Ads

Tuesday, November 16, 2021

Kidung Senja Jatuh di Pajajaran 017

“Aku akan sulit menembus Pakuan, sebab semua perwira kerajaan sudah diperintahkan menangkapku hidup atau pun mati. Hanya engkau seorang murid Ki Guru Darma yang belum mereka kenal. Tapi hati-hati, di sana kau jangan sekali-kali membuka diri. Jangan sampai dirimu diketahui orang lain punya hubungan dengan Ki Guru Darma,” kata Ki Rangga Guna.

Ginggi mengangguk-angguk.

“Aku sendiri akan menyelidiki kegiatan Ki Banaspati. Aku juga harus tahu, apa yang sebenarnya dia lakukan. Apakah benar kegiatannya untuk kepentingan rakyat ataukah hanya sekadar memenuhi ambisi pribadinya belaka…” kata Ki Rangga Guna.

“Bagaimana cara mengetahuinya, Paman?” Tanya Ginggi.

Dan Ki Rangga Guna merenung dalam. “Sulit menebak isi hati orang, sesulit mencari ujung langit,” kata Ki Rangga Guna tersenyum dengan bibir terkatup rapat. “Yang berjuang ingin merebut kekuasaan dia mengusung alasan demi rakyat. Begitu pun yang tengah berkuasa, dia memimpin negara demi rakyat. Sang Prabu Sakti bersikap keras terhadap rakyat tetap dengan alasan demi rakyat jua. Dia inginkan rakyat yang taat kepada raja. Mentaati keinginan raja berarti mentaati keinginan negara. Bila semua rakyat setia terhadap negara, maka negara itu akan menjadi besar dan kuat. Kebesaran sebuah negara dan kekuatan sebuah negara akhirnya akan sanggup melindungi kepentingan rakyat. Jadi semuanya akan terpulang kepada rakyat jua…” kata Ki Rangga Guna.

“Bila begitu pentingkah ada pemberontakan?” Tanya Ginggi.

“Aku tidak bicara soal pemberontakan, anak muda. Tidak juga Ki Guru Darma. Ki Darma pergi dari istana karena dia tak setuju dengan kebijakan Raja. Ki Darma menganggap Raja keliru dalam memimpin. Tapi tidak berarti Ki Darma menginginkan ada pergantian raja. Hyang sudah mengatur segalanya, termasuk memilih seorang raja untuk memimpin negara. Kalau Hyang sudah memilih begitu, ada bahaya apa pun mengancam raja tapi karena sudah dipilihnya, raja akan tetap selamat. Hanya Hyang yang tahu, saat kapan raja akan turun tahta dan bagaimana caranya raja akan tergantikan dengan yang baru,” kata Ki Rangga Guna lagi. “Oleh sebab itu Ki Guru Darma tak bicara tentang pemberontakan. Dia tak pernah melawan raja dan negara. Setiap titah raja dia laksanakan dengan sebaiknya, negara pun selalu dia bela dengan taruhan nyawa. Tapi Ki Guru Darma tahu, raja sedang sakit. Dan orang sakit bukan untuk dienyahkan tapi harus diobati. Itulah sebabnya Ki Guru Darma selalu melontarkan kritik. Yang namanya obat memang tidak enak, tapi menyehatkan. Seharusnya kritik itu diibaratkan air bersih untuk mandi di saat kita sedang dekil. Kritik itu harus diibaratkan kita sedang lapar diberi nasi. Kritik sebenarnya ibarat galah cedek tinugelan teka (galah sodok dipotong runcing). Galah sodok adalah semacam seligi atau bambu runcing. Makin pendek makin baik, karena kemungkinan patah makin berkurang. Artinya, kritik dapat memperkokoh, mempertajam kemandirian seseorang. Begitu orang tua zaman Pajajaran dulu berbicara tentang pentingnya kritik. Tapi, ya barangkali orang zaman sekarang tak gemar menelan kritik, atau bisa juga karena orang zaman sekarang tak luwes melontarkan kritik sehingga datangnya amat menyakitkan. Kritik Ki Guru Darma, daripada diterima, malah orang yang melontarkan kritik itu sendiri dianggap melawan raja dan dianggap pemberontak,” kata Ki Rangga Guna menghela nafas.

Ginggi juga ikut menghela nafas dalam-dalam. Dia prihatin oleh nasib buruk yang menimpa Ki Darma. Menurutnya, Ki Darma orang yang begitu cinta terhadap negara dan pengabdi setia terhadap Raja. Namun rasa cinta dan pengabdian Ki Darma kurang diterima dengan baik oleh pemerintah. Ginggi dan Ki Rangga Guna akhirnya membagi tugas. Ginggi harus pergi menuju Pakuan sebab akan banyak yang harus diselidiki di sana. Sedangkan Ki Rangga Guna akan menyelidiki tindak-tanduk Ki Banaspati di Sagaraherang.

“Untuk sementara, lupakanlah nasib Ki Guru Darma. Kita harus berdoa untuk keselamatannya. Tapi bila Ki Guru ternyata sudah tiada, kita pun harus berdoa agar dirinya diterima di sisiNya,” kata Ki Rangga Guna.

Ginggi mengangguk, kendati dia tak tahu bagaimana caranya melakukan doa. Ketika disampaikannya bahwa dia tak bisa berdoa dengan cara apa pun, Ki Rangga Guna hanya tersenyum pahit.

“Dahulu Ki Guru Darma seorang pengikut agama lama yang setia. Tapi hidupnya goncang dengan kehadiran agama baru, yang oleh fihak-fihak tertentu kehadiran agama baru tersebut dilibatkan dalam urusan politik. Entahlah, mengapa akhirnya dia tak memberi pengajaran agama padamu, anak muda,” kata Ki Rangga Guna.

“Perlu benarkah seseorang memeluk sebuah agama?” tanya Ginggi.

“Manusia itu mahkluk lemah. Kalau dia merasa sombong hanya karena dirinya lebih pandai dari makhluk lainnya, sebetulnya masih ada yang jauh lebih pintar darinya. Manusia hanya bisa membunuh sesamanya dan tak mampu berbuat kebalikannya, yaitu menghidupkan yang mati. Manusia hanya pandai merusak alam tapi tak sanggup menciptakan alam. Padahal alam terbentuk karena ada yang mencipta. Manusia bisa hidup pun karena ada yang menghidupkan. Dan manusia harus sadar, di atas dirinya ada sesuatu kekuatan yang menguasai hidupnya. Dialah yang harus kita sembah. Agama yang ada di dunia selain menyuruh kita berbuat kebajikan terhadap alam dan seisinya, juga harus berbuat hormat kepada Sang Pencipta. Itulah pentingnya kita beragama, anak muda!” kata Ki Rangga Guna menerangkan panjang lebar.

“Agama apa yang terbaik buatku?” tanya Ginggi penasaran.

Kembali Ki Rangga Guna tersenyum pahit. Namun kemudian dia menoleh dan memandang pemuda itu.

“Barangkali tidak keliru Ki Guru Darma tidak memberikan ajaran agama padamu,” ujar Ki Rangga Guna.

“Bila Ki Guru mengajarkan agama padamu, berarti dia akan mengajari agama yang diyakininya. Artinya, Ki Guru memaksakan kehendak agar kau memilih keyakinan yang telah diyakininya selama ini. Barangkali Ki Guru Darma tidak mau begitu. Dia akan membiarkan kau melakukan pencarian terhadap satu keyakinan. Tidak diberi oleh orang lain, tidak pula dipaksa oleh kehendak orang lain. Kalau pun sekarang kau membutuhkan agama, tentu Ki Guru Darma hanya mengharapkan agama yang kau dapatkan adalah agama yang benar-benar kau yakini sendiri kebenarannya. Barusan kau tanya padaku, agama apa yang kau anggap baik buatmu. Jawabannya bukan harus keluar dari mulut orang lain, namun dari keyakinan hatimu sendiri. Sekarang ada banyak agama terdapat di bumi Pajajaran ini. Alangkah bijaksananya bila semua orang memberi kebebasan kepada semua orang dalam memilih keyakinan beragama seperti yang diucapkan Sang Prabu Sri Baduga Maharaja semasa memimpin Pajajaran mencapai puncak keemasannya,” kata Ki Rangga Guna.

Ginggi menatap tajam Ki Rangga Guna.



“Sri Baduga Maharaja dulu tetap setia dengan keyakinan lama. Sebab menurutnya, tidak mudah orang berpindah agama dan keyakinan. Namun kendati begitu, beliau tak memaksakan kehendak agar semua rakyat ikut-ikutan bertahan dengan keyakinan yang dimiliki Raja. Sri Baduga Maharaja tidak melarang rakyat memilih agama. Yang beliau tidak suka adalah orang yang suka memilih-milih agama. Dari agama yang satu ke agama yang lain, begitu seterusnya. Dan semua Raja Pajajaran, dari mulai Sri Baduga Maharaja, sampai yang tengah memerintah sekarang, tetap setia terhadap kebijakan kebebasan berkeyakinan. Kendati negara berpegang kepada keyakinan lama, tapi Raja memberikan kemerdekaan kepada seluruh rakyatnya untuk memilih keyakinannya masing-masing,” kata Ki Rangga Guna.

“Aku hingga kini setia kepada keyakinan lama tanpa ada orang yang memaksanya. Sekarang, aku pun tak berkehendak memaksakan keyakinanku pada orang lain. Aku bersyukur kau merasa perlunya kehadiran agama di hatimu. Soal keyakinan apa yang akan engkau pegang, jangan minta pendapat orang lain, tapi carilah olehmu sendiri. Pilihlah sebuah agama yang kau yakini bisa membawa keselamatan bagi dirimu sendiri tapi sambil tidak merugikan keyakinan orang lain. Pilihlah sebuah agama yang membawa kebenaran pada dirimu sendiri tapi sambil tidak menjelek-jelekan keberadaan keyakinan agama lain. Kau harus bisa memilih agama yang secara sempurna bisa menjaga martabatmu,dan bisa menyelamatkan dirimu baik di dunia mau pun keselamatan kelak di alam lain. Jangan tergesa-gesa memilihnya tapi juga jangan berlarut-larut mengulur waktu,” kata Ki Rangga Guna lagi dengan panjang lebar.

“Aku tidak akan mengajarkan agama yang aku anut. Tapi sedikit kepandaian yang bersifat lahiriah, akan aku berikan seluruhnya padamu,” kata Ki Rangga Guna.

“Maksud Paman, aku akan kau ajari ilmu berkelahi?’ tanya Ginggi.

Ki Rangga Guna menganggukkan kepalanya.

“Aku … sebetulnya tak gemar berkelahi, Paman,” kata Ginggi menundukkan kepala.

“Menguasai ilmu berkelahi bukan maksudnya harus gemar berkelahi. Bahkan aku sebetulnya benci kepada orang yang senang memamerkan kepandaiannya,” tukas Ki Rangga Guna. “Ilmu berkelahi hanyalah sebagai alat perlindungan. Seperti sebuah topi, kau pakai bila hari panas atau hujan. Atau seperti sejumput makanan bila kau lapar,” kata Ki Rangga Guna.

“Tapi ilmu berkelahi kebanyakan menampilkan gerakan yang tujuannya untuk membunuh saja, Paman,” tukas Ginggi.

Ki Rangga Guna tersenyum. “Semuanya terpulang kepada kita sebagai pemakainya, anak muda. Bila kau punya pisau, apakah akan dipergunakan untuk mengupas buah-buahan ataukah akan kau pergunakan untuk melukai dan membunuh orang? Ada orang yang tega membunuh sesamanya dengan sebuah beliung (kapak), padahal benda itu dibuat untuk mengambil kayu bakar di hutan. Seekor ular memiliki bisa yang amat mematikan. Tapi tidak setiap hari dia membunuh. Kalau dia tak diganggu, tak pernah ular mengganggu. Bahkan kadang-kadang, ular hanya pergi meloloskan diri setiap diganggu, kendati kalau mau, ular bisa menyerang dan membunuh,” kata Ki Rangga Guna.

Ginggi merenung mendengar penjelasan ini. Namun akhirnya dia mengangguk-angguk penuh pengertian. “Baiklah, aku terima pemberianmu, Paman …” kata Ginggi akhirnya.

Ki Rangga Guna terkekeh-kekeh mendengar ucapan Ginggi sehingga membuat pemuda itu heran sendiri.

“Mengapa Paman tertawa mendengar kesanggupanku?” tanyanya.

Kembali Ki Rangga Guna tertawa, bahkan sedikit terbahak-bahak, membuat pemuda itu semakin tak mengerti.

“Kau ini orang jujur, sekaligus juga kurang ajar!” kata Ki Rangga Guna.”Orang lain menyembah-nyembah minta aku menjadi gurunya, di sini, malah kau jual mahal sehingga kau yang mengajukan syarat apakah boleh atau tidaknya aku melatihmu!” kata Ki Rangga Guna lagi.

Ginggi tersipu-sipu mendengarnya. Benar sekali, aku kurang ajar, katanya dalam hatinya. Dan sambil melakukan perjalanan bersama, Ginggi mendapatan tambahan ilmu yang sangat berarti. Ginggi kini mulai sadar akan kekeliruan dirinya. Hanya karena dia tak gemar berkelahi maka dia menolak latihan-latihan keras seperti apa perintah Ki Darma. Kalau Ki Darma turun gunung, Ginggi sering bohong seolah-olah berlatih dengan keras selama Ki Darma tidak ada. Sekarang ulah bohongnya terbukti hanya merugikan dirinya sendiri saja. Ketika melawan Ki Rangga Wisesa hampir-hampir saja nyawanya melayang. Kepandaiannya tak berarti apa-apa dalam menghadapi ilmu-ilmu Ki Rangga Wisesa yang ganas dan aneh itu. Dan kepandaiannya semakin tak berarti saja bila dibandingkan dengan Ki Rangga Guna.

Menghadapi Ki Rangga Guna, ternyata Ki Rangga Wisesa bukan tandingannya. Walau pun ketika itu Ki Rangga Guna tidak membalas serangan saudara kembarnya, tapi nampak nyata Ki Rangga Wisesa kewalahan dan putus asa karena setiap usahanya dalam menyerang Ki Rangga Guna, tak pernah berhasil. Bila begitu, ternyata murid-murid Ki Darma rata-rata berkepandaian amat tinggi.

“Semua sebetulnya diberi sama, kecuali beberapa yang beda. Itu karena disesuaikan dengan sifat dan jiwa masing-masing murid. Saudara kembarku merasa iri sebab ada satu dua jurus yang Ki Guru berikan padaku tidak diberikan padanya. Ada ilmu-ilmu ganas dari Ki Guru hanya diberikan padaku, itu karena Ki Guru kenal betul sifatku. Kata Guru, ilmu ganas jangan diberikan kepada orang yang memiliki jiwa pemarah. Adikku tak diberi sebab dia memang kurang pandai mengendalikan perasaan jiwanya. Mungkin aku yang dianggap cocok menerima ilmu-ilmu yang sebetulnya amat berbahaya itu. Aku pun sudah lihat gerakanmu. Kau dipercaya memegang ilmu ganas sebab barangkali Ki Guru percaya kau bisa membawanya,” kata Ki Rangga Guna.

“Tapi aku tak sepandai kau, Paman…” potong Ginggi.

“Tak ada murid yang diberi satu ilmu bisa memilikinya dengan kesempurnaan yang sama satu sama lainnya. Itu semua terpulang kepada kepandaian si murid itu sendiri. Kau kan pernah bilang, tak begitu kerasan dengan segala macam ilmu kekerasan. Jiwamu sudah menolaknya dari dalam. Tentu mempengaruhi kesempurnaan. Sebaliknya aku begitu mengharapkan memiliki ilmu-ilmu tinggi, sebab aku terkenang masa silam di Talaga. Kalau orang tuaku memiliki ilmu bela diri, tak nanti dia tewas dalam penyerbuan tentara Cirebon. Orang yang memiliki kepandaian sedikitnya bisa melawan sebelum kalah. Aku selalu bersemangat dalam latihan. Ketika berpisah dengan Ki Guru, aku tetap mencari dan menambah ilmu. Orang-orang lain di negri sebrang lautan, seperti dari Negri Tulangbawang, Palembang, Malangkebo (Minangkabau) atau Parayaman (Pariaman), atau bahkan orang Cina, Campa, Keling, Parasi, dan Siem, semuanya memiliki ilmu kepandaian dengan ciri kekuatan masing-masing yang berbeda. Aku banyak berhubungan dengan mereka dan saling tukar-menukar ilmu. Ilmu-ilmu gabungan itu, aku gabungkan dan aku latih bertahun-tahun, keras dan penuh godaan. Namun hasilnya membanggakan. Puluhan mungkin ratusan kali aku dihadang dan menyerbu musuh, sampai saat ini aku masih diberi usia panjang. Itu di antaranya karena ilmu berkelahi yang aku miliki,” kata Ki Rangga Guna.

Karena selama di perjalanan harus berlatih, akibatnya sebelum melaksanakan tugas masing-masing, maka dua atau tiga bulan mereka habiskan waktu untuk urusan latih-melatih. Dan sampai pada suatu saat, mereka harus berpisah karena sama-sama teringat kembali kepada tugas yang harus mereka kerjakan.

“Kita sebenarnya telah kembali ke selatan, padahal Pakuan letaknya di sebelah barat, agak ke utara,” kata Ki Rangga Guna ketika memberi tahu arah mana jalan yang harus ditempuh untuk menuju Pakuan.

“Untuk kembali ke arah jalan pedati, seharusnya kau mesti kembali ke utara, yaitu memasuki lagi wilayah Tanjungpura. Itu perjalanan amat jauh. ada jalan terdekat menuju Warunggede,” kata Ki Rangga Guna.

“Warunggede?”

“Warunggede juga merupakan wilayah yang dipimpin oleh seorang Kandagalante. Mengapa harus menuju ke sana, sebab jalan pedati melewati wilayah tersebut.” Kata Ki Rangga Guna, dari Talaga di arah timur sampai Pakuan jauh di barat sebetulnya dihubungkan oleh sebuah jalan utama dan bisa dilalui kereta atau roda pedati, melalui Wado, Sumedanglarang, Sagaraherang, Purwakarta, Cikao, Karawang, Tanjungpura, Warunggede, Cibarusa, Cileungsi dan berakhir di Pakuan. Dari Kerajaan Talaga jalan pedati berlanjut ke selatan, yaitu menuju Kawali dan berakhir di pusat Kerajaan Pajajaran Lama yaitu Galuh. Kata Ki Rangga Guna. “Bila kau sudah tiba di Warunggede, kau bisa menuju Pakuan menyusuri jalan pedati yang enak dilalui. Tapi di beberapa wilayah harus berhati-hati. Antara Karawang-Tanjungpura-Warunggede, jalan pedati bersinggungan dengan wilayah utara yang sudah dikuasai Pasukan Cirebon. Asalkan engkau tidak terlalu banyak bicara soal Pakuan, tidak terjadi bentrokan dengan pasukan musuh,” ungkap Ki Rangga Guna.

Ginggi mengangguk-angguk tanda mengerti.

“Nah, sudah kubekali kau berbagai pengetahuan. Sekarang tiba saatnya kita melaksanakan tugas masing-masing,” kata Ki Rangga Guna.

“Kita akan segera berpisah, Paman?” tanya Ginggi.

Ki Rangga Guna hanya mengangguk kecil. “Kalau ada umur ada jodoh, kita pasti bertemu lagi. Tapi kalau Hyang tak mempertemukan kita lagi, tak perlu disesalkan benar. Kita sebelumnya pun tak pernah kenal dan tak pernah bertemu, bukan?” kata Ki Rangga Guna.

Ginggi hanya menghela nafas mendengar ucapan Ki Rangga Guna ini. “Baiklah kita berpisah di sini, Paman. Semoga nasib kita baik dan di suatu waktu kita bisa bertemu lagi,” kata Ginggi mengeraskan perasaan.

Dia harus belajar berani melakukan sesuatu. Di antaranya harus berani melakukan perpisahan. Beberapa kali terjadi, pemuda itu susah menepis perpisahan. Berpisah dengan Ki Darma, berpisah dengan Nyi Santimi, berpisah dengan gadis anak pemilik warung di Tanjungpura, dan kini berpisah dengan Ki Rangga Guna. Semua terasa berat bila Ginggi tak berani mengeraskan hati dan perasaan.

Pemuda itu berdiri mematung ketika Ki Rangga Guna duluan meninggalkannya. Matahari sudah condong ke barat. Dan karena Ki Rangga Guna berjalan menuju timur, maka punggungnya tersorot sinar lembayung. Bayangan tubuhnya jatuh menimpa tanah di hadapannya dan langkah Ki Rangga Guna seperti bermain dengan bayangannya sendiri. Sampai hilang di kelokan jalan setapak, sampai keadaan benar-benar sepi, baru kemudian pemuda itu berani melangkah. Pelan tak bergairah.

Untuk kembali ke jalan pedati, Ginggi tak perlu kembali ke utara menuju Tanjungpura, tapi memotong jalan agak ke barat, untuk kemudian belok ke kanan agak ke utara lagi. Benar seperti apa kata Ki Rangga Guna, jalan memotong menuju Warunggede tidak begitu jauh tapi harus lewat jalan setapak membelah hutan jati. Sehari penuh dia menerobos hutan tanpa bertemu manusia seorang jua pun. Ginggi di tengah perjalanan hanya bertemu binatang hutan yang tak begitu membahayakan.

Sampai tiba di wilayah Kandagalante Warunggede, pemuda itu tidak mendapatkan rintangan berarti. Begitu pun ketika perjalanan dilanjutkan menyusuri jalan pedati ke arah barat. Ginggi sering bertemu lewat dengan para pejalan kaki, atau pun rombongan pedati dengan isi penuh hasil bumi, tapi satu sama lain tidak saling mengganggu. Ginggi harus menyebrangi sebuah sungai yang amat lebar tapi berair tenang, jauh sebelum tiba di Kandagalante Warunggede, kata seorang kakek pemilik rakit penyebrangan, sungai besar itu bernama Citarum.

Ginggi teringat ucapan Ki Rangga Guna, bahwa Pakuan mutlak hanya berkuasa di batas sungai ini sampai ke barat. Namun kendati begitu, wilayah utara tetap dikuasai pasukan Banten atau Cirebon. Dengan kata lain, kekuasaan mutlak yang dipegang Pakuan sebenarnya wilayah tengah dan selatan mulai batas Sungai Citarum ke arah barat. Wilayah-wilayah yang ada di sebelah timur Citarum merupakan wilayah-wilayah “transisi” karena pertentangan politik dengan Cirebon. Beberapa wilayah timur ada beberapa yang bertahan dan setia kepada Pakuan tapi kebanyakan sudah mulai bimbang. Dan semakin jauh menuju timur, semakin jauh dari pusat pemerintahan, rasa setia terhadap Pakuan pun semakin menipis. Beberapa kerajaan kecil yang dulu ada di bawah kekuasaan Pakuan seperti Sumedanglarang, Sindangkasih, Talaga, atau bahkan Cirebon Girang, semenjak masuk pengaruh Cirebon, praktis berkiblat ke Cirebon, kendati secara militer, negara-negara tersebut tak pernah memusuhi Pakuan dan apalagi membantu Cirebon ikut menyerbu ke barat. Hal ini bias terjadi barangkali karena apa pun yang terjadi, Pakuan beserta Pajajaran masih tetap disegani.

Bahwa dulu puluhan atau ratusan silam Pakuan Pajajaran berupa sebuah Negara besar dengan segala macam kewibawaannya, sampai hari itu pun masih dihormati para penghuni negara-negara kecil itu. Apalagi bila diingatkan dengan hubungan silsilah, bahwa yang menjadi pucuk pimpinan di negara-negara kecil itu hampir semua punya pertalian kerabat dengan raja-raja Pajajaran. Kalaupun seolah-olah terjadi “putus” hubungan, semuanya terjadi karena politik juga.

Cirebon yang dibantu kerajaan besar di wilayah timur bernama Demak melebarkan sayap kekuasaan dengan cara menyebarkan keyakinan baru. Cirebon yang kuat karena bantuan Demak lebih leluasa menyebarkan pengaruh ke pusat kerajaan kecil di wilayah timur, sebab mereka lebih dekat. Sebaliknya pengaruh Pakuan terasa lebih kecil karena letaknya yang jauh di barat. Maka bagi Negara-negara kecil di timur, siapa yang lebih kuat memberikan pengaruh, dialah yang akan berkuasa.

Tentu saja ini kerugian buat Pakuan. Kalau ingin mengembalikan kebesaran Pajajaran seperti masa-masa lalu, maka raja yang sekarang harus berupaya “mengambil” lagi semua negara kecil di timur yang ratusan atau puluhan tahun lalu masih berada di bawah pengaruhnya.

Oleh sebab itu Ginggi di lain fihak merasa kagum terhadap peranan Ki Banaspati. Entah secara bagaimana awalnya, yang jelas orang ini telah menjadi kepercayaan dari muhara (pejabat penarik pajak negara) untuk menjangkau pajak-pajak di wilayah timur Sungai Citarum. Mencoba mengumpulkan seba dari wilayah timur artinya harus berupaya mengembalikan pengaruh Pajajaran ke negri-negri kecil yang kini sudah berada di bawah pengaruh Cirebon.

Kalau Ki Banaspati mampu melakukannya, maka orang ini benar-benar hebat. Dia akan menjadi orang yang benar-benar dihargai dan diperlukan di Pakuan. Diperlukan di Pakuan? Kalau benar demikian, tepatkah kini dia menghimpun kekuatan untuk merebut kekuasaan di Pakuan? Apakah memang begitu seharusnya, orang yang diperlukan Pakuan harus menjadi pengendali utama di Pakuan itu sendiri?

Ginggi teringat kembali ucapan Ki Darma yang disampaikan melalui Ki Rangga Guna. Bahwa Ki Darma memang tak puas dengan cara Raja sekarang memerintah. Tapi Ki Darma tak pernah bermaksud mengenyahkan Raja dengan menggantinya. Yang Ki Darma katakan, Raja sedang sakit dengan berbuat keliru. Orang sakit harus diobati dan bukan dienyahkan. Dengan lebih jelasnya harus disebutkan, bahwa Ki Darma sebetulnya tidak memerintahkan para muridnya untuk melakukan pemberontakan dan apalagi merebut kekuasaan. Sedangkan Ki Banaspati diketahui Ginggi tengah berupaya menyusun kekuatan militer yang kelak akan digunakan menyerang Pakuan. Tidakkah ini berlebihan dan melenceng dari keinginan Ki Darma?

Beruntung sekali Ginggi bertemu dengan salah seorang murid Ki Darma dan yang kebetulan tidak mengecewakan dirinya. Melihat sikap dan pendirian Ki Rangga Guna, Ginggi yakin, jalan pikiran orang itu masih wajar dan berjalan tepat di atas perintah Ki Darma. Sekarang Ginggi tidak sendirian dalam mengemban perintah gurunya. Dan masih ada satu harapan lagi. Satu orang lagi murid Ki Darma belum diketemukan. Ginggi berharap, murid kedua Ki Darma ini masih hidup dan tetap ingat amanat gurunya. Bila benar demikian, perasaan pemuda itu semakin lega.

Sekarang, walau pun kembali sunyi karena harus berjalan sendirian lagi, tapi dada pemuda itu terasa lapang. Dia memang harus menuju barat. Banyak tugas yang harus diselesaikannya di sana. Pertama ingin menyelidiki sejauh mana peranan Ki Banaspati di Pakuan. Kedua, Ginggi harus melacak Suji Angkara yang misterius dan yang dipastikan juga menuju Pakuan, bahkan mungkin sudah berada di sana. Ginggi harus sanggup membongkar kemisteriusan pemuda itu. Siapa dia sebenarnya. Dan benarkah kecurigaan dirinya terhadap pemuda itu beralasan?

Ginggi bercuriga, setiap Suji Angkara memasuki satu wilayah, hampir selalu ada gadis bunuh diri karena pemerkosaan. Ki Rangga Wisesa memang melakukan hal yang sama. Tapi korban-korban yang lain, jelas perbuatan orang lain di luar Ki Rangga Wisesa. Dan Ginggi mencurigai Suji Angkara. Bila tudingan ini tidak benar, Ginggi akan merasa berdosa. Tapi bila ternyata benar, maka Ginggi akan mengeraskan tekad untuk membuat perhitungan. Dan ingat akan masalah ini, Ginggi menjadi bimbang.

Ginggi amat heran bila harus memikirkan Suji Angkara bisa melakukan tindakan tercela macam ini. Pemuda itu nampaknya kaya raya, ditampilkan melalui caranya memilih pakaian mahal dan mewah. Suji Angkara juga dikenal di Desa Cae sebagai anak seorang kuwu, gemar berniaga dengan bangsa asing dan berwajah tampan. Kesemua bukti ini sebetulnya sudah bisa dijadikan sebagai modal untuk memikat gadis-gadis cantik. Mengapa pula pemuda pesolek itu harus melakukan tindakan kasar, memperkosa wanita? Ginggi bingung memikirkannya.

Biarlah, akan aku kuak tabir ini dengan penyelidikan seksama. Kalau Suji Angkara gemar berbuat jahat, tidak ada bangkai busuk yang tak tercium kendati disembunyikan di tempat tertutup, pikirnya

Setelah tiba di wilayah Cibarusa, Ginggi tak mendapat kesulitan berarti untuk mencari tahu ke mana arah menuju Pakuan. Jalan pedati antara Cibarusa dan Pakuan cukup ramai sebab setiap hari banyak orang datang dan pergi ke Pakuan. Kebanyakan dari mereka terdiri dari kaum pedagang, baik berdagang hasil bumi seperti padi huma, kacang-kacangan dari ladang, atau pun buah-buahan, sampai kepada hasil ternak seperti kerbau, sapi, kambing dan ayam. Para saudagar yang berdagang macam-macam kain, dari mulai kain kasar sampai kain halus. Kain kasar dibawa orang dari wilayah-wilayah seputar Pakuan untuk diperdagangkan di sana, sebaliknya kain halus dibawa dari Pakuan untuk diperdagangkan di wilayah-wilayah seputar Pakuan.

Ginggi masih cukup memiliki uang logam perak hasil pemberian Kuwu Wado. Ketika dari Cibarusa mohon ikut menumpang sebuah pedati dengan imbalan beberapa keping uang logam perak, pemilik kendaraan bertenaga sapi itu amat bersenang hati menolongnya.

“Ayo naiklah. Tapi kau harus duduk di tumpukan kain belacu ini, anak muda,” kata pemilik pedati.

Ginggi duduk menclok di atas tumpukan kain. Kain belacu itu semua berwarna putih, digulung di sebuah kayu bulat hampir menyerupai tongkat tapi dengan ukuran besar.

“Ramai sekali lalu-lintas di sini, Paman …” kata Ginggi sambil menoleh kiri-kanan.

Bagi pemuda itu, ini pemandangan pertama, melihat orang di jalan besar berlalu-lalang dengan berbagai kesibukan dan keperluannya masing-masing.

“Tidak seramai puluhan tahun silam, anak muda,” kata pemilik pedati.

Seorang tua bertopi cotom (topi anyaman bambu bulat melengkung seperti wajan) dan berbaju kampret hitam dengan dada dibiarkan terbuka. Ginggi tersenyum pahit. Sementara orang suka mengatakan bahwa zaman cenderung bergerak maju. Tapi Pajajaran sepertinya tak terikat oleh kecenderungan ini. Buktinya, pemilik pedati ini menyebutkan, lalu-lintas ke Pakuan malah lebih ramai puluhan tahun silam dibanding sekarang.

“Dulu ketika Pajajaran di bawah pimpinan Sang Prabu Sri Baduga Maharaja, Pakuan begitu makmur sebab perdagangan amat maju,” katanya pelan dan sesekali menengok kiri-kanan sepertinya ucapannya ini tak boleh didengar banyak orang.

“Sekarang mengapa tidak semaju dulu?” tanya Ginggi mencoba menguji keberanian orang ini berbicara.

Pemilik pedati hanya tersenyum tipis. “Zaman memang telah berubah, anak muda, dan semuanya membawa perubahan juga. Perubahan itu bias berupa kemajuan, tapi bisa juga berupa kemunduran. Dan barangkali bagi Pajajaran roda kehidupan sedang ada di bawah. Pajajaran sedang ada dalam kemunduran. Sebab roda kemajuan telah berada di tangan kekuasaan yang baru,” kata pemilik pedati berkata serius.

Ginggi menoleh untuk menatap pemilik pedati ini. Orang tua ini ternyata tahu juga masalah perkembangan negara.

“Ya, bagaimana tidak tahu, aku kan sejak muda berniaga kecil-kecilan. Dari wilayah seputar Pakuan aku kirimkan kain kasar, sebab bangsa-bangsa lain memborong kain kasar buatan Pajajaran. Sebaliknya bangsa-bangsa asing seperti Cina, Keling, Campa dan Maladewa datang ke Pajajaran menjual kain halus atau berbagai barang keperluan yang di Pakuan belum dibuat. Pedagang dan pembeli, semua berkumpul di pelabuhan-pelabuhan milik Pakuan, seperti di Cirebon, Banten, atau di Muara Cimanuk. Perdagangan dengan bangsa asing paling banyak dilakukan di Pelabuhan Kalapa. Dalam setahun, Pakuan butuh seribu ekor kuda dan dibelinya dari Pulau Sumba atau Sumbawa. Tapi sebaliknya orang-orang Pakuan dalam satu tahun sanggup menjual merica, lada, dan buah asam masing-masing seribu buah kapal. Begitu majunya perdagangan ketika itu,” kata pemilik pedati sambil mengatur langkah penghela sapi agar bisa memilih jalan yang agak rata.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment