Ads

Wednesday, November 17, 2021

Kidung Senja Jatuh di Pajajaran 020

Namun rasa heran di hatinya tak berlangsung lama, sebab Ki Darma belasan tahun silam adalah anggota pasukan seribu perwira pengawal raja. Ki Darma adalah perwira senior yang pasti banyak menurunkan ilmunya kepada sesama perwira yang pengalaman bertempurnya di bawah Ki Darma. Teringat akan ini, Ginggi tersenyum kecut. Orangnya sampai hari ini tidak disukai kalangan istana tapi ilmunya tetap dipergunakan.

Siasat bertempur dengan julukan Bajra-Panjara pun sebenarnya demikian hebat. Semua barisan terlihat berjajar kokoh seperti kokohnya jeruji penjara. Barisan lapis pertama dalam menyerang dan bertahan tak mengubah gaya formasi dan posisi. Mereka berjajar rapi, ketat dan kuat sehingga tak memberikan peluang untuk lolos dari kepungan. Mereka pun saling menunjang satu sama lain, sehingga bila ada salah-satu anggota terdesak maka dua anggota di samping kiri dan kanannya segera memberikan bantuan. Begitu seterusnya. Namun ketangguhan formasi apa pun hanya akan sempurna hasilnya bila didukung oleh pelaku yang secara perorangan sempurna pula dalam menampilkan kebolehan ilmu berkelahi.

Dan pasukan perwira pengawal raja ilmunya hampir dua atau tiga tingkat di atas rata-rata prajurit biasa. Dalam waktu yang tak terlalu lama, tiap gelombang atau lapisan pasukan Bajra-Panjara berhasil ditembus taktik perang Merak-Simpir yang dilakukan dengan jurus-jurus perseorangan yang demikian sempurnanya. Bajra-Panjara berantakan karena anggota pasukannya telah lintang pukang dan cerai-berai.

Tempik-sorak dan suitan tanda pujian bergemuruh di seputar alun-alun menyambut kemenangan pasukan pengawal raja. Sang Prabu Ratu Sakti pun Nampak mengangguk-angguk tanda senang dengan pertunjukan ini. Latihan perang-perangan telah selesai tanpa menimbulkan luka berarti kepada kedua anggota pasukan tersebut.

Dan kini tiba saatnya uji ketangkasan bagi para prajurit yang akan mengalami kenaikan tingkat, disusul oleh uji ketrampilan bagi ambarahayat yang bermaksud mengabdikan diri menjadi Prajurit Pakuan. Macam-macam cara ujian yang diselenggarakan. Dari mulai ujian menggunakan ketrampilan menggunakan tujuhbelas macam senjata, sampai kepada uji ketrampilan berkelahi. Dari mulai uji menangkap banteng, sampai kepada uji menangkap macam kumbang yang dilepas di tengah alun-alun.

Penonton, terutama kaum wanita dan anak-anak, bergidig ngeri bahkan ada yang menjerit ketakutan atau menutupi mata dan berlindung di balik pohon karena tak kuasa melihat kegagahan macan kumbang serta aumannya yang membelah dada. Namun binatang buas itu tak mungkin lolos dari alun-alun dan apalagi menyerang penonton.Yang menjadi sebab, karena para perwira tangguh selalu siaga mengepung agar ruang gerak binatang buas itu hanya terbatas di dalam kepungan pengawal raja saja.

Sedang asyik-asyiknya Ginggi menyaksikan semua pertunjukan dan atraksi memikat ini tiba-tiba bahunya ditepuk orang dari belakang.

“Hei, kau prajurit Madi rupanya!” teriak Ginggi gembira. “Sejak tadi aku cari-cari kau, kemana saja?” tanyanya kembali akan menepuk bahu Madi. Namun Madi segera menepiskan tepukan Ginggi.

“Kau jangan bertindak kurang ajar seperti itu. Aku kan prajurit!” desis Madi melotot marah.

“Oh, maaf …” kata Ginggi sambil senyum tetap di bibir.

“Aku sejak pagi sibuk terus. Aku kan prajurit. Dan ini pestanya prajurit!” jawab Madi sombong.

“Tapi yang lain sibuk, kau malah tidak …” gumam Ginggi mencibir.

“Dasar anak tolol. Yang sibuk bukan hanya di tengah alun-alun saja. Ada juga yang melakukan kesibukan secara diam-diam. Itulah aku, sebab aku musti memeriksa kalau-kalau di sekeliling alun-alun keamanan tak terjamin,” jawab Madi.

“Oh, begitu rupanya …”

“Sekarang aku datang ke sini bukan sengaja cari-cari kau tapi sedang bertugas jaga, siapa tahu di sini ada pengacau!” kata Madi tak senang akan cibiran Ginggi.

“Pengacau?” Ginggi mengerutkan dahi.

“Ya, orang-orang bawel sepertimu bisa-bisa kutangkap karena dianggap pengacau!” kata Madi jengkel.

“Hei, jangan marah seperti itu. Kau kan sudah jadi prajurit,” kata Ginggi.

Madi hanya menjawab dengan desisan.

“Bagaimana, apa aku bisa ikut kerja lagi pada Raden Suji Angkara?” tanya Ginggi kembali teringat hal ini.

“Kau lihat sana Raden Suji lagi sibuk!”

“Maksudku, ya nanti saja bila Raden Suji Angkara tidak sibuk.”

“Ya, nanti saja bicaranya, tolol!” hardik Madi yang nampaknya akan segera berlalu.

“Eh, aku dapat pesan dari Ki Banen, dia ingin bertemu denganmu!” kata Madi menahan langkah.

“Ki Banen? Di mana aku bisa bertemu dengannya?”

“Huh, dia menjadi sering sakit-sakitan setibanya di sini. Orang-orang pada ribut kerja dia malah sakit,” kata Madi kesal.

Madi memberikan alamat di mana Ki Banen bias ditemui. Ketika acara uji ketrampilan masih berlangsung, Ginggi segera meninggalkan tempat itu. Hanya Ki Banen yang nampak baik padanya. Oleh sebab itu mendengar orang tua itu sakit, Ginggi ingin menengoknya. Ginggi melangkahkan kaki meninggalkan alun-alun. Dia berjalan menyusuri sebuah parit buatan yang orang Pakuan menyebutnya sebagai Cipakancilan. Kata Madi, Ki Banen tinggal disebuah rumah tua di tepi Cipakancilan. Memang tidak sulit, sebab di beranda rumah kayu jati ada orang gemuk berwajah bulat dan berkumis tebal.

“Ki Ogel …” sapa Ginggi.

Ki Ogel memicingkan kedua matanya karena ingin jelas siapa yang menyapanya.

“Kau, anak muda?” Ki Ogel balik menyapa.

“Ya, kini aku beri tahu namaku, aku Ginggi!” jawab pemuda itu sedikit terharu. Terharu, hanya dalam waktu sembilan bulan saja wajah Ki Ogel sudah berubah. Rambutnya yang kini digelung ke atas sudah penuh uban.

“Aku kau tinggalkan begitu saja di Sagaraherang. Sekarang kalian kususul. Tapi, benarkah Ki Banen sakit?” tanyanya.



Ki Ogel hanya mengangguk lesu. “Mari masuk…” tukasnya.

Ginggi masuk ke rumah tua itu. Ada ruangan tengah cukup luas, dilengkapi satu ruangan tidur. Ki Ogel menunjuk ke ruangan itu. Ginggi masuk dan nampak ada orang tua tergolek lemah di lantai papan yang beralaskan sebuah tikar.

“Ki Banen?” sapa Ginggi.

Orang yang tergolek lemah itu membuka matanya pelan-pelan. Dengan sorot mata sayu dia menatap siapa yang datang. Tapi rupanya Ki Banen masih hafal Ginggi. “Kau anak muda…”

“Aku Ginggi,” kata pemuda itu mendekati tubuh tak berdaya tersebut.

Ki Banen mengulurkan tangannya. Dia sepertinya ingin memegang tangan pemuda itu. Ginggi mengerti. Dia segera memegang tangan Ki Banen, kurus dan keriput. Ki Banen jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya. Jauh lebih tua dibandingkan dengan wajah Ki Ogel yang nampak masih agak gemuk.

“Anak muda… mau apakah kau datang ke Pakuan ini?” tanya Ki Banen dengan suara lemah hampir-hampir hanya sebuah bisikan saja.

“Aku … Bukankah aku sudah jadi anak buah Raden Suji Angkara? Mengapa aku kalian tinggalkan di Sagaraherang? Sudah barang tentu aku datang ke sini karena menyusul kalian,” kata Ginggi setengah berbohong.

“Jangan… Jangan ikut kerja di sini. Sebaiknya kau pulanglah! Lebih baik kau selamatkan jiwamu!” Ki Banen menggerak-gerakkan tangannya seperti mengusir Ginggi pergi.

Pemuda itu tak mengerti apa yang dimaksud Ki Banen. Namun orang tua itu nampak payah untuk melanjutkan omongannya. Dia hanya memegangi dadanya saja dan mulutnya menahan batuk. Ginggi menengok ke arah Ki Ogel. Dia ingin mendapatkan penjelasan.

“Tadi pagi memang Madi memberitahu kami bahwa engkau datang ke Pakuan. Maka Ki Banen meminta agar kau datang ke sini. Maksud Ki Banen memang begitu, sebaiknya kau pulang saja dan jangan lanjutkan maksudmu untuk mengabdi kepada Suji Angkara…” kata Ki Ogel.

“Mengapa?”

Ki Ogel menundukkan kepala. “Pokoknya kau pergi saja dari sini. Kau tidak akan cocok bekerja dengannya,” katanya sesudah lama berdiam diri.

“Aku ingin tahu, apa sebabnya aku tak boleh bekerja kepada Raden Suji Angkara, padahal susah-payah aku menempuh perjalanan jauh dari Sagaraherang ke Pakuan ini,” gumam Ginggi dengan nada sesal.

“Kau terangkan Ki Ogel …” kata Ki Banen pada akhirnya.

Ginggi kembali berpaling kepada Ki Ogel. Dia amat penasaran ingin segera mendengarkan penjelasan Ki Ogel. Dengan hati-hati karena penuh rasa khawatir, Ki Ogel bercerita tentang pengalamannya ikut Suji Angkara selama ini. Sejak dari Desa Cae, kedua orang tua ini memang sudah berniat bergabung dengan Suji Angkara. Pertama untuk cari pengalaman dan kedua mencari mata pencaharian yang layak.

“Kau mungkin tahu, Suji Angkara kelihatannya begitu kaya dan setiap hari kerjanya berfoya-foya belaka,” kata Ki Ogel. “Anak pesolek itu senang berfoya-foya karena banyak kekayaannya. Dia banyak memiliki kekayaan karena gemar berniaga. Itulah sebabnya, ketika ada tugas mengirimkan barang seba, Ki Ogel dan Ki Banen tertarik untuk ikut serta.”

“Aku dan Ki Banen berpikir, bila usai tugas mengirim seba, tidak akan kembali ke kampung halaman, melainkan akan ikut Suji Angkara berniaga,” ungkap Ki Ogel.

Namun apa yang terjadi? Sesudah bersama Suji Angkara, baik Ki Ogel mau pun Ki Banen banyak mendapatkan keganjilan. Kata Ki Ogel, cara kerja Suji Angkara dalam menghimpun barang-barang seba tidak wajar.

“Engkau pernah menyindir kami ketika di Desa Wado tentang cara-cara paksa dalam menarik seba yang dilakukan Suji Angkara,” kata Ki Ogel.

“Ya, benar! Waktu itu aku tak senang tindakan Raden Suji Angkara sebab mengambil seba di desa itu terlalu kasar!” kata Ginggi.

“Aku juga waktu itu tidak senang. Tapi aku menahan diri sebab aku masih punya harapan dari anak itu,” kata Ki Ogel.

Ki Ogel melanjutkan ceritanya tentang kejanggalan yang diperlihatkan Suji Angkara. Di Desa Wado pemuda tampan itu kepergok Ki Banen menggoda anak gadis warga desa. Mereka anggap Suji Angkara bertindak tak senonoh sebab mengganggu anak gadis orang yang minggu depannya akan melangsungkan perkawinan.

“Namun kami tak melakukan teguran. Apapun yang terjadi, Suji Angkara adalah putra Kuwu Suntara yang begitu disayang orang tuanya, sedangkan kami semua menghormat pada Kuwu,” kata Ki Ogel.

Ki Ogel melanjutkan ceritanya. Perasaan tak enak semakin membebani hatinya ketika anak gadis di Desa Wado mati bunuh diri.

“Menurut berita, gadis itu bunuh diri karena kecewa biaya untuk upacara pernikahan sebagian besar habis guna membayar seba, Tapi benarkah begitu? Kami mencurigai sesuatu hal. Tapi kami tak sanggup mengatakan apa-apa,” kata Ki Ogel menghela nafas.

“Peristiwa yang sama terjadi pula di wilayah Kandagalante Tanjungpura. Anak gadis Jurangan Ilun Rosa mati bunuh diri, setelah gadis itu sehari sebelumnya digoda Suji Angkara. Kami menemukan banyak keganjilan. Setiap kami masuk ke sebuah wilayah, setiap itu pula ada gadis bunuh diri. Di Warunggede ada juga gadis bunuh diri. Apakah memang kami patut bercuriga, entahlah. Hanya yang jelas, setiap kami memasuki satu wilayah, selalu saja ada peristiwa menyedihkan,” kata Ki Ogel.

“Dengan kata lain kau mengatakan bahwa setiap di situ ada Suji Angkara, maka di sana ada peristiwa. Begitukah?” tanya Ginggi.

Ki Ogel tak berani menganggukkan kepala. Sedangkan Ki Banen hanya tergolek saja dengan pernapasan lemah.

“Pemuda Seta dan Madi bagaimana?” tanya Ginggi.

“Seta pernah mengatakan hal ini padaku. Tapi akhirnya dia melupakan urusan ini. Seta terlalu setia kepada Suji Angkara sebab selalu mendapatkan perhatian lebih dari pemuda itu. Sekarang Seta menjadi ponggawa istana dan Madi jadi prajurit tugur benteng dalam. Mereka berdua amat berterima kasih pada Suji Angkara yang dianggapnya begitu berjasa mengangkat nasib mereka. Bila sudah kerja selama setahun, khabarnya Seta akan pulang dulu ke Cae untuk melangsungkan perkawinan dengan Nyi Santimi,” kata Ki Ogel.

Jantung Ginggi berdegup mendengarnya. Perasaan tak enak menyelimuti hatinya bila harus diingatkan kepada nama gadis Desa Cae ini. Setiap kali mengingat Nyi Santimi pasti ingat peristiwa aib yang amat memalukannya.

“Lalu, mengapa Ki Banen sampai menderita sakit seperti ini?” tanya Ginggi kembali memperhatikan orang tua tergolek lemah di hadapannya.

“Yah … dia memang sakit keras,” keluh Ki Ogel.

“Aku tanya mengapa dia sakit? Apa penyebabnya?” tanya Ginggi lagi.

“Betul … aku sakit keras,” sambung Ki Banen sambil kembali menahan batuk.

Namun dia tak bisa menahan terus. Sehingga pada suatu saat dia batuk-batuk dengan keras. Ki Banen serentak bangkit karena batuk-batuknya diakhiri dengan memuntahkan darah hitam! Ginggi buru-buru menyeka lelehan darah dari mulut orang tua itu dengan kain yang tersedia di sana.

“Engkau bukan sakit biasa. Engkau menderita karena ada luka dalam, Paman!” kata Ginggi. “Siapa yang memukulmu sekejam ini?”

Ki Ogel terbelalak heran. Begitu pun Ki Banen, matanya yang layu mendadak terbuka lebar.

“Kau …? Dari mana engkau tahu dia sakit karena dipukul?” tanya Ki Ogel.

Ginggi sejenak terdiam. Hatinya mencari jawaban yang sekiranya tak mengundang perhatian mereka berdua.

“Ya, karena darah hitammu itulah. Luka dalammu menyebabkan jaringan darahmu rusak berat,” kata Ginggi.

“Coba aku lihat dadamu, Paman,” tanpa diminta Ginggi membuka pakaian Ki Banen di bagian dadanya.

Ada tanda kehitaman amat tipis dan hampir menghilang, menandakan bahwa luka itu sudah lama terjadi.

“Kau pasti dipukul orang sekitar sebulan yang lalu,” kata Ginggi mengira-ngira.

Ki Banen mengangguk tanda membenarkan.

“Siapa yang melukaimu dengan pukulan tenaga dalam ini?” tanya Ginggi lagi.

Ki Banen menggelengkan kepala.

“Engkau merahasaikannya padaku?” Ginggi melirik tajam.

“Tidak. Aku memang tidak tahu siapa yang memukul aku,” kata Ki Banen.

“Coba ceritakan peristiwanya.”

Ki Banen terdiam.

“Ceritakanlah, Paman …”

“Ini mungkin imbalan bagi orang yang selalu bercuriga,” gumam Ki Banen.”Suji Angkara selalu memperhatikan Nyi Mas Banyak Inten” katanya lagi.

Ginggi mengerutkan dahi.

“Baiklah aku terangkan sebelumnya,” potong Ki Ogel manakala melihat Ginggi kebingungan.

Ki Ogel bercerita lagi, bahwa di Pakuan terdapat banyak pejabat dan kaum bangsawan. Yang terkenal saja, Ki Ogel menyebut Bangsawan Soka. Dia masih kerabat Raja dan menjabat mangkubumi. Ada Pangeran Yogascitra, juga masih kerabat Raja. Dia punya dua orang anak putra dan putri. Yang laki-laki, anak pertama, bernama Banyak Angga, sedangkan yang kedua putri bernama Nyi Mas Banyak Inten. Ada juga Bangsawan Bagus Seta. Punya anak perempuan cantik yang bernama Layang Kingkin. Gadis ini punya hubungan cinta dengan Banyak Angga, putra Bangsawan Yogascitra.

“Bangsawan Bagus Seta ini menjabat muhara, Bila Suji Angkara datang ke Pakuan, maka yang dimaksudnya adalah Bangsawan Bagus Seta. Kami tak tahu apa hubungan atau keperluan Suji Angkara kepada Bangsawan Bagus Seta,” kata Ki Ogel.

Ginggi sudah sejak tadi menahan nafas mendengar penjelasan ini. Lengkap sudah murid-murid Ki Darma semua ditemukan. Dan semuanya amat mengejutkan, terutama Ki Banaspati dan Bangsawan Bagus Seta. Bayangkanlah, pertama kali Ginggi temukan Ki Banaspati. Dia dikenal sebagai pejabat Pakuan yang jadi tangan kanan muhara atau pejabat penarik pajak negara. Sekarang murid Ki Darma lainnya ditemukan sebagai pejabat muhara itu sendiri. Dengan perkataan lain, Ki Banaspati menjadi bawahan Bangsawan Bagus Seta. Tapi di lain pihak Ginggi tahu bahwa Ki Banaspati tidak seutuhnya bekerja untuk Pakuan, maksudnya untuk Raja. Sebab seperti yang dikemukakannya tempo hari, Ki Banaspati akan menghimpun kekuatan guna melakukan penyerbuan ke Pakuan kelak.

Satu hal yang membuat Ginggi heran. Benarkah Ki Bagus Seta menjadi muhara? Ginggi tempo hari pernah mendapatkan kabar di Sagaraherang, bahwa yang menjadi muhara di Pakuan adalah Bangsawan Soka. Sekarang ada kenyataan lain, bahwa Ki Bagus Setalah yang menjadi pejabat muhara, sedangkan Bangsawan Soka bertindak sebagai mangkubumi.

Ginggi tidak mengetahui, jabatan mana yang lebih tinggi antara muhara dan mangkubumi, Bisa salah satu lebih tinggi, tapi bisa juga sejajar. Tapi yang perlu digaris bawahi, jabatan muhara dipegang Ki Bagus Seta bisa merupakan misteri bila dikaitkan dengan Ki Banaspati. Bagaimana tak begitu, baik Ki Bagus Seta mau pun Ki Banaspati adalah murid-murid Ki Darma. Kedua orang itu sama-sama dibebani tugas untuk menolong ambarahayat Pajajaran dari tekanan Raja. Sekarang Ginggi sudah mengetahui maksud tersembunyi Ki Banaspati. Kendati dia bekerja sebagai aparat muhara, tapi sebagian kekayaan negara dari hasil seba dia sisihkan untuk keperluan pemberontakan. Lantas peranan Ki Bagus Seta sendiri, bagaimana? Mungkinkah kedua murid Ki Darma yang berhasil mencapai kedudukan penting di Pakuan ini bersekutu dalam mencapai maksud-maksud tertentu?

Persekutuan ini mungkin amat rahasia. Siapa pun tak mengetahuinya, termasuk Suji Angkara. Itulah sebabnya, anak muda itu harus dilenyapkan seperti apa perintah Ki Banaspati kepada Ginggi. Siapa pun adanya Suji Angkara ini, akan benar-benar membahayakan bila dibiarkan melaporkan penemuannya ke Pakuan. Hanya yang menyebabkan Suji Angkara hingga hari ini masih selamat nyawanya, barangkali karena hubungannya dengan Ki Bagus Seta itulah. Seperti yang dikatakan Ki Ogel tadi, Suji Angkara seperti punya hubungan erat dengan Ki Bagus Seta. Ginggi tidak pernah melaksanakan perintah Ki Banaspati untuk membunuh Suji Angkara. Dan bila tetap anak muda itu dianggap membahayakan, seharusnya Ki Banaspati sudah melenyapkan Suji Angkara di Pakuan.

Namun kenyataannya, anak muda itu masih segar-bugar. Benarkah sudah tak membahayakan, atau bagaimana? Biarlah, waktu yang akan menentukan kelak, piker Ginggi karena berbagai misteri yang ada di sekitarnya masih banyak yang tak memberi jawab. Dia tak bisa berpikir lebih panjang lagi, apalagi dia sekarang tengah menyimak cerita Ki Ogel.

“Coba lanjutkan ceritamu, Paman …” kata Ginggi lagi tak sabar karena Ki Ogel pergi ke dapur untuk menjerang air.

Ki Ogel kembali duduk di hadapan Ginggi dan Ki Banen yang tergolek lemah. “Ya, begitu seperti apa kata Ki Banen. Dia amat bercuriga kepada Suji Angkara. Itulah sebabnya, ketika anak muda itu kerap kali mendekati Nyimas Banyak Inten, Ki Banen selalu menguntit. Sampai pada suatu saat …”

“Sampai pada suatu saat bagaimana, Paman?” Ginggi tak sabar.

Ki Banen batuk-batuk lagi, muntahkan darah hitam lagi walau hanya berupa bercak. Dan Ginggi terpaksa membantu menyekanya dengan kain yang ada di hadapannya. Ki Ogel sibuk pergi ke dapur. Kembali lagi sudah membawa air hangat di panci kayu. Mulut Ki Banen dibersihkan dengan air hangat, disekanya beberapa kali.

“Ki Banen bercerita padaku. Malam itu bulan benderang,” kata Ki Ogel sesudah merawat Ki Banen. “Ki Banen terkejut ketika ia bertugas sebagai tugur benteng, ada bayangan berkelebat memasuki puri di mana Nyimas Banyak Inten berada. Ki Banen tak tahu, bayangan siapakah itu. Tapi karena rasa curiganya telah melekat pada Suji Angkara, Ki Banen langsung menduga bahwa yang datang mengunjungi puri secara sembunyi-sembunyi tentu berniat jahat. Menurut Ki Banen, bayangan itu pasti Suji Angkara,” kata Ki Ogel.

Ginggi menoleh kepada Ki Banen. “Benarkah, Paman?” tanya Ginggi pada Ki Banen.

Yang ditanya hanya termenung. Kemudian dengan perlahan dia menggelengkan kepala.

“Aku hanya menduga saja. Kendati bulan benderang, tapi bayangan itu meloncat-loncat dengan lincah. Mataku tak sanggup mengikutinya dengan jelas,” jawab Ki Banen.

Selanjutnya Ki Banen bercerita bahwa karena rasa penasarannya, dia terus menguntit bayangan itu.

“Tapi akhirnya aku kehilangan jejak. Kucari ke mana-mana, tapi bayangan misterius itu tidak kutemukan. Putus asa karena tak kutemukan yang aku kuntit, akhirnya aku kembali keluar benteng. Dan ketika itulah, di sudut benteng aku dihadang seseorang…”

“Siapa dia?”

“Aku tak tahu. Gerakannya begitu cepat. Dia menghambur padaku dan melancarkan serangan pukulan dahsyat. Tubuhku terlontar beberapa tindak dan tak sadarkan diri…” kata Ki Banen memegangi dadanya.

“Tidak sempatkah kau lihat wajahnya walau hanya sebentar? Bukankah waktu itu bulan benderang?” Tanya Ginggi penasaran.

“Benar. Tapi bulan telah condong ke barat. Dia menyerang membelakangi cahaya bulan. Jadi hanya bayangannya saja yang aku lihat. Dan aku tak kenal, siapa penyerang gelap ini,” keluh Ki Banen.

Tapi Ki Banen yakin, orang itulah yang secara diam-diam memasuki puri. Sebab setelah tahu dia dikuntit, dia mengurungkan rencananya.

“Hanya saja sebelum dia pergi, dia balas dendam sebab kegagalannya melakukan sesuatu karena kuntitanku itu,” kata Ki Banen. Batuk-batuk lagi. Dan Ginggi sudah siap dengan kain lap. Namun batuk Ki Banen tak berlangsung lama dan tak sampai muntahkan darah.

“Luka dalammu amat parah, Paman. Celakanya, selama ini nampaknya kau tak menggubris lukamu itu,” kata Ginggi.

“Aku setiap hari berobat dengan telaten. Madi selalu setia memberikan ramuan yang aku harus minum setiap hari,” jawab Ki Banen.

“Ah, aku tak melihat kau berobat. Kalau lukamu terus diobati, pasti sembuh. Tapi darah hitammu itu hanya menandakan ada luka lama yang tak pernah sembuh. Coba aku lihat ramuan obatmu bila benar kau berobat setiap hari,” kata Ginggi.

Ki Ogel dan Ki Banen saling pandang.

“Engkau harus percaya padaku. Bukankah ketika terjadi pertempuran di hutan jati, aku banyak mengobati anak buah Suji Angkara yang terluka sabetan golok perampok?” tanya Ginggi sekaligus mengingatkan kedua orang itu bahwa dirinya “akhli” pengobatan.

“Ya, betul! Kau bisa mengobati orang sakit!” Ki Ogel menepuk dahinya.

Sesudah itu dia segera berjingkat memburu sudut ruangan. Di sana ada meja kecil. Dan di atas meja ada bungkusan kain. Bungkusan itu dibawa ke hadapan Ginggi.

“Ini obat pemberian Madi,” kata Ki Ogel memberikan bungkusan obat yang sudah dibukanya sendiri.

Ginggi coba meneliti ramuan itu. Hanya berupa serpihan-serpihan kayu yang sudah dikeringkan.

“Ramuan ini digodok dan airnya diminum setiap pagi dan sore,” kata Ki Ogel.

Ginggi seperti tak mendengar omongan orang tua ini karena matanya tengah meneliti jenis ramuan itu.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment