah gemar berperang. Selama 14 tahun memerintah, melakukan peperangan sebanyak 15 kali. Menurut Sang Prabu Ratu Dewata, seringnya melakukan peperangan mungkin juga akan diakui dunia sebagai bangsa yang gagah berani. Tapi juga akan punya risiko banyak menyakiti musuh. Musuh yang kalah tak akan selamanya takut, suatu waktu mereka akan membalas kekalahan. Peperangan yang berkepanjangan pun, baik dalam kemenangan apalagi dalam kekalahan, hasilnya tetap akan menyengsarakan rakyat. Dan karena perang dibentuk oleh jalan pikiran manusia, maka Sang Prabu Ratu Dewata memilih belajar mengendalikan pikiran agar tak selalu dipenuhi nafsu angkara-murka.
Sang Prabu Ratu Dewata memilih hidup damai ketimbang mengundang kemelut. Itulah sebabnya sendi-sendi agama diangkat ke permukaan. Kuil dan biara di Pakuan diperbanyak jumlahnya, demikian pun para wiku dan pendeta, di kuil memperdalam masalah kebatinan ketimbang memperhatikan kehidupan lahiriyah. Inilah yang dikritik ki Darma. Menurutnya, tapa di nagara untuk seorang raja bukanlah mengurung diri di kuil sambil melepaskan seluruh kehidupan lahiriyah.Tapa di nagara adalah melaksanakan pekerjaan yang ditekuni sehingga berguna untuk kepentingan umum. Hanya memperhatikan kepentingan batiniyah tanpa mengurus kepentingan lahiriyah hidup tidaklah seimbang. Apalagi menurut Ki Darma, negara tetap dalam bahaya. Musuh yang datang tidak sekadar akan membalas kekalahan, tapi karena punya maksud ingin menghilangkan pengaruh Pajajaran dan akan digantikannya dengan pengaruh baru yang dibawa oleh mereka. Jadi, mengurung diri dengan maksud menjauhkan nafsu angkara-murka yang ada dalam diri sendiri tidak akan mengusir bahaya peperangan, sebab musuh tetap mengancam.
Ki Darma pernah memberikan peringatan kepada Raja bahwa sewaktu-waktu musuh dari barat akan menyerang. Ki Darma bisa berkata begitu karena dia pandai meramal sesuatu bahaya. Tapi peringatan ini tak dipercaya Raja dengan mengatakan bahwa ramalan Ki Darma bohong belaka. Namun ketika secara tiba-tiba musuh datang menyerang dan langsung mengepung Pakuan, pemerintah tak berterima kasih kepada Ki Darma, bahkan sebaliknya menuduh Ki Darma berlaku khianat. Kalau benar Ki Darma bisa meramal, mengapa katanya kedatangan musuh yang tiba-tiba tidak bisa diramalkan? Banyak suara mendukung kecurigaan. Katanya, mungkin saja Ki Darma sudah tahu sebelumnya tapi tak dilaporkan. Atau ada kecurigaan lebih besar, Ki Darma sengaja “mengundang” musuh datang hingga ke “beranda” Pakuan tanpa diketahui sebelumnya. Dan itu semua karena pengkhianatan Ki Darma.
Memang Raja tak berhasil membuktikan kesalahan Ki Darma. Tapi Raja akan tetap menghukumnya ketika Ki Darma akhirnya akan mengundurkan diri dari kegiatan kenegaraan. Perintah untuk mengejar dan menangkap Ki Darma dikeluarkan setelah Pakuan dipimpin oleh Sang Prabu Ratu Sakti yang sejak dia menjadi perwira bekerja menjadi pengawal ayahandanya, sudah membenci Ki Darma yang senang melakukan panca parisuda (mengeritik).
Tak ada yang bisa membuktikan Ki Darma melakukan pengkhianatan. Tapi kebencian terhadapnya terus dihembus-hembuskan. Kisah peperangan di alun-alun luar Kota Pakuan merupakan kisah populer dan penduduk senang menikmati lantunan prepantun (juru pantun). Bila prepantun yang membawakannya pandai melantun merdu diiringi dawai-dawai kecapinya, maka pendengar akan tergugah dan terbawa arus. Mereka akan membenci Ki Darma si pengkhianat dan akan memuji kehebatan kepahlawanan seorang perwira muda putra mahkota. Dialah kelak Sang Ratu Sakti Sang Mangabatan raja gagah berani yang selalu berupaya mengembalikan kejayaan Pajajaran ke masa puluhan tahun silam.
Kisah-kisah kepahlawanan Sang Ratu Sakti dan pengkhianatan perwira Darma Tunggara terkenal sampai jauh ke wilayah timur seperti ketika Ginggi mendengarkan kisah ini pertama kalinya oleh prepantun Ki Baju Rambeng, di Desa Cae hampir setahun lalu. Ginggi sakit hati oleh kesemuanya ini. Barangkali murid-murid Ki Darma lainnya pun sama memendam sakit hati. Itulah sebabnya mungkin, Ki Banaspati tak kepalang tanggung menjalankan amanat guru. Dalam upaya membela kepentingan rakyat, Ki Banaspati akan menghimpun kekuatan untuk digunakan melawan raja.
Tidakkah Ki Bagus Seta yang kini mengendalikan kekayaan negara sebetulnya punya tujuan yang sama dengan Ki Banaspati? Barangkali secara diam-diam mereka berdua telah melakukan persekutuan dalam melawan Raja. Ya, barangkali. Tapi apa pun yang sesungguhnya terjadi, Ginggi harus tetap berlaku hati-hati. Dia harus mengambil keputusan yang tepat. Untuk itulah Ginggi harus melakukan penyelidikan seseksama mungkin. Dia tak mau tergelincir melakukan kekeliruan.
Ginggi ikut di rumah besar yang dihuni Suji Angkara. Di rumah besar yang terbuat dari susunan kayu jati pilihan itu juga tinggal beberapa badega (pembantu) termasuk beberapa orang pembantu wanita usia tigapuluh tahunan ke atas tapi berwajah lumayan. Pekerjaan para badega adalah membersihkan halaman, memandikan kuda, atau pekerjaan-pekerjaan berat yang tak mungkin dilakukan kaum wanita. Sedangkan para pembantu wanita bekerja dari mulai memasak, mencuci, sampai membersihkan dan membereskan tempat tidur Suji Angkara. Para pembantu wanita itu pun kadang-kadang bertugas memijit bila Suji Angkara menghendakinya. Namun selama Ginggi meneliti, sikap pemuda itu wajar-wajar saja. Dia dipijit dan para wanita memijit, tak lebih dari itu.
Seta juga tinggal di sana. Menurut para badega, Seta bertugas sebagai pengawal Raden Suji. Tapi menurut penglihatan Ginggi, pemuda yang bibirnya selalu mencibir itu tugasnya tak lebih hanya sebagai pelayan belaka, kendati tidak seperti badega lainnya. Seta lebih berupa pelayan pribadi pemuda pesolek itu untuk keperluan-keperluan di luar rumah.
Akan halnya Ginggi, Suji Angkara rupanya tak menempatkan pemuda itu secara khusus, sebab sesuai dengan ucapan Suji Angkara, Ginggi akan dipekerjakan di kediaman Ki Bagus Seta. Hanya saja selama dua minggi ini, Ginggi sudah dua kali menerima tugas khusus, yaitu mengirimkan surat daun nipah kepada Nyimas Banyak Inten. Ini bermula dari Tanya jawab santai antara Ginggi dan Suji Angkara pada suatu senja di taman belakang rumahnya. Suji Angkara tengah dipijit-pijit seorang wanita pembantu dan Ginggi asyik merawat tanaman hias di tepi kolam yang banyak dihuni ikan mas berwarna-warni.
“Duruwiksa, sedang apa kau di sana?” tanya Suji Angkara padahal matanya meram-melek karena tengah menikmati pijitan wanita pembantu.
“Saya tengah mencabuti daun-daun kering, Raden,” jawab Ginggi merendah.
Selama dua minggu ini pemuda itu selalu menyebut duruwiksa kepadanya. Namun karena Suji Angkara mengucapkannya dengan wajar tak terasa lagi sebagai ejekan. Bahkan Ginggi pun sudah terbiasa dan seperti betah mendengarnya.
“Kau kesinilah sebentar,” kata Suji Angkara melambaikan tangannya.
“Baik, Raden …” Ginggi melangkah terbungkuk-bungkuk. Kemudian duduk bersila di mana pemuda bersolek itu berbaring di sebuah dipan kayu.
“Kepandaianmu, sebetulnya apa sih?” tanya Suji Angkara tiba-tiba.
Ginggi sudah siap untuk menerima berbagai pertanyaan. Dan tentu jawabannya asal bunyi saja, yang penting jauh dari segala kebenaran yang bakal mencurigakan orang lain.
“Saya tak memiliki kepandaian selain yang Raden ketahui selama ini,” jawab Ginggi menunduk seolah-olah memperlihatkan rasa malu dan rendah diri.
“Ilmu membaca huruf misalnya?”
Ginggi menggelengkan kepala. “Saya ini pengembara, kemana saja kaki membawa, di situlah saya tinggal. Tidak pernah tahu siapa kedua orang tua saya. Yang saya tahu, saya sudah hidup seperti ini. Jadi kalau ada yang tanya dari mana asal, saya tak bisa jawab. Tugas saya sehari-hari hanya memikirkan bagaimana hari ini bisa makan. Lain dari itu saya tak pikirkan, termasuk mempelajari tektek-bengek seperti membaca, menulis dan apalagi belajar ilmu kedigjayaan seperti yang dilakukan Seta, misalnya,” kata Ginggi berpanjang lebar agar Suji Angkara segera kehabisan apa yang akan ditanyakan selanjutnya.
Mendengar penjelasan Ginggi, pemuda itu hanya manggut-manggut saja tanpa Ginggi tahu apa maksudnya.
“Sebetulnya wajahmu lumayan juga. Kalau kau tak bodoh dan lugu, barangkali akan banyak wanita memperhatikanmu,” kata pemuda itu sungguh-sungguh.
Ginggi hanya menatap sejenak. Perempuan pembantu yang tengah memijit juga seperti diingatkan oleh ucapan oleh pemuda itu sehingga serta-merta memandangi wajah Ginggi.
“Apa tidak merepotkan bila seorang lelaki banyak diperhatikan para gadis, Raden?” tanyanya senyum dikulum.
Suji balas tersenyum. Dia tak bicara apa-apa sehingga dia tak bisa mengorek isi hati pemuda pesolek itu lebih jauh mengenai perhatiannya terhadap wanita.
“Barangkali merepotkan. Tapi tidak dicintai wanita pun sama merepotkan. Rasa sepi di hati kupikir merepotkan. Ditolak cinta pun kupikir merepotkan sebab hati bisa gundah- gulana,” kata Suji Angkara pada akhirnya.
Namun perkatannya itu hanya diucapkan sambil mata terus meram melek karena keenakan mendapat pijitan-pijitan perempuan pembantu itu.
“Sekarang pun aku tengah menderita kerepotan,” gumam pemuda itu selanjutnya.
“Terlalu banyak dicinta wanita, Raden?” tanya Ginggi menyipitkan matanya untuk memandang Suji Angkara.
“Terlalu banyak dicinta bagi seorang bangsawan malah lumrah. Yang tak lumrah bagi seorang bangsawan adalah bila menerima semua cinta itu. Orang kebanyakan akan mencibir bila melihat kaum bangsawan semena-mena dan serampangan melakukan cinta. Sesama bangsawan pun akan marah sebab merasa martabatnya dijatuhkan bila ada bangsawan lainnya berlaku tak senonoh dalam urusan cinta. Dan ini merepotkan,” kata Suji Angkara.
“Mungkin akan aman bagi bangsawan bila memilih salah satu orang yang dicinta saja,” gumam Ginggi menyela ucapan pemuda itu.
Namun Suji Angkara hanya merahuh kesal.
“Raden sedang dilanda nestapa karena urusan cinta?” tanya Ginggi.
Dan Suji Angkara pelan-pelan menganggukkan kepalanya. Ginggi terdiam. Tapi perempuan pembantu masih melanjutkan pekerjaannya memijat bagiaan-bagian tubuh Suji Angkara sepertinya obrolan ini bukan sesuatu yang perlu disimak benar.
“Aku tengah menggandrungi Nyimas Banyak Inten, putri cantik Bangsawan Yogascitra. Bagaimana caranya agar cintaku tak bertepuk sebelah tangan?” gumam Suji Angkara lagi mengatupkan mata seolah-olah membayangkan agar cita-citanya terlaksana.
Jantung Ginggi berdegup mendengarnya. Ketika pertemuan pertama kalinya di Pakuan, Ginggi memang melihat Suji Angkara begitu penuh perhatian terhadap gadis putri Bangsawan Yogascitra itu. Waktu itu pun Ginggi sudah menduganya kedua muda-mudi itu sedang menjalin hubungan baik. Tapi siapa kira hubungan mereka belum terikat resmi. Bahkan lebih jauh dari itu, mereka belum melakukan sesuatu ikatan. Buktinya, Suji Angkara kini mengaku bahwa dirinya tengah menaksir gadis itu. Ginggi berdegup mengetahui kenyatan ini. Tapi mengapa mesti berdegup? Aneh, Ginggi sendiri tak tahu,mengapa harus berdegup?
“Betul-betulkah engkau tak bisa baca-tulis, Duruwiksa?” tanya Suji Angkara.
Ginggi menatap pemuda itu. Apa hubungan Nyimas Banyak Inten dengan dirinya yang mengaku tak bisa bacatulis? Namun biar pun dilanda rasa heran, Ginggi akhirnya mengangguk juga.
“Kalau begitu, kau harus tolong aku. Kau sampaikan suratku pada Nyimas Banyak Inten…” kata Suji Angkara.
Ginggi menatap tajam ke arah pemuda itu.
“Engkau harus berterimakasih kepada Raden Suji, sebab kau akan bekerja di puri ayahandanya, yaitu Bangsawan Bagus Seta,” kata Banyak Angga.
Bergetar hati Ginggi mendengarnya. Ki Bagus Seta, murid Ki Darma adalah ayahanda Suji Angkara? Ini amat mengejutkan, sekaligus membingungkan. Ginggi terkejut dan bingung, bukankah ayahanda Suji adalah Kuwu Suntara, Kepala Desa Cae? Kembali ada misteri baru menyelimuti anak muda tampan tapi terkesan angkuh ini. Namun di samping keheranannya, Ginggi pun amat gembira. Kalau benar dirinya akan dipekerjakan di puri ayahanda Suji Angkara, berarti dia akan bertemu dengan Ki Bagus Seta. Dengan begitu, lengkaplah pertemuan dirinya dengan keempat murid Ki Darma.
Bersama tiga murid Ki Darma yang telah ditemukan terlebih dahulu, dia menemukan harapan sekaligus kekecewaan dan tanda tanya. Ketika bertemu dengan Ki Rangga Guna ada secercah harapan bahwa murid ketiga Ki Darma ini sepertinya setia dengan amanat guru. Namun menemukan Ki Rangga Wisesa hanya ada rasa sesal dan kecewa saja sebab orang itu berotak miring dan perangai serta tindakannya memalukan Ki Darma. Ki Banaspati, murid pertama Ki Darma masih berupa teka-teki bagi Ginggi. Sekarang teka-teki makin besar bila ingat Ki Bagus Seta. Dia menjadi bangsawan, dia menjadi pejabat pemungut pajak. Apa yang tengah dilakukan sebenarnya oleh murid kedua ini, Ginggi belum bisa menebaknya.
“Saya amat berbahagia bila dipercaya bekerja di puri ayahandamu, Raden. Bangsawan Bagus Seta sudah lama saya kenal dan saya kagum kepadanya,” kata Ginggi menyembah takzim.
Suji mengangguk-angguk sebagai tanda senang. “Ya, nanti sore aku perkenalkan kau pada ayahanda,” kata Suji Angkara.
Untuk yang kesekian kalinya Ginggi menyembah takzim, disambut dengan sedikit dengus pemuda Seta dari kejauhan. Ginggi tak dengar dengusan ini sebab hatinya diliputi kegembiraan bisa berhubungan dengan Ki Bagus Seta.
Sudah hampir dua minggu Ginggi berada di Pakuan. Suji Angkara yang pernah berkata akan mempekerjakan Ginggi di kediaman Ki Bagus Seta belum pula melaksanakan janjinya. Selama dua minggu ini, Ginggi malah disuruhnya berada dekat-dekat dengannya.
Suji Angkara ternyata diam sendirian di sebuah rumah besar tapi masih satu kompleks dengan rumah yang lebih besar lagi, yaitu rumah milik Ki Bagus Seta. Ginggi belum berkenalan dengan Ki Bagus Seta, namun wajahnya sudah dia kenal. Orang itu bila bepergian selalu mendapatkan pengawalan empat sampai lima orang petugas. Dan melihat gerak-gerik para pengawalnya, Ginggi mendapatkan bahwa mereka bukan dari jagabaya biasa, melainkan kedudukannya jauh lebih tinggi lagi. Mungkin bukan perwira setingkat pengawal raja, namun sepertinya mempunyai kepandaian yang tinggi, dan Ginggi harus demikian hati-hati untuk menyelidikinya.
Ki Bagus Seta berperawakan gagah. Tubuhnya tinggi besar dan selalu berpakaian mewah. Matanya tajam seperti burung elang dan dagunya runcing. Seperti menandakan bahwa orang ini pemikir keras dan selalu bertindak tegas dalam mengambil keputusan. Dan bila memperhatikan sepasang matanya yang tajam bagai mata burung elang itu, Ginggi amat yakin, bahwa orang seperti itu pemerhati yang serius, baik terhadap situasi, mau pun terhadap tindak-tanduk orang lain. Kalau benar dugaannya, maka Ginggi pun harus semakin hati-hati pula dalam bertindak. Sikap-sikap ini sebenarnya hampir sama dengan tindak-tanduk yang diperlihatkan Suji Angkara. Anak muda ini pun seorang pemerhati dan penyelidik. Namun bedanya, Suji Angkara ini orang yang gila hormat. Bila keinginannya sudah terkabul dia sudah percaya terhadap mulut manis.
Selama beberapa hari Ginggi berada dekatnya, masih ada kesan menyelidik dan menguji dari “majikannya” ini. Tapi karena Ginggi selalu bersikap sopan dan selalu “bodoh namun jujur”, anak muda itu akhirnya memiliki kepercayaan penuh bahwa Ginggi datang ke hadapannya tidak memiliki tujuan apa-apa selain hendak mengabdi belaka. Ginggi berpikir bahwa sangat mungkin Suji Angkara mudah percaya akan hal ini karena memang selama ini banyak orang yang mengharapkan bisa mengabdi kepadanya. Buktinya, Seta dan Madi, adalah pengabdi yang baik. Ki Ogel dan Ki Banen pun mungkin pada mulanya dianggap pengabdi yang baik kalau saja kedua orang tua ini tidak memperlihatkan sikap-sikap menentang terhadap Suji Angkara.
Dengan siapa kini dekat, bagi Ginggi tak ada bedanya sebab semua orang akan dia selidiki. Kepada anak muda pesolek ini, berbagai kecurigaan sudah menumpuk. Kini usaha Ginggi adalah bagaimana cara mengungkapkannya. Dan bila sekarang sudah bisa berdekatan dengan pemuda itu, akan banyak cara mengungkapkannya. Namun bagi Ginggi kini ada tantangan yang lebih besar lagi. Dia harus sanggup membuka tabir penuh misteri dari Ki Bagus Seta. Seperti ada rangkaian yang sambung menyambung dan semakin melebar saja, dan semuanya terselubung misteri.
Ginggi harus sanggup membuka tabir, sejauh mana peran Ki Bagus Seta yang di Pakuan ini berhasil menempatkan dirinya sebagai bangsawan yang memiliki jabatan penting, padahal gurunya sendiri sudah dianggap pengkhianat dan selalu dikejar-kejar. Ginggi juga harus mengetahui, bagaimana hubungan Ki Bagus Seta dengan Ki Banaspati yang menjadi bawahan dalam mengurus pajak-pajak negara.
Ini misteri paling besar dan amat menyangkut urusan negara. Bayangkanlah, Ki Banaspati bertugas sebagai muhara untuk wilayah timur tapi diketahui Ginggi menyembunyikan hasil-hasil pajak sebab akan digunakan menghimpun kekuatan pasukan dalam upaya melawan raja.
Sedangkan Ki Bagus Seta di ibukota bertindak sebagai pejabat muhara dan bertanggung jawab penuh dalam memasukkan penghasilan negara. Adakah hubungan kedua orang itu dalam upaya melaksanakan amanat guru? Betulkah Ki Bagus Seta berusaha menjadi muhara juga karena ingin melaksanakan amanat guru? Ginggi perlu menyelidikinya lebih jelas lagi.
Pemberontakan adalah sesuatu yang tidak disukai Ki Rangga Guna. Tapi kalau ternyata upaya-upaya yang dilakukan Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta merupakan upaya menolong kepentingan rakyat seperti yang diamanatkan Ki Darma Tunggara, maka tak ada jalan lain, Ginggi harus ikut mendukungnya. Mengapa tidak begitu? Selama dua minggu dia berada di ibukota Pajajaran ini, melihat kaum bangsawan hidupnya senang, melihat pula bagaimana bahagianya raja dan keluarganya yang acapkali bercengkrama di Taman Mila Kancana, atau makan-makan buah durian di Tajur Agung (kebun istana), itu karena jasa pengabdinya yaitu ambaraahayat. Tapi apa balas budi Raja kepada Ki Darma, perwira yang puluhan tahun mengabdi kepada negara? Ki Darma bahkan dikejar dan diburu serta dicap pemberontak.
Selama dua minggu ini, hampir setiap malam Ginggi menyimak tembang-tembang prepantun (pelantun cerita), dari prepantun istana sampai prepantun yang menggelar pertunjukannya dijawi khita (benteng luar), selalu menceritakan pengkhianatan Ki Darma Tunggara.
Siapa berkhianat itu yang jahat
seribu perwira siap mati
seribu perwira hampir mati
mati karena pengkhianatan
mati karena pengkhianatan
oh,hai, pengkhianat
dialah Ki Darma Tunggara!
dialah Ki Darma Tunggara!
Ginggi hampir setiap malam mendengarkan lantunan prepantun yang mengisahkan pertempuran mati-matian di alun-alun luar kota Pakuan antara seribu perwira pengawal raja melawan musuh yang datang menyerbu. Dalam peristiwa ini Ki Darma Tunggara dicurigai melakukan pengkhianatan dengan sengaja mengundang musuh dari barat. Peristiwa itu terjadi belasan atau puluhan tahun yang lalu, ketika Pakuan diperintah Sang Prabu Dewata Buana atau lebih dikenal sebagai Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543 Masehi). Ki Darma Tunggara yang merasa lebih berpengalaman dalam membela negara karena sudah sejak Pakuan dipimpin Sang Ratu Jaya Dewata atau lebih dikenal dengan Sri Baduga Maharaja atau Sang Prabu Siliwangi (1482-1521 Masehi), mengeritik kebijaksanaan Sang Prabu Ratu Dewata yang lebih memperhatikan kehidupan agama ketimbang yang lainnya.
Ayahanda Sang Prabu Ratu Dewata, yaitu Ratu Sangiang, atau lebih dikenal sebagai Sang Prabu Surawisesa (1521-1543 Masehi) semasa memerintah gemar berperang. Selama 14 tahun memerintah, melakukan peperangan sebanyak 15 kali. Menurut Sang Prabu Ratu Dewata, seringnya melakukan peperangan mungkin juga akan diakui dunia sebagai bangsa yang gagah berani. Tapi juga akan punya risiko banyak menyakiti musuh. Musuh yang kalah tak akan selamanya takut, suatu waktu mereka akan membalas kekalahan. Peperangan yang berkepanjangan pun, baik dalam kemenangan apalagi dalam kekalahan, hasilnya tetap akan menyengsarakan rakyat. Dan karena perang dibentuk oleh jalan pikiran manusia, maka Sang Prabu Ratu Dewata memilih belajar mengendalikan pikiran agar tak selalu dipenuhi nafsu angkara-murka.
Sang Prabu Ratu Dewata memilih hidup damai ketimbang mengundang kemelut. Itulah sebabnya sendi-sendi agama diangkat ke permukaan. Kuil dan biara di Pakuan diperbanyak jumlahnya, demikian pun para wiku dan pendeta, di kuil memperdalam masalah kebatinan ketimbang memperhatikan kehidupan lahiriyah. Inilah yang dikritik ki Darma. Menurutnya, tapa di nagara untuk seorang raja bukanlah mengurung diri di kuil sambil melepaskan seluruh kehidupan lahiriyah.Tapa di nagara adalah melaksanakan pekerjaan yang ditekuni sehingga berguna untuk kepentingan umum. Hanya memperhatikan kepentingan batiniyah tanpa mengurus kepentingan lahiriyah hidup tidaklah seimbang. Apalagi menurut Ki Darma, negara tetap dalam bahaya. Musuh yang datang tidak sekadar akan membalas kekalahan, tapi karena punya maksud ingin menghilangkan pengaruh Pajajaran dan akan digantikannya dengan pengaruh baru yang dibawa oleh mereka. Jadi, mengurung diri dengan maksud menjauhkan nafsu angkara-murka yang ada dalam diri sendiri tidak akan mengusir bahaya peperangan, sebab musuh tetap mengancam.
Ki Darma pernah memberikan peringatan kepada Raja bahwa sewaktu-waktu musuh dari barat akan menyerang. Ki Darma bisa berkata begitu karena dia pandai meramal sesuatu bahaya. Tapi peringatan ini tak dipercaya Raja dengan mengatakan bahwa ramalan Ki Darma bohong belaka. Namun ketika secara tiba-tiba musuh datang menyerang dan langsung mengepung Pakuan, pemerintah tak berterima kasih kepada Ki Darma, bahkan sebaliknya menuduh Ki Darma berlaku khianat. Kalau benar Ki Darma bisa meramal, mengapa katanya kedatangan musuh yang tiba-tiba tidak bisa diramalkan? Banyak suara mendukung kecurigaan. Katanya, mungkin saja Ki Darma sudah tahu sebelumnya tapi tak dilaporkan. Atau ada kecurigaan lebih besar, Ki Darma sengaja “mengundang” musuh datang hingga ke “beranda” Pakuan tanpa diketahui sebelumnya. Dan itu semua karena pengkhianatan Ki Darma.
Memang Raja tak berhasil membuktikan kesalahan Ki Darma. Tapi Raja akan tetap menghukumnya ketika Ki Darma akhirnya akan mengundurkan diri dari kegiatan kenegaraan. Perintah untuk mengejar dan menangkap Ki Darma dikeluarkan setelah Pakuan dipimpin oleh Sang Prabu Ratu Sakti yang sejak dia menjadi perwira bekerja menjadi pengawal ayahandanya, sudah membenci Ki Darma yang senang melakukan panca parisuda (mengeritik).
Tak ada yang bisa membuktikan Ki Darma melakukan pengkhianatan. Tapi kebencian terhadapnya terus dihembus-hembuskan. Kisah peperangan di alun-alun luar Kota Pakuan merupakan kisah populer dan penduduk senang menikmati lantunan prepantun (juru pantun). Bila prepantun yang membawakannya pandai melantun merdu diiringi dawai-dawai kecapinya, maka pendengar akan tergugah dan terbawa arus. Mereka akan membenci Ki Darma si pengkhianat dan akan memuji kehebatan kepahlawanan seorang perwira muda putra mahkota. Dialah kelak Sang Ratu Sakti Sang Mangabatan raja gagah berani yang selalu berupaya mengembalikan kejayaan Pajajaran ke masa puluhan tahun silam.
Kisah-kisah kepahlawanan Sang Ratu Sakti dan pengkhianatan perwira Darma Tunggara terkenal sampai jauh ke wilayah timur seperti ketika Ginggi mendengarkan kisah ini pertama kalinya oleh prepantun Ki Baju Rambeng, di Desa Cae hampir setahun lalu. Ginggi sakit hati oleh kesemuanya ini. Barangkali murid-murid Ki Darma lainnya pun sama memendam sakit hati. Itulah sebabnya mungkin, Ki Banaspati tak kepalang tanggung menjalankan amanat guru. Dalam upaya membela kepentingan rakyat, Ki Banaspati akan menghimpun kekuatan untuk digunakan melawan raja.
Tidakkah Ki Bagus Seta yang kini mengendalikan kekayaan negara sebetulnya punya tujuan yang sama dengan Ki Banaspati? Barangkali secara diam-diam mereka berdua telah melakukan persekutuan dalam melawan Raja. Ya, barangkali. Tapi apa pun yang sesungguhnya terjadi, Ginggi harus tetap berlaku hati-hati. Dia harus mengambil keputusan yang tepat. Untuk itulah Ginggi harus melakukan penyelidikan seseksama mungkin. Dia tak mau tergelincir melakukan kekeliruan.
Ginggi ikut di rumah besar yang dihuni Suji Angkara. Di rumah besar yang terbuat dari susunan kayu jati pilihan itu juga tinggal beberapa badega (pembantu) termasuk beberapa orang pembantu wanita usia tigapuluh tahunan ke atas tapi berwajah lumayan. Pekerjaan para badega adalah membersihkan halaman, memandikan kuda, atau pekerjaan-pekerjaan berat yang tak mungkin dilakukan kaum wanita. Sedangkan para pembantu wanita bekerja dari mulai memasak, mencuci, sampai membersihkan dan membereskan tempat tidur Suji Angkara. Para pembantu wanita itu pun kadang-kadang bertugas memijit bila Suji Angkara menghendakinya. Namun selama Ginggi meneliti, sikap pemuda itu wajar-wajar saja. Dia dipijit dan para wanita memijit, tak lebih dari itu.
Seta juga tinggal di sana. Menurut para badega, Seta bertugas sebagai pengawal Raden Suji. Tapi menurut penglihatan Ginggi, pemuda yang bibirnya selalu mencibir itu tugasnya tak lebih hanya sebagai pelayan belaka, kendati tidak seperti badega lainnya. Seta lebih berupa pelayan pribadi pemuda pesolek itu untuk keperluan-keperluan di luar rumah.
Akan halnya Ginggi, Suji Angkara rupanya tak menempatkan pemuda itu secara khusus, sebab sesuai dengan ucapan Suji Angkara, Ginggi akan dipekerjakan di kediaman Ki Bagus Seta. Hanya saja selama dua minggi ini, Ginggi sudah dua kali menerima tugas khusus, yaitu mengirimkan surat daun nipah kepada Nyimas Banyak Inten. Ini bermula dari Tanya jawab santai antara Ginggi dan Suji Angkara pada suatu senja di taman belakang rumahnya. Suji Angkara tengah dipijit-pijit seorang wanita pembantu dan Ginggi asyik merawat tanaman hias di tepi kolam yang banyak dihuni ikan mas berwarna-warni.
“Duruwiksa, sedang apa kau di sana?” tanya Suji Angkara padahal matanya meram-melek karena tengah menikmati pijitan wanita pembantu.
“Saya tengah mencabuti daun-daun kering, Raden,” jawab Ginggi merendah.
Selama dua minggu ini pemuda itu selalu menyebut duruwiksa kepadanya. Namun karena Suji Angkara mengucapkannya dengan wajar tak terasa lagi sebagai ejekan. Bahkan Ginggi pun sudah terbiasa dan seperti betah mendengarnya.
“Kau kesinilah sebentar,” kata Suji Angkara melambaikan tangannya.
“Baik, Raden …” Ginggi melangkah terbungkuk-bungkuk. Kemudian duduk bersila di mana pemuda bersolek itu berbaring di sebuah dipan kayu.
“Kepandaianmu, sebetulnya apa sih?” tanya Suji Angkara tiba-tiba.
Ginggi sudah siap untuk menerima berbagai pertanyaan. Dan tentu jawabannya asal bunyi saja, yang penting jauh dari segala kebenaran yang bakal mencurigakan orang lain.
“Saya tak memiliki kepandaian selain yang Raden ketahui selama ini,” jawab Ginggi menunduk seolah-olah memperlihatkan rasa malu dan rendah diri.
“Ilmu membaca huruf misalnya?”
Ginggi menggelengkan kepala. “Saya ini pengembara, kemana saja kaki membawa, di situlah saya tinggal. Tidak pernah tahu siapa kedua orang tua saya. Yang saya tahu, saya sudah hidup seperti ini. Jadi kalau ada yang tanya dari mana asal, saya tak bisa jawab. Tugas saya sehari-hari hanya memikirkan bagaimana hari ini bisa makan. Lain dari itu saya tak pikirkan, termasuk mempelajari tektek-bengek seperti membaca, menulis dan apalagi belajar ilmu kedigjayaan seperti yang dilakukan Seta, misalnya,” kata Ginggi berpanjang lebar agar Suji Angkara segera kehabisan apa yang akan ditanyakan selanjutnya.
Mendengar penjelasan Ginggi, pemuda itu hanya manggut-manggut saja tanpa Ginggi tahu apa maksudnya.
“Sebetulnya wajahmu lumayan juga. Kalau kau tak bodoh dan lugu, barangkali akan banyak wanita memperhatikanmu,” kata pemuda itu sungguh-sungguh.
Ginggi hanya menatap sejenak. Perempuan pembantu yang tengah memijit juga seperti diingatkan oleh ucapan oleh pemuda itu sehingga serta-merta memandangi wajah Ginggi.
“Apa tidak merepotkan bila seorang lelaki banyak diperhatikan para gadis, Raden?” tanyanya senyum dikulum.
Suji balas tersenyum. Dia tak bicara apa-apa sehingga dia tak bisa mengorek isi hati pemuda pesolek itu lebih jauh mengenai perhatiannya terhadap wanita.
“Barangkali merepotkan. Tapi tidak dicintai wanita pun sama merepotkan. Rasa sepi di hati kupikir merepotkan. Ditolak cinta pun kupikir merepotkan sebab hati bisa gundah- gulana,” kata Suji Angkara pada akhirnya.
Namun perkatannya itu hanya diucapkan sambil mata terus meram melek karena keenakan mendapat pijitan-pijitan perempuan pembantu itu.
“Sekarang pun aku tengah menderita kerepotan,” gumam pemuda itu selanjutnya.
“Terlalu banyak dicinta wanita, Raden?” tanya Ginggi menyipitkan matanya untuk memandang Suji Angkara.
“Terlalu banyak dicinta bagi seorang bangsawan malah lumrah. Yang tak lumrah bagi seorang bangsawan adalah bila menerima semua cinta itu. Orang kebanyakan akan mencibir bila melihat kaum bangsawan semena-mena dan serampangan melakukan cinta. Sesama bangsawan pun akan marah sebab merasa martabatnya dijatuhkan bila ada bangsawan lainnya berlaku tak senonoh dalam urusan cinta. Dan ini merepotkan,” kata Suji Angkara.
“Mungkin akan aman bagi bangsawan bila memilih salah satu orang yang dicinta saja,” gumam Ginggi menyela ucapan pemuda itu.
Namun Suji Angkara hanya merahuh kesal.
“Raden sedang dilanda nestapa karena urusan cinta?” tanya Ginggi.
Dan Suji Angkara pelan-pelan menganggukkan kepalanya. Ginggi terdiam. Tapi perempuan pembantu masih melanjutkan pekerjaannya memijat bagiaan-bagian tubuh Suji Angkara sepertinya obrolan ini bukan sesuatu yang perlu disimak benar.
“Aku tengah menggandrungi Nyimas Banyak Inten, putri cantik Bangsawan Yogascitra. Bagaimana caranya agar cintaku tak bertepuk sebelah tangan?” gumam Suji Angkara lagi mengatupkan mata seolah-olah membayangkan agar cita-citanya terlaksana.
Jantung Ginggi berdegup mendengarnya. Ketika pertemuan pertama kalinya di Pakuan, Ginggi memang melihat Suji Angkara begitu penuh perhatian terhadap gadis putri Bangsawan Yogascitra itu. Waktu itu pun Ginggi sudah menduganya kedua muda-mudi itu sedang menjalin hubungan baik. Tapi siapa kira hubungan mereka belum terikat resmi. Bahkan lebih jauh dari itu, mereka belum melakukan sesuatu ikatan. Buktinya, Suji Angkara kini mengaku bahwa dirinya tengah menaksir gadis itu. Ginggi berdegup mengetahui kenyatan ini. Tapi mengapa mesti berdegup? Aneh, Ginggi sendiri tak tahu,mengapa harus berdegup?
“Betul-betulkah engkau tak bisa baca-tulis, Duruwiksa?” tanya Suji Angkara.
Ginggi menatap pemuda itu. Apa hubungan Nyimas Banyak Inten dengan dirinya yang mengaku tak bisa bacatulis? Namun biar pun dilanda rasa heran, Ginggi akhirnya mengangguk juga.
“Kalau begitu, kau harus tolong aku. Kau sampaikan suratku pada Nyimas Banyak Inten…” kata Suji Angkara.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment