“Engkau tidak membunuh saudaramu, Paman!” kata Ginggi menghibur.
Tapi Ki Rangga Guna tetap sedih dengan peristiwa ini. Menjelang siang hari perut Ginggi terasa lapar. Meniru burung bangau, kedua orang itu mencoba mencari ikan di rawa-rawa. Tidak begitu sulit, sebab dengan kepandaian mereka, ikan-ikan di rawa serasa begitu mudahnya ditangkap. Di tepi bukit mereka membakar ikan gabus atau bogo. Makan tanpa banyak bicara karena Ki Rangga Guna nampaknya masih diliputi kesedihan oleh kematian saudara kembarnya.
Sesudah rasa lapar di perutnya menghilang, Ginggi kembali bertanya perihal rencana selanjutnya. Terutama yang erat kaitannya dengan tugas yang dibebankan Ki Darma. Namun untuk yang kesekian kalinya Ki Rangga Guna hanya mengeluh.
“Berpayah-payah aku mencari murid-murid Ki Darma, sudah tiga orang aku temukan. Tapi nyatanya tak seorang pun yang membuatku percaya,” kata Ginggi pada akhirnya.
Ki Rangga Guna menatap Ginggi dengan penuh perhatian. “Siapa yang kau temukan selain kami berdua, anak muda?” tanya Ki Rangga Guna penuh minat.
“Aku temukan juga Ki Banaspati…”
“Ki Banaspati? Itulah murid pertama ki Guru. Tolong pertemukan aku, sebab selama ini aku belum pernah bersua!” kata Ki Rangga Guna.
Giliran pemuda ini yang kini menunduk lesu.
“Kau seperti tak berselera memperbincangkan Ki Banaspati, anak muda,” kata Ki Rangga Guna penuh selidik.
“Ya, kau akan mudah menemukan Ki Banaspati, Paman. Dia orang berpengaruh. Paling tidak di wilayah Kandagalante Sagaraherang,” kata Ginggi sambil termangu-mangu.
Ki Rangga Guna terus mengamatinya. “Dia jadi orang berpengaruh?” tanya Ki Rangga Guna penuh perhatian.
“Betul,” ujar Ginggi. “Tapi aku heran, mengapa Paman belum pernah bertemu, atau pun mendengar perihalnya? Kalau aku pernah tak tahu, itu wajar, sebab sejak kecil aku hanya bersama Ki Darma di puncak gunung yang sunyi. Tapi kau lain lagi. Kau tak pernah hidup menyepi dan pekerjaanmu tentu berkelana,” kata Ginggi.
Ki Rangga Guna menangguk-angguk. “Benar, selama ini aku berkelana, tapi aku pergi jauh dari Pajajaran. Biar nanti aku ceritakan perihalku. Sekarang lebih baik kau terangkan Ki Banaspati,” kata Ki Rangga Guna mendesak.
Dengan perasaan enggan, terpaksa pemuda itu menerangkan perihal Ki Banaspati, termasuk penilaian dirinya terhadap orang itu. Dengan panjang-lebar Ginggi menerangkan betapa Ki Banaspati telah jadi orang terpandang. Di Pakuan sebagai pembantu utama muhara (petugas penarik pajak negara). Juga di wilayah Kandagalante Sagaraherang, menjadi semacam penasihat Kandagalante itu. Dikatakannya pula, betapa sebetulnya dia merasa curiga akan tindak-tanduk Ki Banaspati sebab seperti menyembunyikan suatu misteri.
“Ki Banaspati mengatakan bahwa selama ini dia tetap setia kepada amanat Ki Darma dalam perjuangan membela rakyat. Tapi aku pikir, cita-citanya terlalu jauh. Yang dimaksud perjuangan demi kepentingan rakyat olehnya adalah berupaya membentuk satu kekuatan untuk menjatuhkan raja dan kemudian kelak akan digantikan olehnya!” kata Ginggi.
Mendengar penjelasan ini, Ki Rangga Guna termenung. Beberapa kali alisnya nampak berkerut. Beberapa kali pula nampak matanya kian menyipit. Dan sambil berpangku tangan, sesekali dia berjalan ke kiri, sesekali berjalan juga ke kanan.
“Ini pemberontakan namanya!” gumamnya agak keras.
“Pemberontakan?”
“Ya, melawan pemerintahan yang sah adalah pemberontakan namanya. Orang yang memberontak selalu mempunyai nama buruk,” kata Ki Rangga Guna.
“Sekali pun bertujuan membela rakyat, Paman?” Tanya Ginggi.
Ditanya demikian, Ki Rangga Guna termenung. “Entahlah, mungkin benar ia berjuang demi rakyat,” kata Ki Rangga Guna. “Tapi tak kurang yang berdalih demi kepentingan rakyat, padahal rakyat sebenarnya hanya dianggap modal untuk melicinkan cita-cita pribadinya,” kata Ki Rangga Guna lagi.
“Aku mengkhawatirkan, itu yang menjadi tujuan sebenarnya dari Ki Banaspati. Dia bermain api. Mencoba membujuk dan mempengaruhi Kandagalante Sunda Sembawa agar berambisi merebut tahta, tapi yang sebenarnya Ki Sunda Sembawa dikendalikan untuk kepentingan Ki Banaspati itu sendiri,” kata Ginggi memperkirakan siasat Ki Banaspati.
“Benar-benar berbahaya bila begitu!” Ki Rangga Guna berseru saking terkejutnya mendengar penjelasan itu.
“Ya, dan ini mengecewakan. Semuanya, semuanya …” gumam Ginggi dengan nada keluhan.
Mereka terdiam sejenak, sepertinya tengah asyik dengan lamunannya masing-masing. Namun kemudian, terdengar kekeh Ki Rangga Guna. Suara tawa penuh kepahitan.
Mendengar tawa ini, Ginggi berjingkat dan berdiri. “Aku mau pulang ke Puncak Cakrabuana … ” kata pemuda itu pendek.
Ki Rangga Guna menatap pemuda itu dengan pandangan kosong. “Bagaimana dengan amanat Ki Guru?” tanyanya.
Tapi Ki Rangga Guna tetap sedih dengan peristiwa ini. Menjelang siang hari perut Ginggi terasa lapar. Meniru burung bangau, kedua orang itu mencoba mencari ikan di rawa-rawa. Tidak begitu sulit, sebab dengan kepandaian mereka, ikan-ikan di rawa serasa begitu mudahnya ditangkap. Di tepi bukit mereka membakar ikan gabus atau bogo. Makan tanpa banyak bicara karena Ki Rangga Guna nampaknya masih diliputi kesedihan oleh kematian saudara kembarnya.
Sesudah rasa lapar di perutnya menghilang, Ginggi kembali bertanya perihal rencana selanjutnya. Terutama yang erat kaitannya dengan tugas yang dibebankan Ki Darma. Namun untuk yang kesekian kalinya Ki Rangga Guna hanya mengeluh.
“Berpayah-payah aku mencari murid-murid Ki Darma, sudah tiga orang aku temukan. Tapi nyatanya tak seorang pun yang membuatku percaya,” kata Ginggi pada akhirnya.
Ki Rangga Guna menatap Ginggi dengan penuh perhatian. “Siapa yang kau temukan selain kami berdua, anak muda?” tanya Ki Rangga Guna penuh minat.
“Aku temukan juga Ki Banaspati…”
“Ki Banaspati? Itulah murid pertama ki Guru. Tolong pertemukan aku, sebab selama ini aku belum pernah bersua!” kata Ki Rangga Guna.
Giliran pemuda ini yang kini menunduk lesu.
“Kau seperti tak berselera memperbincangkan Ki Banaspati, anak muda,” kata Ki Rangga Guna penuh selidik.
“Ya, kau akan mudah menemukan Ki Banaspati, Paman. Dia orang berpengaruh. Paling tidak di wilayah Kandagalante Sagaraherang,” kata Ginggi sambil termangu-mangu.
Ki Rangga Guna terus mengamatinya. “Dia jadi orang berpengaruh?” tanya Ki Rangga Guna penuh perhatian.
“Betul,” ujar Ginggi. “Tapi aku heran, mengapa Paman belum pernah bertemu, atau pun mendengar perihalnya? Kalau aku pernah tak tahu, itu wajar, sebab sejak kecil aku hanya bersama Ki Darma di puncak gunung yang sunyi. Tapi kau lain lagi. Kau tak pernah hidup menyepi dan pekerjaanmu tentu berkelana,” kata Ginggi.
Ki Rangga Guna menangguk-angguk. “Benar, selama ini aku berkelana, tapi aku pergi jauh dari Pajajaran. Biar nanti aku ceritakan perihalku. Sekarang lebih baik kau terangkan Ki Banaspati,” kata Ki Rangga Guna mendesak.
Dengan perasaan enggan, terpaksa pemuda itu menerangkan perihal Ki Banaspati, termasuk penilaian dirinya terhadap orang itu. Dengan panjang-lebar Ginggi menerangkan betapa Ki Banaspati telah jadi orang terpandang. Di Pakuan sebagai pembantu utama muhara (petugas penarik pajak negara). Juga di wilayah Kandagalante Sagaraherang, menjadi semacam penasihat Kandagalante itu. Dikatakannya pula, betapa sebetulnya dia merasa curiga akan tindak-tanduk Ki Banaspati sebab seperti menyembunyikan suatu misteri.
“Ki Banaspati mengatakan bahwa selama ini dia tetap setia kepada amanat Ki Darma dalam perjuangan membela rakyat. Tapi aku pikir, cita-citanya terlalu jauh. Yang dimaksud perjuangan demi kepentingan rakyat olehnya adalah berupaya membentuk satu kekuatan untuk menjatuhkan raja dan kemudian kelak akan digantikan olehnya!” kata Ginggi.
Mendengar penjelasan ini, Ki Rangga Guna termenung. Beberapa kali alisnya nampak berkerut. Beberapa kali pula nampak matanya kian menyipit. Dan sambil berpangku tangan, sesekali dia berjalan ke kiri, sesekali berjalan juga ke kanan.
“Ini pemberontakan namanya!” gumamnya agak keras.
“Pemberontakan?”
“Ya, melawan pemerintahan yang sah adalah pemberontakan namanya. Orang yang memberontak selalu mempunyai nama buruk,” kata Ki Rangga Guna.
“Sekali pun bertujuan membela rakyat, Paman?” Tanya Ginggi.
Ditanya demikian, Ki Rangga Guna termenung. “Entahlah, mungkin benar ia berjuang demi rakyat,” kata Ki Rangga Guna. “Tapi tak kurang yang berdalih demi kepentingan rakyat, padahal rakyat sebenarnya hanya dianggap modal untuk melicinkan cita-cita pribadinya,” kata Ki Rangga Guna lagi.
“Aku mengkhawatirkan, itu yang menjadi tujuan sebenarnya dari Ki Banaspati. Dia bermain api. Mencoba membujuk dan mempengaruhi Kandagalante Sunda Sembawa agar berambisi merebut tahta, tapi yang sebenarnya Ki Sunda Sembawa dikendalikan untuk kepentingan Ki Banaspati itu sendiri,” kata Ginggi memperkirakan siasat Ki Banaspati.
“Benar-benar berbahaya bila begitu!” Ki Rangga Guna berseru saking terkejutnya mendengar penjelasan itu.
“Ya, dan ini mengecewakan. Semuanya, semuanya …” gumam Ginggi dengan nada keluhan.
Mereka terdiam sejenak, sepertinya tengah asyik dengan lamunannya masing-masing. Namun kemudian, terdengar kekeh Ki Rangga Guna. Suara tawa penuh kepahitan.
Mendengar tawa ini, Ginggi berjingkat dan berdiri. “Aku mau pulang ke Puncak Cakrabuana … ” kata pemuda itu pendek.
Ki Rangga Guna menatap pemuda itu dengan pandangan kosong. “Bagaimana dengan amanat Ki Guru?” tanyanya.
“Ya, aku ingat betul. Jangan kembali sebelum tugas selesai,” jawab Ginggi teringat kembali pesan Ki Darma.
“Ya, itu juga yang dikatakan Ki Guru padaku. Sekarang aku tak mau pulang …”
“Ya, mungkin tak bisa pulang karena engkau tak mau melaksanakan perintah gurumu!” kata Ginggi ketus dan akan segera beranjak pergi.
“Lantas kau sendiri pulang untuk apa, anak muda?” tanya Ki Rangga Guna.
“Sekarang ada yang lebih kupikirkan ketimbang urusan besar yang aku sendiri tak sanggup mengerjakannya. Berita yang disampaikan Ki Rangga Wisesa amat merisaukan diriku. Malam kedua belas perjalanan bulan keenam Aku ingat kembali. Sehari sebelumnya Ki Darma memerintahkan aku supaya pergi. Kalau benar malam kedua belas itu hari penyerbuan Cirebon dan Pakuan ke Puncak Cakrabuana, aku berdosa kepada Ki Darma. Dia kubiarkan menghadapi marabahaya sendirian, sedang aku… sedang aku …” pemuda itu tak melanjutkan omongannya.
“Kau tak berdosa. Bahkan Ki Darma sendiri yang akan merasa berdosa bila membiarkan kau terlibat bentrokan di puncak. Dia mengorbankan engkau yang belum tahu permasalahan sebenarnya,” kata Ki Rangga Guna dengan nada sedih.
“Bukan itu yang kupikirkan!” teriak Ginggi benci kepada jalan pikirannya sendiri. Ya, dia membenci dirinya sendiri. Ketika Ki Darma tengah menghadapi marabahaya, bukankah dia sedang asyik masyuk bersama Nyi Santimi di bukit kecil Desa Cae? Terbayang ketika itu, Ki Darma di Puncak Cakrabuana tengah bergumul mempertahankan nyawa, sedangkan dia bergumul mempermainkan berahi. Aku berdosa, kutuknya dalam hati sambil menggetok ubun-ubunnya sendiri.
“Ki Guru tahu, mana kepentingan yang harus dia jaga. Membiarkan engkau terlibat urusan di puncak, berarti memutuskan perjuangan dan cita-citanya membela Pajajaran. Sebab kalau kau ikut menjadi korban di Puncak Cakrabuana bersamanya, putus pulalah cita-citanya!” kata Ki Rangga Guna meyakinkan, tapi tetap saja dengan suara yang terdengar pilu.
“Apa bedanya dengan sekarang. Tokh biar pun aku selamat, tetap saja tak bisa melaksanakan amanatnya. Orang-orang yang sengaja aku hubungi seperti apa kata perintah Ki Darma, tidak satu pun yang membuatku lega. Barangkali Ki Darma pun akan kecewa bila dia masih hidup!” teriak Ginggi kesal.
“Plak!”
Ki Rangga Guna melayangkan telapak tangannya menempeleng Ginggi. Pemuda itu langsung terjajar dan menimpa bongahan-bongkahan batu kapur. Tidak menderita luka, tapi Ginggi terkejut setengah mati sebab dia tak menyangka sama sekali bahwa Ki Rangga Guna akan menyerang secara tiba-tiba.
“Ayo, bunuhlah aku Paman! Kepandaianmu jauh lebih tinggi ketimbang aku. Tapi aku tak malu mati kendati belum menunaikan tugas. Beda sekali dengan kau Paman, hidup dengan memiliki kepandaian tapi tak pernah memanfaatkan kepandaian itu sendiri untuk membalas kebaikan gurumu!” teriak Ginggi marah dan kesal.
“Kau manusia tolol tapi sombong!” kini Ki Rangga Guna balas membentak. Dia menghambur ke arah Ginggi dan pemuda itu meramkan mata, sepertinya pasrah untuk mati hari itu.
Tapi Ki Rangga Guna tak melancarkan pukulan, kecuali meraih pakaian pemuda itu di bagian dada dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Ocehan-ocehanmu serasa menghina dan merendahkan aku, anak dungu! Sangkamu, kau ini apa? Apa saja yang kau lakukan sejak turun gunung selain mencari-cari kami? Dan apakah kau tahu, apa sebenarnya yang aku lakukan selama belasan tahun mengembara? Dengarlah anak picik! Belasan tahun aku melaksanakan perintah Ki Guru. Belasan tahun aku dikejar dan diburu oleh siapa saja karena aku murid Ki Darma. Aku juga dituding pengkhianat! Semua yang ada hubungan dengan Ki Darma sama diperlakukan sebagai pengkhianat! Kau dengar itu, hai manusia tak punya guna!” teriak Ki Rangga Guna menunjuk-nunjuk hidung pemuda itu dengan tangan kanan, dan tangan kirinya masih mencengkram pakaian Ginggi.
“Pekerjaan yang engkau laksanakan tak seberapa, demikian juga penderitaanmu. Tapi kau berani mengeluh bahkan menyesali tindakan orang lain, seolah-olah tindakanmu bagus dan berarti bagi Ki Guru. Kau sesali pula tindakan Ki Banaspati. Padahal sejelek apa pun dia bekerja, tokh dia sudah melakukan sesuatu untuk berupaya mengubah keadaan di Pajajaran. Huh, dasar bocah cengeng!” teriak Ki Rangga Guna geram.
Tubuh pemuda itu dia lontarkan dan untuk yang kedua kalinya menimpa bongkahan batu kapur. Ginggi menjerit dan melolong-lolong. Bukan rasa sakit di punggung karena dua kali menimpa bongkahan batu kapur. Tapi rasa sakit yang ada di hatinya. Benarkah dia manusia tak ada guna dan kerjanya menuding keburukan orang lain saja? Ginggi menjambak-jambak rambutnya untuk mengimbangi rasa sakit di hatinya.
“Ya, betul Paman. Aku manusia tiada guna. Aku tak punya harga diri! Aku tak punya rasa malu! Oh, aku harus mati karena ini!” teriaknya sambil mengangkat sebongkah batu untuk kemudian ditimpakan ke kepalanya.
Ki Rangga Guna sudah menggerakkan sepasang tangannya dan mendorong benda berat itu jauh-jauh.
“Hm, enak saja bunuh diri. Bila kau bunuh diri, kau adalah orang licik dan pengecut. Merasa diri tak ada harganya tapi bukan berusaha mendapatkan harga diri itu, melainkan akan lari dari tanggung jawab!” omel Ki Rangga Guna kesal.
“Aku bodoh! Aku tak punya kemampuan. Bagaimana mungkin bisa melakukan sesuatu yang berarti?” Tanya Ginggi mengeluh.
“Kalau kau sudah punya pertanyaan seperti itu, maka sebetulnya sudah didapat jawabannya. Agar kau mampu melakukan sesuatu, maka belajarlah untuk mampu melakukan sesuatu. Banyak cara untuk meraihnya yaitu dengan memiliki kemauan untuk belajar. Ingin pandai berenang, belajarlah pada itik. Ingin pandai terbang, belajarlah pada burung. Asal kau sanggup memilih guru yang tepat dan sanggup belajar dengan keras, tak ada sesuatu yang tak bisa kau kerjakan, termasuk melaksanakan amanat dan perintah Ki Guru Darma!” kata Ki Rangga Guna.
Ginggi menunduk lesu mendengar perkataan Ki Rangga Guna ini. Dan Ki Rangga Guna terus berkata-kata sambil berdiri membelakangi dan berpangku tangan.
“Jangan menganggap aku juga tak sedih dengan berbagai peristiwa yang terjadi di sekeliling ini. Kau lihat adikku, dia begitu jahatnya, begitu memalukannya. Dia orang putus asa. Ada rasa sakit hati terhadap perlakuan di sekelilingnya. Dia sakit hati terhadap guru. Dia pun sakit hati terhadap situasi negara. Akhirnya frustrasi dan mengacuhkan etika hidup. Kalau kita ikut tenggelam terbawa hanyut pengaruh-pengaruh yang mengungkungi hidup, maka kita pun tak ada beda dengan yang lain. Sama tak ada guna dan sama memalukan. Padahal Ki Guru Darma sudah memberikan amanatnya yang kesemuanya harus kita junjung tinggi,” kata Ki Rangga Guna.
Ginggi menunduk lama sekali. Namun pada akhirnya dia mengangguk-angguk tanda mengerti akan ucapan Ki Rangga Guna.
“Mafkan kedunguanku, Paman …” kata Ginggi pada akhirnya.
“Nah, bagus bila begitu. Meminta maaf berarti akan berusaha memperbaiki sesuatu yang keliru. Aku senang mendengarnya anak muda,” kata Ki Rangga Guna pada pemuda itu.
“Sekarang, apa yang harus aku lakukan dalam memenuhi amanat Ki Darma?” tanya Ginggi membenahi pakaian yang awut-awutan dan mulai duduk dengan benar.
Kembali Ki Rangga Guna menghela nafas, sesuatu yang sebetulnya Ginggi tak senang dan yang telah membuatnya tadi uring-uringan. Dan perasaan pemuda ini sebetulnya terasa benar oleh Ki Rangga Guna.
“Setiap kau tanya itu aku mengeluh. Tapi bukan berarti aku ingin menghindar dari pertanyaan itu, anak muda,” kata Ki Rangga Guna.
Ginggi mengarahkan matanya ke tempat lain setelah merasa isi hatinya teraba oleh Ki Rangga Guna.
“Begitu beratnya amanat Ki Guru itu,” kata Ki Rangga Guna.
Dikatakannya, dulu tugas yang diberikan Ki Darma terhadapnya, juga terhadap ketiga muridnya lebih terarah dan jelas. Semuanya harus memperhatikan nasib rakyat dari tekanan Sang Prabu Ratu Sakti. Sang Prabu Ratu Sakti ini selalu bertindak keras. Mudah menghukum siapa saja yang dianggapnya bersalah. Dan karena negara butuh biaya besar untuk mengembalikan kekuatannya seperti masa-masa silam, Sang Prabu terpaksa menarik pajak tinggi kepada rakyat. Akibatnya hidup rakyat cukup menderita. Kendati hasil ladang melimpah, hasil sungai pun tak pernah surut, tapi rakyat tak pernah kaya sebab hasil pekerjaannya banyak disedot untuk kepentingan negara. Celakanya, tak semua harta rakyat masuk ke lumbung negara dan digunakan untuk kepentingan negara. Tapi akibat kebijaksaan raja dalam menarik pajak, banyak pejabat berbuat serong, mendompleng kepada kebiasaan raja.
“Semakin jauh dari pusat kekuasaan, penyelewengan semakin tak terkontrol. Bila di wilayah-wilayah yang dekat ke pusat pemerintahan, rakyat disedot untuk membantu menegakkan kembali kebesaran negara, maka di wilayah yang jauh dari pusat, rakyat disedot untuk kepentingan pejabat yang memperkaya diri sendiri,” kata Ki Rangga Guna.
Bersama adik kembarnya, Ki Rangga Wisesa, tahun-tahun pertama dilepas Ki Guru Darma, langsung terjun melaksanakan amanat guru. Kedua orng itu selalu berusaha mengacaukan petugas seba. Mereka sering merebut barang-barang yang sudah dikumpulkan petugas, untuk kemudian diberikan kepada rakyat lagi. Malah kedua orang kembar itu tak segan-segan melakukan pencurian kepada harta milik pejabat yang diduga kekayaan pribadinya diambil dari kerja tak benar. Kesemuanya dikembalikan kepada rakyat. Tapi tindakan ini terlalu kasar dan terlalu berani. Ini adalah pekerjaan yang penuh risiko, sebab bila terpergok, mereka diburu dan dikejar.
“Kami akhirnya menyesal sendiri berbuat seperti itu. Sesudah kami diketahui bahwa kami berdua murid-murid Ki Darma, Pasukan Pakuan memburu kami sebagai pemberontak dan penjahat. Ki Darma juga semakin popular di Pakuan sebagai penjahat dan perampok yang memerintahkan murid-muridnya berbuat kejahatan kepada negara,” kata Ki Rangga Guna.
Menurutnya, sesudah dikejar dan diburu serta dituduh pemberontak dan penjahat, hidup keduanya menjadi tak tenang lagi, sebab akhirnya rakyat pun ikut membenci dan memusuhinya juga. Situasi semakin menghimpit mereka. Dan di saat itulah hubungan saudara kembar menjadi pecah.
“Adikku mulai lelah dengan pekerjaannya sebab katanya tak pernah menguntungkan dirinya. Yang lebih parah dari itu, adikku menjadi benci terhadap Ki Guru. Hanya karena keinginan Ki Guru katanya yang menyebabkan hidupnya terombang-ambing dan selalu menghindar dari perburuan Pasukan Pakuan,” kata Ki Rangga Guna. “Akhirnya kami bertengkar. Satu menyalahkan Ki Guru, satunya membela Ki Guru. Kataku, perintah Ki Guru tak salah. Yang salah, kitalah sebagai pelaksana, mengapa memilih siasat kasar dan terlalu berani seperti itu. Adikku marah besar padaku. Katanya, aku membela guru, wajar karena disayang. Tapi dia menyalahkan guru juga wajar karena tak diperhatikan. Akhirnya kami pilih jalan sendiri-sendiri,” kata Ki Rangga Guna.
“Tapi benar kebijaksanaan Ki Guru,” ujarnya,”Mengapa dia tak memberikan perhatian yang sama kepada saudara kembarku, karena Ki Rangga Wisesa memiliki kelemahan batin. Iri, benci dan selalu menyalahkan tindakan orang lain, merupakan sisi lain dari kelemahan adikku. Tapi sisi lainnya, kelemahan itu adalah sesuatu yang amat berbahaya. Dia punya sikap tak acuh akan penilaian orang lain terhadap dirinya. Asalkan dia senang melakukannya, kendati orang lain menganggapnya salah, maka dia lakukan seenak perutnya sendiri. Kau sudah tahu bukan, betapa selama ini dia melakukan kejahatan dan menimpakan kelakuannya padaku, sehingga akhirnya akulah yang dikejar-kejar,” kata Ki Rangga Guna.
Ginggi terkesiap sendiri mendengar kalimat-kalimat akhir dari Ki Rangga Guna ini. Katanya adik kembarnya punya kelemahan yang amat membahayakan, bahwa selalu bersikap tak acuh terhadap penilaian umum. Kendati orang lain menganggapnya salah, bila dia senang melakukannya, maka dia lakukannya pula. Ini mengingatkan kepada sikap hidupnya tempo hari. Bukankah dia pun pernah berprinsip seperti itu, tak acuh terhadap penilain orang lain? Ginggi bergidik kalau berkhayal, bagaimana kalau dia melakukan tindakan berbahaya dan merugikan orang lain hanya karena tak menggubris penilaian umum?
“Sesudah aku berpisah dengan saudara kembarku, maka segala sesuatu yang akan aku lakukan mengandalkan jalan pikiran dan gagasan sendiri saja,” kata Ki Rangga Guna melanjutkan perkataannya.
Menurutnya, pemerintah Pakuan membuat kebijaksanaan menghimpun kekayaan rakyat untuk mengembalikan kejayaan negara karena negara ada dalam keadaan genting. Dulu kekayaan negara lebih dititik beratkan kepada hasil perdagangan antar bangsa melalui Pelabuhan Kalapa dan wilayah pantai-pantai lainnya. Tapi sekarang sesudah wilayah utara dikuasai Banten dan Cirebon, Pakuan sudah tak bisa melakukan hubungan dagang lagi dengan negri seberang.
“Maka aku pikir, penyebab dari kesemuanya adalah negara-negara yang telah menggempur dan merebut wilayah-wilayah penting tersebut. Merekalah yang aku anggap salah. Maka kesanalah perhatianku sekarang,” kata Ki Rangga Guna lagi. Dan karena tinggal di wilayah Pajajaran dia selalu dikejar dan diburu, maka Ki Rangga Guna segera pergi ke wilayah utara. Kerap kali dia menyusup ke wilayah musuh. Dengan mengambil risiko tinggi Ki Rangga Guna menyerang pusat-pusat pertahanan Banten dan Cirebon. Para perwira Pajajaran adalah orang-orang tangguh dalam perkelahian. Ilmu mereka tinggi-tinggi. Tapi bila harus menyerbu ke utara, mereka tak sanggup. Pasukan Banten dan Cirebon di wilayah itu berhasil merebut berbagai senjata api yang dulu dikuasai teman dagang Pakuan, yaitu bangsa- bangsa sebrang lautan. Ada beberapa senjata api bernama meriam, dan orang Pakuan takut menghadapinya,” kata Ki Rangga Guna.
“Meriam?” Ginggi bergumam, heran mendengar benda tersebut.
Ki Rangga Guna menyebutnya sebagai senjata api. Tapi bagaimana rupanya dan sejauh mana kedahsyatannya, Ginggi tak bisa membayangkan.
“Meriam benar-benar dahsyat. Dia terbuat dari besi baja, bermoncong serta bulat hampir sebesar batang kelapa. Kalau disulut api, moncong meriam yang sudah diisi peluru akan melontarkan peluru tersebut yang kelak berubah menjadi bola api amat besar. Para perwira Pakuan sepandai apa pun berkelahi, tidak akan sanggup mempergunakan kepandaiannya sebab keburu dihadang lontaran peluru.
Peluru bola api itu terlontar ratusan bahkan ribuan depa jauhnya. Bisa kau bayangkan anak muda, sebelum para perwira dan prajurut Pakuan berhadapan dengan musuh, mereka sudah dihantam bola-bola api. Banyak yang mati atau luka-luka berat karena bola api sanggup meledak dan mengoyak-ngoyak tubuh orang yang diserang. Satu terjangan bola api sanggup membunuh puluhan bahkan ratusan penyerang. Orang Pakuan kewalahan menghadapinya, anak muda,” kata Ki Rangga Guna.
Ginggi melongo dan terkadang meleletkan lidah saking herannya mendengar kisah kehebatan senjata terbuat dari gelondongan besi baja itu.
“Benda aneh itu benar-benar sakti sekaligus mengerikan dan kejam, Paman …” kata Ginggi masih diliputi keheranan.
“Tapi aku berusaha melumpuhkan senjata-senjata itu,” kata Ki Rangga Guna, “Dan aku bertekad begitu. Secara diam-diam aku menyelundup ke Pelabuhan Kalapa. Aku mencoba naik ke kapal milik Pasukan Banten atau Cirebon. Aku coba jatuhkan benda jahat itu ke laut. Kalau senjata itu berada di benteng pelabuhan, maka aku coba rusakkan dengan cara lain,” kata Ki Rangga Guna.
Ginggi puas mendegarnya. Seolah-olah benar musuh akan segera lemah karena sejumlah meriam dilumpuhkan Ki Rangga Guna.
“Aku berhasil melumpuhkan senjata berat itu. Tapi ternyata masih lebih banyak lagi benda yang sama dikawal dan dilindungi keamanannya. Bila aku harus merusak benda itu, maka sebelumnya aku harus melakukan perkelahian terbuka dengan fihak musuh. Dan sesudah satu dua senjata ganas itu aku lumpuhkan, mereka menjadi tahu bahwa aku mengarahkan penyerbuan untuk melumpuhkan meriam. Akibatnya, penjagaan mereka terhadap benda berbahaya itu semakin ditingkatkan, sehingga aku tak mungkin lagi mengganggunya. Sampai pada suatu saat, aku masuk ke dalam perangkap mereka. Aku dikepung untuk ditangkap hidup-hidup atau dibunuh sekalian. Beruntung aku bisa lolos dari kepungan dengan jalan menerjunkan diri ke tengah laut. Selama bertahun-tahun aku hanya bersembunyi di pulau-pulau kosong jauh di seberang Pelabuhan Kalapa. Aku bahkan terputus dari dunia luar dan tak tahu perkembangan Pajajaran selanjutnya. Sampai pada suatu saat aku bisa mendarat kembali ke pulau besar ini. Aku tadinya akan berusaha mencari dua murid Ki Guru Darma yaitu Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta yang tak pernah aku kenali baik wajah atau pun pekerjaanya. Baru hari ini saja melalui kau aku bisa tahu Ki Banaspati. Selama ini terpaksa aku harus main sembunyi karena aku tetap dikejar dan diburu, apalagi ketika aku diributkan tukang perkosa gadis,” kata Ki Rangga Guna setengah mengeluh.
Ginggi menarik nafas berat mendengar kisah Ki Rangga Guna. Pantas saja dia marah besar ketika Ginggi merasa kecewa terhadapnya, sebab menurut hematnya, Ki Rangga Guna sudah benar-benar melaksanakan tugas yang dibebankan Ki Darma dengan berat dan penuh penderitaan.
“Maafkan aku kalau begitu, Paman …” kata Ginggi menunduk malu.
“Sudahlah, sebab hanya karena kita menyadari berbuat salahlah kita jadi tahu mana yang benar,” kata Ki Rangga Guna sambil mengajak pemuda itu meninggalkan perbukitan kapur.
Kedua orang itu turun berkelok-kelok menuruni bukit. Sebelumnya Ki Rangga Guna lama menatap ke arah bongkahan-bongkahan batu kapur yang menimbun menutup lubang gua.
“Kasihan saudara kembarku … Semoga Hyang mengampuni dosamu,” gumam Ki Rangga Guna. Dia mengucapkan doa sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu.
“Aku akan kembali ke Puncak Cakrabuana untuk melihat nasib Ki Darma. Engkau akan ke mana, Paman?” kata Ginggi ketika sudah sampai di sebuah dataran rendah.
“Engkau jangan mudah digoncang kesedihan anak muda. Kesedihan berlebihan hanya akan membuat tumpul pikiran saja,” kata Ki Rangga Guna.
“Tapi aku selalu ingat Ki Darma, aku khawatir akan nasibnya,” kata Ginggi.
“Aku muridnya, aku juga sama khawatir akan nasib Ki Guru. Tapi bila kita pulang ke Cakrabuana, hanya akan mengulur-ngulur perintah guru saja, dan dia akan marah sekali,” kata Ki Rangga Guna. “Peristiwa penyerbuan ke Puncak Cakrabuana bila benar dilakukan, itu terjadi hamper lima bulan lalu. Kita tak akan bisa mengubah atau mempengaruhi kejadian yang sudah berlangsung. Bila Ki Guru tewas dalam penyerbuan itu, kita tak bisa menolongnya. Ki Guru orang yang tak senang diperhatikan secara berlebih. Mati untuk sesuatu kepentingan yang lebih besar, buatnya bukan soal. Itulah sebabnya Ki Guru memaksamu meninggalkan puncak. Ki Guru merasa lebih penting menyuruhmu pergi bergabung dengan kami ketimbang menahanmu tinggal di puncak hanya sekadar membantunya menyelamatkan diri dari serbuan musuh. Engkau harus selamat sebab diharapkan bisa melanjutkan perjuangannya, anak muda,” kata Ki Rangga Guna menyeka keringat yang membasahi seluruh wajahnya.
Ginggi menunduk dan mengatupkan kedua matanya. Hatinya pedih sekali bila ternyata benar Ki Darma tewas dalam peristiwa penyerbuan ke puncak.
“Aku berdosa … aku berdosa …” keluhnya, sebab setiap kali teringat kematian Ki Darma, selalu juga terbayang perbuatan mesumnya dengan Nyi Santimi.
Peristiwa mesum itu mungkin hampir bersamaan waktunya dengan hari-hari penyerbuan orang-orang Pakuan atau juga orang-orang Cirebon ke Puncak Cakrabuana.
“Sudahlah!” teriak Ki Rangga Guna kesal melihat kecengengan Ginggi. “Ki Guru menyuruhmu turun untuk menemui kami dan minta petunjuk perihal tugas-tugas selanjutnya. Sekarang kau sudah bisa bertemu denganku. Mari kita atur dan bagi tugas dalam melaksanakan perintah Ki Guru,” lanjutnya.
Ginggi segera menepis pikiran-pikiran sedihnya. Dia mengangguk keras berdiri menghadap ke arah Ki Rangga Guna.
“Aku siap menerima perintahmu, Paman!” katanya.
“Bagus!” kata Ki Rangga Guna gembira. Dan lelaki setengah baya itu mulai mengatur-atur tugas.
“Engkau harus melanjutkan perjalanan menuju Pakuan,” kata Ki Rangga Guna. “Dan aku akan menuju Sagaraherang,” lanjutnya lagi.
Ki Rangga Guna mengatakan, ke Pakuan amat penting, sebab harus meneliti pusat perkembangan pemerintahan ini.
“Ya, itu juga yang dikatakan Ki Guru padaku. Sekarang aku tak mau pulang …”
“Ya, mungkin tak bisa pulang karena engkau tak mau melaksanakan perintah gurumu!” kata Ginggi ketus dan akan segera beranjak pergi.
“Lantas kau sendiri pulang untuk apa, anak muda?” tanya Ki Rangga Guna.
“Sekarang ada yang lebih kupikirkan ketimbang urusan besar yang aku sendiri tak sanggup mengerjakannya. Berita yang disampaikan Ki Rangga Wisesa amat merisaukan diriku. Malam kedua belas perjalanan bulan keenam Aku ingat kembali. Sehari sebelumnya Ki Darma memerintahkan aku supaya pergi. Kalau benar malam kedua belas itu hari penyerbuan Cirebon dan Pakuan ke Puncak Cakrabuana, aku berdosa kepada Ki Darma. Dia kubiarkan menghadapi marabahaya sendirian, sedang aku… sedang aku …” pemuda itu tak melanjutkan omongannya.
“Kau tak berdosa. Bahkan Ki Darma sendiri yang akan merasa berdosa bila membiarkan kau terlibat bentrokan di puncak. Dia mengorbankan engkau yang belum tahu permasalahan sebenarnya,” kata Ki Rangga Guna dengan nada sedih.
“Bukan itu yang kupikirkan!” teriak Ginggi benci kepada jalan pikirannya sendiri. Ya, dia membenci dirinya sendiri. Ketika Ki Darma tengah menghadapi marabahaya, bukankah dia sedang asyik masyuk bersama Nyi Santimi di bukit kecil Desa Cae? Terbayang ketika itu, Ki Darma di Puncak Cakrabuana tengah bergumul mempertahankan nyawa, sedangkan dia bergumul mempermainkan berahi. Aku berdosa, kutuknya dalam hati sambil menggetok ubun-ubunnya sendiri.
“Ki Guru tahu, mana kepentingan yang harus dia jaga. Membiarkan engkau terlibat urusan di puncak, berarti memutuskan perjuangan dan cita-citanya membela Pajajaran. Sebab kalau kau ikut menjadi korban di Puncak Cakrabuana bersamanya, putus pulalah cita-citanya!” kata Ki Rangga Guna meyakinkan, tapi tetap saja dengan suara yang terdengar pilu.
“Apa bedanya dengan sekarang. Tokh biar pun aku selamat, tetap saja tak bisa melaksanakan amanatnya. Orang-orang yang sengaja aku hubungi seperti apa kata perintah Ki Darma, tidak satu pun yang membuatku lega. Barangkali Ki Darma pun akan kecewa bila dia masih hidup!” teriak Ginggi kesal.
“Plak!”
Ki Rangga Guna melayangkan telapak tangannya menempeleng Ginggi. Pemuda itu langsung terjajar dan menimpa bongahan-bongkahan batu kapur. Tidak menderita luka, tapi Ginggi terkejut setengah mati sebab dia tak menyangka sama sekali bahwa Ki Rangga Guna akan menyerang secara tiba-tiba.
“Ayo, bunuhlah aku Paman! Kepandaianmu jauh lebih tinggi ketimbang aku. Tapi aku tak malu mati kendati belum menunaikan tugas. Beda sekali dengan kau Paman, hidup dengan memiliki kepandaian tapi tak pernah memanfaatkan kepandaian itu sendiri untuk membalas kebaikan gurumu!” teriak Ginggi marah dan kesal.
“Kau manusia tolol tapi sombong!” kini Ki Rangga Guna balas membentak. Dia menghambur ke arah Ginggi dan pemuda itu meramkan mata, sepertinya pasrah untuk mati hari itu.
Tapi Ki Rangga Guna tak melancarkan pukulan, kecuali meraih pakaian pemuda itu di bagian dada dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Ocehan-ocehanmu serasa menghina dan merendahkan aku, anak dungu! Sangkamu, kau ini apa? Apa saja yang kau lakukan sejak turun gunung selain mencari-cari kami? Dan apakah kau tahu, apa sebenarnya yang aku lakukan selama belasan tahun mengembara? Dengarlah anak picik! Belasan tahun aku melaksanakan perintah Ki Guru. Belasan tahun aku dikejar dan diburu oleh siapa saja karena aku murid Ki Darma. Aku juga dituding pengkhianat! Semua yang ada hubungan dengan Ki Darma sama diperlakukan sebagai pengkhianat! Kau dengar itu, hai manusia tak punya guna!” teriak Ki Rangga Guna menunjuk-nunjuk hidung pemuda itu dengan tangan kanan, dan tangan kirinya masih mencengkram pakaian Ginggi.
“Pekerjaan yang engkau laksanakan tak seberapa, demikian juga penderitaanmu. Tapi kau berani mengeluh bahkan menyesali tindakan orang lain, seolah-olah tindakanmu bagus dan berarti bagi Ki Guru. Kau sesali pula tindakan Ki Banaspati. Padahal sejelek apa pun dia bekerja, tokh dia sudah melakukan sesuatu untuk berupaya mengubah keadaan di Pajajaran. Huh, dasar bocah cengeng!” teriak Ki Rangga Guna geram.
Tubuh pemuda itu dia lontarkan dan untuk yang kedua kalinya menimpa bongkahan batu kapur. Ginggi menjerit dan melolong-lolong. Bukan rasa sakit di punggung karena dua kali menimpa bongkahan batu kapur. Tapi rasa sakit yang ada di hatinya. Benarkah dia manusia tak ada guna dan kerjanya menuding keburukan orang lain saja? Ginggi menjambak-jambak rambutnya untuk mengimbangi rasa sakit di hatinya.
“Ya, betul Paman. Aku manusia tiada guna. Aku tak punya harga diri! Aku tak punya rasa malu! Oh, aku harus mati karena ini!” teriaknya sambil mengangkat sebongkah batu untuk kemudian ditimpakan ke kepalanya.
Ki Rangga Guna sudah menggerakkan sepasang tangannya dan mendorong benda berat itu jauh-jauh.
“Hm, enak saja bunuh diri. Bila kau bunuh diri, kau adalah orang licik dan pengecut. Merasa diri tak ada harganya tapi bukan berusaha mendapatkan harga diri itu, melainkan akan lari dari tanggung jawab!” omel Ki Rangga Guna kesal.
“Aku bodoh! Aku tak punya kemampuan. Bagaimana mungkin bisa melakukan sesuatu yang berarti?” Tanya Ginggi mengeluh.
“Kalau kau sudah punya pertanyaan seperti itu, maka sebetulnya sudah didapat jawabannya. Agar kau mampu melakukan sesuatu, maka belajarlah untuk mampu melakukan sesuatu. Banyak cara untuk meraihnya yaitu dengan memiliki kemauan untuk belajar. Ingin pandai berenang, belajarlah pada itik. Ingin pandai terbang, belajarlah pada burung. Asal kau sanggup memilih guru yang tepat dan sanggup belajar dengan keras, tak ada sesuatu yang tak bisa kau kerjakan, termasuk melaksanakan amanat dan perintah Ki Guru Darma!” kata Ki Rangga Guna.
Ginggi menunduk lesu mendengar perkataan Ki Rangga Guna ini. Dan Ki Rangga Guna terus berkata-kata sambil berdiri membelakangi dan berpangku tangan.
“Jangan menganggap aku juga tak sedih dengan berbagai peristiwa yang terjadi di sekeliling ini. Kau lihat adikku, dia begitu jahatnya, begitu memalukannya. Dia orang putus asa. Ada rasa sakit hati terhadap perlakuan di sekelilingnya. Dia sakit hati terhadap guru. Dia pun sakit hati terhadap situasi negara. Akhirnya frustrasi dan mengacuhkan etika hidup. Kalau kita ikut tenggelam terbawa hanyut pengaruh-pengaruh yang mengungkungi hidup, maka kita pun tak ada beda dengan yang lain. Sama tak ada guna dan sama memalukan. Padahal Ki Guru Darma sudah memberikan amanatnya yang kesemuanya harus kita junjung tinggi,” kata Ki Rangga Guna.
Ginggi menunduk lama sekali. Namun pada akhirnya dia mengangguk-angguk tanda mengerti akan ucapan Ki Rangga Guna.
“Mafkan kedunguanku, Paman …” kata Ginggi pada akhirnya.
“Nah, bagus bila begitu. Meminta maaf berarti akan berusaha memperbaiki sesuatu yang keliru. Aku senang mendengarnya anak muda,” kata Ki Rangga Guna pada pemuda itu.
“Sekarang, apa yang harus aku lakukan dalam memenuhi amanat Ki Darma?” tanya Ginggi membenahi pakaian yang awut-awutan dan mulai duduk dengan benar.
Kembali Ki Rangga Guna menghela nafas, sesuatu yang sebetulnya Ginggi tak senang dan yang telah membuatnya tadi uring-uringan. Dan perasaan pemuda ini sebetulnya terasa benar oleh Ki Rangga Guna.
“Setiap kau tanya itu aku mengeluh. Tapi bukan berarti aku ingin menghindar dari pertanyaan itu, anak muda,” kata Ki Rangga Guna.
Ginggi mengarahkan matanya ke tempat lain setelah merasa isi hatinya teraba oleh Ki Rangga Guna.
“Begitu beratnya amanat Ki Guru itu,” kata Ki Rangga Guna.
Dikatakannya, dulu tugas yang diberikan Ki Darma terhadapnya, juga terhadap ketiga muridnya lebih terarah dan jelas. Semuanya harus memperhatikan nasib rakyat dari tekanan Sang Prabu Ratu Sakti. Sang Prabu Ratu Sakti ini selalu bertindak keras. Mudah menghukum siapa saja yang dianggapnya bersalah. Dan karena negara butuh biaya besar untuk mengembalikan kekuatannya seperti masa-masa silam, Sang Prabu terpaksa menarik pajak tinggi kepada rakyat. Akibatnya hidup rakyat cukup menderita. Kendati hasil ladang melimpah, hasil sungai pun tak pernah surut, tapi rakyat tak pernah kaya sebab hasil pekerjaannya banyak disedot untuk kepentingan negara. Celakanya, tak semua harta rakyat masuk ke lumbung negara dan digunakan untuk kepentingan negara. Tapi akibat kebijaksaan raja dalam menarik pajak, banyak pejabat berbuat serong, mendompleng kepada kebiasaan raja.
“Semakin jauh dari pusat kekuasaan, penyelewengan semakin tak terkontrol. Bila di wilayah-wilayah yang dekat ke pusat pemerintahan, rakyat disedot untuk membantu menegakkan kembali kebesaran negara, maka di wilayah yang jauh dari pusat, rakyat disedot untuk kepentingan pejabat yang memperkaya diri sendiri,” kata Ki Rangga Guna.
Bersama adik kembarnya, Ki Rangga Wisesa, tahun-tahun pertama dilepas Ki Guru Darma, langsung terjun melaksanakan amanat guru. Kedua orng itu selalu berusaha mengacaukan petugas seba. Mereka sering merebut barang-barang yang sudah dikumpulkan petugas, untuk kemudian diberikan kepada rakyat lagi. Malah kedua orang kembar itu tak segan-segan melakukan pencurian kepada harta milik pejabat yang diduga kekayaan pribadinya diambil dari kerja tak benar. Kesemuanya dikembalikan kepada rakyat. Tapi tindakan ini terlalu kasar dan terlalu berani. Ini adalah pekerjaan yang penuh risiko, sebab bila terpergok, mereka diburu dan dikejar.
“Kami akhirnya menyesal sendiri berbuat seperti itu. Sesudah kami diketahui bahwa kami berdua murid-murid Ki Darma, Pasukan Pakuan memburu kami sebagai pemberontak dan penjahat. Ki Darma juga semakin popular di Pakuan sebagai penjahat dan perampok yang memerintahkan murid-muridnya berbuat kejahatan kepada negara,” kata Ki Rangga Guna.
Menurutnya, sesudah dikejar dan diburu serta dituduh pemberontak dan penjahat, hidup keduanya menjadi tak tenang lagi, sebab akhirnya rakyat pun ikut membenci dan memusuhinya juga. Situasi semakin menghimpit mereka. Dan di saat itulah hubungan saudara kembar menjadi pecah.
“Adikku mulai lelah dengan pekerjaannya sebab katanya tak pernah menguntungkan dirinya. Yang lebih parah dari itu, adikku menjadi benci terhadap Ki Guru. Hanya karena keinginan Ki Guru katanya yang menyebabkan hidupnya terombang-ambing dan selalu menghindar dari perburuan Pasukan Pakuan,” kata Ki Rangga Guna. “Akhirnya kami bertengkar. Satu menyalahkan Ki Guru, satunya membela Ki Guru. Kataku, perintah Ki Guru tak salah. Yang salah, kitalah sebagai pelaksana, mengapa memilih siasat kasar dan terlalu berani seperti itu. Adikku marah besar padaku. Katanya, aku membela guru, wajar karena disayang. Tapi dia menyalahkan guru juga wajar karena tak diperhatikan. Akhirnya kami pilih jalan sendiri-sendiri,” kata Ki Rangga Guna.
“Tapi benar kebijaksanaan Ki Guru,” ujarnya,”Mengapa dia tak memberikan perhatian yang sama kepada saudara kembarku, karena Ki Rangga Wisesa memiliki kelemahan batin. Iri, benci dan selalu menyalahkan tindakan orang lain, merupakan sisi lain dari kelemahan adikku. Tapi sisi lainnya, kelemahan itu adalah sesuatu yang amat berbahaya. Dia punya sikap tak acuh akan penilaian orang lain terhadap dirinya. Asalkan dia senang melakukannya, kendati orang lain menganggapnya salah, maka dia lakukan seenak perutnya sendiri. Kau sudah tahu bukan, betapa selama ini dia melakukan kejahatan dan menimpakan kelakuannya padaku, sehingga akhirnya akulah yang dikejar-kejar,” kata Ki Rangga Guna.
Ginggi terkesiap sendiri mendengar kalimat-kalimat akhir dari Ki Rangga Guna ini. Katanya adik kembarnya punya kelemahan yang amat membahayakan, bahwa selalu bersikap tak acuh terhadap penilaian umum. Kendati orang lain menganggapnya salah, bila dia senang melakukannya, maka dia lakukannya pula. Ini mengingatkan kepada sikap hidupnya tempo hari. Bukankah dia pun pernah berprinsip seperti itu, tak acuh terhadap penilain orang lain? Ginggi bergidik kalau berkhayal, bagaimana kalau dia melakukan tindakan berbahaya dan merugikan orang lain hanya karena tak menggubris penilaian umum?
“Sesudah aku berpisah dengan saudara kembarku, maka segala sesuatu yang akan aku lakukan mengandalkan jalan pikiran dan gagasan sendiri saja,” kata Ki Rangga Guna melanjutkan perkataannya.
Menurutnya, pemerintah Pakuan membuat kebijaksanaan menghimpun kekayaan rakyat untuk mengembalikan kejayaan negara karena negara ada dalam keadaan genting. Dulu kekayaan negara lebih dititik beratkan kepada hasil perdagangan antar bangsa melalui Pelabuhan Kalapa dan wilayah pantai-pantai lainnya. Tapi sekarang sesudah wilayah utara dikuasai Banten dan Cirebon, Pakuan sudah tak bisa melakukan hubungan dagang lagi dengan negri seberang.
“Maka aku pikir, penyebab dari kesemuanya adalah negara-negara yang telah menggempur dan merebut wilayah-wilayah penting tersebut. Merekalah yang aku anggap salah. Maka kesanalah perhatianku sekarang,” kata Ki Rangga Guna lagi. Dan karena tinggal di wilayah Pajajaran dia selalu dikejar dan diburu, maka Ki Rangga Guna segera pergi ke wilayah utara. Kerap kali dia menyusup ke wilayah musuh. Dengan mengambil risiko tinggi Ki Rangga Guna menyerang pusat-pusat pertahanan Banten dan Cirebon. Para perwira Pajajaran adalah orang-orang tangguh dalam perkelahian. Ilmu mereka tinggi-tinggi. Tapi bila harus menyerbu ke utara, mereka tak sanggup. Pasukan Banten dan Cirebon di wilayah itu berhasil merebut berbagai senjata api yang dulu dikuasai teman dagang Pakuan, yaitu bangsa- bangsa sebrang lautan. Ada beberapa senjata api bernama meriam, dan orang Pakuan takut menghadapinya,” kata Ki Rangga Guna.
“Meriam?” Ginggi bergumam, heran mendengar benda tersebut.
Ki Rangga Guna menyebutnya sebagai senjata api. Tapi bagaimana rupanya dan sejauh mana kedahsyatannya, Ginggi tak bisa membayangkan.
“Meriam benar-benar dahsyat. Dia terbuat dari besi baja, bermoncong serta bulat hampir sebesar batang kelapa. Kalau disulut api, moncong meriam yang sudah diisi peluru akan melontarkan peluru tersebut yang kelak berubah menjadi bola api amat besar. Para perwira Pakuan sepandai apa pun berkelahi, tidak akan sanggup mempergunakan kepandaiannya sebab keburu dihadang lontaran peluru.
Peluru bola api itu terlontar ratusan bahkan ribuan depa jauhnya. Bisa kau bayangkan anak muda, sebelum para perwira dan prajurut Pakuan berhadapan dengan musuh, mereka sudah dihantam bola-bola api. Banyak yang mati atau luka-luka berat karena bola api sanggup meledak dan mengoyak-ngoyak tubuh orang yang diserang. Satu terjangan bola api sanggup membunuh puluhan bahkan ratusan penyerang. Orang Pakuan kewalahan menghadapinya, anak muda,” kata Ki Rangga Guna.
Ginggi melongo dan terkadang meleletkan lidah saking herannya mendengar kisah kehebatan senjata terbuat dari gelondongan besi baja itu.
“Benda aneh itu benar-benar sakti sekaligus mengerikan dan kejam, Paman …” kata Ginggi masih diliputi keheranan.
“Tapi aku berusaha melumpuhkan senjata-senjata itu,” kata Ki Rangga Guna, “Dan aku bertekad begitu. Secara diam-diam aku menyelundup ke Pelabuhan Kalapa. Aku mencoba naik ke kapal milik Pasukan Banten atau Cirebon. Aku coba jatuhkan benda jahat itu ke laut. Kalau senjata itu berada di benteng pelabuhan, maka aku coba rusakkan dengan cara lain,” kata Ki Rangga Guna.
Ginggi puas mendegarnya. Seolah-olah benar musuh akan segera lemah karena sejumlah meriam dilumpuhkan Ki Rangga Guna.
“Aku berhasil melumpuhkan senjata berat itu. Tapi ternyata masih lebih banyak lagi benda yang sama dikawal dan dilindungi keamanannya. Bila aku harus merusak benda itu, maka sebelumnya aku harus melakukan perkelahian terbuka dengan fihak musuh. Dan sesudah satu dua senjata ganas itu aku lumpuhkan, mereka menjadi tahu bahwa aku mengarahkan penyerbuan untuk melumpuhkan meriam. Akibatnya, penjagaan mereka terhadap benda berbahaya itu semakin ditingkatkan, sehingga aku tak mungkin lagi mengganggunya. Sampai pada suatu saat, aku masuk ke dalam perangkap mereka. Aku dikepung untuk ditangkap hidup-hidup atau dibunuh sekalian. Beruntung aku bisa lolos dari kepungan dengan jalan menerjunkan diri ke tengah laut. Selama bertahun-tahun aku hanya bersembunyi di pulau-pulau kosong jauh di seberang Pelabuhan Kalapa. Aku bahkan terputus dari dunia luar dan tak tahu perkembangan Pajajaran selanjutnya. Sampai pada suatu saat aku bisa mendarat kembali ke pulau besar ini. Aku tadinya akan berusaha mencari dua murid Ki Guru Darma yaitu Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta yang tak pernah aku kenali baik wajah atau pun pekerjaanya. Baru hari ini saja melalui kau aku bisa tahu Ki Banaspati. Selama ini terpaksa aku harus main sembunyi karena aku tetap dikejar dan diburu, apalagi ketika aku diributkan tukang perkosa gadis,” kata Ki Rangga Guna setengah mengeluh.
Ginggi menarik nafas berat mendengar kisah Ki Rangga Guna. Pantas saja dia marah besar ketika Ginggi merasa kecewa terhadapnya, sebab menurut hematnya, Ki Rangga Guna sudah benar-benar melaksanakan tugas yang dibebankan Ki Darma dengan berat dan penuh penderitaan.
“Maafkan aku kalau begitu, Paman …” kata Ginggi menunduk malu.
“Sudahlah, sebab hanya karena kita menyadari berbuat salahlah kita jadi tahu mana yang benar,” kata Ki Rangga Guna sambil mengajak pemuda itu meninggalkan perbukitan kapur.
Kedua orang itu turun berkelok-kelok menuruni bukit. Sebelumnya Ki Rangga Guna lama menatap ke arah bongkahan-bongkahan batu kapur yang menimbun menutup lubang gua.
“Kasihan saudara kembarku … Semoga Hyang mengampuni dosamu,” gumam Ki Rangga Guna. Dia mengucapkan doa sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat itu.
“Aku akan kembali ke Puncak Cakrabuana untuk melihat nasib Ki Darma. Engkau akan ke mana, Paman?” kata Ginggi ketika sudah sampai di sebuah dataran rendah.
“Engkau jangan mudah digoncang kesedihan anak muda. Kesedihan berlebihan hanya akan membuat tumpul pikiran saja,” kata Ki Rangga Guna.
“Tapi aku selalu ingat Ki Darma, aku khawatir akan nasibnya,” kata Ginggi.
“Aku muridnya, aku juga sama khawatir akan nasib Ki Guru. Tapi bila kita pulang ke Cakrabuana, hanya akan mengulur-ngulur perintah guru saja, dan dia akan marah sekali,” kata Ki Rangga Guna. “Peristiwa penyerbuan ke Puncak Cakrabuana bila benar dilakukan, itu terjadi hamper lima bulan lalu. Kita tak akan bisa mengubah atau mempengaruhi kejadian yang sudah berlangsung. Bila Ki Guru tewas dalam penyerbuan itu, kita tak bisa menolongnya. Ki Guru orang yang tak senang diperhatikan secara berlebih. Mati untuk sesuatu kepentingan yang lebih besar, buatnya bukan soal. Itulah sebabnya Ki Guru memaksamu meninggalkan puncak. Ki Guru merasa lebih penting menyuruhmu pergi bergabung dengan kami ketimbang menahanmu tinggal di puncak hanya sekadar membantunya menyelamatkan diri dari serbuan musuh. Engkau harus selamat sebab diharapkan bisa melanjutkan perjuangannya, anak muda,” kata Ki Rangga Guna menyeka keringat yang membasahi seluruh wajahnya.
Ginggi menunduk dan mengatupkan kedua matanya. Hatinya pedih sekali bila ternyata benar Ki Darma tewas dalam peristiwa penyerbuan ke puncak.
“Aku berdosa … aku berdosa …” keluhnya, sebab setiap kali teringat kematian Ki Darma, selalu juga terbayang perbuatan mesumnya dengan Nyi Santimi.
Peristiwa mesum itu mungkin hampir bersamaan waktunya dengan hari-hari penyerbuan orang-orang Pakuan atau juga orang-orang Cirebon ke Puncak Cakrabuana.
“Sudahlah!” teriak Ki Rangga Guna kesal melihat kecengengan Ginggi. “Ki Guru menyuruhmu turun untuk menemui kami dan minta petunjuk perihal tugas-tugas selanjutnya. Sekarang kau sudah bisa bertemu denganku. Mari kita atur dan bagi tugas dalam melaksanakan perintah Ki Guru,” lanjutnya.
Ginggi segera menepis pikiran-pikiran sedihnya. Dia mengangguk keras berdiri menghadap ke arah Ki Rangga Guna.
“Aku siap menerima perintahmu, Paman!” katanya.
“Bagus!” kata Ki Rangga Guna gembira. Dan lelaki setengah baya itu mulai mengatur-atur tugas.
“Engkau harus melanjutkan perjalanan menuju Pakuan,” kata Ki Rangga Guna. “Dan aku akan menuju Sagaraherang,” lanjutnya lagi.
Ki Rangga Guna mengatakan, ke Pakuan amat penting, sebab harus meneliti pusat perkembangan pemerintahan ini.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment