Ads

Tuesday, November 16, 2021

Kidung Senja Jatuh di Pajajaran 018

“Sekarang perdagangan hanya dilakukan sebatas di dalam negri saja, sebab semua pelabuhan milik Pakuan sudah jatuh ke tangan Banten atau Cirebon. Banten yang dulu termasuk pelabuhan penting milik Pakuan dalam hubungan dagang dengan negri-negri di Andalas, sekarang malah jadi musuh Pakuan yang setiap saat bisa melakukan penyerbuan,” kata pemilik pedati. “Zaman telah berubah, anak muda. Ada yang maju ada yang mundur. Giliran Pajajaran yang mundur, sebab kemajuan sekarang ada di tangan orang lain, Banten, Cirebon dan Demak. Merekalah kini yang melakukan perdagangan antar pulau,” katanya lagi.

“Sang Rumuhun memang sudah mengaturNya. Ada yang datang ada yang pergi. Ada yang lama ada yang baru dan yang usang digantikan dengan yang bagus. Tak ada sesuatu yang tetap di dunia ini,” ucapnya lagi.

“Engkau darimana berasal, anak muda, dan mau apa datang ke Pakuan?” tanya pemilik pedati sambil lalu.

“Aku dari wilayah Kandagalante Tanjungpura dan berniat mengunjungi sanak saudara. Kalau Paman kerap kali datang kedayo (ibukota), barangkali pernah kenal pemuda yang bernama Purbajaya?” tanya Ginggi setengah berbohong, setengahnya lagi berkata benar.

Mencari pemuda bernama Purbajaya memang sudah termasuk bagian dari rencananya. Untuk menyelidiki misteri yang menyelimuti Suji Angkara, sekarang bisa ditelusuri lewat diri Purbajaya, anak bangsawan wilayah Tanjungpura Utara itu. Ginggi ingat, menurut cerita pelayan Juragan Ilun Rosa, secara diam-diam Purbajaya menjalin hubungan cinta dengan anak gadis Juragan Ilun Rosa. Anak gadis itu tiba-tiba mati bunuh diri, dan dianggapnya karena putus asa membaca surat yang ditulis Purbajaya yang mengabarkan dirinya akan kawin dengan putri bangsawan di Pakuan.

Keterangan ini bertolak belakang dengan cerita ayahanda Purbajaya yang hanya mengatakan bahwa anak muda itu pergi ke Pakuan karena akan melamar kerja sebagai puhawang atau ahli kelautan. Bahkan diceritakannya pula, bahwa Purbajaya pernah berkata, bila sudah berhasil mencapai cita-citanya, dia meminta ayahnya agar sudi meminang gadis pujaannya yang ada di Tanjungpura.

Mana yang benar dari kedua bukti ini, Ginggi belum bias mengambil kesimpulan. Tapi urusan ini sepertinya ikut melibatkan perilaku Suji Angkara. Pemuda pesolek ini berjanji akan ikut menangani kasus ini. Bagaimana cara membantu menanganinya? Pemuda yang bertutur-sapa selalu sopan tapi terkadang bertindak kejam ini mengatakan bahwa dia akan menindak Purbajaya. Mengapa Suji Angkara ingin menyelesaikan perkara ini seperti itu? Ginggi ingat, pelayan Juragan Ilun Rosa menceritakan pula bahwa secara diam-diam Suji Angkara menggoda gadis anak Juragan Ilun Rosa di taman belakang rumah, tapi gadis itu selalu menolaknya dengan mengatakan bahwa dirinya sudah ada yang punya.

Antara pertemuan Suji Angkara dengan peristiwa terjadinya bunuh diri gadis itu hanya berselang satu hari saja. Kapan surat nipah yang berisi “pengkhianatan” Purbajaya diterima gadis itu? Kalau mengingat cerita pelayan, ketika ditemui Suji Angkara di taman belakang rumah, gadis itu masih demikian setia terhadap Purbajaya. Bila begitu, maka surat dari pemuda itu pasti diterima dalam sehari saja. Tapi pelayan tak pernah mengatakan melihat orang mengirimkan surat kepada gadis itu. Dari mana surat itu didapat?

Satu hal penting lagi yang perlu disimak Ginggi. Ibunda gadis itu secara naluri menangkap suatu bukti, anaknya mati bukan sekadar kecewa atas “pengkhianatan” kekasihnya, melainkan karena sebab lain juga. Istri Juragan Ilun Rosa mendapatkan anak gadisnya bunuh diri dengan menusukkan patrem ke lehernya sambil dandanan tak karuan, kusut-masai tak beraturan, bahkan seperti ada bekas cakaran kuku di beberapa bagian tubuhnya.

Sayang sekali Juragan Ilun Rosa perhatiannya telah terpusat kepada surat daun nipah itu. Dia lebih percaya anaknya mati karena kecewa merasa dikhianati. Juragan Ilun Rosa bahkan langsung setuju ketika Suji Angkara berjanji akan menindak bahkan membunuh Purbajaya bila ditemukan di Pakuan.

“Saya tak kenal dengan pemuda bernama Purbajaya, anak muda,” kata pemilik pedati sambil mengingat-ingat.

“Dia bekerja sebagai apa didayo ?” pemilik pedati balik bertanya.

“Sekitar enam bulan lalu, Purbajaya pergi dari Tanjungpura ke Pakuan karena ingin melamar bekerja sebagai puhawang,” kata Ginggi mengubah duduknya karena sejak tadi menclok terus di atas timbunan gulungan kain.

“Maksudmu petugas akhli dalam bidang penelusuran laut dan teluk?”

“Ya, ya begitulah!”

“Di Pakuan ada pejabat yang pernah berurusan dengan itu. Dia Pangeran Yogascitra, masih kerabat Sang Prabu walau kerabat jauh. Kalau kau bisa mengunjunginya, barangkali punya celah-celah untuk mencarinya,” kata pemilik pedati.

Ginggi tersenyum cerah mendengarnya. Berarti ada harapan mencari di mana pemuda Purbajaya berada.

“Bagaimana, apa mudahkah aku mengunjungi Pangeran Yogascitra, Paman?” tanya Ginggi.

“Semua bangsawan di Pakuan pandai menjaga kehormatan dirinya. Tapi, ada banyak cara untuk menjaganya. Ada yang tidak sembarangan berhubungan dengan siapa saja, ada juga yang begitu ramah menerima kehadiran siapa saja. Namun yang penting, kau datanglah ke sana secara baik-baik dan dengan tindak-tanduk sopan. Etika hidup bagi mereka berada di atas segalanya. Kalau kau pandai menggunakan etika dan menyenangkan mereka, kau pasti tidak akan sulit bertamu ke kediaman Pangeran itu, anak muda,” kata pemilik pedati memberikan petuah.

Senja mulai jatuh ketika roda pedati menggelinding pelan memasuki pintu gerbang dayo (kota) Pakuan. Berdebar hati Ginggi ketika melihat pintu gerbang kota yang demikian besar dan berwibawa.

Pintu gerbang ini tidak dibuat oleh kayu-kayu jati seperti lawang kori di wilayah kandagalante atau apalagi bila dibandingkan dengan lawang kori sebuah wilayah desa. Pintu gerbang dayo Pakuan menjulang tinggi dan terbuat dari batu-batu dengan ukiran halus. Di kiri kanannya, membelakangi gapura, berdiri kokoh patung rota denawa (raseksa) sambil memanggul sebuah penggada besar, seolah-olah tengah menjaga keamanan Pakuan dari gangguan musuh.



Pedati berhenti sejenak sebab akan menghadapi pemeriksaan para jagabaya. Ini pemeriksaan kedua, sebab ketika tadi siang pedati menyebrangi jembatan besar Sungai Cihaliwung (Ciliwung), pedati bermuatan gulungan kain katun dan belacu ini pun diperiksa petugas sebelum melakukan penyebrangan. Namun karena tak ada sesuatu yang mencurigakan, pedati berjalan kembali dan diperbolehkan memasuki dayo, Sekarang pedati berjalan melewati sebuah alun-alun yang amat luas.

Jauh di sebrang alun-alun nampak lagi sebuah gerbang. Lebih mewah dan lebih berwibawa lagi bentuknya. Terbuat dari batu hitam halus yang terdapat ukiran-ukiran yang bernilai seni tinggi. Gerbang itu seperti pintu masuk ke sebuah kompleks besar yang dikelilingi benteng kokoh. Remang-remang di dalam benteng terlihat bangunan-bangunan baik terbuat dari batu maupun dari kayu-kayu jati, menjulang melampaui tingginya benteng.

“Itulah pintu gerbang untuk memasuki pusat dayo, anak muda. Raja dan para bangsawan tinggal di sana,” kata pemilik pedati.

“Apakah Paman akan masuk ke sana?” tanya Ginggi.

“Aku ini hanya pedagang biasa. Keperluanku ke sini untuk mengirim barang-barang dagangan ke pasar. Tidak sembarangan orang masuk ke sana, apalagi malam hari. Jadi, sebaiknya malam ini kau cari penginapan di luar benteng. Esok hari baru minta izin jagabaya untuk bertamu ke kediaman Pangeran Yogascitra,” kata pemilik pedati.

Ginggi turun dari tumpukan kain dan mengucapkan terima kasih karena dirinya diperkenankan menumpang pedati.

Ginggi berdiri sendirian di tepi alun-alun yang dikelilingi pohon-pohon besar. Di sudut alun-alun dekat gerbang ada tiga pohon amat besar. Daunnya rimbun dan rantingnya bergayut ke permukaan tanah hampir-hampir menyerupai jenggot raksasa. Di Puncak Cakrabuana pun pohon besar seperti ini ada terdapat dan Ki Darma menyebutnya sebagai pohon beringin. Hanya bedanya, beringin yang terdapat di sudut alun-alun benteng luar ini nampak lebih terawat. Batangnya tak memiliki lumut, sepertinya setiap hari ada petugas yang khusus bekerja membersihkan lumut pohon yang usianya pasti sudah amat tua ini.

Di depan pohon itu pun ada semacam tempat pemujaan. Ada asap dupa mengelun dari sudut tempat pemujaan itu. Bunga dan macam-macam sesaji juga nampak bertebaran di sana. Ketika hari sudah hampir gelap benar, ada seorang membawa pelita dan ditaruhnya di tempat pemujaan.

Ginggi melangkah menyusuri tepi alun-alun. Kata Ki Banaspati, Pakuan inidayo (ibukota) yang amat ramai. Penduduknya lebih dari limapuluh ribu orang dan jumlah pasukan keamanan di seluruh negri berjumlah lebih dari seratus ribu prajurit ditambah seribu orang perwira pengawal raja. Berbicara soal pengawal raja, Ginggi jadi teringat Ki Darma. Bukankah dulu orang tua ini bekerja sebagai pengawal raja? Betapa besar sebetulnya jasa Ki Darma. Dia mengabdi puluhan tahun kepada tiga orang Raja Pajajaran yang berturut-turut memerintah di Pakuan. Namun hanya karena Ki Darma selalu berani melontarkan kritik terhadap raja, maka jasanya seperti tertimbun oleh kesalahan ini. Tak ada orang yang berani memuja dan memperlihatkan perasaan bangga terhadap Ki Darma, sebab kata Ki Rangga Guna, siapa yang menyebut Ki Darma akan dianggap punya hubungan tertentu dengan orang tua itu. Dan yang memiliki pertalian dengan Ki Darma akan ditangkap petugas karena akan mendapat perlakuan yang sama, yaitu dituduh pemberontak.

“Hati-hati bila memasuki Pakuan, jangan sekali-kali mengaku sebagai murid Ki Darma!” perkataan ini dikeluarkan oleh Ki Banaspati dan Ki Rangga Guna dalam tempat dan waktu yang terpisah.

Ginggi kembali melangkah menyusuri tepian alun-alun yang sebagian ditumbuhi rumput hijau, sebagian lagi hanya berupa tanah merah sedikit berdebu. Ginggi membayangkan tempat ini sebagai wahana untuk latihan perang-perangan para prajurut Pakuan. Mungkin juga digunakan sebagai tempat berlangsungnya upacara kebesaran raja dan berbagai demontrasi ketangkasan berkuda atau permainan senjata. Tapi yang pasti terbayang di pelupuk matanya adalah pertempuran besar di alun-alun ini ketika pasukan misterius yang diduga dari Banten diperintah oleh Sultan Hasanudin secara rahasia menyerang Pakuan.

Ki Rangga Guna mengabarkan, dalam pertempuran besar ini seribu pengawal raja mati-matian menahan serangan prajurit tanpa identitas ini. Dan sekalipun berhasil menghalau pasukan penyerbu tapi Pakuan banyak kehilangan perwira tangguh. Dua Senopati Pajajaran yang amat tangguh yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet tewas di medan laga. Kepahlawanan kedua senapati ini kata Ki Rangga Guna banyak disebut dan dibanggakan oleh prepantun (juru pantun, pembawa cerita yang diambil dari kisah nyata) tapi sambil meremehkan dan menyesalkan perbuatan Ki Darma yang dianggapnya membuat gara-gara terjadinya serangan. Hanya beberapa bulan setelah penyerbuan ini, khabarnya Ki Darma mengundurkan diri dan langsung dituding mengkhianati raja. Begitulah yang terjadi belasan tahun silam di saat Pakuan diperintah Sang Prabu Ratu Dewata.

Ginggi melangkah sunyi menyisir tepian alun-alun. Di hatinya tetap ada kebanggaan terhadap Ki Darma, kendati perasaan ini tetap disembunyikannya di lubuk hati paling dalam. Sekarang Ginggi tiba di sebuah perempatan jalan. Perempatan ini merupakan akhir dari alun-alun. Bila Ginggi menengok ke kiri, di sepanjang jalan tepi benteng istana nampak beberapa bangunan, terang benderang oleh cahaya lampu gantung. Di sana terlihat banyak orang, ada yang duduk-duduk di bangku panjang, ada juga yang sekadar berjalan-jalan sambil melihat ke sana ke mari.

Ginggi menuju ke sana, kalau-kalau ada kedai nasi di tempat itu. Dan benar perkiraan pemuda itu. Di sana terdapat juga kedai makanan. Sudah terlihat banyak orang yang makan-makan di sana. Nampaknya para pedagang atau para pengirim barang yang baru datang kedayo ini. Ginggi menyelip duduk di antara dua pembeli yang tengah makan nasi dengan lahapnya. Ketika Ginggi ikut duduk, kedua orang itu menggeser duduknya untuk memberi kaleluasaan kepada Ginggi. Yang seorang malah mengangguk sambil menawari pemuda itu makan. Ginggi hanya balas mengangguk sebagai tanda ucapan terima kasih.

Ginggi memesan nasi dan lauk-pauknya apa saja menurut pilihan pemilik kedai. Sementara menunggu penganan disodorkan, Ginggi melirik ke kiri dan kanan. Di petak-petak lain terdapat juga sekumpulan orang. Mereka tengah memperhatikan sekelompok lainnya yang duduk saling berhadapan dan sibuk melakukan permainan judi. Macam-macam tingkah lakunya. Ada yang cemberut, ada yang tegang, tapi kebanyakan hanya berteriak-teriak memberi semangat.

Ginggi tersenyum tipis. Bila menyaksikan tingkah laku mereka, di bumi Pajajaran ini sepertinya tak terjadi apa-apa. Ada orang yang berjudi, tertawa dan bersenda gurau, hanya menandakan kehidupan mereka damai dan tak kurang suatu apa. Barangkali benar di dayo (ibukota) pusat pemerintahan, orang tak merasakan berbagai kesulitan berarti sebab segala keperluan hidup tersedia di sini. Tapi barangkali juga tawa dan senda gurau di sini hanya bersifat semu belaka. Ginggi pernah menyaksikan ada orang tertawa padahal hatinya tengah dirundung duka. Ginggi juga pernah melihat orang yang memiliki banyak masalah tapi dia tak acuh dengan masalahnya karena sudah pasrah terhadap kemelut hidup yang dideritanya.

Ketika makanan sudah disodorkan, Ginggi mulai makan dengan lahapnya. Makanan yang disodorkan pemilik kedai ini terasa enak dan nikmat. Barangkali karena memang pandai mengatur bumbu masak. Tapi barangkali juga karena pemuda itu sudah lama tak mendapatkan makanan enak.

Makanan enak yang dimakan terakhir kalinya yaitu di kedai wilayah Tanjungpura. Sesudah itu, dia hanya makan makanan yang ada di hutan saja. Baru kali ini dia kembali menemukan makanan yang begitu mengundang selera makannya.

Begitu asyiknya dia makan, sampai-sampai Ginggi tak tahu bahwa yang duduk di samping kirinya sudah tergantikan oleh orang yang baru datang. Ginggi tak akan memperhatikan kalau saja orang itu tidak menepuk bahunya dengan cukup keras.

“Hei!” kata orang di samping kirinya.

Ginggi hampir saja tersedak saking terkejutnya melihat siapa yang menepuknya ini. “Eh… engkau Madi?” pekik Ginggi heran.

Ya, Madi, pemuda jangkung berkulit hitam bergigi tonghor sahabat Seta, calon suami Nyi Santimi, secara tiba-tiba sudah ada di sampingnya. Ginggi menatap pemuda tonghor ini. Bukan karena heran mengapa Madi ada di Pakuan, sebab sejak dari Sagaraherang pun Ginggi sudah mendengarnya ada rombongan Suji Angkara yang “melarikan” diri menuju Pakuan. yang diherankan Ginggi, penampilan Madi kini lain. Dia tak lagi berkampret hitam dengan ikat kepala hitam. Malam ini pemuda yang diketahui Ginggi sebagai pemuda yang gampang marah tapi sedikit bodoh ini dadanya lebih lebar dengan terbuka lebar karena menggunakan pakaian rompi tanpa lengan dan baju kancing. Bajunya dari kain tebal, ada ornamen warna perak di sepanjang sisi-sisi bajunya. Kepala Madi pun tak mengenakan ikat kepala. Sekarang rambutnya yang panjang digelung ke atas dan disisir cukup rapih. Ada gelang menghias terbuat dari tanduk kerbau yang sudah diperhalus dan diberi ukiran walau sedikit kasar buatannya. Gelang-gelang itu satu pasang dikenakan sebagai penghias pergelangan tangan dan satu pasang lagi dikenakan di tangan bagian atas sikut.

Ginggi melirik ke bawah, pinggang Madi dibelit angkin (sabuk kain) batik hihinggulan dan digunakan sebagai pengikat kain warna ungu yang menutupi celana sontong (celana panjang sebatas betis) warna hitam.

“Hei… kau ada di sini rupanya?” kata Ginggi menunjuk hidung pemuda tonghor itu.

Madi menepiskan telunjuk Ginggi dengan gemas, namun Ginggi sudah lebih dahulu menarik mundur telunjuknya.

“Sialan kau anak setan! Jangan sembarangan menyapa orang. Kau tahu, siapa aku ini?” kata Madi melotot marah.

“Ya, siapa lagi? Bukankah namamu Madi? Ataukah sekarang sudah kau ubah namamu? Apa namamu sekarang?” tanya Ginggi cengar-cengir.

“Tengik kau! Namaku sejak dulu tak pernah kuubah!” kata Madi masih gemas.

Ginggi menggaruk-garuk kepalanya sebagai tanda bingung. “Heran, namamu tetap Madi, tapi kau tak mau kusapa…” gumam Ginggi.

“Namaku tetap Madi. Tapi cobalah kau sedikit sopan padaku. Sekarang di sini aku bukan sebagai rakyat biasa seperti tempo hari!” kata Madi sombong.

“Kau bukan rakyat lagi sekarang? Anak bangsawankah engkau?” Ginggi tetap berpura-pura bodoh.

“Tuk!”

Ubun-ubun kepalanya digetok Madi.”Jangan kau hina aku. Aku memang bukan anak bangsawan. Tapi di Pakuan sini siapa tak kenal Madi prajurit keraton?” kata Madi tersenyum lebar.

“Wah, kau jadi pegawai istana rupanya! Aku bangga padamu!” Ginggi hahah-heheh ketawa.

Madi pun ikut ketawa senang mendengar Ginggi bangga dan kagum padanya.

“Yang lainnya bagaimana? Apakah semua sama bernasib baik sepertimu, Madi?”

“Ya, semua bernasib lumayan. Seta, Ki Ogel dan Ki Banen, semuanya menjadi abdi dalem istana,”

“Hebat!”

“Segalanya berkat Raden Suji Angkara,” kata Madi.

Ginggi mulutnya menganga. “Aku memang sudah menduga sejak dulu. Raden Suji Angkara memang bukan orang sembarangan. Dia sebetulnya putra Juragan Bagus Seta!”

“Bagus Seta?”

“Sssst!!!” Madi membekap mulut Ginggi yang bicara terlalu keas.

Dan Ginggi meronta-ronta karena tangan Madi terlalu lama membekapnya

“Mengapa kau bekap mulutku?” tanya Ginggi tak senang.

“Mengapa kau berteriak tak sopan? Kau harus tahu diri di sini, tolol! Juragan Bagus Seta kau sebut begitu saja. Itu tak sopan namanya!” kata Madi berdesis marah.

Ginggi memang tadi secara tak sadar berseru menyebut nama Bagus Seta seenaknya saja. Itu karena saking kagetnya. Tidakkah yang di maksudnya adalah Ki Bagus Seta murid kedua Ki Darma? Betulkah sekarang di Pakuan sudah jadi bangsawan? Hebat sekali. Ginggi tak boleh terlihat oleh Madi bahwa dirinya memperhatikan Ki Bagus Seta secara khusus. Untuk itulah kini dia mengalihkan pembicaraan.

“Prajurit Madi, kau katakan tadi Raden Suji Angkara putra Bangsawan Bagus Seta. Bukankah di Desa Cae pemuda tampan itu anak Ki Suntara Kuwu Cae?” Tanya Ginggi.

“Ya, aku juga dulu menduga demikian. Barangkali semua penduduk Cae pun berpikiran begitu. Tapi selama di perjalanan mengikutinya, terkesan bahwa dia bukan pemuda sembarangan. Tindak-tanduknya seperti bangsawan. Kekayaannya pun jauh lebih besar ketimbang yang dipunyai seorang kuwu. Raden Suji Angkara bukan anak seorang kuwu, melainkan memang putra bangsawan asli yang di dayo ini sudah cukup terkenal,” kata Madi.

Akhirnya pemuda itu pun menerangkannya panjang lebar. Bahwa sebetulnya Suji Angkara ini benar-benar putra Ki Bagus Seta. Akan halnya hubungannya dengan Kuwu Suntara, karena ibunda Suji Angkara dulu merupakan istri Kuwu Suntara. Bagaimana caranya istri Kuwu Suntara “berpindah” menjadi istri Ki Bagus Seta, Madi tidak mengetahuinya.

“Biarlah itu urusan orang-orang besar dan tak ada pertaliannya dengan urusanku. Aku tak perlu tahu,” kata Madi.

Ginggi pun mengangguk tanda menyetujui. Padahal di lubuk hatinya berkata lain. Ini masalah tambahan yang cukup menarik buat dirinya. Dari Sagaraherang Ginggi disuruh Ki Banaspati untuk membuntuti Suji Angkara untuk kemudian harus dibunuhnya. Tapi di lain fihak pemuda pesolek ini terbukti putra Ki Bagus Seta. Mustahil Ki Banaspati yang sering tinggal di Pakuan dan merupakan tangan kanan muhara (petugas penarik pajak negara) tidak tahu bahwa Ki Bagus Seta juga ada di Pakuan dan menjadi bangsawan istana. Mustahil Ki Banaspati tak tahu bahwa Suji Angkara putra Ki Bagus Seta. Sampai di sini, jalan pikiran Ginggi terhenti. Sepasang alisnya yang tebal membentuk golok melengkung karena benaknya berpikir keras. Ini memang aneh dan penuh misteri. Kalau Ki Banaspati harus mengetahui bahwa Suji Angkara putra Ki Bagus Seta, mengapa pemuda itu sendiri seperti tidak kenal siapa sebenarnya Ki Banaspati?

Menurut penelitian Ginggi, hubungan Suji Angkara dengan Ki Banaspati ketika itu hanya sebatas hubungan kerja semata. Suji Angkara dikenal sebagai pembantu utama Ki Banaspati dalam mengurusi seba ke wilayah timur. Lain dari hubungan itu, sepertinya Suji Angkara tak tahu apa-apa. Ginggi pun teringat kembali, betapa dalam percakapan dirinya dengan Ki Banaspati di Sagaraherang, Ki Banaspati tak pernah mengungkit-ungkit bahwa Ki Bagus Seta ada di Pakuan. Ki Banaspati dalam percakapannya dengan Ginggi tempo hari seolah-olah menampakkan kesan bahwa dia tak pernah tahu di mana para saudara seperguruannya berada. Sekarang baru ketahuan, bahwa ada dugaan Ki Banaspati sudah tahu saudara seperguruannya ada di Pakuan dan sama-sama mengabdi di istana, tapi ada kesan “diatur” bahwa satu sama lain tak saling kenal. Mungkinkah keduanya menjalin kerjasama rahasia sehingga hubungan mereka perlu disembunyikan dari pengetahuan orang lain?

Ginggi punya dugaan keras ke arah itu. Apalagi semua murid Ki Darma harus merahasiakan identitas masing-masing, terutama karena pertaliannya dengan Ki Darma. Baik Ki Bagus Seta mau pun Ki Banaspati dipastikan Ginggi bisa memasuki istana karena mengubur identitas diri mereka terhadap hubungannya dengan Ki Darma. Betulkah kedua orang itu menjalin kerjasama untuk mengejar satu tujuan? Bila begitu halnya, mengapa Ki Banaspati harus membunuh Suji Angkara hanya karena pemuda itu menyibak rahasia kegiatannya dalam “merampok” dan menggelapkan hasil kekayaan seba? Bila Suji Angkara harus dibunuh, berarti rahasia kegiatannya tidak boleh diketahui Ki Bagus Seta. Atau, bisa juga Ki Bagus Seta juga sama-sama berkomplot mempermainkan seba untuk Pakuan. Hanya saja Ki Banaspati benar-benar tak tahu bahwa Suji Angkara orang Pakuan dan putra saudara seperguruannya.

Ginggi memijit-mijit dahinya. Semua yang dia uraikan di dalam hatinya hanyalah perkiraan-perkiraan semata. Untuk meneliti kebenarannya dia harus langsung terjun menyelidikinya.

“Prajurit Madi, tolong bawalah aku pada Raden Suji Angkara,” pinta Ginggi tiba-tiba.

“Ya, aku akan bawa kau ke hadapan Raden Suji Angkara. Mudah-mudahan kau dihukum berat!” kata Madi dengan mulut tersenyum penuh ejekan.

“Lho, mengapa aku harus dihukum?” tanya Ginggi heran.

“Akan aku katakan kau pengkhianat, sebab kau malah tinggal di Sagaraherang ketika kami pergi!” kata Madi.

“Malah kalian yang aku tuduh pengkhianat!” teriak Ginggi balas menudingkan telunjuk.

Giliran Madi yang heran. “Mengapa malah kami yang kau anggap pengkhianat, anak tolol?” sergah Madi.

“Habis, kalian secara tiba-tiba meninggalkan diriku di Sagaraherang. Kalian tinggalkan pula beberapa orang pemikul dongdang. Bukankah kau pun tahu aku ikut rombongan kalian dan Raden Suji Angkara pun sudah setuju aku ikut kerja padanya?” tanya Ginggi.

Madi mengedip-ngedipkan kedua matanya sambil tertunduk ke bawah bangku.

“Ayo, coba siapa yang mengkhianati? Aku tersaruk-saruk di hutan, kabur dari Sagaraherang, sebab ketika kalian pergi, orang Sagaraherang menjadi beringas dan seperti mau membunuhku. Aku akhirnya lari, ke mana saja, sebab aku tak tahu ke mana aku harus pergi. Berbulan-bulan kemudian, baru aku tiba di sini. Eh, aneh sekali, kau ada di sini. Hanya bedanya, engkau demikian maju di sini, sedangkan aku penuh derita…” Ginggi bicara sedikit ngibul.

Madi terkekeh-kekeh mentertawakan nasib “buruk” yang menimpa Ginggi. Tapi serentak tawanya hilang ketika Madi meneliti keadaan tubuh Ginggi.

“Kau membual anak tolol. Kalau kau katakan kau berkelana penuh derita, mengapa kau mampu masuk ke kedai ini dan mengambil makanan-makanan enak? Pakaianmu juga mencurigakan. Itu pakaian golongan santana (masyarakat golongan menengah) kendati terlihat dekil,” kata Madi.

“Nah, dekil, kan?” Ginggi tak kehilangan akal untuk terus ngibul. “Selama mengembara kesana-kemari aku kerja apa saja. Sekarang aku sedikit punya uang dan juga punya pakaian santana kumal karena ketika aku berhenti kerja, majikan memberiku bekal-bekal seperti ini,” kata Ginggi.

“Hm, begitu, ya…” Madi mengangguk-angguk.

“Nah, sekarang coba aku bawa pada Raden Suji Angkara agar aku tak tersaruk-saruk mencari pekerjaan!” kata Ginggi lagi.

“Enak saja mau cari kerja di istana!” dengus Madi. “Hanya orang-orang cakap dan pandai berkelahi saja yang bisa diterima bekerja di Pakuan. Sedangkan kau bisa apa?”

“Tempo hari Ki Banen sudah bersedia mengajariku ilmu berkelahi padaku, agar lain kali aku bisa mengalahkanmu!” kata Ginggi.

Madi terkekeh-kekeh mendengar ucapan Ginggi ini. “Boleh kau minta latih sama Ki Banen. Limapuluh tahun baru kau bisa menandingiku, anak tolol!’ kata Madi.

“Baik, akan kubuktikan limapuluh tahun lagi!” kata Ginggi tak kepalang ngaco.

Madi hanya tertawa-tawa saja. “Boleh, besok aku bawa kau kepada Raden Suji Angkara!” kata Madi.

Ginggi bersyukur dalam hatinya bahwa pada akhirnya dia sanggup menundukkan pemuda bodoh ini kendati harus perang mulut gila-gilan.

“Nah, kalau begitu malam ini aku ikut numpang tidur di rumahmu!” kata Ginggi.

“Enak saja! Kau cari tempat tidur sendiri. Di tepi-tepi tembok benteng dalam, banyak emperan. Tidurlah di emper sana!” kata Madi berjingkat dan berlalu.

“Hei, dimana aku bisa menemuimu besok?”

“Ya, kau tunggulah di kedai ini!” kata Madi sambil negeloyor pergi. “Atau di alun-alun sebab akan ada keramaian,” lanjutnya.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment