Ads

Sunday, November 14, 2021

Kidung Senja Jatuh di Pajajaran 014

“Bleg!”

Ginggi menyeringai kesakitan. Kepalannya seolah memukul karung goni berisi pasir besi saja saking kerasnya dada Ki Rangga Guna. Ki Rangga Guna terkekeh-kekeh. Nampaknya dia gembira dengan kejadian ini.

“Ayo pukul lagi lebih keras anak muda!” teriaknya melengking.

Tubuh orang ini kuat, pikir Ginggi. Maka pemuda itu pun tak ragu-ragu melakukan pukulan kedua. Kali ini kepalan tangan kiri yang digunakan untuk menyerang. Takaran tenaganya dia tambah lagi hingga mencapai tigaperempat bagian.

“Blug!”

Dada yang terselubung baju kurung warna putih itu hanya bergeming sedikit dan Ginggi tetap menyeringai kesakitan kendati inti tenaga sudah dia salurkan ke tangan kiri. Ginggi penasaran, ayunan kepalan tangan kanan kini dia isi dengan seluruh inti tenaganya. Dia memusatkan pikiran di antara kedua alis mata. Dia tahan nafas dalam-dalam. Sesudah semua hawa murni dia sedot, lalu dia keluarkan suara bentakan nyaring sambil dibarengi hentakan tangan kanannya.

“Blag!”

Tubuh Ki Rangga Guna bergoyang dan langkahnya mundur tiga tindak. Ginggi melongo. Ini pukulan yang sepenuhnya diisi inti tenaga. Kalau digunakan memukul pohon jati, maka seluruh kepalan akan melesak masuk ke batang pohon. Kalau kepalan itu menyerang batu karang, maka akan hancur berkeping. Tapi dada Ki Ranga Guna yang hanya terbuat dari tulang dan daging tipis hanya membuat kakinya mundur tiga tindak saja. Tidak terkesan rasa sakit yang tercermin di wajahnya. Ki Rangga Guna bahkan terkekeh-kekeh lucu melihat Ginggi melongo seperti itu.

“Sekarang giliranku yang memukul anak muda. Ingin aku buktikan bahwa latihan telapak tanganku selama seratus duapuluh hari tak henti ini akan melumerkan bongkahan baja dan membuat batu karang menjadi debu! Terimalah ini!” teriak Ki Rangga Guna dengan suara melengking tinggi.

Tubuh orang itu doyong dan melengkung ke depan seperti akan terjerembab. Namun akhirnya dia membuat gerakan seperti kodok meloncat dan tangan melesat ke depan. Yang kanan terbuka mengarah wajah Ginggi dan tangan kiri menyodok dengan kepalan mengarah ke pusar. Ginggi bergidik menerima serangan ini sebab begitu tangan kiri menyodok dari bawah ada hawa panas menerjang pusarnya. Begitu pun serangan tangan kanan terbuka mengarah wajah, terasa sekali ada dorongan hawa yang sama menuju arah serangan itu.

Serangan ganda yang mengarah ke atas dan ke bawah secara bersamaan ini sebetulnya mudah untuk ditangkis. Caranya adalah mengibaskan sepasang tangan secara berbareng tapi dengan arah berlainan. Untuk menolak serangan ke wajah, Ginggi harus mengibaskan tangan kanan secara silang ke samping. Sedangkan untuk memunahkan serangan ke bawah pusar dia harus mengibaskan tangan kiri ke bawah. Namun Ginggi tak berani mengambil resiko mengadu kekuatan tangan dengan lawannya. Ki Rangga Guna seperti memiliki kekuatan ajaib tapi yang bisa membahayakan lawannya.

Tadi Ginggi sudah menyaksikan latihan tepukan Ki Rangga Guna. Betapa hebat pengerahan tenaganya sehingga dua telapak tangan beradu mengeluarkan burcakan bunga api. Ini hanya menandakan bahwa latihan pengerahan tenaga Ki Rangga Guna sudah mencapai puncak kesempurnaan.

Tempo hari Ki Darma pernah mengatakan bahwa manusia memiliki inti tenaga yang bersembunyi di badannya. Siapa pun adanya, dilatih atau pun tidak dilatih. Hanya bedanya, orang yang gemar berlatih kelak akan mampu menjinakkan, mengendalikan dan mengatur kapan inti tenaga bisa dikeluarkan. Sedangkan yang tak pernah berlatih, dia tidak akan bisa mengendalikan kekuatan tersembunyi itu menurut kehendaknya sendiri.

“Ambillah contoh. Seseorang yang tak pernah melatih ilmu kepandaian dalam keadaan biasa dia tak mungkin sanggup meloncat menyebrangi sungai yang lebar, misalnya. Tapi tenaga besar yang tersembunyi di badannya sebenarnya dia punya. Buktinya, bila dia merasa takut dikejar anjing, dia akan lari secepatnya dan secara nekad sungai yang lebar akan diloncati dan berhasil. Kau lihat juga contoh lain. Bila dalam keadaan biasa seseorang tidak dalam keadaan panik, manakala dia terkurung api di dalam rumah terkunci rapat, untuk menyelamatkan diri dia nekad menubruk pintu terkunci dan tak sadar berhasil membobolnya. Itu satu tanda bahwa dalam dirinya ada tenaga maha besar yang tersembunyi,” kata Ki Darma beberapa waktu lalu ketika Ginggi belajar di puncak Cakrabuana.

Kata Ki Darma, bagi yang ingin mengendalikan tenaga maha besar yang ada di dalam tubuhnya maka dia harus mau berlatih keras. Kian keras latihan akan kian pandai mengendalikan kekuataan maha besar tersembunyi ini. Sebagai bukti, betapa hebatnya tenaga pukulan yang dikeluarkan Ki Rangga Guna. Puncak kekuatan ini akan menciptakan tenaga dahsyat sampai mengeluarkan tekanan udara dan menghasilkan sumber api.

“Tenaga dahsyat yang dikeluarkan dari tubuh kita juga bisa mendorong udara dan menghasilkan tekanan luar biasa. Itulah sebabnya, kerapkali kita dengar ada orang sanggup memukul lawan tanpa menyentuhnya. Itu karena telapak tangan orang tersebut telah sanggup mendorong udara di hadapannya sehingga menimbulkan tekanan. Kian kuat dia mendorong udara, maka akan kian kuat pula hasilnya. Ada orang yang sanggup memukul roboh sebuah pohon besar dari jarak jauh. Pohon itu tumbang dan terbakar karena tekanan udara yang besar juga akan menghasilkan kilatan api,” kata Ki Darma.

Waktu itu Ginggi disuruh berlatih dari hal-hal yang kecil dulu. Pertama-tama dia berdiri menghadap api pelita jarak satu depa saja di sebuah ruangan tertutup. Ginggi membuka telapak tangan dan seolah-olah memukul atau mendorong cahaya api itu dengan telapak tangan sejauh satu depa.

“Kau lihat bukan, lidah api itu bergoyang-goyang karena tenaga tolakan telapak tanganmu itu. Kian kuat kau berlatih memukul jarak jauh, maka akan kuat pula hasilnya. Api bukan sekadar bergoyang tapi akan padam. Latihan lebih kau tingkatkan lagi, maka bukan hanya menggoyangkan lidah api, melainkan sanggup merobohkan sesuatu yang lebih besar lagi, misalnya saja menumbangkan sebuah batang pohon dengan pukulan jarak jauh,” kata Ki Darma.

Menurut Ki Darma, ilmu berkelahi tiada batasnya. Siapa yang paling pandai di dunia, tak ada orang yang tahu.

“Sudah berapa jauh tingkat ilmu yang kau miliki, engkau tidak akan tahu, tidak juga aku yang melatihmu. Oleh sebab itulah aku ingatkan engkau harus hati-hati hidup di dunia. Jangan sombong dan takabur. Kalau bisa, sembunyikan ilmumu itu. Biarkan orang lain menganggapmu tak bias apa-apa agar perhatian orang lain padamu terlena,” kata Ki Darma.

Amanat terakhir Ki Darma bahwa dia harus mau menyembunyikan ilmu kepandaiannya, tak selamanya bias dijalankan. Buktinya hari ini saja dia memperlihatkan kepandaian tanpa dipaksa orang.

“Tapi yang ini mesti kulakukan karena tujuanku ingin membasmi kejahatan,” kata Ginggi dalam hatinya.



Seperti tadi diutarakan, pemuda itu terlalu berisiko bila dia mencoba menangkis pukulan Ki Rangga Guna. Dia tak mau saling berbenturan tangan. Oleh sebab itu, tak ada cara terbaik meloloskan diri dari terjangan lawan selain mundur tiga tindak ke belakang dan kemudian meloncat jauh ke samping. Sudah barang tentu terjangan Ki Rangga Guna dengan lompatan kodoknya hanya berhasil menerjang angin belaka. Tapi lompatan itu terlalu kuat. Tubuh Ki Rangga Guna yang dihindarkan oleh kelitan ke samping, sepertinya hendak menubruk dinding karang. Tapi orang itu benar-benar pandai membuat gerakan. Sepasang tangan yang sedianya akan digunakan menyerang Ginggi sekarang dia gunakan untuk menotol dinding sehingga tubuhnya kembali mumbul ke udara. Di atas udara Ki Rangga Guna bersalto. Dan saat tubuhnya ada dalam keadaan terbalik, Ki Rangga Guna menggerak-gerakkan sepasang tangannya.

Ginggi terkejut. Ini adalah pukulan jarak jauh seperti apa yang dikatakan Ki Darma. Dan benar saja, suara angin berciutan mengiringi udara panas yang mempengaruhi ruangan gua itu. Ginggi yang tepat berada di bawah lawannya segera membuat gerakan trenggiling hindarkan api. Dia berguling-guling beberapa kali ketika Ki Rangga Guna menggerak sepasang tangannya lurus ke bawah dengan telapak tangan terbuka lebar.

“Blaaar!!!”

Ada suara dentuman menggelegar. Ruangan gua seperti bergetar. Dari langit-langit ada bebatuan yang runtuh. Beberapa menimpa gundukan api dan beberapa lagi menimpa tubuh gadis yang tergolek di sudut. Sebuah batu besar pas menimpa dadanya. Tidak terdengar jerit kesakitan atau erangan kecil. Tidak juga berkelojotan atau sekadar menggerak-gerakan ujung jari kaki sebagai tanda sakit. Ini hanya membuktikan bahwa gadis itu mungkin sejak dari tadi tak bernyawa lagi kalau tadi Ginggi melihat Ki Rangga Guna hendak menikam dada gadis itu. Siapa tahu. Bukankah terhadap tubuh mayat bayi pun dia potong bagian tangannya?

Ginggi tak sempat berpikir panjang lagi sebab serangan angin pukulan terus memberondongi dirinya. Pemuda itu pun terpaksa melompat kesana-kemari dan jumpalitan beberapa kali. Batu-batu kapur berguguran dari sana-sini. Dan langit-langit gua seperti mau runtuh rasanya. Ginggi agak kewalahan menerima serangan yang ganas dan berubi-tubi ini. Sementara Ki Rangga Guna sambil melepaskan angin pukulan kerjanya hahah-heheh, atau sesekali meringkik seperti kuda. Mulutnya menyeringai dan matanya liar.

Sambil terus berkelit dan menghindar, Ginggi merasakan keganjilan-keganjilan, terutama yang menyangkut tindakan-tindakan aneh orang ini. Sudah dua kali Ginggi bertemu Ki Rangga Guna ini. Pertama kali ketika orang ini dikeroyok di depan kedai wilayah Kandagalante Tanjungpura. Dan yang kedua di sebuah dusun kecil ketika baik Ginggi mau pun orang ini sama-sama kemalaman dan hendak menumpang tidur. Dari pertemuan itu Ginggi menyaksikan perilaku Ki Rangga Guna yang tenang dan terkesan acuh tak acuh. Ketika dia dikeroyok banyak orang, tidak sedikit pun dia mau membalas atau melayani keroyokan itu. Padahal kalau dia mau, Ginggi merasa yakin, Ki Rangga Guna dengan mudah saja melumpuhkan para pengeroyoknya. Ketika Ki Rangga Guna diserbu olehnya, juga terjadi hal yang sama. Dia tak mau membalas serangan, bahkan selalu menghindar dan akhirnya melarikan diri.

Hanya kali ini di pertemuan yang ketiga, Ki Rangga Guna membalas serangan. Bahkan dia membalas jauh lebih kejam dan ganas, seperti punya maksud untuk membunuhnya. Ganjil sekali orang ini. Dalam beberapa pertemuan sanggup menampilkan dua perilaku yang bertolak belakang. Sekarang Ki Rangga Guna seperti gila dan bagaikan orang kerasukan setan. Apalagi bila melihat matanya yang liar dan suaranya yang meringkik-ringkik menyeramkan. Gilakah orang ini sesudah hampir tiga atau empat bulan tak bertemu dengannya? Tapi kemudian Ginggi berpikir. Dia teringat pengakuan pemilik rumah hiburan di Tanjungpura yang mengatakan bahwa ketika Ki Rangga Guna mengacau tempat hiburan, perilakunya hampir menyerupai orang gila dan kekejamannya seperti iblis. Jadi kalau begitu, sudah sejak pertemuan dengannya Ki Rangga Guna sudah berpenampilan aneh seperti ini.

Kembali Ki Rangga Guna mendoyongkan tubuhnya ke depan sehingga saking doyongnya, perutnya hampir menyentuh permukaan gua. Sepasang tangannya kini ditarik ke belakang. Pelan-pelan dari berbentuk kepalan berubah menjadi terbuka. Ginggi bersikap hati-hati. Serangan yang meniru gerakan kodok hendak meloncat ini amat berbahaya seperti yang dipertunjukan pertama kali tadi. Dari gerakan telapak tangannya yang didorongkan ke depan kelak akan terpancar hawa panas. Hanya dengan mundur tiga tindak dan berkelit ke samping yang membuat serangan itu bisa dihindarkan. Kalau serangan yang sama akan kembali dilakukan, Ginggi perlu merubah gerakan menghindar, sebab bila jurus hinder hanya yang itu-itu saja sudah diketahui dengan baik oleh Ki Rangga Guna.

Ginggi mengingat-ingat, gerakan hinder yang mana lagi yang pernah diajarkan Ki Darma dalam upaya meloloskan serangan lawan seperti itu. Ginggi bingung sekali dalam memilih jurus yang terbaik. Ki Darma banyak memberikan jurus-jurus hindar. Jumlahnya tak terhitung sampai-sampai Ginggi pun tak hafal lagi. Tapi faktor atau penyebab tak hafalnya semua jurus yang diberikan Ki Darma bukan karena terlalu banyak macamnya jurus, melainkan karena keengganan dirinya mendalami semua yang diberikan Ki Darma. Ginggi dulu memang jenuh sebab selama sepuluh tahun pekerjaannya hanya berlatih sesuatu yang sebenarnya dia tak suka melakukannya.

“Ini gerakan berkelahi. Dan semua ditujukan untuk membunuh. Apakah kelak pekerjaanku hanya berkelahi dan membunuh, Aki?” tanya Ginggi ketika itu.

Ki Darma hanya mendelik marah bila Ginggi sudah membangkang seperti itu. Hanya tak mau didamprat Ki Darma saja Ginggi akhirnya mau berlatih. Itu pun kalau Ki Darma sedang turun gunung, Ginggi hanya berlatih asal-asalan saja.

“Aku tak senang berkelahi. Untuk apa setiap hari harus berlatih ilmu kasar macam begini?” pikirnya ketika itu.

Namun sekarang terbukti, bahwa pendapat Ki Darma benar dan pilihannyalah yang keliru. Paling tidak dalam menghadapi gempuran-gempuran maut dari orang gila ini, Ginggi memendam rasa sesal yang dalam. Kalau saja dulu tidak asal-asalan, kalau saja dulu gigih berlatih, tak nanti aku menderita kewalahan seperti ini, keluhnya dalam hati.

Ginggi tak ada waktu lagi memilih-milih jurus mana yang paling baik sebab tak ada lagi waktu. Sekarang Ki Rangga Guna mendorong-dorongkan sepasang telapak tangannya yang terbuka lebar. Orang ini cerdik. Tadi serangan gaya kodok itu dilakukan sambil meloncat. Karena Ginggi mundur tiga tindak dan berkelit ke samping, serangannya gagal. Sekarang, dia menyerang hanya dengan angin pukulannya saja yang menderu-deru tanpa beranjak dari kedudukannya semula. Cerdik sekali, sebab dengan melakukan serangan dari jarak jauh, Ki Rangga Guna hanya mengamati saja, ke mana pemuda itu menghindar.

Kalau ada gerakan ke samping kiri, Ki Rangga Guna tinggal mengarahkan pukulannya ke samping kiri, begitu pun sebaliknya. Ginggi sampai sejauh ini bisa lolos dari serangan maut, hanya karena tertolong oleh bongkahan-bongkahan batu yang runtuh saja. Bila dia tak sempat menghindar, maka satu-satunya jalan berlindung di balik bongkahan batu. Tapi cara itu pun sebenarnya hanya sementara saja. Setiap bongkahan batu terkena serangan, batu besar itu hancur berantakan. Lambat laun tentu pemuda itu akan kehilangan bongkahan batu untuk berlindung.

Pemuda itu pun menyadari akan perkiraan itu. Si bedebah itu hanya mengulur-ulur waktu saja. Persis seperti kucing hendak memangsa tikus. Sebelum tikus kecil digerus habis oleh gigi-gigi runcingnya, sang tikus yang ketakutan setengah mati hanya dipermainkan saja. Ginggi merasakan, Ki Rangga Guna seperti punya rasa optimis untuk mengalahkan dirinya. Maka sebelum membunuhnya, Ginggi seperti disiksa dengan permainan-permainan maut.

Ginggi mengeluh. Barangkali di sinilah akhir hayatnya. Tak disangka, jauh sebelum tugasnya selesai dia keburu mati. Mati bukan oleh musuh yang lebih besar, tapi oleh orang yang sebelumnya harus dia pintakan saran dan petunjuk seperti apa kata Ki Darma. Sadar nasibnya akan berakhir di gua kapur ini, pemuda itu mengeraskan hatinya. Kalau hanya sekadar memburu mati, buat apa harus berhati-hati? Lebih baik aku mencoba balik menyerang. Kalau berhasil syukur, kalau tidak, ya hanya mempercepat proses kematian saja. Yang penting aku berusaha menyerang dan berusaha membunuhnya pula, pikirnya dalam hati.

Putusannya sudah bulat. Maka ketika Ki Rangga Guna menarik sepasang tangannya ke belakang untuk membuat ancang-ancang penyerangan baru, maka serentak itu pula dia menghimpun inti tenaga. Ujung kakinya menotol dinding gua dan tubuhnya melesat memburu di mana Ki Rangga Guna berada. Dia harus adu cepat. Sebelum sepasang tangan lawannya kembali mendorong ke depan, maka dia harus melayangkan sebuah serangan dahsyat.

Sambil tubuh melesat di udara, sepasang tangan Ginggi bersilang di depan wajahnya. Tangan kanan berbentuk kepalan, sedangkan tangan kiri membentuk capit gunting. Ki Rangga Guna nampak terkejut dengan bentuk serangan ini. Barangkali dia tak menduga bahwa Ginggi akan nekad balik membalas serangan. Atau barangkali juga Ki Rangga Guna terkesiap karena hafal akan jurus ini. Namun apa pun yang ada di benak Ki Rangga Guna, rasa terkejutnya ini amat menguntungkan Ginggi, sebab dengan demikian, gerakan Ki Rangga Guna agak terhenti sejenak.

Dan kesempatan ini dimanfaatkan dengan baik oleh pemuda itu. Kepalan tangan kanan pemuda itu segera melayangkan pukulan. Ginggi sebetulnya tahu betul, Ki Rangga Guna akan menduga bahwa serangan yang asli terletak pada capit gunting tangan kiri. Dua jari tengah dan telunjuk sudah diisi inti tenaga. Sedang kepalan tangan kanan sebenarnya kosong melompong dari tenaga apa pun. Ginggi memastikan, begitulah yang tengah dipikirkan Ki Rangga Guna yang kenal betul akan gerakan khas milik Ki Darma. Dan karena Ki Rangga Guna berpikirnya begitu, pemuda itu harus mengubah siasat. Dia harus mengecoh jalan pikiran yang sudah baku itu. Maka pemuda itu serentak menarik inti tenaga yang sudah dia salurkan ke capit gunting tangan kiri dan serentak dialirkannya ke kepalan tangan kanannya sepenuh tenaga.

“Wuuttt … Plak!”

Ki Rangga Guna berteriak keras dan tubuhnya terbanting menumbuk dinding gua.

“Yihuyyyy !!!” seru Ginggi berteriak girang.

Ki Rangga Guna duduk meloso bersandar di dinding gua. Dia pijit-pijit keningnya yang bersemu hijau dan agak bengkak. Dan sesudah beberapa kali menggoyang kepala seperti hendak mengusir rasa pening, dia pelahan bangkit kembali dan menatap nanar campur heran kepada Ginggi. Tangan kanannya kemudian menunjuk kepada pemuda itu.

“Engkau … mengapa engaku gunakan jurus Ki Guru Darma?” katanya heran.

“Aku pergunakan jurus kepunyaan Ki Darma karena dia memberikannya padaku!” kata ginggi.

“Kau murid Ki Darma?”

Ginggi menggelengkan kepala. Dia tak bohong, sebab selama ini Ki Darma tak pernah menyebutnya murid pada dirinya.

“Kau bukan muridnya tapi kau pergunakan jurus itu, berarti kau curi ilmu Ki Guru, jahanam!” Ki Rangga Guna mendelikkan matanya.

“Aku tidak curi, aku dilatihnya!” sanggah Ginggi.

“Hehehe, tikus kecil! Hanya murid yang menerima pelajaran guru. Kalau guru tak ambil murid, maka tak mungkin memberi ilmu. Jadi, engkau pasti curi ilmu guru, hei kecoa!”

Sambil kembali hahah-heheh, Ki Rangga Guna mendekati pemuda itu dan akan balik menyerang. Ginggi amat terkejut melihat Ki Rangga Guna begitu kuatnya menerima pukulan. Padahal ketika latihan di puncak Cakrabuana, sebongkah batu hancur lebur dan pohon jati tumbang karena batangnya patah. Tapi sekarang, jidat Ki Rangga Guna begitu kuatnya menerima pukulan inti tenaga. Pukulan keras kepunyaan pemuda itu hanya membuat Ki Rangga Guna nanar sebentar. Kalau pun boleh disebut melukai, hanya membuat jidat orang itu bersemu hijau saja. Sebuah luka memar tak berarti. Ginggi mundur beberapa tindak ketika Ki Rangga Guna maju mendekat.

“Kau pencuri, tikus kecil … kau pencuri …” gumamnya menyeringai serta matanya liar. Nampak sekali kegeraman Ki Rangga Guna ini. “Kau curi ilmu Ki Guru, kau harus mati!” desisnya.

“Engkau yang harus mati dan bukan aku! Kau jahat! Kau buat malu Ki Darma! Padahal kau harus ingat, apa keinginan Ki Darma ketika ia lepas engkau turun gunung ?” kata Ginggi balik mencerca.

Wajah pucat Ki Rangga Guna semakin pucat mendengar omongan pemuda itu. Nampak Ki Rangga Guna seperti terhenyak dan terpojok.

“Aku … aku … aku tak tahu! Aku tak mau tahu!” teriak Ki Rangga Guna mencak-mencak. “Aku harus bunuh semuanya! Semuanya!” teriak Ki Rangga Guna berteriak-teriak tak keruan. Dia menghambur menerjang Ginggi.

Pukulannya berciut-ciut mengerikan. Dan angin panas menerjang ke arah pemuda itu. Ginggi semakin terdesak dan semakin mepet ke pojok gua. Sekarang tak ada lagi tempat berlindung. Yang dia kerjakan hanya menghindar dan berkelit saja namun pada suatu saat Ginggi terpojok juga. Dia hanya mepet di sebuah cekungan batu kapur. Kalau ada serangan ke arahnya, sudah tak mungkin berkelit lagi karena tubuhnya seolah-olah di kurung dinding kapur. Namun gerakan Ki Rangga Guna yang sudah bersiap mengirimkan pukulan maut mendadak berhenti ketika tiba-tiba terdengar suara orang mencegahnya.

“Ki Adi, hentikan kekeliruanmu itu!”

Ginggi terhenyak mendengar suara ini. Serasa dia pernah dengar sebelumnya. Ki Rangga Guna mundur beberapa tindak dan dia membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang berkata. Karena Ki Rangga Guna sudah tak memperhatikan tubuhnya lagi, Ginggi pun segera keluar dari cekungan dinding gua itu. Dia ikut memperhatikan siapa yang berkata tadi.

“Hah?” mulut pemuda itu menganga memandang siapa yang berdiri tenang di mulut gua.

Baik Ginggi mau pun Ki Rangga Guna sama-sama kaget melihat siapa yang datang. Ginggi benar-benar kaget. Sekarang ada “dua” Ki Rangga Guna. Satu orang berwajah tanpa ekspresi dan seorang lagi dengan perangai garang. Namun dua-duanya memiliki persamaan wajah. Muka bulat. Hidung melengkung dan bermata sipit. Mata sipit yang seorang benar-benar sipit sehingga bola mata hampir terlindung, sedangkan si wajah garang sesekali sanggup membelalakkan mata dengan sorot liar.

Ginggi menepuk jidatnya sendiri. Mengapa dia begitu bodoh dan pelupa? Bukankah Ki Darma dulu pernah bilang ada dua orang muridnya yang kembar, yaitu Ki Rangga Guna dan Ki Rangga Wisesa. Hanya saja sejauh ini Ginggi belum melihat yang mana Rangga Guna dan yang mana Rangga Wisesa. Benarkah si jahat bernama Rangga Guna atau malah sebaliknya?

“Ki Adi sadarlah. Hidupmu sudah semakin jauh dari kebenaran,” gumam yang berdiri di mulut gua.

“Tak ada bedanya benar atau salah buatku, Kakang!” teriak si hidung bengkok bersuara garang.

“Ada bedanya Ki Adi. Orang yang berbuat salah selalu merugikan orang yang sedang berjuang demi kebenaran!”

“Ya, begitulah! Makanya tak ada untungnya aku menjadi orang yang benar. Orang benar selalu akrab dengan kerugian. Menjadi orang jujur suka ditipu, dipermainkan dan dikucilkan. Menjadi orang yang benar dan jujur pun selalu ditekan agar taat kepada peraturan hidup. Sedangkan menjadi orang salah segalanya bisa menjadi bebas, tidak diringkus berbagai peraturan atau pun harga diri! Aku benci jadi orang baik! Benci!” teriak si garang.

“Ki Adi, menjadi orang jahat juga tak memiliki kebebasan. Karena banyak dibenci, maka banyak dimusuhi. Kau tak bebas berkeliaran. Dan kau takut jadi orang jahat. Saking takutnya, saking bosannya kau dikejar dan diburu, untuk membebaskannya kau berlindung di balik namaku. Kau mengaku sebagai aku setiap melakukan kejahatan. Itu karena kau takut menerima akibat. Dan kau timpakan padaku, Ki Adi!”

Ginggi terhenyak mendengarnya. Kalau begitu dia terkecoh. Yang dia anggap Ki Rangga Guna sebagai pelaku kejahatan, sebenarnya adalah saudara kembarnya, Ki Rangga Wisesa.

“Aku tidak berlindung dan aku tidak takut! Aku gunakan namamu agar kita berdua sama dianggap orang lain jahat dan tukang merugikan! Aku benci kau. Dulu kau disayang Guru dan aku tidak. Kau diberi ilmu berlebih dan aku tidak. Tapi ketika Ki Guru perlu dengan ambisinya, aku menerima tugas sama beratnya denganmu! Tidak adil maka aku benci engkau. Aku juga benci Ki guru! Aku harus balas dendam. Dan aku puas. Barangkali Ki Guru sekarang sudah mati!” teriak si garang yang Ginggi yakin bernama Ki Rangga Wisesa.

Ginggi terkejut setengah mati mendengar omongan Ki Rangga Wisesa. Begitu pun Ki Rangga Guna terlihat wajahnya seperti memendam rasa terkejut.

“Apa maksudmu Ki Darma sekarang sudah mati, hei orang gila!” teriak Ginggi tak sabar.

“Siuuut, blarrr !!!”

Ki Rangga Wisesa menyerang Ginggi dengan pukulan jarak jauh yang dahsyat. Ginggi meloncat ke samping dan pukulan itu menghantam dinding sehingga menjadi runtuh.

“Hik-hik-hik ! Coba lihat tikus kecil itu! Dia tak mengaku menjadi murid Ki Guru tapi bisa memainkan jurus milik kita. Kalau benar begitu betapa lemahnya Ki Guru. Dia sembrono dan tak menghargai ilmunya sendiri. Kepada siapa saja dia berikan ilmunya. Padahal ketika aku minta diajarinya, aku menyembah-nyembah padanya. Ki Guru menghina aku. Barangkali juga menghina kamu, Kakang. Kita serasa dapat anugrah dan menghargai pemberiannya, sedangkan Ki Guru sendiri menganggap ilmunya seperti sampah, dia buang atau dia tebarkan kepada siapa saja. Contohnya kepada si tikus kecil itulah!” kata Ki Rangga Wisesa marah dan sesal. Namun nada bicaranya disertai ringkikan-ringkikan kecil.

“Kau jawab dulu, apa artinya perkataanmu tadi, bahwa Ki Guru barangkali sudah mati?” kata Ki Rangga Guna dengan alis berkerut.

“Aku laporkan kepada semua orang. Kepada orang-orang Pakuan dan kepada orang-orang Cirebon, bahwa Ki Darma, musuh besar mereka, bersembunyi di Cakrabuana. Hik-hik-hik! Aku dengar orang Pakuan beberapa perwira kerajaan untuk memburu Ki Guru. Dan aku gembira, orang-orang Cirebon melalui Talaga akan menyerbu Cakrabuana juga, tepat di malam keduabelas bulan keenam. Hik-hik-hik! Kalau orang Cirebon sepulang membunuh Ki Guru di tengah jalan berpapasan dengan perwira kerajaan, maka akan terjadi bentrok dan dua-duanya akan saling bunuh! Hik-hik-hik seru sekali di puncak Cakrabuana lima bulan lalu. Di sana ada sekelompok anjing berebut tulang! Hik-hik-hik!”

“Dukk! Plak! Dukk! Plakk!!!”

Ginggi melakukan serangan mendadak kepada Ki Rangga Wisesa. Mendengar berita ini, hati Ginggi amat marah dan khawatir. Ki Darma dalam bahaya. Dan yang membuat nyawa Ki Darma terancam adalah karena penghianatan Ki Rangga Wisesa, murid gila yang tak tahu diuntung ini.

Mendapat serangan mendadak yang sedikit tak terduga ini membuat tubuh Ki Rangga Wisesa terlempar membentur dinding gua. Sebelum Ki Rangga Wisesa bangun berdiri, Ginggi melakukan tendangan telak ke arah dagu orang itu hingga kembali terpental. Ginggi hendak memburu lagi namun Ki Rangga Guna meloncat menghalangi. Ginggi akan tetap menyerang. Ki Rangga Guna segera menangkap pergelangan tangan Ginggi. Cekalannya kuat sekali membuat Ginggi menyeringai kesakitan. Ngilu dan kiut-miut rasanya, seperti tulang tangannya akan remuk saja. Tubuh pemuda itu mendadak lemah tak bertenaga. Dia hanya berusaha menahan kakinya agar tak jatuh dengan lutut tertekuk.

“Kau lihatlah anak muda yang kau sebut tikus kecil ini, Ki Adi. Kau sebut dia bukan murid Ki Guru, tapi kasih sayang terhadap Ki Guru demikian tingginya. Amat bertolak belakang denganmu yang masih mau menyebut beliau sebagai guru kita,” kata Ki Rangga Guna masih memegang pergelangan tangan Ginggi.

Ki Rangga Wisesa terengah-engah mendapat pukulan bertubi-tubi dari Ginggi. Namun tetap saja tak ada luka sedikit pun. Dan demi mendengar ucapan Ki Rangga Guna barusan, Ki Rangga Wisesa seperti marah. Matanya kembali liar. Sambil meringkik seperti kuda, dia bangkit serentak dan menghambur menyerang Ginggi. Pemuda itu hanya mengatupkan kedua belah matanya. Dia tak memiliki daya apa pun untuk bergerak, apa lagi melompat menghindari serangan. Namun sebelum Ginggi merasakan pukulan lawan, ada suara benturan keras yang menimbulkan hawa yang sangat panas.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment