Ads

Wednesday, November 17, 2021

Kidung Senja Jatuh di Pajajaran 021

“Ini ramuan yang dibuat dari irisan batang kayu petai cina dan batang kayu pohon gedi,” kata Ginggi memegang-megang serpihan kayu tersebut.

“Bagaimana, cocokkah ramuan ini?” tanya Ki Ogel.

“Batang pohon petai cina gunanya untuk mengeringkan luka dan kayu gedi merupakan obat untuk melancarkan jalannya darah,” kata Ginggi.

“Ya, cocokkah ramuan itu untuk mengobati luka Ki Banen?”

Ginggi masih tak mengeluarkan jawaban pasti. Alisnya berkerut dan matanya menyipit tanda dia tengah berpikir keras.

“Daun dan batang pohon petai cina gunanya untuk merapatkan luka karena luka sabetan benda tajam. Aku biasanya hanya menggunakan ramuan ini untuk obat luar saja. Entahlah, bagaimana kemungkinannya bila digunakan obat luka dalam, sebab luka dalam bukan karena ada otot yang sobek dan mengeluarkan darah misalnya,” Ginggi terus menyipitkan mata saking kerasnya berpikir.

“Oh,ya, … Jangan diminum ramuan ini!” ucapnya kemudian.

Baik Ki Ogel maupun Ki Banen melirik tajam pada Ginggi. “Petai cina bila digunakan menutup luka luar akan bekerja cepat mengeringkan darah. Sedangkan bila digunakan terhadap luka dalam dan masuk ke dalam aliran darah, hanya akan membuat darah menggumpal dan membeku. Bila pengobatan ini terus berlangsung, maka aliran darah akan tersumbat oleh darah-darah beku,” kata Ginggi yakin.

“Dan batang pohon gedi sebagai obat pelancar aliran darah, bagaimana?” tanya Ki Ogel.

“Ya, ramuan itu pun sama jangan diminum. Kau bayangkanlah Paman, sesuatu yang sedang tersumbat, kau dorong-dorong dengan cara paksa, bagaimana akibatnya?” tanya Ginggi.

“Saluran darah akan rusak, mungkin bocor, mungkin pecah!” kata Ki Ogel.

“Nah, benar begitu!” seru Ginggi.

“Berbahaya sekali! Bila begitu si Madi akan membunuh Ki Banen. Kurang ajar. Aku harus menuntut bocah dungu itu!” teriak Ki Ogel.

“Jangan terburu nafsu. Barangkali Madi tak menyadari kegunaan obat itu. Sebaiknya kita teliti saja, darimana dia dapatkan ramuan itu,” kata Ginggi. “Aku kira Madi tak berniat jahat. Lagi pula ramuan itu memang obat dan bukan racun. Hanya saja tak tepat bila digunakan mengobati luka dalam,” ungkap Ginggi lagi.

Setelah mengeluarkan pendapatnya, Ginggi berjanji akan mencarikan obat yang tepat bagi kesembuhan Ki Banen.

“Sekarang aku ingin tanya, mengapa sembilan bulan lalu kalian meninggalkanku secara tiba-tiba di Sagaraherang. Sepertinya kalian pergi dari tempat itu secara tergesa-gesa sekali,” kata Ginggi menyelidik.

“Itulah bagian dari keganjilan-keganjilan Suji Angkara, anak muda. Dia selalu bertidak aneh. Suka melakukansesuatu secara diam-diam,” kata Ki Ogel. “Tengah malam kami berempat dibangunkan dan diajaknya melanjutkan perjalanan ke Pakuan. Ketika aku tanya, mengapa mesti buru-buru seperti itu, dia malah membentak. Aku tak tahu, apa sebenarnya yang terjadi. Padahal di Sagaraherang engkau pun tahu, kita dilayani dengan baik. Mungkin dia curigai Ki Banaspati karena perampok di hutan jati menyebutnya seolah-olah Ki Banaspati pimpinan mereka. Tapi, bukankah Ki Banaspati sudah bilang bahwa itu hanya fitnah belaka?” kata Ki Ogel menceritakan kembali peristiwa mengapa mereka berangakat secara tiba-tiba dari Sagaraherang.

Hanya Ginggi yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun tadi Ginggi sengaja bertanya karena hanya akan mengecek saja, apakah para pengikut Suji Angkara tahu persis peristiwa di Sagaraherang?

“Kalau begitu kalian tak sayang padaku, sehingga meninggalkanku begitu saja …” gumam Ginggi pura-pura menyesal dengan peristiwa itu.

“Ki Banen sudah bilang, dia akan cari kau dulu untuk diajak serta. Tapi Seta menolaknya, sebab sebelumnya pun kau tak ikut rombongan kami. Apalagi Suji Angkara nampaknya begitu amat tergesa-gesa ingin segera meninggalkan tempat itu secara diam-diam,” kata Ki Ogel.

“Tapi sudah aku katakan tadi, sebaiknya kau jangan bergabung dengan Suji Angkara,” kata Ki Banen menimpali sambil tetap tergolek lemah.

“Selama ini hidupku terkatung-katung, ingin sekali kerja. Suji Angkara pernah menawariku kerja,” gumam Ginggi.

“Carilah kerja di mana saja tapi jangan pada Suji Angkara,” Ki Banen balik bergumam.

“Betul, anak muda. Kau ini sok usil mudah mengeritik orang. Bila kau terang-terangan mengeritik tindak-tanduk Suji Angkara, bisa membahayakan dirimu. Di Pakuan ini nampaknya dia punya pengaruh, entah karena apa. Namun yang jelas, banyak orang yang segan padanya, terutama di kalangan istana…” kata Ki Ogel sambil mendongakkan kepala ke langit-langit seolah-olah tengah menerka-nerka apa kedudukan Suji Angkara di Pakuan ini.

Ginggi pun sebenarnya berpikiran sama. Suji Angkara ini amat misterius sampai-sampai menimbulkan perhatian khusus bagi Ki Banaspati ketika di Sagaraherang. Padahal yang Ginggi tahu, sebelumnya Ki Banaspati menganggap pemuda itu sebagai bawahannya dalam menghimpun seba di wilayah timur. Untuk berusaha membuka tabir-tabir ini, tak ada cara lain selain langsung memasuki istana. Ginggi harus membuka banyak tabir. Bagaimana pandangan kalangan istana terhadap kegiatan Ki Banaspati, termasuk pula pandangan Ki Bagus Seta. Ginggi juga harus menyelidik, apa kegiatan sebenarnya dari Ki bagus Seta. Apakah dia bertindak murni sebagai pejabat Pakuan, ataukah memiliki tujuan khusus seperti Ki Banaspati. Dan bila mengingat akan hal ini, pemuda itu jadi termenung. Kalau ternyata Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta bersekutu untuk menjatuhkan Raja, apa yang harus dilakukan Ginggi? Berpangku tangan, mencoba menggagalkannya, ataukah sama sekali bergabung ikut membantu?

Berkerut dahi pemuda itu. Bila ikut bantu, artinya artinya terjun dalam upaya pemberontakan. Ki Rangga Guna pernah bilang, memberontak terhadap pemerintahan yang syah adalah tindakan hina dan jahat sebab akan mengakibatkan suasana negara semakin kacau. Rakyat pun akan menderita sebab di antara mereka akan terjadi pro dan kontra. Pemberontakan yang bertujuan akan mengganti tatanan negara, menurut Ki Rangga Guna hanya akan mengembalikan negara ke titik nol lagi.

“Seorang pemimpin yang bertahta karena menggantikan raja lama dengan kekerasan biasanya tidak senang bila dalam melanjutkan kepemimpinannya mengikuti tata-cara raja yang dijatuhkannya. Dengan demikian dia jelas akan mengubah gaya kepemimpinannya. Dia akan mengganti seluruh aparatnya, mungkin dengan yang lebih bagus lagi, tapi mungkin hanya sebagai jatah bagi hasil atas jasa-jasa orang yang membantunya melakukan pemberontakan dan bukan dihitung atas dasar mampu atau tidaknya menjadi aparat. Yang jelas, mengganti tatanan negara beserta aparatnya, hanya akan mengembalikan cita-cita kemajuan negara ke tingkat awal. Rakyat yang akan jadi korban sebab mereka tak ada habis-habisnya disuruh berjuang dari awal lagi,” kata Ki Rangga Guna ketika itu.

Selama tiga bulan Ki Rangga Guna bersamanya, memang banyak memberikan berbagai pengetahuan, termasuk pengetahuan akan kejadian masa lalu. Menurut Ki Rangga Guna, selama hampir 900 tahun ini Kerajaan Sunda berdiri, dan berubah menjadi Pajajaran 68 tahun silam (1482 Masehi), sudah dipimpin oleh 38 raja. Pergantian dari raja ke raja lainnya dilakukan secara damai dan penurunan tahta secara kekerasan bukanlah tradisi orang Sunda.

Kata Ki Rangga Guna, dari 38 raja yang memegang tahta Kerajaan Sunda, hanya tiga raja yang tergantikan kedudukannya karena pemberontakan, yaitu Sang Prabu Rakean Tamperan Barmawijaya (723-739 Masehi), dua raja lagi yang hidup sebelum Sang Prabu Rakeyan Tamperan Barmawijaya, yaitu terhadap Sang Sena (716 Masehi) dan kepada Prabu Purbasora (723 Masehi) ayahandanya Sang Prabu Rakeyan Tamperan Barmawijaya.



“Peristiwa pemberontakan dan perebutan kekuasaan ini terjadi karena saling balas-membalas keluarga masing-masing,” kata Ki Rangga Guna. “Jadi terbukti, pergantian kekuasaan dengan jalan kekerasan dan rebutan, hanya akan melahirkan kekerasan lainnya lagi. Itulah sebabnya, para penerus raja-raja Sunda menghindari berbagai pertikaian di dalam negri. Hanya dua raja yang tergantikan karena pembunuhan. Sang Prabu Arya Kedaton, raja Sunda ke 9 terbunuh oleh menterinya sendiri karena tak senang atas asal-usul Sang Raja. Tetapi Raja Sunda ke 31 terbunuh karena sesuatu hal yang terhormat. Beliau adalah Prabu Wangi atau Sang Prabu Maharaja Linggabuana yang tewas dalam pertempuran membela kehormatan dan harga diri di Bubat, negri timur. Pergantian kekuasaan lainnya yang dialami raja-raja Sunda terjadi secara wajar-wajar saja tanpa ada kemelut yang berarti. Hal-hal seperti ini setidaknya akan membantu kerukunan di dalam negri sendiri,” tutur Ki Rangga Guna yang pada prinsipnya tak menghendaki adanya pemberontakan yang bertujuan merebut kekuasaan negara.

Siapa yang harus Ginggi ikuti pendapatnya, dia masih bimbang memikirkannya. Namun bila dia hanya berpangku tangan saja, dia akan malu terhadap Ki Darma, sebab hanya menandakan bahwa hidupnya tiada guna. Apa pun yang dilakukan Ki Banaspati, sebenarnya adalah upaya melawan kebijaksanaan raja yang dalam hal ini dianggapnya sebagai amanat guru. Namun jalan pikiran Ki Rangga Guna yang menolak pemberontakan pun pada hematnya suatu upaya dalam menjalankan amanat guru juga.

Ki Darma acapkali berkata, agar semua muridnya berjuang mengembalikan kejayaan bumi Pajajaran. Hanya bedanya, Ki Banaspati menafsirkan ucapan guru dengan jalan memberontak dan Ki Rangga Guna menafsirkan dengan jalan berupaya bekerja agar Pajajaran aman dan tentram. Semua sepertinya berjalan di atas kebenaran. Tetapi tetap saja amat membingungkan pikiran Ginggi. Sampai percakapan dengan kedua orang itu selesai, jalan pikiran pemuda itu masih digayuti kebimbangan-kebimbangan.

“Aku akan jalan-jalan melihat kota, Paman …” akhirnya.

“Silakan kau berkeliling kota. Tapi hati-hati jangan membuat keributan. Bila sudah malam, kau pulanglah ke sini,” kata Ki Ogel.

Ginggi mengangguk sebagai tanda terima kasih atas penerimaan kedua orang tua itu untuk tinggal di sana. Dan sesudah mohon diri, pemuda itu segera berlalu meninggalkan rumah kayu tua di tepi Sungai Cipakancilan ini.

Hari sudah amat siang. Di alun-alun benteng luar pun, keramaian sudah usai. Kecuali balandongan belum dibongkar seluruhnya. Ada satu dua petugas membereskan sisa-sisa keramaian. Mereka bekerja dengan telaten kendati sinar matahari sudah semakin menyengat. Mungkin acara uji-terampil yang tadi diselenggarakan sudah menghasilkan beberapa prajurit pilihan untuk kelak dididik dan digodok agar menjadi perwira tangguh. Mungkin juga sudah banyak ambarahayat yang terpilih sebagai calon prajurit Pajajaran. Namun yang jelas, Ginggi kurang begitu berminat untuk menyimak urusan yang satu itu.

Di saat sengatan matahari siang, dia malah berkeliling Pakuan untuk mengenal suasana ibukota ini lebih rinci lagi. Sekarang Ginggi bisa memperhatikan wilayah ini lebih seksama lagi. Seperti apa yang diterangkan seorang penduduk, Pakuan terdiri dari dua bagian, pertama wilayah jawi khita (kota luar) dan dalem khita (kota dalam). Batas-batas wilayah itu memang dibatasi oleh khita (benteng), ada benteng luar dan ada benteng dalam. Kaum santana, pedagang dan ambarahayat tinggal di benteng luar, sedangkan para bangsawan, pejabat dan kerabat raja tinggal di benteng dalam.

Ketika Ginggi masuk kedayo (kota) dari arah timur, Ginggi mesti menyebrang sungai bernama Cihaliwung (Ciliwung). Kata penduduk, sebenarnya dayo diapit dua sungai besar. Di sebelah timur oleh Sungai Cihaliwung dan di sebelah barat oleh Sungai Cisadane. Dua aliran sungai ini biasa dilayari sampai ke muara. Cisadane berakhir di muara Tangerang dan Cihaliwung berakhir di Kalapa (Sunda Kalapa). Dulu ketika zamannya Sri Baduga Maharaja, kedua sungai ini merupakan pelabuhan laut yang menghubungkan perdagangan antara Pakuan dan negri-negri sebrang. Barang-barang kiriman dari negri sabrang bisa dibawa langsung sampai ke pedalaman Pakuan ini.

Setiap hari lalu-lintas sungai selalu ramai. Perahu dari muara datang membawa kain halus, barang-barang keramik dari Cina atau berbagai keperluan hidup yang belum dibuat di Pakuan. Sebaliknya dari pedalaman, perahu beriringan membawa hasil bumi Pakuan untuk dikirimkan ke berbagai negri sebrang. Kapas dan buah asem, bawang merah bahkan anggur, akan dibawa perahu-perahu kecil menuju muara di mana di sana terdapat pelabuhan laut. Barangbarang Pakuan kelak akan dipindahkan kejung (kapal besar). Dalam satu tahun, hampir seribu jung meninggalkan Pelabuhan Kalapa (Kalapa Sunda) sambil membawa buah asem saja.

Sekarang zamannya Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan, kedua sungai ini masih tetap dilayari tapi hanya sebatas wilayah Pakuan saja. Perahu-perahu kecil milik orang Pakuan sudah tak berani melanjutkan perjalanan ke utara sampai muara, sebab wilayah tersebut sudah jadi milik kekuasaan Cirebon. Begitu pun perdagangan antar negri, semua sudah jadi milik Cirebon. Kalau pun ada barang-barang dari negri sabrang masuk ke wilayah Pakuan, itu terjadi karena kenekatan para penyelundup saja.

Masuk ke tengah dayo juga ada sungai. Penduduk menyebutnya sebagai Sungai Cipakancilan atau Cipeucang. Sungai ini ada di antara batas dalem khita dan alun-alun.

Atau dengan kata lain, sungai ini seolah-olah melindungi benteng dalam. Menurut orang tua yang ditanyai Ginggi, Cipakancilan atau Cipeucang ini sebetulnya sungai yang sengaja dibangun untuk pertahanan istana. Sebelum masuk kelawang saketeng (gerbang keraton), sebelumnya mesti melintasi Sungai Cipakancilan dulu. Cukup kokoh sebagai pertahanan. Apalagi bila dilihat dari arah selatan, sisi-sisi Cipakancilan berupa tebing terjal di tepian benteng dalam. Pusat istana nampak nyata sebagai daerah dataran tinggi.

Ketika Ginggi menyusuri jawi khita (benteng dalam) menuju arah timur, sayup-sayup Ginggi mendengar hingar-bingar, seperti banyak orang bersorak-sorai. Suara hingar-bingar itu sepertinya datang dari arah tepian Sungai Ciliwung.

“Paman, ada kejadian apakah di sudut benteng timur?” tanya Ginggi kepada seseorang yang tengah memikul bawaan dan nampaknya datang dari arah timur.

“Engkau tidak ikut ramai-ramai ke sana, anak muda?” orang itu malah balik bertanya sambil terus melangkah cepat karena pikulannya itu.

“Ada apa di sana, Paman?”

“Orang-orang sedang marak dileuwi Kamala Wijaya!” ucap orang itu sambil tetap melangkah tergesa-gesa.

Ginggi melangkah menuju arah yang ditunjukkan orang itu. Sepemakan sirih jauhnya, baru dia sampai ke tempat yang dimaksud. Suara sorak-sorai gegap-gempita memang datang dari tempat itu, yaitu Sungai Cihaliwung. Ratusan orang tua-muda, besar-kecil, laki-laki dan wanita, berderet dan berkelompok di tepi sungai. Mereka tengah menunggu sesuatu sambil berbekal alat-alat penangkap ikan. Mereka ada yang berbekal jaring, ayakan, atau ember kayu. Semua orang tengah menyaksikan dan menunggu teman-temannya yang berada di tengah sungai.

Sungai Cihaliwung sedang dibendung, sehingga hanya sebagian kecil saja air mengalir dari sela-sela bendungan. Jadi yang disebut marak oleh orang yang ditanya tadi adalah pekerjaan menangkap ikan dengan cara membendung bagian sungai agar ke daerah hilir, permukaan sungai menjadi turun hingga ke dasar. Jauh di hilir, ada lagi bendungan agar ikan di daerah aliran yang tengah dibendung tidak lari ke hilir. Bagian yang dibendung merupakan aliran sungai paling dalam. Jadi, Leuwi Kamala Wijaya adalah lubuk yang ada di aliran Sungai Cihaliwung.

Ketika Ginggi bertanya lagi kepada yang kebetulan menyaksikan acara ini, orang itu menjelaskan bahwa ini bagian dari acara menyambut panen tahunan di Pakuan. Kata orang itu, setiap tahun di Pakuan diadakan acara menyambut panen. Hampir 49 hari lamanya dan ada macam-macam acara. Acara tahunan ini di antaranya dihadiri juga oleh para penguasa dari wilayah-wilayah seputar Pakuan, yang kebetulan membawa seba tahunan.

Berbagai upacara keagamaan dilangsungkan dalam pesta panen itu, di antaranya upacara kuwerabakti, Menurut penjelasan yang didapat Ginggi, Kuwera adalah semacam dewa kemakmuran, suami Dewi Sri, ratu padi-padian. Kuwerabakti adalah upacara penghormatan dan sebagai tanda terima kasih manusia terhadap dewa pelindung pangan sehingga pengisi jagat ini mengalami kemakmuran.

“Sebelum diadakan acara kuwerabakti, raja dan seluruh keluarga akan mandi suci di Telaga Rena Maha Wijaya. Kemudian menuju bukit punden di Sasakala Gugunungan untuk melaksanakan upacara nyekar (ziarah) di makam tempat moksa atau ngahiyang (menghilang) Sang Prabu Sri Baduga Maharaja, di puncak bukit punden iti,” kata orang yang ditanya Ginggi.

Selanjutnya orang itu menerangkan kembali upacara marak atau munday di Sungai Cihaliwung ini. Marak dileuwi Kamala Wijaya ini diadakan setahun sekali. Yang melaksanakannya semua rakyat Pakuan yang berkenaan dengan kewajiban calagara (pajak tenaga kolektif) yang diabdikan kepada negara. Penduduk beramai-ramai menangkap ikan dileuwi Kamala Wijaya, yang sebagian orang menyebutnya sebagai Leuwi Sipatahunan.

“Ini bukan leuwi sembarang leuwi, sebab leuwi Sipatahunan adalah lubuk untuk pertahanan keraton. Sipatahunan itu pataheunan, pertahanan …” kata orang itu.

Ginggi meneliti lubuk ini dari tepiannya. Bisa juga bila daerah aliran sungai dalam ini digunakan sebagai pertahanan. Letaknya ada di sebelah timur benteng luar. Tidak sembarangan bisa menyebrangi leuwi. Bila ada musuh menyebranginya, maka tanggul di sebelah selatan akan dibobol dan mengakibatkan kesulitan bagi para penyerangnya (baca episode Kunanti di Gerbang Pakuan).

Ginggi berpikir, demikian cerdiknya Sang Prabu Sri Baduga Maharaja membangun pertahanan. Keraton seolah-olah diapit dua jurang terjal dari dua aliran sungai. Hanya ada satu celah di sebelah selatan. Tapi itu pun dihadang benteng dan parit buatan yang airnya dialirkan dari Sungai Cipakancilan,

Orang-orang kembali bersorak-sorai sambil tangannya menunjuk ke bawah. Ginggi juga ikut melihat. Ternyata lubuk sudah berkurang airnya dan sudah banyak orang mulai terjun ke bawah. Orang berteriak-teriak sambil menunjuk kesana-kemari karena di permukaan lubuk sudah terlihat air bergoyang dan bergelombang karena gerakan sirip-sirip ikan. Semakin air berkurang semakin nyata terlihat gerakan ikan-ikan itu. Dan kembali orang-orang bersorak-sorai tanda gembira bahwa hasil ikan akan didapat.

Sekarang orang yang terjun ke permukaan lubuk semakin banyak. Jala panjang segera ditebar membentuk lingkaran besar. Dibawa dan dipegang oleh puluhan bahkan ratusan orang banyaknya. Namun lingkaran besar itu semakin lama akan semakin mengecil dan menyempit serta ruang gerak ikan-ikan yang ada di tengah kepungan pun akan semakin terbatas ruang geraknya. Karena tempat berenang mereka kian terbatas, maka ikan-ikan itu semakin berdempet dan berdesak, hilir-mudik di ruangan sempit.

Sekarang dari atas tebing diturun kan anco, yaitu jaring segi empat yang bisa diturun-naikkan dengan keempat ujungnya diikat pada ujung bambu. Anco turun hingga ke dasar lubuk yang kedalamannya tinggal satu atau satu setengah depa lagi. Dibiarkan beberapa lama. Sesudah cukup waktu ditunggu, maka anco segera diangkat. Dan hasilnya, membuat semua orang menganga karena terpana. Jaring anco penuh digayuti ikan besar-besar. Tubuh ikan-ikan itu menggelepar dan meloncat-loncat, satu dua ekor bahkan kembali ke dasar lubuk membuat orang berteriak karena sesal.

Anco ditarik ke tepi dan puluhan orang berebutan manangkap puluhan ikan besar-besar yang menggelepar dan meloncat-loncat, dengan bersorak gembira semua orang berlomba menangkap dan memasukkannya ke dalam buleng atau ke dalam ember kayu. Bukan untuk dibawa pulang, melainkan untuk disetor kepada wadha, petugas yang bertanggung jawab atas kelancaran calagara (pajak tenaga).

Suara sorak-sorai semakin riuh-rendah ketika air semakin turun dan ketika kepungan jaring semakin rapat. Ratusan mungkin ribuan ikan sudah benar-benar terkepung dan mereka bingung kemana harus sembunyi. Akhirnya kelompok ikan itu hanya melompat-lompat tak tentu arah. Sampai pada suatu saat ikan-ikan itu hanya menggelepar-gelepar di kubangan lumpur.

Orang tinggal memungutinya saja dan dimasukkan ke dalam buleng, Di saat orang ramai memunguti ikan itulah, Ginggi melihat satu rombongan mengunjungi tepi lubuk. Mereka terdiri dari sekelompok muda belia. Yang perempuan elok-elok wajahnya dan yang laki-laki tampan-tampan. Melihat dandanan mereka yang bagus-bagus mudah diduga, mereka rombongan anak-anak bangsawan. Namun yang membuat Ginggi terkejut, di antara rombongan bangsawan itu terdapat juga Suji Angkara dan Seta.

Suji Angkara melangkah tenang dan anggun menyertai seorang gadis yang amat cantik rupawan. Tubuhnya semampai, kulitnya putih bersih, sepasang pipinya halus kemerahan dan seperti ranum. Bibirnya tipis mengulum senyum, sehingga di pipi kanannya terbentuk lesung pipit. Yang membuat Ginggi bergetar, ketika melihat sorot mata gadis itu yang demikian tajam dan jernih. Ketika tak sengaja mata gadis itu berpapasan dengan sorotnya, pemuda itu lantas tertunduk karena tak kuat beradu pandang dengan sorot mata yang bagaikan bintang kejora itu. Padahal mata gadis itu tak sengaja memandangnya. Yang malah memandang terhadapnya dengan penuh perhatian adalah Suji Angkara. Pemuda itu nampak heran sekali melihat Ginggi ada di situ.

“Hei Duruwiksa, engkau di sini juga?” Suji Angkara berteriak tapi dengan suara ditahan.

Ginggi tersenyum mengangguk. Dan manakala Suji Angkara memanggilnya dengan lambaian tangan, Ginggi datang mendekat.

“Engkau berada di disini Duruwiksa ?” tanya Suji Angkara tersenyum dan sesekali melirik pada gadis di sampingnya.

“Saya mencari-cari Raden sejak dari Sagaraherang,” kata Ginggi, sopan dan hormat, “Mengapa sepertinya semua meninggalkan saya di sana, padahal Raden sudah janji akan mengambil saya sebagai pekerja?” lanjutnya.

Yang ditegur hanya tersenyum-simpul saja, seolah-olah pertanyaan ini tidak mengandung arti apa-apa baginya.

“Aku hanya ingin melihat kesetiaanmu saja. Tapi, ya, engkau orang yang ulet juga …” kata Suji Angkara.

“Jadi, diterimakah saya bekerja bersamamu, Raden?” tanya Ginggi penuh harap, namun matanya selintas menyambar ke arah wajah anggun di samping pemuda itu.

“Aku tak tahu apa kepandaianmu. Tapi melihat kesetiaanmu padaku, aku terima kau kerja bersamaku,” kata Suji Angkara sambil melirik juga pada gadis di sampingnya.

“Engkau baik sekali, Raden…” Ginggi mengangguk-angguk sepertinya penuh rasa terimakasih.

“Sudah selayaknya seorang bangsawan sayang dan penuh perhatian kepada orang kebanyakan,” gumam Suji Angkara dengan nada suara dihalus-haluskan.

Namun bagi Ginggi nada bicara itu hanya berupa kesombongan belaka.

“Tapi pakaianmu bagus sekali. Tak layak kau pergunakan, apalagi kau kelak hanya akan bertugas sebagai pekerja kasar belaka,” kata Suji Angkara menilik jenis pakaian yang dikenakan Ginggi.

“Saya tak sengaja mendapatkannya. Pakaian ini hanya sekadar barang pemberian dari bekas majikan saya di perjalanan,” tutur Ginggi tak kepalang merendah-rendah.

Suji Angkara nampak mengangguk-angguk. “Ya, sudahlah …” gumam Suji Angkara sambil mengalihkan perhatian melihat orang berebutan mengambil ikan di permukaan lubuk yang telah kering airnya.

“Siapakah pemuda ini, Raden?” tanya gadis yang berdiri di sampingnya sambil menyibakkan rambutnya yang tertiup angin dan menutupi keningnya. Duhai cantiknya! Betapa indah rambut hitam itu berkibar tertiup angin. Betapa indah jari tangan-tangan halus itu menyibakkan sang rambut. Ginggi menunduk ketika tatapannya terpergok oleh sorot mata gadis semampai itu.

“Ah, hanya pemuda bodoh saja, Adinda Inten,” ujar Suji Angkara. “Tapi dia orang jujur dan baik. Kelak dia akan sering kusuruh untuk mengunjungimu, namanya Duruwiksa,” Suji Angkara tersenyum ketika gadis itu terkekeh sambil menutupi mulutnya yang merekah.

Hanya Ginggi saja yang terkejut mendengar Suji Angkara mendengar nama gadis itu. Dinda Inten, tidakkah maksudnya Nyimas Banyak Inten? Ginggi terkejut dan bingung, terutama bila ingat cerita Ki Ogel dan Ki Banen. Bukankah kedua orang tua itu bercuriga kepada tindak tanduk Suji Angkara terhadap gadis itu? Tapi, nampaknya hubungan kedua orang muda itu demikian baiknya. Mereka sudah sangat akrab dan bersahabat, mengapa Ki Banen mencurigai Suji Angkara berindap-indap menyelundup ke puri gadis itu?

“Betulkah namamu Duruwiksa ? Mengapa wajah tampan sepertimu kau namakan Duruwiksa ?” gadis itu masih terkekeh lembut sambil punggung tangan kanannya digunakan untuk menutupi rekahan mulutnya.

“Nama sesungguhnya Ginggi. Tapi dia yang mengatakan bahwa Ginggi artinya Duruwiksa, iblis jahat yang kerjanya menggoda manusia,” Suji Angkara menerangkan. “Ayo perkenalkan dirimu pada Nyimas Banyak Inten putri terkasih Pangeran Yogascitra,” kata lagi pemuda itu.

Ginggi menunduk dan menyembah. Gadis itu hanya mengangguk namun dengan senyum manis di bibir tipisnya.

“Nah, yang ada di samping Dinda Inten adalah Banyak Angga, kakak Nyimas. Sedangkan gadis cantik yang ada di samping pemuda tampan itu adalah adikku, Layang Kingkin. Mereka berdua merupakan sahabat-sahabat baik yang tak pernah lepas barang sekejap,” kata Suji Angkara menunjuk kepada sepasang muda-mudi yang usianya barangkali belum genap 20 tahun ini.

Ginggi menyembah beberapa kali sambil sudut matanya memperhatikan sepasang muda-mudi ini. Mereka benar-benar seperti dewa dan dewi dari kahyangan. Ginggi memuji keelokan wajah anak-anak bangsawan ini yang nampaknya ramah dan mudah akrab dengan siapa saja.

“Dan yang berdiri di antara mereka adalah Seta, termasuk pembantu setiaku,” kata Suji Angkara menunjuk kepada Seta.

“Saya sudah kenal Seta!” kata Ginggi tersenyum ke arah pemuda yang mulutnya suka mengejek ini.

“Huh!” dengus Seta tak acuh.

“Ya, saya sudah kenal. Bukankah Seta adalah pemuda gagah yang merobohkan tiga perampok sekaligus di hutan jati tempo hari?” kata Ginggi mengingatkan “kepahlawanan” pemuda angkuh itu. Padahal yang terbayang di mata Ginggi adalah kejadian di tepi pancuran Desa Cae, di mana Seta dan Madi yang mengeroyoknya dipermainkan secara diam-diam, sehingga pemuda-pemuda itu benjut-benjut kepalanya karena saling gebuk sendiri.

Seta terkecoh dengan pujian palsu ini. Buktinya, dia sedikit membusungkan dada sekali pun mulutnya masih ditarik ketat untuk memberikan kesan angkuh.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment