Sunda Sembawa mengangguk-angguk.
“Bagus kalau begitu,” kata Sunda Sembawa tersenyum. “Ki Banaspati dalam dua minggu ini sedang bertugas di Pakuan. pertama dia menguruskan perkara pajak dan kedua tentang penyelidikan. Kau disuruh ke Pakuan untuk membantunya. Ini surat darinya untukmu!” Ki Sunda menyodorkan seikat daun nipah yang diisi tulisan palawa,
Dengan hati-hati Ginggi menerima lembaran nipah yang diikat benang kapas itu. Ditatapnya lama-lama. Dan benaknya langsung teringat Ki Darma.
“Kau harus belajar membaca sebab kelak kepandaian membaca akan amat diperlukan. Tapi hati-hati, jangan perlihatkan kepandaian membacamu itu. Pada suatu saat tertentu, siasat kepura-puraan akan diperlukan sekali,” kata Ki Darma di saat-saat melatih membaca kepada pemuda itu.
“Hamba tak pernah belajar membaca, Juragan,” kata Ginggi pada akhirnya.
Sunda Sembawa segera mengambil daun nipah tersebut dan segera membacanya. Tidak keras namun bisa didengar pemuda itu.
“Ginggi, kau cari Suji Angkara di Pakuan. Kau bunuh dia!” demikian isi bacaan tersebut.
Ginggi sendiri sudah sejak tadi merasa terkejut dengan isi surat itu. Tapi baru setelah Sunda Sembawa selesai membacanya dia perlihatkan mimik terkejutnya itu.
“Mengapa hamba harus membunuh pemuda itu, Juragan?”
“Orang itu misterius. Dia mengaku anak Kuwu Suntara dari Desa Cae, tapi nampaknya terlalu dekat berhubungan dengan Pakuan. Entahlah, dengan siapa pemuda itu mengadakan hubungan. Yang jelas, kalau dia membocorkan kegiatan kita, bisa merugikan perjuangan kita semua,” kata Sunda Sembawa. “Ketika Suji Angkara meninggalkan tempat ini secara diam-diam bersama empat orang pembantunya, sudah ada petugas kita yang mencari jejak pada esok harinya. Petugas kita menemukan keterangan bahwa mereka tidak kembali pulang ke Cae, melainkan pergi ke arah barat. Kami khawatir, mereka melanjutkan perjalanan ke Pakuan dan melaporkan apa yang terjadi di sini,” kata Sunda Sembawa.
“Begitu berbahayakah kegiatan di sini untuk Pakuan, Juragan?” tanya Ginggi mencoba meneliti sikap Sunda Sembawa.
“Hm… Ini hanya kau yang boleh tahu. Bahwa kekuatan pasukan di Sagaraherang dibelah dua. Satu bertindak seolah-olah sebagai pasukan Kandagalante Sagaraherang yang legal dan diketahui oleh fihak Pakuan. Tapi satunya lagi pasukan khusus yang melakukan tugas-tugas khusus. Tugas-tugas ini banyak macam ragamnya, termasuk di antaranya menyamar sebagai perampok dan menjarah harta pejabat atau saudagar yang mencari kekayaan tidak melalui cara-cara yang benar. Kami jarah hartanya, kami himpun untuk membangun kekuatan. Dan kelak, bila sang kekuatan telah datang, Pakuan akan kurebut dan tahta kerajaan akan kududuki. Ginggi, kau yang paling dahulu mendengarnya. Akulah kelak yang akan menjadi raja di sana! Hahaha!” Sunda Sembawa terbahak-bahak.
“Dan kedudukan Ki Banaspati di mana kelak?” Tanya Ginggi dengan penuh minat.
“Dialah yang paling berjasa memberi semangat padaku untuk berjuang mencari keadilan. Maka bila perjuanganku berhasil, dia akan menjadi penasihat utamaku di Pajajaran. Hahaha!”
Pemuda itu pun ikut tertawa namun dengan perasaan lain di hatinya. Ternyata benar seperti apa kata Ki Darma tempo dulu. Pajajaran sekarang telah tercerai-berai. Kalau pun masih terdapat bentuk kesatuan, hanyalah kesatuan semu. Tidak pula yang terjadi di sini, di Sagaraherang. Siapa yang menyangka, persekutuan kuat antara Ki Banaspati dengan Ki Sunda Sembawa sebetulnya pada akhirnya hanya untuk mencoba membuka jalan masing-masing? Entahlah, siapa di sini yang paling berperan. Apakah Sunda Sembawa yang mengendalikan Ki Banaspati, atau Ki Banaspati sendiri yang memanfaatkan keberadaan Sunda Sembawa. Entahlah siapa di sini yang memanfaatkan siapa. Yang jelas, dari mulut kedua orang ini telah keluar ucapan yang sama dan kesemuanya disampaikan kepada Ginggi, bahwa masing-masing mengaku sebagai calon raja yang berjuang menggantikan penguasa yang sekarang! Gila!
Pikiran Ginggi terus berputar menerka-nerka sambil mimik wajah tetap tersenyum manis sebagaai tanda gembira melihat khayalan Sunda Sembawa. Namun tawa pemuda itu dibarengi kerutan dahi ketika dilihatnya ada lelehan air mata di pipi lelaki gagah itu.
“Aku sedih dengan peristiwa ini. Aku sedih! Aku sedih!!!” kata Sunda Sembawa menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya.
Sandiwarakah ini, pikir Ginggi.
“Ginggi, engkau harus tahu! Kendati tinggal jauh dari Pakuan, sebenarnya aku paling mencintai Pakuan, sebab itu adalah negri ayahandaku. Engkau pasti tahu Sang Prabu Ratu Dewata. Dialah ayahandaku. Dan aku pulalah yang seharusnya paling berhak mewarisi tahta kerajaan. Hanya karena persekongkolan jahat saja yang menyebabkan aku terlempar ke sini…” Sunda Sembawa menyumpah-nyumpah marah tapi kemudian merunduk sedih.
Kulit putih di wajah bulat telur nampak pucat. Dan kesedihan ini sungguh tak sesuai dengan kumis hitam tebal yang ada di bawah hidungnya yang mancung itu. Ki Sunda Sembawa menerawang ke arah beranda. Menatap senja yang tengah menarik matahari menyuruk bumi. Langit merah dibayangi rimbunan pohon nun jauh di sana. Ada ribuan kalong melintas di atasnya, mencari makan entah kemana.
“Aku ini dibiarkan seperti kalong-kalong itu. Mau pergi, mau tinggal, terserah kamu. Begitu mungkin mereka padaku. Mereka tak sengaja membuangku. Tapi membiarkan aku terbuang. Tapi memang itulah hukuman bagi orang yang tak mempunyai ambisi dan kesombongan. Kau dengar itu Ginggi!” kata Sunda Sembawa berpaling menatap wajah yang bersimpuh di depannya.
“Kata orang, anak dari istri tertua Sang Prabu Ratu Dewata ini mewarisi tabiat ayahandanya. Suka menyepi di kuil bersama para wiku dan bersahabat dengan dupa dan kemenyan. Katanya aku sungguh tepat untuk bertindak sebagai Purohita, pendeta tertinggi di keraton. Tapi kata mereka juga, negara sedang ada dalam bahaya peperangan. Baik peperangan melawan musuh dari luar, mau pun musuh dari dalam negri sendiri. Dan mereka berkilah, di saat situasi seperti itu, bukan Purohita yang sanggup mengembalikan kejayaan negara, melainkan seorang pemimpin berhati besi bercita-cita baja. Dan kilah mereka, Sang Ratu Sakti amat memenuhi syarat mengemban itu semua. Ya, dia adikku lain ibu. Sejak masih remaja dia laki-laki romantis, menyenangi keindahan dan kemolekan wanita. Akan tetapi dia juga keras dan ambisius. Dan memang dia berhasil tampil di saat yang tepat. Hanya orang yang ambisius, keras dan banyak omong yang akan dipilih dalam suasana genting. Orang yang tak pernah menampilkan kepandaian akan tersisih. Itulah aku. Itulah kebodohanku masa lalu. Hanya karena aku tak mau disebut sombong, hanya karena aku menghargai sikap ayahanda yang senang menyepi dan membaca kitab serta mendalami filsafat, maka aku pun menyesuaikan diri. Tapi tentu, bukan berarti aku tak bisa memimpin negara. Bukan berarti aku tak bisa melawan musuh dengan keras dan gagah. Ya, itulah kesalahanku masa lalu. Aku tak suka penonjolan dan kesombongan diri. Sayangnya, sikap-sikapku dianggap tak memiliki kekuatan. Sekarang malah terbukti, bahwa memilih orang keras seperti Ratu Sakti hanya akan membuat kekeliruan saja. Negara semakin kacau. Pemberontakan terjadi di sana-sini hanya karena tak senang dengan cara kerja ratu sekarang. Amat beruntung, bahwa Pangeran Fadillah dari Cirebon dan Sultan Hasanudin dari Banten perhatiannya sedang tertumpu melawan Pasuruan dan Panarukan. Kalau tak begitu nasib Pakuan benar-benar di ujung tanduk. Pakuan tak akan memiliki kekuatan berarti bila terjadi penyerbuan total dari Banten dan Cirebon,” kata Sunda Sembawa.
Dengan hati-hati Ginggi menerima lembaran nipah yang diikat benang kapas itu. Ditatapnya lama-lama. Dan benaknya langsung teringat Ki Darma.
“Kau harus belajar membaca sebab kelak kepandaian membaca akan amat diperlukan. Tapi hati-hati, jangan perlihatkan kepandaian membacamu itu. Pada suatu saat tertentu, siasat kepura-puraan akan diperlukan sekali,” kata Ki Darma di saat-saat melatih membaca kepada pemuda itu.
“Hamba tak pernah belajar membaca, Juragan,” kata Ginggi pada akhirnya.
Sunda Sembawa segera mengambil daun nipah tersebut dan segera membacanya. Tidak keras namun bisa didengar pemuda itu.
“Ginggi, kau cari Suji Angkara di Pakuan. Kau bunuh dia!” demikian isi bacaan tersebut.
Ginggi sendiri sudah sejak tadi merasa terkejut dengan isi surat itu. Tapi baru setelah Sunda Sembawa selesai membacanya dia perlihatkan mimik terkejutnya itu.
“Mengapa hamba harus membunuh pemuda itu, Juragan?”
“Orang itu misterius. Dia mengaku anak Kuwu Suntara dari Desa Cae, tapi nampaknya terlalu dekat berhubungan dengan Pakuan. Entahlah, dengan siapa pemuda itu mengadakan hubungan. Yang jelas, kalau dia membocorkan kegiatan kita, bisa merugikan perjuangan kita semua,” kata Sunda Sembawa. “Ketika Suji Angkara meninggalkan tempat ini secara diam-diam bersama empat orang pembantunya, sudah ada petugas kita yang mencari jejak pada esok harinya. Petugas kita menemukan keterangan bahwa mereka tidak kembali pulang ke Cae, melainkan pergi ke arah barat. Kami khawatir, mereka melanjutkan perjalanan ke Pakuan dan melaporkan apa yang terjadi di sini,” kata Sunda Sembawa.
“Begitu berbahayakah kegiatan di sini untuk Pakuan, Juragan?” tanya Ginggi mencoba meneliti sikap Sunda Sembawa.
“Hm… Ini hanya kau yang boleh tahu. Bahwa kekuatan pasukan di Sagaraherang dibelah dua. Satu bertindak seolah-olah sebagai pasukan Kandagalante Sagaraherang yang legal dan diketahui oleh fihak Pakuan. Tapi satunya lagi pasukan khusus yang melakukan tugas-tugas khusus. Tugas-tugas ini banyak macam ragamnya, termasuk di antaranya menyamar sebagai perampok dan menjarah harta pejabat atau saudagar yang mencari kekayaan tidak melalui cara-cara yang benar. Kami jarah hartanya, kami himpun untuk membangun kekuatan. Dan kelak, bila sang kekuatan telah datang, Pakuan akan kurebut dan tahta kerajaan akan kududuki. Ginggi, kau yang paling dahulu mendengarnya. Akulah kelak yang akan menjadi raja di sana! Hahaha!” Sunda Sembawa terbahak-bahak.
“Dan kedudukan Ki Banaspati di mana kelak?” Tanya Ginggi dengan penuh minat.
“Dialah yang paling berjasa memberi semangat padaku untuk berjuang mencari keadilan. Maka bila perjuanganku berhasil, dia akan menjadi penasihat utamaku di Pajajaran. Hahaha!”
Pemuda itu pun ikut tertawa namun dengan perasaan lain di hatinya. Ternyata benar seperti apa kata Ki Darma tempo dulu. Pajajaran sekarang telah tercerai-berai. Kalau pun masih terdapat bentuk kesatuan, hanyalah kesatuan semu. Tidak pula yang terjadi di sini, di Sagaraherang. Siapa yang menyangka, persekutuan kuat antara Ki Banaspati dengan Ki Sunda Sembawa sebetulnya pada akhirnya hanya untuk mencoba membuka jalan masing-masing? Entahlah, siapa di sini yang paling berperan. Apakah Sunda Sembawa yang mengendalikan Ki Banaspati, atau Ki Banaspati sendiri yang memanfaatkan keberadaan Sunda Sembawa. Entahlah siapa di sini yang memanfaatkan siapa. Yang jelas, dari mulut kedua orang ini telah keluar ucapan yang sama dan kesemuanya disampaikan kepada Ginggi, bahwa masing-masing mengaku sebagai calon raja yang berjuang menggantikan penguasa yang sekarang! Gila!
Pikiran Ginggi terus berputar menerka-nerka sambil mimik wajah tetap tersenyum manis sebagaai tanda gembira melihat khayalan Sunda Sembawa. Namun tawa pemuda itu dibarengi kerutan dahi ketika dilihatnya ada lelehan air mata di pipi lelaki gagah itu.
“Aku sedih dengan peristiwa ini. Aku sedih! Aku sedih!!!” kata Sunda Sembawa menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya.
Sandiwarakah ini, pikir Ginggi.
“Ginggi, engkau harus tahu! Kendati tinggal jauh dari Pakuan, sebenarnya aku paling mencintai Pakuan, sebab itu adalah negri ayahandaku. Engkau pasti tahu Sang Prabu Ratu Dewata. Dialah ayahandaku. Dan aku pulalah yang seharusnya paling berhak mewarisi tahta kerajaan. Hanya karena persekongkolan jahat saja yang menyebabkan aku terlempar ke sini…” Sunda Sembawa menyumpah-nyumpah marah tapi kemudian merunduk sedih.
Kulit putih di wajah bulat telur nampak pucat. Dan kesedihan ini sungguh tak sesuai dengan kumis hitam tebal yang ada di bawah hidungnya yang mancung itu. Ki Sunda Sembawa menerawang ke arah beranda. Menatap senja yang tengah menarik matahari menyuruk bumi. Langit merah dibayangi rimbunan pohon nun jauh di sana. Ada ribuan kalong melintas di atasnya, mencari makan entah kemana.
“Aku ini dibiarkan seperti kalong-kalong itu. Mau pergi, mau tinggal, terserah kamu. Begitu mungkin mereka padaku. Mereka tak sengaja membuangku. Tapi membiarkan aku terbuang. Tapi memang itulah hukuman bagi orang yang tak mempunyai ambisi dan kesombongan. Kau dengar itu Ginggi!” kata Sunda Sembawa berpaling menatap wajah yang bersimpuh di depannya.
“Kata orang, anak dari istri tertua Sang Prabu Ratu Dewata ini mewarisi tabiat ayahandanya. Suka menyepi di kuil bersama para wiku dan bersahabat dengan dupa dan kemenyan. Katanya aku sungguh tepat untuk bertindak sebagai Purohita, pendeta tertinggi di keraton. Tapi kata mereka juga, negara sedang ada dalam bahaya peperangan. Baik peperangan melawan musuh dari luar, mau pun musuh dari dalam negri sendiri. Dan mereka berkilah, di saat situasi seperti itu, bukan Purohita yang sanggup mengembalikan kejayaan negara, melainkan seorang pemimpin berhati besi bercita-cita baja. Dan kilah mereka, Sang Ratu Sakti amat memenuhi syarat mengemban itu semua. Ya, dia adikku lain ibu. Sejak masih remaja dia laki-laki romantis, menyenangi keindahan dan kemolekan wanita. Akan tetapi dia juga keras dan ambisius. Dan memang dia berhasil tampil di saat yang tepat. Hanya orang yang ambisius, keras dan banyak omong yang akan dipilih dalam suasana genting. Orang yang tak pernah menampilkan kepandaian akan tersisih. Itulah aku. Itulah kebodohanku masa lalu. Hanya karena aku tak mau disebut sombong, hanya karena aku menghargai sikap ayahanda yang senang menyepi dan membaca kitab serta mendalami filsafat, maka aku pun menyesuaikan diri. Tapi tentu, bukan berarti aku tak bisa memimpin negara. Bukan berarti aku tak bisa melawan musuh dengan keras dan gagah. Ya, itulah kesalahanku masa lalu. Aku tak suka penonjolan dan kesombongan diri. Sayangnya, sikap-sikapku dianggap tak memiliki kekuatan. Sekarang malah terbukti, bahwa memilih orang keras seperti Ratu Sakti hanya akan membuat kekeliruan saja. Negara semakin kacau. Pemberontakan terjadi di sana-sini hanya karena tak senang dengan cara kerja ratu sekarang. Amat beruntung, bahwa Pangeran Fadillah dari Cirebon dan Sultan Hasanudin dari Banten perhatiannya sedang tertumpu melawan Pasuruan dan Panarukan. Kalau tak begitu nasib Pakuan benar-benar di ujung tanduk. Pakuan tak akan memiliki kekuatan berarti bila terjadi penyerbuan total dari Banten dan Cirebon,” kata Sunda Sembawa.
Lelaki gagah ini kemudian berdiri dari duduknya. Melangkah mendekati beranda dan mematung di sana sambil menggandong tangan di belakang.
“Beruntung aku punya pembantu yang bisa diandalkan. Ki Banaspati orang yang pandai mencari celah-celah keuntungan. Ilmunya tinggi dan gagasan-gagasannya banyak. Tetapi yang lebih beruntung dari itu, dia sanggup memilah-milah, di mana keadilan harus ditempatkan. Bayangkan Ginggi, sekarang Ki Banaspati menjadi pembantu muhara urusan pajak yang dipimpin Bangsawan Soka. Kalau dia penjilat, seharusnya dia mendekati Bangsawan Soka yang begitu berkuasa mengatur kekayaan negara. Tetapi Ki Banaspati lebih menitik beratkan memperjuangkan keadilan ketimbang kekayaan dan kemuliaan. Kalau tak begitu, tak nanti dia mau mendukungku. Cobalah, aku yang terbuang hanya sebagai Kandagalante Sagaraherang, tapi dia hargai, dia bangkitkan semangatku. Dia kobarkan cita-citaku. Dialah yang memberi dorongan agar aku menghimpun kekuatan dan kelak harus kugunakan untuk merebut tahta kerajaan. Aku pernah menolak sebab ini kejahatan. Tapi Ki Banaspari berkata, akan lebih jahat lagi kalau kita membiarkan rakyat menderita oleh tekanan yang keras dan orang yang ambisius. Kata Ki Banaspati, kita merebut tahta bukan untuk diri pribadi tapi untuk rakyat. Jangan biarkan Pajajaran dipimpin oleh kekeliruan. Dan Ki Banaspati mendorongku untuk mengusir sikap-sikap keliru dan menggantinya dengan sikap bijaksana. Ki Banaspatilah yang mengobarkan semangatku. Ki Banaspatilah yang memberiku kepercayaan diri. Dan Ki Banaspati pulalah yang mengerjakan segalanya agar kepercayaanku timbul. Ki Banaspati pandai membuat reka perdaya, untuk menyusun kekuatan, Ki Banaspati mengusulkan kepada Pakuan agar Kandagalante yang jauh dari pusat pemerintahan diberi wewenang menambah pasukan guna mempertahankannya dari serangan dan pengaruh musuh. Usul ini diterima dan dianggap wajar. Disangkanya, kita membangun pasukan untuk membantu mereka, padahal akan kita gunakan sebaliknya. Sudah ada beberapa Kandagalante yang faham dengan cita-cita kita dan sama-sama menghimpun kekuatan. Dan Ki Banaspati terus berjuang mencari pengaruh sekaligus mempengaruhi kandagalante lainnya. Semuanya akan menghimpun kekuatan dan semuanya bersatu untuk mengembalikan kejayaan masa lalu Pajajaran. Dan sekali lagi, engkau harus tahu Ginggi, akulah yang akan menjadi ratunya!” kata Sunda Sembawa tersenyum renyah.
Dipandangnya lagi langit merah di ufuk barat. Ditatapnya lagi puluhan atau ratusan atau bahkan ribuan kalong yang keluar dari sarangnya itu. Nampak Sunda Sembawa menyunging senyum penuh arti. Beberapa lama dia menatap tajam ke arah tenggelamnya matahari. Tersenyum lagi sendirian. Sesudah itu baru dia mengalihkan tatapnya kepada Ginggi.
“Aku hanya tahu, kau dibawa kesini oleh Ki Banaspati. Karena Ki Banaspati mempercayaimu, maka aku pun percaya padamu. Oleh sebab itu kerjakanlah apa yang menjadi tanggung jawabmu kini ,” katanya.
“Membunuh Suji Angkara?” tanya Ginggi.
Ki Sunda Sembawa memalingkan muka dan berdesis, “Ya!” katanya.
Ginggi menyembah takzim. “Akan hamba cari Suji Angkara!” katanya.
“Bagus!” desis Sunda Sembawa lagi.
Ya, hanya akan kucari saja sebab tak ada alasan untuk membunuhnya, kata pemuda itu di dalam hatinya. Namun mencari Suji Angkara pun Ginggi merasa perlu. Kalau memang pemuda itu berangkat ke Pakuan, akan lebih menarik perhatian dirinya, sebab Suji Angkara benar-benar kumplit menjadi orang yang misterius. Keterangan pertama yang didapatnya di Desa Cae, pemuda itu hanya dikenal sebagai anak Kuwu Suntara yang pulang ke desa empat bulan sekali sambil membawa kekayaan melimpah karena berdagang dengan bangsa asing.
Belakangan didengar kabar lagi bahwa pemuda tampan berpakaian mewah ini pun menjadi pembantu Ki Banaspati sebagai pengurus pajak negara. Tapi terbukti, hubungan keduanya tidak benar-benar erat. Kalau tak begitu tak mungkin mereka saling bercuriga dan saling menuduh. Upaya pembunuhan yang dilakukan Ki Banaspati terhadap pemuda angkuh itu hanya menandakan bahwa Ki Banaspati telah menganggap pemuda itu membahayakan gerakannya. Sekarang kecurigaan kian bertambah sesudah ada dugaan Suji Angkara menuju Pakuan. Kalau benar pemuda itu menuju Pakuan, hanya punya arti dia memiliki hubungan dengan orang Pakuan. Itu menarik untuk disimak, pikir Ginggi.
Ginggi tak menunggu kepulangan Ki Banaspati ke Sagaraherang. Apalagi surat di daun nipah untuknya hanya mengatakan bahwa dia harus mencari Suji Angkara ke Pakuan dan membunuh pemuda itu. Maka sesudah dibekali pakaian baru dan uang cukup banyak, Ginggi segera pergi meninggalkan tempat itu. Dia menolak untuk ditemani satu atau dua orang pandai, dengan alasan penyelidikan secara diam-diam hanya bisa dilakukan seorang diri. Ginggi pun menolak ketika akan dibekali seekor kuda Sumba yang tinggi besar dengan alasan naik kuda gagah hanya akan menarik perhatian orang belaka.
“Melakukan perjalanan dengan berjalan kaki akan terkesan sebagai orang kebanyakan dan tak akan menarik perhatian siapa pun,” kata pemuda itu.
Alasan-alasan ini dapat diterima oleh Ki Sunda Sembawa dan dia mengabulkan permintaan pemuda itu.
“Yang penting kau pulang dengan membawa keberhasilan,” kata Sunda Sembawa.
Ginggi mengangguk pasti. Menurut petunjuk, Ginggi perlu waktu dua hari untuk menuju wilayah Kandagalante Tanjungpura, sebuah wilayah yang boleh dikata bersinggungan dengan batas utara. Kata Sunda Sembawa, Ginggi harus lebih hati-hati memasuki wilayah ini. Pengaruh dari kerajaan agama baru cukup kuat di sini. Ini karena Pasukan Cirebon yang telah menguasai Pelabuhan Kalapa (Sunda Kalapa) kerapkali lewat ke wilayah Tanjungpura untuk menuju Kalapa atau sebaliknya bila kembali ke Cirebon.
“Banyak juga di antara anggota Pasukan Cirebon tercecer tinggal di beberapa kampung wilayah Tanjungpura dan bahkan beristrikan wanita-wanita di sana,” kata Sunda Sembawa.
Ginggi tersenyum mendengar penjelasan ini. Jadi benar kata Ki Darma, rakyat sebetulnya tak mau tahu urusan politik. Hanya apa kata pemerintah saja orang-orang dari negara agama baru itu merupakan musuh, sedangkan rakyat sendiri tidak. Buktinya, mereka tidak memisah-misahkan arti agama. Orang Pajajaran secara alamiah bisa bersatu dengan orang-orang Cirebon membentuk sebuah keluarga.
Namun di lain fihak, pemuda itu pun membenarkan bila ada orang Pajajaran yang berusaha ingin mempertahankan negaranya. Seperti apa kata Sang Prabu Sri Baduga Maharaja yang pernah disampaikan melalui mulut Rama Dongdo dan Ki Banen serta Ki Ogel, bahwa Pajajaran tidak memusuhi agama baru. Namun tentu saja yang dimaksud di sini sambil Kerajaan Pajajaran tetap diakui oleh siapa pun.
Perjalanan memang dilakukan dua hari untuk mencapai Tanjungpura. Tidak terlalu sulit sebab tak ada bukit apalagi ngarai. Hanya saja perjalanan banyak dilakukan melalui hutan jati yang udaranya terasa panas. Ginggi memasuki wilayah Kandagalante Tanjungpura sesudah matahari condong ke barat. Dia segera menuju kediaman kepala jagabaya dan mengaku sebagai pengembara yang ingin menumpang tidur di wilayah Kandagalante ini. Namun kepala jagabaya tak seramah dugaannya. Lelaki gemuk dengan baju kampret dibiarkan terbuka ini melihatnya dengan pandangan selidik dan penuh curiga.
“Aku tak begitu saja membiarkan orang asing memasuki Tanjungpura ini. Sudah dua kali kami menerima kehadiran pengembara. Dan sudah dua kali itu pula kami mengalami kejadian yang tidak mengenakkan!” tutur kepala jagabaya yang diketahui Ginggi bernama Ki Aliman.
“Ada terjadi dua kematian bersamaan dengan kehadiran dua pendatang asing,” tutur kepala jagabaya.
“Pembunuhan?”
“Tidak. Kedua penduduk kami mati bunuh diri!”
“Ada penduduk mati bunuh diri, mengapa pendatang asing yang disalahkan?” tanya Ginggi.
Kepala jagabaya bernama Aliman ini tak bias mengemukakan alasan dengan segera. Dia nampak hanya memilin-milin ujung kumisnya yang tebal saja.
“Aku juga tak punya alasan tepat, mengapa harus begitu. Kecurigaan kami terhadap orang asing, hanya karena peristiwa itu terjadi selalu secara bersamaan,” katanya.
Hampir sebulan lalu, ke Tanjungpura datang empat orang asing. Mereka bertamu ke Juragan Ilun Rosa.
“Tapi malam sebelum kepergian mereka, anak gadis Juragan Ilun mati bunuh diri,” kata Ki Aliman.
Ginggi hanya mendengarkan saja tanpa berniat memotong omongan jagabaya ini.
“Itu terjadi sebulan yang lalu,” kata Ki Aliman, “Tiga hari lalu ada lagi pendatang asing dan mengaku pengembara. Sifatnya kasar dan berlaku seenaknya. Dia main perempuan di rumah tuak sampai jauh malam. Di tengah malam buta anak seorang perempuan penghibur, yaitu gadis kecil berusia belasan tahun meraung dan menjerit ngeri. Ketika orang-orang mendobrak kamarnya, didapatnya si gadis kecil itu sudah mati berlumuran darah.”
“Lantas, apa hubungannya dengan kehadiran orang asing itu? Apakah karena kematian kedua orang gadis bersamaan waktunya dengan kehadiran mereka semata?” tanya Ginggi.
“Tidak ada bukti mereka terlibat urusan bunuh diri. Tapi kedua gadis yang nekad bunuh diri semuanya karena merasa aib kehormatan dirinya terganggu,” kata Ki Aliman sambil mengucapkan sumpah serapah.
“Paman bercuriga para pendatang itu yang melakukan kejahatan berahi?” tanya Ginggi.
“Sulit aku bicara tanpa bukti. Tapi selama aku hidup di Tanjungpura, aku kenal tabiat lelaki di sini. Mereka memang senang minum tuak dan bercanda dengan perempuan penghibur. Tapi kendati begitu, pantang untuk lelaki di sini melakukan tindakan seperti itu. Untuk menghadapi kaum wanita, lelaki Tanjungpura tidak bertindak pengecut. Kalau kami menyenangi seseorang wanita, kami datangi dan kami bicara terus-terang. Mungkin ada di antara kami yang merayu bahkan memaksa. Tapi itu tetap dilakukan dengan terang-terangan tidak main sembunyi. Banyak perkelahian sesama lelaki karena memperebutkan wanita. Tapi dalam mendapatkannya, tetap saja dilakukan secara ksatria,” kata Ki Aliman.
Ginggi hanya tersenyum mendengar kepala jagabaya ini memuji-muji kaum lelaki di wilayahnya.
“Apakah menurutmu orang asing yang memasuki wilayah Tanjungpura hanya mereka saja?”
“Tanjungpura ini wilayah yang ramai dikunjungi orang setiap saat. Bahkan orang-orang dari agama baru suka lewat dan bermalam di sini,” kata Ki Aliman.
“Nah, mengapa kalian tak mencurigai kehadiran mereka juga?” tanya Ginggi.
“Kepada mereka kami tidak mencurigainya. Agama mereka keras terhadap dosa yang melibatkan penyelewengan berahi. Jangankan melakukan pemaksaan berahi, berkencan di rumah tuak dengan perempuan penghibur yang sifatnya suka sama suka saja, mereka menganggapnya sebuah dosa besar,” kata Ki Aliman.
“Engkau pengikut agama baru, Paman?” tanya Ginggi.
“Tidak. Aku pemeluk agama lama!”
“Dan pendatang yang paman curigai itu, apakah juga pemeluk agama lama?”
“Ya, kurasa demikian. Pemeluk agama baru mudah dilihat, sebab hampir setiap saat mereka melakukan sembahyang menghadap ke barat, sedangkan pemeluk agama lama tidak. Para pendatang yang kami lihat sepertinya bukan pemeluk agama baru,” kata Ki Aliman.
“Kalau mereka juga pemeluk agama lama yang sama seperti yang dipeluk Paman, apakah kalian akan curiga juga pada mereka?” tanya Ginggi.
“Kenapa kau tanya begitu?’ tanya Ki Aliman.
“Sebab ada terkesan, agama kalian membenarkan adanya kejahatan berahi!”
Ki Aliman matanya melotot marah kepada Ginggi yang dianggapnya mengajukan pertanyaan sembrono.
“Engkau jangan merendahkan agamaku! Dalam agamaku juga ada peraturan untuk memelihara tindak-tanduk agar tak terjerumus dalam dosa. Mahayu dora sepuluh adalah memelihara dan berusaha memperoleh kebajikan dari gerbang yang sepuluh. Salah satu di antaranya menyebutkan bahwa manusia diharuskan menjaga dan memelihara baga purusa (baga=kelamin wanita, purusa=kelamin laki-laki ),” kata Ki Aliman.
“Kalau begitu, kau tak adil mencurigai orang-orang pemeluk agama lama melakukan kejahatan, sebab agama apa pun sebetulnya tetap melarang orang berbuat jahat,” tutur Ginggi.
Ki Aliman memerah wajahnya. “Aku mungkin keliru. Atau, aku sebenarnya tak menyebutkan bahwa aku bercuriga kepada orang-orang selain pemeluk agama baru…” kata Ki Aliman terbata-bata.
Ginggi kembali tersenyum. “Tapi kita memang salah. Dalam hal ini seharusnya kita tak memperbincangkan perihal agama. Mereka melakukan kejahatan tidak mengatasnamakan agama. Yang penting, Paman, sebagai kepala jagabaya harus berusaha menjaga dan kalau mungkin menangkap penjahatnya, kalau memang kedua gadis yang bunuh diri itu karena kejahatan berahi,” kata Ginggi pada akhirnya.
Ki Aliman mengangguk-angguk tanda setuju dengan ucapan pemuda itu.
“Hai, engkau mau kemana anak muda?” tanya Ki Aliman, heran melihat Ginggi seperti mau berlalu dan nampaknya akan keluar melalui pintu lawang kori yang akan segera ditutup karena hari telah kelam.
“Aku akan melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan berjalan kaki di malam hari tidak menemukan gangguan berarti di tengah jalan,” kata Ginggi dan kembali akan berlalu meninggalkan tempat itu.
“Bukankah engkau akan menumpang tidur di sini?”
“Bukankah Paman tadi melarang orang asing menumpang tidur di sini?” Ginggi balik bertanya.
Ki Aliman tersenyum. “Aku tak membuat peraturan kaku. Asalkan aku yakin orang itu tak melakukan kejahatan, aku izinkan siapa pun masuk. Dan kau nampaknya bukan orang jahat, anak muda,” kata Ki Aliman.
Ginggi tersenyum dibuatnya. Selama beberapa bulan banyak bergaul dengan orang-orang, Ginggi pun sudah tahu bagaimana tata caranya, termasuk dalam bertutur kata. Dengan nada bicara yang teratur serta dibumbui basa-basi sopan-santun ternyata sanggup menggoda orang lain untuk langsung menilai dirinya sebagai orang baik. Padahal sampai saat ini pemuda itu tetap beranggapan bahwa nilai seseorang bukan terletak pada tindak-tanduknya atau pun tutur-sapanya. Sebab tabiat sebenar-benarnya hanya ada di lubuk hatinya. Mungkin juga orang bertutur-sapa dan bertindak-tanduk sopan karena begitu yang ada di dalam hatinya, tapi mungkin juga tidak.
Sekarang, Ki Aliman langsung mengubah kecurigaan menjadi kepercayaan terhadapnya hanya karena Ginggi sanggup bicara sopan. Mungkingkah aku orang baik? Tak seorang pun tahu, tidak juga aku, pikirnya. Sampai detik ini Ginggi memang tak sanggup menilai dirinya sendiri. Mungkin saja dia mengaku orang baik karena selama ini dia benci pembunuhan. Tapi sekali waktu dia mengatakan dirinya orang jahat kalau mengingat peristiwa aib yang dilakukannya bersama Nyi Santimi di hutan Desa Cae beberapa waktu lalu. Dia sembrono menuding orang lain jahat karena melakukan pemerkosaan terhadap wanita lemah. Padahal dia sendiri tak ubahnya dengan pemerkosa.
Si pemerkosa melakukan nafsu berahinya dengan jalan paksa sementara dirinya melakukannya dengan alasan suka sama suka. Tapi baik berahi yang dilakukan dengan cara paksa mau pun suka sama suka, bila segalanya dilaksanakan berdasarkan naluri nafsu, Ginggi menganggapnya sebagai tindak kejahatan juga.
“Aku juga penjahat berahi,” umpatnya sambil menggetok ubun-ubunnya sendiri.
“Hai, kau pukul kepalamu sendiri, anak muda?” Ki Aliman terheran-heran dibuatnya.
Dan pemuda itu tertawa terkekeh-kekeh setelah sadar apa yang dilakukannya.
“Saking gembiranya dipercaya olehmu, Paman,” kata Ginggi. “Jadi, bolehkah aku menginap semalam di wilayahmu?” tanyanya lagi.
Kepala jagabaya itu mengangguk dan Ginggi mengucapkan terima kasih untuk yang kesekian kalinya.
“Ya, engkau boleh menumpang bermalam di wilayah ini. Carilah kedai yang cukup besar. Biasanya mereka menerima pengembara yang kemalaman, asalkan keperluan makan dan minum, kau beli di sana,” kata Ki Aliman.
Obrolan di Kedai Ketika kepala jagabaya itu mempersilakan Ginggi mencari tempat menginap, hari sudah berangkat senja. Ada terdengar suara kentongan ditabuh dengan penuh irama, kemudian disambut pukulan beduk. Sayup-sayup pemuda itu pun mendengar ada suara lantunan merdu mendayu-dayu tapi dengan bahasa yang tak dimengerti olehnya. Namun kendati begitu, Ginggi sudah mengenalnya. Itulah seruan panggilan sembahyang bagi orang-orang yang telah memeluk agama baru. Ginggi hafal benar, lantunan merdu seperti itu terjadi lima kali dalam sehari semalam.
Ada beberapa orang bergegas pergi ketika mendengar panggilan merdu itu. Namun kebanyakan orang tak acuh mendengarnya. Kalau pun ada yang bergegas ke rumahnya masing-masing, itu karena hari sudah mulai gelap saja. Ini semua hanya menandakan bahwa kendati agama baru sudah merasuk ke Tanjungpura, namun penduduk asli sebagian besar masih memeluk agama lama.
Sambil berjalan mencari kedai yang cukup besar, Ginggi beberapa kali menjumpai bangunan pura yang diletakkan di halaman rumah. Bau dupa terasa tajam semerbak melalui asap tipis mengelun dari anglo kecil. Sedangkan suara lantunan panggilan sembahyang dari agama baru terdengar sayup-sayup jauh di sudut perkampungan.
Akhirnya sebuah kedai cukup besar ditemukan juga, dan pemuda itu masuk ke sana, disambut pemiliknya sambil mempersilakan duduk dan secara beruntun langsung menanyakan dan menawarkan beberapa jenis makanan yang sekiranya Ginggi akan tertarik untuk memesannya.
Ginggi sejenak berkeliling meneliti ruangan kedai itu. Ada bangku dan meja panjang tempat orang makan-makan. Namun di ruangan tengah, ada dipan bambu amat luas. Mungkin tempat orang makan sambil duduk bersila, atau juga tempat orang numpang menginap. Belum ada pengunjung yang datang, kecuali seorang gadis kecil barangkali anak pemilik kedai, tengah menyalakan beberapa lampu teplok di sudut-sudut ruangan kedai.
“Saya mau makan di sini tapi sekalian juga menumpang tidur barang semalam,” kata Ginggi mencoba mendayu-dayukan suara sopan dan halus.
Tapi si pemilik kedai berpakaian kampret putih dengan kain sarung diikatkan di pinggangnya hanya menatap penuh selidik. Gadis kecil yang tengah menyalakan lampu pun sejenak menghentikan tugasnya untuk ikut menatap wajah pemuda itu.
“Beruntung aku punya pembantu yang bisa diandalkan. Ki Banaspati orang yang pandai mencari celah-celah keuntungan. Ilmunya tinggi dan gagasan-gagasannya banyak. Tetapi yang lebih beruntung dari itu, dia sanggup memilah-milah, di mana keadilan harus ditempatkan. Bayangkan Ginggi, sekarang Ki Banaspati menjadi pembantu muhara urusan pajak yang dipimpin Bangsawan Soka. Kalau dia penjilat, seharusnya dia mendekati Bangsawan Soka yang begitu berkuasa mengatur kekayaan negara. Tetapi Ki Banaspati lebih menitik beratkan memperjuangkan keadilan ketimbang kekayaan dan kemuliaan. Kalau tak begitu, tak nanti dia mau mendukungku. Cobalah, aku yang terbuang hanya sebagai Kandagalante Sagaraherang, tapi dia hargai, dia bangkitkan semangatku. Dia kobarkan cita-citaku. Dialah yang memberi dorongan agar aku menghimpun kekuatan dan kelak harus kugunakan untuk merebut tahta kerajaan. Aku pernah menolak sebab ini kejahatan. Tapi Ki Banaspari berkata, akan lebih jahat lagi kalau kita membiarkan rakyat menderita oleh tekanan yang keras dan orang yang ambisius. Kata Ki Banaspati, kita merebut tahta bukan untuk diri pribadi tapi untuk rakyat. Jangan biarkan Pajajaran dipimpin oleh kekeliruan. Dan Ki Banaspati mendorongku untuk mengusir sikap-sikap keliru dan menggantinya dengan sikap bijaksana. Ki Banaspatilah yang mengobarkan semangatku. Ki Banaspatilah yang memberiku kepercayaan diri. Dan Ki Banaspati pulalah yang mengerjakan segalanya agar kepercayaanku timbul. Ki Banaspati pandai membuat reka perdaya, untuk menyusun kekuatan, Ki Banaspati mengusulkan kepada Pakuan agar Kandagalante yang jauh dari pusat pemerintahan diberi wewenang menambah pasukan guna mempertahankannya dari serangan dan pengaruh musuh. Usul ini diterima dan dianggap wajar. Disangkanya, kita membangun pasukan untuk membantu mereka, padahal akan kita gunakan sebaliknya. Sudah ada beberapa Kandagalante yang faham dengan cita-cita kita dan sama-sama menghimpun kekuatan. Dan Ki Banaspati terus berjuang mencari pengaruh sekaligus mempengaruhi kandagalante lainnya. Semuanya akan menghimpun kekuatan dan semuanya bersatu untuk mengembalikan kejayaan masa lalu Pajajaran. Dan sekali lagi, engkau harus tahu Ginggi, akulah yang akan menjadi ratunya!” kata Sunda Sembawa tersenyum renyah.
Dipandangnya lagi langit merah di ufuk barat. Ditatapnya lagi puluhan atau ratusan atau bahkan ribuan kalong yang keluar dari sarangnya itu. Nampak Sunda Sembawa menyunging senyum penuh arti. Beberapa lama dia menatap tajam ke arah tenggelamnya matahari. Tersenyum lagi sendirian. Sesudah itu baru dia mengalihkan tatapnya kepada Ginggi.
“Aku hanya tahu, kau dibawa kesini oleh Ki Banaspati. Karena Ki Banaspati mempercayaimu, maka aku pun percaya padamu. Oleh sebab itu kerjakanlah apa yang menjadi tanggung jawabmu kini ,” katanya.
“Membunuh Suji Angkara?” tanya Ginggi.
Ki Sunda Sembawa memalingkan muka dan berdesis, “Ya!” katanya.
Ginggi menyembah takzim. “Akan hamba cari Suji Angkara!” katanya.
“Bagus!” desis Sunda Sembawa lagi.
Ya, hanya akan kucari saja sebab tak ada alasan untuk membunuhnya, kata pemuda itu di dalam hatinya. Namun mencari Suji Angkara pun Ginggi merasa perlu. Kalau memang pemuda itu berangkat ke Pakuan, akan lebih menarik perhatian dirinya, sebab Suji Angkara benar-benar kumplit menjadi orang yang misterius. Keterangan pertama yang didapatnya di Desa Cae, pemuda itu hanya dikenal sebagai anak Kuwu Suntara yang pulang ke desa empat bulan sekali sambil membawa kekayaan melimpah karena berdagang dengan bangsa asing.
Belakangan didengar kabar lagi bahwa pemuda tampan berpakaian mewah ini pun menjadi pembantu Ki Banaspati sebagai pengurus pajak negara. Tapi terbukti, hubungan keduanya tidak benar-benar erat. Kalau tak begitu tak mungkin mereka saling bercuriga dan saling menuduh. Upaya pembunuhan yang dilakukan Ki Banaspati terhadap pemuda angkuh itu hanya menandakan bahwa Ki Banaspati telah menganggap pemuda itu membahayakan gerakannya. Sekarang kecurigaan kian bertambah sesudah ada dugaan Suji Angkara menuju Pakuan. Kalau benar pemuda itu menuju Pakuan, hanya punya arti dia memiliki hubungan dengan orang Pakuan. Itu menarik untuk disimak, pikir Ginggi.
Ginggi tak menunggu kepulangan Ki Banaspati ke Sagaraherang. Apalagi surat di daun nipah untuknya hanya mengatakan bahwa dia harus mencari Suji Angkara ke Pakuan dan membunuh pemuda itu. Maka sesudah dibekali pakaian baru dan uang cukup banyak, Ginggi segera pergi meninggalkan tempat itu. Dia menolak untuk ditemani satu atau dua orang pandai, dengan alasan penyelidikan secara diam-diam hanya bisa dilakukan seorang diri. Ginggi pun menolak ketika akan dibekali seekor kuda Sumba yang tinggi besar dengan alasan naik kuda gagah hanya akan menarik perhatian orang belaka.
“Melakukan perjalanan dengan berjalan kaki akan terkesan sebagai orang kebanyakan dan tak akan menarik perhatian siapa pun,” kata pemuda itu.
Alasan-alasan ini dapat diterima oleh Ki Sunda Sembawa dan dia mengabulkan permintaan pemuda itu.
“Yang penting kau pulang dengan membawa keberhasilan,” kata Sunda Sembawa.
Ginggi mengangguk pasti. Menurut petunjuk, Ginggi perlu waktu dua hari untuk menuju wilayah Kandagalante Tanjungpura, sebuah wilayah yang boleh dikata bersinggungan dengan batas utara. Kata Sunda Sembawa, Ginggi harus lebih hati-hati memasuki wilayah ini. Pengaruh dari kerajaan agama baru cukup kuat di sini. Ini karena Pasukan Cirebon yang telah menguasai Pelabuhan Kalapa (Sunda Kalapa) kerapkali lewat ke wilayah Tanjungpura untuk menuju Kalapa atau sebaliknya bila kembali ke Cirebon.
“Banyak juga di antara anggota Pasukan Cirebon tercecer tinggal di beberapa kampung wilayah Tanjungpura dan bahkan beristrikan wanita-wanita di sana,” kata Sunda Sembawa.
Ginggi tersenyum mendengar penjelasan ini. Jadi benar kata Ki Darma, rakyat sebetulnya tak mau tahu urusan politik. Hanya apa kata pemerintah saja orang-orang dari negara agama baru itu merupakan musuh, sedangkan rakyat sendiri tidak. Buktinya, mereka tidak memisah-misahkan arti agama. Orang Pajajaran secara alamiah bisa bersatu dengan orang-orang Cirebon membentuk sebuah keluarga.
Namun di lain fihak, pemuda itu pun membenarkan bila ada orang Pajajaran yang berusaha ingin mempertahankan negaranya. Seperti apa kata Sang Prabu Sri Baduga Maharaja yang pernah disampaikan melalui mulut Rama Dongdo dan Ki Banen serta Ki Ogel, bahwa Pajajaran tidak memusuhi agama baru. Namun tentu saja yang dimaksud di sini sambil Kerajaan Pajajaran tetap diakui oleh siapa pun.
Perjalanan memang dilakukan dua hari untuk mencapai Tanjungpura. Tidak terlalu sulit sebab tak ada bukit apalagi ngarai. Hanya saja perjalanan banyak dilakukan melalui hutan jati yang udaranya terasa panas. Ginggi memasuki wilayah Kandagalante Tanjungpura sesudah matahari condong ke barat. Dia segera menuju kediaman kepala jagabaya dan mengaku sebagai pengembara yang ingin menumpang tidur di wilayah Kandagalante ini. Namun kepala jagabaya tak seramah dugaannya. Lelaki gemuk dengan baju kampret dibiarkan terbuka ini melihatnya dengan pandangan selidik dan penuh curiga.
“Aku tak begitu saja membiarkan orang asing memasuki Tanjungpura ini. Sudah dua kali kami menerima kehadiran pengembara. Dan sudah dua kali itu pula kami mengalami kejadian yang tidak mengenakkan!” tutur kepala jagabaya yang diketahui Ginggi bernama Ki Aliman.
“Ada terjadi dua kematian bersamaan dengan kehadiran dua pendatang asing,” tutur kepala jagabaya.
“Pembunuhan?”
“Tidak. Kedua penduduk kami mati bunuh diri!”
“Ada penduduk mati bunuh diri, mengapa pendatang asing yang disalahkan?” tanya Ginggi.
Kepala jagabaya bernama Aliman ini tak bias mengemukakan alasan dengan segera. Dia nampak hanya memilin-milin ujung kumisnya yang tebal saja.
“Aku juga tak punya alasan tepat, mengapa harus begitu. Kecurigaan kami terhadap orang asing, hanya karena peristiwa itu terjadi selalu secara bersamaan,” katanya.
Hampir sebulan lalu, ke Tanjungpura datang empat orang asing. Mereka bertamu ke Juragan Ilun Rosa.
“Tapi malam sebelum kepergian mereka, anak gadis Juragan Ilun mati bunuh diri,” kata Ki Aliman.
Ginggi hanya mendengarkan saja tanpa berniat memotong omongan jagabaya ini.
“Itu terjadi sebulan yang lalu,” kata Ki Aliman, “Tiga hari lalu ada lagi pendatang asing dan mengaku pengembara. Sifatnya kasar dan berlaku seenaknya. Dia main perempuan di rumah tuak sampai jauh malam. Di tengah malam buta anak seorang perempuan penghibur, yaitu gadis kecil berusia belasan tahun meraung dan menjerit ngeri. Ketika orang-orang mendobrak kamarnya, didapatnya si gadis kecil itu sudah mati berlumuran darah.”
“Lantas, apa hubungannya dengan kehadiran orang asing itu? Apakah karena kematian kedua orang gadis bersamaan waktunya dengan kehadiran mereka semata?” tanya Ginggi.
“Tidak ada bukti mereka terlibat urusan bunuh diri. Tapi kedua gadis yang nekad bunuh diri semuanya karena merasa aib kehormatan dirinya terganggu,” kata Ki Aliman sambil mengucapkan sumpah serapah.
“Paman bercuriga para pendatang itu yang melakukan kejahatan berahi?” tanya Ginggi.
“Sulit aku bicara tanpa bukti. Tapi selama aku hidup di Tanjungpura, aku kenal tabiat lelaki di sini. Mereka memang senang minum tuak dan bercanda dengan perempuan penghibur. Tapi kendati begitu, pantang untuk lelaki di sini melakukan tindakan seperti itu. Untuk menghadapi kaum wanita, lelaki Tanjungpura tidak bertindak pengecut. Kalau kami menyenangi seseorang wanita, kami datangi dan kami bicara terus-terang. Mungkin ada di antara kami yang merayu bahkan memaksa. Tapi itu tetap dilakukan dengan terang-terangan tidak main sembunyi. Banyak perkelahian sesama lelaki karena memperebutkan wanita. Tapi dalam mendapatkannya, tetap saja dilakukan secara ksatria,” kata Ki Aliman.
Ginggi hanya tersenyum mendengar kepala jagabaya ini memuji-muji kaum lelaki di wilayahnya.
“Apakah menurutmu orang asing yang memasuki wilayah Tanjungpura hanya mereka saja?”
“Tanjungpura ini wilayah yang ramai dikunjungi orang setiap saat. Bahkan orang-orang dari agama baru suka lewat dan bermalam di sini,” kata Ki Aliman.
“Nah, mengapa kalian tak mencurigai kehadiran mereka juga?” tanya Ginggi.
“Kepada mereka kami tidak mencurigainya. Agama mereka keras terhadap dosa yang melibatkan penyelewengan berahi. Jangankan melakukan pemaksaan berahi, berkencan di rumah tuak dengan perempuan penghibur yang sifatnya suka sama suka saja, mereka menganggapnya sebuah dosa besar,” kata Ki Aliman.
“Engkau pengikut agama baru, Paman?” tanya Ginggi.
“Tidak. Aku pemeluk agama lama!”
“Dan pendatang yang paman curigai itu, apakah juga pemeluk agama lama?”
“Ya, kurasa demikian. Pemeluk agama baru mudah dilihat, sebab hampir setiap saat mereka melakukan sembahyang menghadap ke barat, sedangkan pemeluk agama lama tidak. Para pendatang yang kami lihat sepertinya bukan pemeluk agama baru,” kata Ki Aliman.
“Kalau mereka juga pemeluk agama lama yang sama seperti yang dipeluk Paman, apakah kalian akan curiga juga pada mereka?” tanya Ginggi.
“Kenapa kau tanya begitu?’ tanya Ki Aliman.
“Sebab ada terkesan, agama kalian membenarkan adanya kejahatan berahi!”
Ki Aliman matanya melotot marah kepada Ginggi yang dianggapnya mengajukan pertanyaan sembrono.
“Engkau jangan merendahkan agamaku! Dalam agamaku juga ada peraturan untuk memelihara tindak-tanduk agar tak terjerumus dalam dosa. Mahayu dora sepuluh adalah memelihara dan berusaha memperoleh kebajikan dari gerbang yang sepuluh. Salah satu di antaranya menyebutkan bahwa manusia diharuskan menjaga dan memelihara baga purusa (baga=kelamin wanita, purusa=kelamin laki-laki ),” kata Ki Aliman.
“Kalau begitu, kau tak adil mencurigai orang-orang pemeluk agama lama melakukan kejahatan, sebab agama apa pun sebetulnya tetap melarang orang berbuat jahat,” tutur Ginggi.
Ki Aliman memerah wajahnya. “Aku mungkin keliru. Atau, aku sebenarnya tak menyebutkan bahwa aku bercuriga kepada orang-orang selain pemeluk agama baru…” kata Ki Aliman terbata-bata.
Ginggi kembali tersenyum. “Tapi kita memang salah. Dalam hal ini seharusnya kita tak memperbincangkan perihal agama. Mereka melakukan kejahatan tidak mengatasnamakan agama. Yang penting, Paman, sebagai kepala jagabaya harus berusaha menjaga dan kalau mungkin menangkap penjahatnya, kalau memang kedua gadis yang bunuh diri itu karena kejahatan berahi,” kata Ginggi pada akhirnya.
Ki Aliman mengangguk-angguk tanda setuju dengan ucapan pemuda itu.
“Hai, engkau mau kemana anak muda?” tanya Ki Aliman, heran melihat Ginggi seperti mau berlalu dan nampaknya akan keluar melalui pintu lawang kori yang akan segera ditutup karena hari telah kelam.
“Aku akan melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan berjalan kaki di malam hari tidak menemukan gangguan berarti di tengah jalan,” kata Ginggi dan kembali akan berlalu meninggalkan tempat itu.
“Bukankah engkau akan menumpang tidur di sini?”
“Bukankah Paman tadi melarang orang asing menumpang tidur di sini?” Ginggi balik bertanya.
Ki Aliman tersenyum. “Aku tak membuat peraturan kaku. Asalkan aku yakin orang itu tak melakukan kejahatan, aku izinkan siapa pun masuk. Dan kau nampaknya bukan orang jahat, anak muda,” kata Ki Aliman.
Ginggi tersenyum dibuatnya. Selama beberapa bulan banyak bergaul dengan orang-orang, Ginggi pun sudah tahu bagaimana tata caranya, termasuk dalam bertutur kata. Dengan nada bicara yang teratur serta dibumbui basa-basi sopan-santun ternyata sanggup menggoda orang lain untuk langsung menilai dirinya sebagai orang baik. Padahal sampai saat ini pemuda itu tetap beranggapan bahwa nilai seseorang bukan terletak pada tindak-tanduknya atau pun tutur-sapanya. Sebab tabiat sebenar-benarnya hanya ada di lubuk hatinya. Mungkin juga orang bertutur-sapa dan bertindak-tanduk sopan karena begitu yang ada di dalam hatinya, tapi mungkin juga tidak.
Sekarang, Ki Aliman langsung mengubah kecurigaan menjadi kepercayaan terhadapnya hanya karena Ginggi sanggup bicara sopan. Mungkingkah aku orang baik? Tak seorang pun tahu, tidak juga aku, pikirnya. Sampai detik ini Ginggi memang tak sanggup menilai dirinya sendiri. Mungkin saja dia mengaku orang baik karena selama ini dia benci pembunuhan. Tapi sekali waktu dia mengatakan dirinya orang jahat kalau mengingat peristiwa aib yang dilakukannya bersama Nyi Santimi di hutan Desa Cae beberapa waktu lalu. Dia sembrono menuding orang lain jahat karena melakukan pemerkosaan terhadap wanita lemah. Padahal dia sendiri tak ubahnya dengan pemerkosa.
Si pemerkosa melakukan nafsu berahinya dengan jalan paksa sementara dirinya melakukannya dengan alasan suka sama suka. Tapi baik berahi yang dilakukan dengan cara paksa mau pun suka sama suka, bila segalanya dilaksanakan berdasarkan naluri nafsu, Ginggi menganggapnya sebagai tindak kejahatan juga.
“Aku juga penjahat berahi,” umpatnya sambil menggetok ubun-ubunnya sendiri.
“Hai, kau pukul kepalamu sendiri, anak muda?” Ki Aliman terheran-heran dibuatnya.
Dan pemuda itu tertawa terkekeh-kekeh setelah sadar apa yang dilakukannya.
“Saking gembiranya dipercaya olehmu, Paman,” kata Ginggi. “Jadi, bolehkah aku menginap semalam di wilayahmu?” tanyanya lagi.
Kepala jagabaya itu mengangguk dan Ginggi mengucapkan terima kasih untuk yang kesekian kalinya.
“Ya, engkau boleh menumpang bermalam di wilayah ini. Carilah kedai yang cukup besar. Biasanya mereka menerima pengembara yang kemalaman, asalkan keperluan makan dan minum, kau beli di sana,” kata Ki Aliman.
Obrolan di Kedai Ketika kepala jagabaya itu mempersilakan Ginggi mencari tempat menginap, hari sudah berangkat senja. Ada terdengar suara kentongan ditabuh dengan penuh irama, kemudian disambut pukulan beduk. Sayup-sayup pemuda itu pun mendengar ada suara lantunan merdu mendayu-dayu tapi dengan bahasa yang tak dimengerti olehnya. Namun kendati begitu, Ginggi sudah mengenalnya. Itulah seruan panggilan sembahyang bagi orang-orang yang telah memeluk agama baru. Ginggi hafal benar, lantunan merdu seperti itu terjadi lima kali dalam sehari semalam.
Ada beberapa orang bergegas pergi ketika mendengar panggilan merdu itu. Namun kebanyakan orang tak acuh mendengarnya. Kalau pun ada yang bergegas ke rumahnya masing-masing, itu karena hari sudah mulai gelap saja. Ini semua hanya menandakan bahwa kendati agama baru sudah merasuk ke Tanjungpura, namun penduduk asli sebagian besar masih memeluk agama lama.
Sambil berjalan mencari kedai yang cukup besar, Ginggi beberapa kali menjumpai bangunan pura yang diletakkan di halaman rumah. Bau dupa terasa tajam semerbak melalui asap tipis mengelun dari anglo kecil. Sedangkan suara lantunan panggilan sembahyang dari agama baru terdengar sayup-sayup jauh di sudut perkampungan.
Akhirnya sebuah kedai cukup besar ditemukan juga, dan pemuda itu masuk ke sana, disambut pemiliknya sambil mempersilakan duduk dan secara beruntun langsung menanyakan dan menawarkan beberapa jenis makanan yang sekiranya Ginggi akan tertarik untuk memesannya.
Ginggi sejenak berkeliling meneliti ruangan kedai itu. Ada bangku dan meja panjang tempat orang makan-makan. Namun di ruangan tengah, ada dipan bambu amat luas. Mungkin tempat orang makan sambil duduk bersila, atau juga tempat orang numpang menginap. Belum ada pengunjung yang datang, kecuali seorang gadis kecil barangkali anak pemilik kedai, tengah menyalakan beberapa lampu teplok di sudut-sudut ruangan kedai.
“Saya mau makan di sini tapi sekalian juga menumpang tidur barang semalam,” kata Ginggi mencoba mendayu-dayukan suara sopan dan halus.
Tapi si pemilik kedai berpakaian kampret putih dengan kain sarung diikatkan di pinggangnya hanya menatap penuh selidik. Gadis kecil yang tengah menyalakan lampu pun sejenak menghentikan tugasnya untuk ikut menatap wajah pemuda itu.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment