Ads

Tuesday, November 16, 2021

Kidung Senja Jatuh di Pajajaran 019

Pemuda bodoh, pikir Ginggi. Tapi dia pun tetap memuji Madi sebagai orang jujur dan cukup punya perasaan. Buktinya, pemuda itu mau juga meluluskan dia ikut kerja dengan Suji Angkara. Ginggi tak begitu sulit mencari tempat untuk menginap. Banyak kedai makanan yang juga menyediakan tempat untuk menginap.

Esok paginya Ginggi sudah berjalan-jalan di seputar dayo. Pada siang hari. Kesibukan nampak lebih meningkat. Dari wilayah seputarnya kaum pedagang memasuki pusat-pusat keramaian dan mereka menggelar dagangan di sana, seperti sayur-sayuran, umbi-umbian, buah-buahan, atau barang keperluan sehari-hari. Ada juga orang mencari penghasilan dengan berdagang bermacam obat-obatan untuk menanggulangi berbagai penyakit. Di satu sudut bahkan ada orang memamerkan kepandaian aneh semacam permainan sulap. Penonton bertepuk tangan gembira bila pesulap itu berhasil memamerkan satu kepandaian yang mencengangkan. Atau penonton terkekeh-kekeh bila pesulap memperlihatkan tindak-tanduk lucu. Anak-anak terbahak-bahak dan para gadis menahan tawa dengan jalan menutup mulutnya.

Semakin siang jumlah yang datang semakin banyak juga. Tua-muda, besar-kecil, lelaki dan wanita seperti beriringan seperti hendak menuju satu tempat. Pakaian mereka bagus-bagus. Beruntung Ginggi sempat mengganti pakaiannya, sehingga dia pun nampak sebagai pejalan kaki dari kalangan kaum berada. Pakaian yang dikenakannya, baju kurung dari kain halus warna merah darah dengan ikat kepala warna yang sama. Celananya jenis komprang dan diikat dengan ikat pinggang kain. Semuanya hasil pemberian Kuwu Wado. Mengenai jenis kain halus yang dipakainya, baru akhir-akhir ini saja Ginggi tahu bahwa kain seperti ini dibeli dari pedagang asing, kalau tidak dari Parasi (Parsi) mungkin dari Cina. Termasuk barang langka, apalagi di saat-saat sekarang ini hubungan dagang di pantai utara sudah tak mungkin dilakukan. Kalau pun masih terdapat, khabarnya harganya cukup mahal sebab barang-barang itu bisa masuk ke Pakuan melalui beberapa tangan.

Bila dulu sebelum pelabuhan-pelabuhan utama direbut Cirebon dan Demak, hubungan dagang antara Pakuan dengan negri-negri sebrang bisa langsung dilakukan, sekarang harus menggunakan perantara. Salah satu perantara di antaranya adalah para pedagang yang sudah berpihak kepada kekuatan agama baru di pesisir. Merekalah yang melakukan transaksi langsung dengan saudagar negri sebrang. Barang-barang itu, sedianya hanya boleh diperdagangkan di wilayah-wilayah kekuasaan agama baru saja. Dan orang-orang Pajajaran merupakan santapan empuk, sebab mereka yang sudah sejak dulu terbiasa menggunakan barang-barang indah, terutama dari kalangan santana sampai bangsawan, selalu tetap memerlukannya.

Ginggi sebetulnya tak senang menggunakan pakaian-pakaian mewah ini. Tapi apa daya, di buntalan pakaiannya hanya terdapat tiga pasang pakaian mewah hasil pemberian Kuwu Wado dan juga dari Ki Sunda Sembawa. Ada kampret halus warna kuning emas dan satunya warna biru tua terbuat dari kain agak tebal namun tetap halus. Warna merah darah yang dikenakannya sebetulnya hanya pantas digunakan oleh pemuda pesolek saja. Dan melihat potongan tubuh Ginggi yang semampai, berdada bidang, serta kulit wajah putih dengan hidung agak mancung bermata bundar dan sepasang alis tebal seperti golok melengkung, segalanya pas menggambarkan dia pemuda pesolek dari kalangan santana (kaum menengah).

Banyak gadis terpaksa melirik atau menyapu dengan kerlingan ketika berpapasan dengannya. Bahkan para pemuda sebayanya menatap bagaikan penuh rasa iri karena menganggap Ginggi seperti memamerkan wajah tampan yang dibalut pakaian mewah. Ginggi ikut ke mana orang menuju. Sekarang baru ingat, tadi malam pemuda Madi berkata di alun-alun akan ada keramaian. Keramaian apa, Madi tak menjelaskan. Hanya saja tadi malam pemuda itu akan menunggunya di alun-alun. Ginggi bergegas menuju alun-alun. Di lain fihak ingin segera bertemu Madi, di lain fihak lagi ingin segera melihat bentuk keramaian itu.

Alun-alun tidak terlalu jauh. dan sebentar kemudian dia sudah berada di tempat itu. Di sana sudah banyak orang berkerumun dan bergerombol, atau berderet di sepanjang sisi alun-alun. Seputar alun-alun sudah dikelilingi penonton. Ginggi melihat berkeliling. Ternyata di sisi bagian alun-alun, ada sebuah panggung berhias diapit dua bangunan bertenda memanjang di kiri kanannya. Semuanya dihiasi kain warna-warni. Di setiap ujungnya tertancap umbul-umbul. Demikian pun di depan, umbul-umbul bahkan berderet lebih banyak lagi. Ginggi heran, kapan panggung ini dibuat, bukankah kemarin senja suasana di alun-alun masih sepi? Melihat kenyataan ini, hanya menampilkan bahwa orang-orang Pakuan terampil dalam bekerja.

“Paman, akan ada keramaian apakah ini?” tanya Ginggi pada seorang lelaki setengah baya yang ada di sampingnya.

“Hari ini akan diadakan uji ketrampilan. Sang Susuhunan Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan memerlukan prajurit-prajurit pilihan untuk kelak dididik dan dipersiapkan menjadi perwira pengawal Raja. Sekarang seribu pengawal Raja sudah banyak yang berusia lanjut dan perlu penggantinya,” kata lelaki setengah baya itu menjelaskan.

Kata orang itu Susuhunan Pakuan, Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan berkenan menyaksikan uji ketrampilan ini bersama para pejabat lainnya. Ketika mendengar keterangan ini, hati Ginggi bergetar. Nama Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan sudah sejak lama dia dengar melalui mulut Ki Darma. Tiga tahun sebelum Sang Susuhunan ini memerintah, Ki Darma sudah mengundurkan diri dari kegiatan di istana. Namun kendati begitu, kata Ki Darma, raja ini mengenalnya sejak menjadi putra mahkota. Namun jauh sebelum putra mahkota ini diwastu (dinobatkan), hubungannya dengan Ki Darma sudah kurang baik. Itulah sebabnya, jauh hari sebelum putra mahkota dinobatkan, Ki Darma mengundurkan diri, yang belakangan dituduhnya sebagai pengkhianat dan pemberontak. Sekarang Ginggi akan melihat dengan mata kepala sendiri, Raja Pajajaran yang berkedudukan di Pakuan ini.

Ketika cahaya matahari menyorot hangat lewat celah dedaunan pohon beringin, terdengar bunyi suara gong yang dipukul tiga kali. Serentak dengan itu terdengar pula suara gamelan yang ditabuh dari pinggir balandongan. Lawang saketeng (pintu gerbang) benteng dalam terkuak lebar, dibuka oleh delapan prajurit berpakaian lengkap. Penonton yang tepat berada di depan lawang saketeng yang tadinya bergerombol menutupi pinggir alun-alun segera menguak sambil membalikkan badan menghadap lawang saketeng.

Suara gamelan ditabuh demikian bersemangat dan ambarahayat yang ada di seputar alun-alun mendadak duduk berlutut, tangan menyembah takzim dan kepala tertunduk ketika dari dalam benteng keluar iring-iringan. Ginggi menoleh ke kiri dan kanan. Namun ketika dilihatnya ada prajurit melihat dirinya dengan mata melotot, dia segera ikut berlutut dan kedua tangan menyembah takzim. Ginggi sebenarnya ingin menunduk juga. Tapi hati dan perasaannya tak kuasa membendung keinginannya untuk menyaksikan iring-iringan yang keluar dari pintu benteng itu.

Dan kendati dengan wajah tertunduk, tapi mata Ginggi memaksakan diri untuk mengerling guna melihat iring-iringan. Itu nampaknya sebuah iring-iringan besar. Mula-mula ada barisan pengawal berjumlah duabelas prajurit. Semuanya berambut panjang digelung ke atas dan disisir rapi. Kepalanya masih diikat oleh semacam pengikat kepala terbuat dari ornamen logam. Duabelas prajurit pengawal ini hanya bertelanjang dada, namun leher dan sepasang tangannya dihiasi pinggel (gelang) logam warna perak. Semuanya bercelana sontong terbuat dari beludru kasar tapi diberi ornamen kerlap-kerlip warna perak. Duabelas orang prajurit pengawal ini semua memakai kain batik kebat tapi dilipat dua, kecuali satu ujungnya dibiarkan terbuka hamper menjuntai ke bawah. Duabelas prajurit pengawal ini memegang senjata di tangan kanan dan perisai logam di tangan kiri. Enam orang bersenjatakan tombak, enam orang lainnya memegang pedang terhunus. Mereka berbaris rapih dengan irama langkah yang sama.



Rombongan kuda keluar dari lawang seketeng. Jumlahnya ada duabelas prajurit juga. Mereka pembawa bendera dan umbul-umbul. Sesudah itu, rombongan ketiga keluar pula. Mereka bukan prajurit dengan langkah gagah dan wajah tegang, melainkan rombongan gadis-gadis dengan lemah gemulai membuat orang terpesona memandangnya.

Melalui sudut matanya Ginggi menghitung ada sekitar empatpuluh orang gadis yang wajahnya molek-molek. Rombongan gadis itu semua menggunakan kain warna hijau muda dan ke atas memakai pakaian kebaya warna kuning. Ada selendang tipis warna hijau tua melintang di leher masing-masing, menutupi sebagian leher dan dada bagian atas yang putih mulus, membuat kaum lelaki greget melihatnya. Rombongan empatpuluh gadis cantik ini semuanya membawa tempayan perak dengan setumpuk bunga warna-warni di atasnya.

Kini suara gamelan mengalun pelan ketika rombongan ketiga keluar dari lawang saketeng, Rombongan ini diawali oleh barisan pengawal dengan senjata trisula lengkap dengan perisai di tangan kiri. Mereka gagah-gagah, jumlahnya sekitar duabelas orang pula. Serasa bergetar dada Ginggi ketika lirikan matanya menyaksikan siapa yang keluar dari lawang saketeng ini. Enam orang prajurit memanggul jampana (alat angkut yang diusung) dengan posisi dua orang-dua orang mengusung tangan-tangan jampana di bagian depan, serta dua orang dua orang lagi mengusung tangan-tangan jampana di bagian belakang.

Siapa yang duduk menumpang jampana kayu halus berukir indah dengan motif ukir burung garuda ini membuat dada Ginggi kembali bergetar hebat. Barangkali, ya, barangkali inilah Sang Susuhunan Pakuan, raja keempat Kerajaan Pajajaran, atau raja urutan ketigapuluh delapan dari susunan raja-raja dari Kerajaan Sunda yang didirikan Sri Maharaja Tarusbawa, hampir 900 tahun lampau (9670 M) bila dihitung sampai pengangkatan raja hari ini yaitu Ratu Sakti Sang Mangabatan (1543-1551 M).

Menyaksikan iring-iringan besar yang menuju alun-alun ini, di telinga Ginggi terngiang kembali tembang-tembang prepantun yang pernah dia simak di Desa Cae beberapa bulan silam

Singasari keri-kanan
payung wilis lilingga gading
dipuncakan manik molah
payung getas dililinggaan
dipuncakan ku omas deung payung saberilen
beunang ngagaler ku lungsir tapok terong
emas keloh gelewer paranjang papan kikiceup deungeun
lilieuk deg semut sama sadulur petana tataman indah Bur
kadi kuta manglayang Lumenggang di awang-awang Juru
kendi tipandeuri Juru kandaga tiheula Deung sawung galing
kiwa tengen Di tengah kidang kancana Saha nu di singa
barong Bur tiheula ler pandeuri Satangganan lain deui


Itulah tembang-tembang prepantun dalam memberitahukan kepindahan iring-iringan rombongan Sri Baduga Maharaja bersama para istri dari dayo (kota) lama Galuh (Ciamis) ke dayo baru Pakuan (Bogor) pada tahun 1482 Masehi, atau 30 tahun silam sebelum hari ini. Barangkali iring-iringan perjalanan Sri Baduga Maharaja dari galuh ke Pakuan yang terbesar, tapi iring-iringan Prabu Ratu Sakti Sang Mangabatan yang juga disebut Sang Prabu Dewata Buana adalah yang termegah kendati hanya melakukan iring-iringan dari istana menuju alun-alun benteng luar di tepi Sungai Cisadane ini.

Semua ambarahayat diperintahkan untuk berdiri kembali oleh teriakan dan aba-aba seorang prajurit yang berdiri di tepi balandongan atau panggung. Dan mendengar aba-aba ini, serentak semua orang berdiri. Ginggi pun berdiri dan tatapannya langsung ke arah balandongan, Empatpuluh gadis cantik nampak berjejer di depan balandongan, dan menaburkan bunga warna-warni kepada seseorang yang duduknya terpisah di sebuah singgasana kayu mengkilap.

Ginggi berdiri tidak terlalu depan, tapi juga tidak terlalu jauh, sehingga sanggup menyaksikan orang yang duduk di singgasana itu. Ginggi hampir-hampir tak sanggup menatap lama kepada orang itu. Barangkali karena Ginggi sadar bahwa yang ditatapnya adalah seorang raja dari kerajaan yang pernah mengalami zaman keemasan puluhan tahun silam. Atau, barangkali memang benar orang itu amat berwibawa.

Sang Raja duduk tegap dengan anggunnya. Usianya sekitar empatpuluh tahunan, tapi begitu nampak muda. Kulit wajahnya nampak putih halus dan seperti bercahaya. Matanya bening dengan sorot tajam penuh keyakinan. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis, lebih tampan lagi karena dihiasi kumis tipis. Di atas kepalanya terpasang mahkota yang dihiasi emas murni. Sepasang telinganya dihiasi susumping juga mengkilap kuning karena terbuat dari logam emas. Itulah mungkin Makuta Binokasih Sanghyang Pake ( kini disimpan di Museum Geusan Ulun, Sumedang), mahkota Raja Pajajaran yang dibuat Oleh Prabu Bunisora untuk digunakan Raja Pajajaran pertama, yaitu Sri Baduga Maharaja (1482-1521 Masehi) dan kemudian secara turun-temurun dipakai oleh raja-raja seterusnya (hingga Prabu Geusan Ulun, Raja Kerajaan Sumedanglarang, sesudah Pajajaran hancur).

Sang Prabu memakai baju kurung tipis dari kain sutra warna kuning muda tanpa lengan. Namun sepasang tangannya dihiasi gelang-gelang emas, baik gelang untuk pergelangan atau tangan di dekat bahu. Leher Sang Prabu pun dihiasi kalung emas susun tiga membentuk daun dan kembang.

“Hhm … gagah benar Sang Susuhunan,” lelaki setengah baya yang berdiri di samping Ginggi berdecak kagum, “Lihatlah anak muda, beliau menggunakan Makuta Emas binokasih Sanghiang Pake, yang dulu dipergunakan Sang Susuhunan Sri Baduga Maharaja, atau bergelar Sang Ratu Jaya Dewata, atau lebih harum lagi disebut sebagai Prabu Siliwangi. Lihatlah pula benten emas yang membelit pinggangnya, ataupun susumping garuda mungkur yang terpasang di kedua telinga Sang Prabu. Oh, serasa aku kembali ke zaman kebesaran Pakuan ketika Sang Susuhunan Sri Baduga Maharaja masih ada,” gumam lelaki setengah baya ini.

Ginggi menoleh, ternyata ada genangan airmata meleleh di sepasang pipinya lelaki itu.Hanya sebentar saja Ginggi mencari makna dari ucapan ambarahayat ini sebab dari tepi balandongan ada terdengar lagi teriakan prajurit yang menyuruh semua orang diam dan menundukkan kepala. Semua orang tertunduk dan suasana kembali hening. Di tengah hening ini terdengar lantunan doa-doa yang rupanya diucapkan seorang wiku (pendeta). Dengan nada-nada bergetar meraga sukma, sang wiku membaca doa berpanjang-panjang. Dia berdoa semoga Pakuan beserta Pajajaran tetap berdiri dengan kokoh sentosa, raja bahagia dan rakyat sejahtera. Bagaimana agar kesejahteraan bisa terangkum secara lahir batin, maka sang wiku memberi petuah:

Suku milang awak urang
lamun salah langkah
eta matak urang papa
leungeun lamun salah cokot
eta matak urang papa
ceuli lamun salah denge
eta matak urang papa
panon lamun salah jeueung
eta matak urang papa
irung lamun salah ambeu
eta matak urang papa


“Jangan terlalu lama berhenti, agar tidak terlanjur, agar tidak terpengaruh penglihatan, agar tidak terpengaruh oleh pendengaran, ujar-ujar jangan khilaf, ingat-ingat jangan lupa,” ujar sang wiku.

Selanjutnya sang wiku kembali berdoa untuk kesejahteraan Pajajaran beserta seluruh penghuninya :

Hati tiba tak diajak
Hati datang tak diundang
Yang setia selalu berhasil
Suka tanpa mengenal duka
Kenyang tanpa mengenal lapar
Hidup tanpa mengenal maut
Bahagia tanpa mengenal papa
Baik tanpa mengenal buruk
Pasti tanpa mengenal kebetulan
Moksa, lepas
Tanpa mengenal ulangan hidup


“Itulah Purohita (pendeta tinggi negara) Ki Raga Suci. Dia sudah menjadi Purohita Pakuan sejak zaman Sang Susuhunan Sri Baduga Maharaja,” tutur lelaki setengah baya di samping Ginggi.

Ginggi tak sempat mengiyakan omongan orang itu, sebab tiba-tiba semua ambarahayat berteriak gemuruh. Semuanya mengucapkan selamat pada Raja. Panjang umur dan hidup sejahtera!

Sang Susuhunan Prabu Sakti Sang Mangabatan berdiri sejenak, melambai-lambaikan tangan ke segala penjuru dengan senyum dan mata berbinar terang. Masih terus melambaikan tangan dan sepasang matanya mengerling kesana-kemari sebab gemuruh ambarahayat belum juga reda.

Purohita Ki Raga Suci mengangkat tangan memberi aba-aba agar ambarahayat berhenti dan memberikan kesempatan kepada Raja untuk berbicara. Dan semu orang yang ada di seputar alun-alun mendadak diam seperti kena sirep, Ribuan ambarahayat menyorotkan mata tanpa berkedip ke arah balandongan di mana Sang Prabu berdiri.

“Tak ada masa sekarang bila tak ada masa lalu. Namun juga masa lalu bisa berlanjut karena ketegaran masa sekarang,” ujar Sang Prabu dengan suara halus namun mengandung wibawa yang tinggi.

“Puluhan tahun Kerajaan Pajajaran berdiri, bahkan ratusan tahun Kerajaan Sunda ini tetap utuh. Kita tetap kokoh, kita tetap berdiri dan sanggup bertahan dari gangguan musuh karena setiap generasi yang diberi tanggung jawab untuk mempertahankan negri sanggup menjaga dengan baik. Pajajaran tetap ada karena selalu memiliki raja yang kuat dan rakyat yang setia. Oleh sebab itu, aku sebagai Susuhunan Pakuan, tetap menyuruh kalian ambarahayat, agar selalu setia kepadaku. Kesetiaanmu padaku, hanya berarti kalian mempertahankan keberadaan Pajajaran,” ujar Sang Prabu.

Ambarahayat masih diam terpana mendengarkan ujar-ujar Sang Prabu Ratu Sakti. “Pajajaran masih tetap besar. Tapi Pajajaran juga tengah prihatin. Wilayah kekuasaan kita sekarang tidak seutuh masa-masa lalu. Wilayah Pajajaran di pantai utara dan barat telah direbut musuh, sehingga perdagangan kita terganggu dan penghasilan negri berkurang. Musuh bias merebut wilayaah kita satu-persatu barangkali karena mereka kuat, tapi juga bisa berarti karena tidak semua ambarahayat bersetia penuh kepada negara. Aku dengar di wilayah timur beberapa negri kecil yang dulu ada di bawah Pakuan sudah berpaling kepada kekuatan agama baru. Mereka sudah tidak membayar seba ke Pakuan. Dengan demikian penghasilan negara semakin kecil jua. Itulah sebabnya, semua ambarahayat harus semakin setia terhadap Pakuan. Aku selalu memerintahkan muhara untuk terus meningkatkan hasil seba dari kalian karena keadaan yang kian mendesak ini. Kalau kalian tak mengeluh oleh seba yang ditarik semakin tinggi oleh muhara, maka kalian akan menjadi ambarahayat yang berarti sebab telah berkorban demi kebesaran Pajajaran!” kata Sang Prabu dengan suara yang ditinggikan.

Ambarahayat masih tetap diam. Ginggi melirik ke samping, lelaki setengah baya nampak menunduk sambil berpangku tangan.

“Kita akan tetap berusaha mempertahankan kebesaran Pajajaran. Pakuan akan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya di wilayah timur Sungai Citarum. Beberapa daerah Kandagalante yang ada di timur sudah aku setujui untuk menambah kekuatan prajurit dan jagabaya. Itu untuk menjaga rongrongan dari kekuasaan Demak dan Cirebon. Pembentukan kekuatan di wilayah-wilayah timur akan semakin ditingkatkan sebab barangkali kelak bukan sekadar bertahan saja tapi pun akan berusaha mengembalikan hak-hak kita yang telah hilang,” seru Sang Prabu.

“Sekarang Pajajaran memiliki seratus ribu prajurit dan seribu orang perwira pengawal raja. Jumlah prajurit akan selalu ditingkatkan dan seribu perwira pengawal raja harus selalu memiliki cadangan. Dan hari ini saatnya menguji ketrampilan. Akan ada ujian tingkat bagi prajurit-prajurit pandai. Bila benar-benar ketangguhan dan kemampuannya meningkat dan lulus dalam ujian, maka prajurit itu akan diangkat menjadi perwira kerajaan!” ujar Sang Prabu.

Terdengar sorak-sorai di kiri kanan alun-alun karena ratusan prajurit berteriak-teriak sambil menacung-acungkan senjatanya masing-masing.

“Juga akan ada ujian ketangkasan bagi ambarahayat yang akan menyediakan dirinya menjadi prajurit Pakuan!” kata pula Sang Prabu.

Kini sorak-sorai terdengar lebih membahana sebab keluar dari mulut ambarahayat yang jumlahnya ribuan di seputar alun-alun itu.

“Nanti para senapati dan perwira yang akan mengatur tata-cara uji ketangkasan ini,” kata Sang Prabu mengakhiri pidatonya.

Beliau kembali melambai-lambaikan tangan dan disambut gemuruh tepukan ambarahayat. Sang Prabu kembali duduk di singgasana yang diikuti oleh suara tetabuhan bertalu-talu dengan irama penuh semangat. Berbareng dengan itu, dari bawah balandongan berturut-turut naik para wanita yang berpakaian indah-indah dengan wajah molek-molek. Mereka duduk berjajar rapi tepat di belakang Sang Prabu.

“Paman, banyak wanita cantik berderet di belakang Sang Prabu, siapakah mereka?” tanya Ginggi menatap tak habis-habisnya kepada deretan wanita jelita itu.

“Itulah para bidadari, putri-putri istana penghuni Taman Mila Kancana, berselampai sutra Cina, beramben corak manikam dan bersanggul penggetar cinta!” kata lelaki setengah baya itu.

Ginggi mengangguk dan amat setuju dengan ungkapan indah penduduk Pakuan ini. Apalagi di saat gemerlap dengan segala kebesarannya, sedangkan di hari-hari kelabu, ambarahayat Pajajaran selalu memuji-muji eloknya penghuni Pakuan. Ginggi sejak tadi hanya memperhatikan ke arah balandongan saja di mana Sang Prabu beserta para putri cantik berada. Padahal di kiri kanan balandongan masih terdapat panggung-panggung bertenda yang banyak digunakan orang untuk duduk berderet. Dan Ginggi tersentak kaget sebab di antara deretan orang, terdapat beberapa orang yang dikenalnya dengan baik.

Di sana ada Ki Banaspati. Dia menggunakan pakaian senting (bedahan lima) terbuat dari kain beludru hitam. Kepalanya ditutup bendo dari kain batik corak alas-alasan. Tidak bersua hampir sepuluh bulan lamanya, tidak ada perubahan di wajah Ki Banaspati. Tubuhnya masih tetap tegap dan dadanya bidang. Alis matanya kini agak tebal hitam.

Ki Banaspati duduk sejajar dengan para hadirin lainnya. Dan melihat penampilan dan jenis pakaian yang digunakannya mereka, semuanya pasti terdiri dari kaum bangsawan dan pejabat semata. Ketika mata Ginggi mengarah ke jajaran paling pinggir, pemuda itu kembali terkejut. Bagaimana tak begitu, sebab di sana duduk seorang pemuda anggun. Sama menggunakan pakaian senting beludru hitam, tapi menggunakan bendo yang di depannya dipasang ornament warna emas. Pemuda berkulit putih dengan hidung mancung tapi kalau ketawa selalu mengatupkan bibirnya, siapa lagi kalau bukan Suji Angkara?

Ginggi bingung, ada Ki Banaspati, ada Suji Angkara. Mereka duduk sejajar di panggung kehormatan bersama para pejabat negara lainnya, padahal keduanya jelas bermusuhan setelah peristiwa di wilayah Sagaraherang itu. Bagaimana bisa mereka kini sama-sama berada di sana? Ginggi teringat, sebetulnya sepuluh bulan lalu dia diperintah Ki Banaspati untuk mengejar dan membunuh Suji Angkara. Hingga kedua orang itu bertemu di Pakuan, Ginggi tak pernah melaksanakan perintah Ki Banaspati. Marahkah Ki Banaspati bila kelak bertemu lagi dengannya?

Ginggi mundur beberapa tindak dan mencari tempat berdiri di belakang kerumunan orang banyak. Sekarang juru bicara acara mengumumkan, bahwa sebelum diadakan uji ketrampilan, akan diawali dulu dengan latihan perang-perangan dengan menampilkan kebolehan siasat pertempuran yang jadi kebanggaan Pajajaran dan Kerajaan Sunda sejak ratusan tahun yang silam. Akan dilakukan oleh seribu perwira pengawal raja dan dibantu pasukan prajurit.

Penonton berteriak riuh. Beberapa di antaranya bersuit-suit nyaring saking gembiranya diberi suguhan demonstrasi perang-perangan ini. Ginggi pernah menerima penjelasan dari Ki Rangga Guna bahwa Pajajaran secara turun-temurun memiliki duabelas ilmu siasat perang, yaitu Makara-Bihwa, Lisang-Bihwa, Cakra-Bihwa, Suci-Muka, Bajra-Panjara, AsuTiraikasih Maliput, Merak-Simpir, Gagak-Sangkur, Luwakaturun, Kidang-Sumeka, Babah-Buhaya dan Ngaliga-anik.

Menurut juru bicara, pasukan akan menampilkan siasat bertempur yang amat terkenal yang diberi nama Merak-Simpir. Suara gamelan bertalu-talu. Penabuh gendang dan gambang demikian semangat menabuh alat musiknya. Pemegang gong dan kempul, kendati menabuh alatnya tak sesering gendang dan gambang, tapi setiap kali melakukan tugas bagiannya, mereka memukul alat yang dipegangnya dengan mantap dan pasti sehingga menjadi pelengkap pembawa semangat.

Ketika suara gamelan bertalu-talu itulah keluar sebuah barisan berseragam lengkap turun ke lapangan alun-alun yang diringi tempik sorak penonton. Pasukan yang turun, membentuk dua kelompok yang seolah-olah saling bermusuhan. Satu pasukan dengan jumlah lebih besar terdiri dari ratusan prajurit. Mereka semua bertelanjang dada, kecuali sepasang tangan bergelang tulang hitam, begitu pun lehernya berkalung tulang. Semua bercelana sontog hitam dengan ornamen perak di ujung bagian kakinya. Rambutnya panjang-panjang tapi digelung rapih ke atas. Mereka bersenjata tombak dan pedang di tangan kanan dan perisai logam di tangan kiri.

Di lain fihak, pasukan yang menjadi lawannya berpakaian lebih gagah lagi. Jumlahnya masih ratusan tapi di bawah jumlah lawannya. Mereka menggunakan baju zirah (baju terbuat dari sisik-sisik logam yang tak tembus senjata tajam) yang dilapisi rompi beludru hitam berornamen gemerlap. Celana sontog hitamnya sedikit tertutup kain batik kebat yang dikenakan terlipat dan ujungnya menggapuy di depan seperti yang biasa digunakan oleh para ksatria. Mereka bersiap tanpa menggunakan senjata apa pun.

Melihat penampilan mereka, kendati jumlahnya tak persis seribu, tapi Ginggi yakin, inilah pasukan seribu perwira pengawal raja. Sekarang dua pasukan sudah saling berhadapan. Satu di ujung alun-alun sebelah kiri panggung, satunya lagi di ujung kanan.

“Merak-simpir!!” teriak perwira kepala.

Maka secepat kilat pasukan pengawal membentuk formasi. Formasi ini membentuk ekor burung merak yang tengah membeber. Pasukan paling depan terdiri perwira berjejer sepuluh orang. Namun barisan ini terus berlapis-lapis dengan jumlah berlipat. Pada lapis bagian kedua, jumlahnya ada duapuluh orang. Lapisan ketiga tambah lagi menjadi tigapuluh orang berjajar. Begitu seterusnya hingga barisan atau lapisan paling akhir, jumlah pasukan ada sekitar enampuluh perwira berjajar rapi ke samping.

Aba-aba kedua terdengar. Itulah aba-aba menyerang. Maka dua pasukan sama-sama berlari untuk saling berhadapan. Juru acara mengabarkan kepada penonton bahwa pasukan lawan menggunakan siasat perang bernama Bajra-Panjara, Mereka juga sama membentuk formasi barisan tapi caranya jauh berbeda dengan yang ditampilkan pasukan perwira. Mereka membuat lapisan penyerangan dengan jumlah yang sama setiap lapisnya.

Ginggi menghitung, baik lapisan baris pertama mau pun baris kedua sampai lapisan paling belakang jumlah pertahanannya sama, yaitu terdiri dari limapuluh orang prajurit berjajar ke samping. Ginggi pun menghitung jumlah lapisan pasukan prajurit. Semuanya ada sepuluh lapis. Artinya pasukan prajurut total berjumlah 500 orang. Jauh lebih besar ketimbang pasukan perwira pengawal raja. Dengan iringan tempik-sorak penonton, dua pasukan berlari saling mendekat sambil tetap menampilkan cara formasi masing-masing.

Tempik-sorak makin menjadi-jadi, suara gamelan pun makin bersemangat ketika lapisan pertama sudah saling menyerang. Ini adalah pertempuran paling berat buat pasukan perwira. Lapisan pertama ini jumlahnya hanya sepuluh orang. Sedangkan di lain fihak, lapisan pertama dari pasukan prajurit berjumlah limapuluh orang.

Ginggi mulai mengerti siasat perang formasi Merak-Simpir ini. Lapisan pertama dengan jumlah terbatas diuji kekuatannya dengan jumlah musuh yang lebih banyak. Bila lapisan pertama ini gagal menghadang musuh, maka akan bergerak lapisan kedua dengan jumlah berlipat dua. Bila ternyata lapis kedua juga gagal membendung, maka akan bergerak lapisan ketiga yang jumlahnya semakin berlipat juga. Begitu seterusnya sampai tiba pada lapisan terakhir tapi dengan jumlah barisan paling banyak.

Tapi pertempuran lapisan atau gelombang pertama belum memerlukan bantuan gelombang kedua, sebab sepuluh perwira pengawal raja kendati dikepung limapuluh prajurit bersenjata lengkap nampak melakukan perlawanan sengit. Sepuluh orang perwira sanggup berkelit dari serbuan ujung-ujung tombak atau pedang, bahkan sebaliknya berhasil membalas serangan. Dan kendati dilakukan dengan tangan kosong, tapi jurus-jurus berkelahi mereka tinggi-tinggi dan hebat-hebat. Ginggi terpesona sekaligus juga heran, sebab ada beberapa gerakan dan jurus-jurus yang mirip jurus kepunyaan Ki Darma.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment