“Baiklah, aku… maksudnya saya akan mentaati perintah dan persyaratanmu,” kata pemuda itu pada akhirnya.
“Nah, begitu lebih baik. Kau kelak akan menjadi anak buahku yang amat kuandalkan,” kata Ki Banaspati ceria.
Malam itu juga Ginggi dibawa ke bale gede, yaitu tempat musyawarah antara Kandagalante dan para aparatnya. Selama Ginggi melangkah, dia berharap Suji Angkara sudah pergi menjauh dari wilayah Kandagalante ini, sebab kalau dia ketahuan ikut dengan Ki Banaspati suasana akan berabe. Dan pemuda itu amat lega. Sebab ketika dia tiba di ruangan bale gede, ada beberapa jagabaya yang mengabarkan kepada Ki Sunda Sembawa bahwa empat orang tangan kanan Suji Angkara telah meninggalkan tempat mereka menginap dengan diam-diam. Namun rasa lega Ginggi bertolak belakang dengan apa yang dikandung Ki Banaspati serta Ki Sunda Sembawa. Pemuda itu selintas bisa melihat mimik kedua orang itu nampak tak senang mendengarnya.
“Mengapa mereka pergi tanpa pamit?” tanya Ki Sunda Sembawa mengerenyitkan alis.
Hanya Ginggi yang menduga apa yang dipikirkan kedua orang itu. Baik Ki Banaspati maupun Ki Sunda Sembawa pasti menduga bahwa anak buah Suji Angkara sudah mengetahui apa yang terjadi terhadap pemimpinnya.
“Coba cari Ki Joglo dan suruh menghadap ke sini!” perintah Ki Banaspati.
Dua orang jagabaya pergi mengemban perintah itu. Di ruangan besar itu tinggallah mereka bertiga, Ginggi, Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa.
“Siapa anak muda ini?” tanya Ki Sunda Sembawa.
Ginggi ingat akan basa-basi etika, maka dia segera mnyembah takzim.
“Dia masih kerabat dekat saya. Dan kelak anak muda ini akan jadi pembantu kita yang bisa diandalkan. Namanya Ginggi,” jawab Ki Banaspati.
Ki Sunda Sembawa meneliti wajah Ginggi, “serasa aku pernah melihat wajahmu, anak muda.”
“Benar Juragan (tuan), sebab tadi senja saya ikut rombongan Raden Suji Angkara,” jawab Ginggi hormat.
Ki Sunda Sembawa menyipitkan pandangan matanya dan jidatnya sedikit berkerut.
“Jangan khawatir, anak muda ini bukan anak buah Si Suji. Dia hanya kebetulan bergabung ditengah perjalanan,” kata Ki Banaspati.
“Engkau tahu peristiwa di hutan jati, anak muda?” Tanya kandagalante penuh selidik.
Ginggi mengangguk. Dan dahi pejabat wilayah Sagaraherang kembali berkerut.
”Jangan khawatir, sudah saya ungkapkan segalanya dan dia mengerti perjuangan kita,” kata Ki Banaspati menimpali.
“Kau memang harus mengerti perjuangan kami sebab bila tidak, aku tak mau memberikan pekerjaan kepada orang-orang yang tak sapaham,” gumam Ki Sunda Sembawa.
Sementara itu dari luar datang beberapa jagabaya. Dua orang membawa obor dan dua orang lagi mengusung cikrak (tandu). Ketika cikrak diturunkan isinya, nampak tubuh seorang lelaki.
“Ki Joglo?”
“Betul Juragan…”
“Mati?”
“Mati Juragan. Dia ditemukan di tepi kolam dengan leher hampir putus!” kata si pelapor.
Ginggi terkejut sebab yang disebut Ki Joglo ini ternyata pemimpin perampok di hutan jati yang tadi dia lumpuhkan.
“Bawa dan kuburkan malam ini juga. Aku tak senang melihat darah anak buahku,” kata Ki Sunda Sembawa yang juga dianggukkan oleh Ki Banaspati.
Mayat Ki Joglo diusung kembali tanpa dilihat untuk kedua kalinya oleh Ki Sunda Sembawa dan Ki Banaspati, sepertinya ini sebuah kematian tak berarti.
“Siapa yang membunuh dia?” Gumam Ki Banaspati.
Hanya Ginggi yang bisa mengira-ngira siapa yang bertindak kejam ini. Kurang ajar, Si Suji sebetulnya tak perlu membunuh orang tak berdaya, kata Ginggi dalam hati. Ya, kalau benar pembunuhnya adalah Suji Angkara, dia pun ikut terlibat. Sekurang-kurangnya membantu meringankan tugas anak muda itu untuk menggorok leher Ki Joglo. Sialan, desisnya.
“Juragan, mungkinkah pembunuhnya para anak buah Raden Suji? Kalau begitu, kita balas mereka sebab ada belasan anak buahnya yang lagi tidur karena mabuk tuak. Mereka tak sempat dibangunkan!” kata seorang jagabaya.
“Betul! Kita bunuh mereka!” kata yang lain.
“Jangan dibunuh, mereka tak berdosa!” Ginggi berdiri dan mencegah.
“Kau siapa?” tanya jayabaya.
“Dia anggota rombongan seba itu. Pasti sekongkol dengan kaki tangan Raden Suji!” teriak yang lainnya mengamang-amang obor.
Ginggi membalik ke arah Ki Banaspati, “Juragan sebaiknya orang-orang itu tak dibunuh. Mereka hanya tukang pikul biasa saja dan tak ada kaitannya dengan Raden Suji. Membunuh orang tak berarti hanya membuat sibuk pekerjaan saja,” kata Ginggi, memohon tapi bernada pasti.
“Nah, begitu lebih baik. Kau kelak akan menjadi anak buahku yang amat kuandalkan,” kata Ki Banaspati ceria.
Malam itu juga Ginggi dibawa ke bale gede, yaitu tempat musyawarah antara Kandagalante dan para aparatnya. Selama Ginggi melangkah, dia berharap Suji Angkara sudah pergi menjauh dari wilayah Kandagalante ini, sebab kalau dia ketahuan ikut dengan Ki Banaspati suasana akan berabe. Dan pemuda itu amat lega. Sebab ketika dia tiba di ruangan bale gede, ada beberapa jagabaya yang mengabarkan kepada Ki Sunda Sembawa bahwa empat orang tangan kanan Suji Angkara telah meninggalkan tempat mereka menginap dengan diam-diam. Namun rasa lega Ginggi bertolak belakang dengan apa yang dikandung Ki Banaspati serta Ki Sunda Sembawa. Pemuda itu selintas bisa melihat mimik kedua orang itu nampak tak senang mendengarnya.
“Mengapa mereka pergi tanpa pamit?” tanya Ki Sunda Sembawa mengerenyitkan alis.
Hanya Ginggi yang menduga apa yang dipikirkan kedua orang itu. Baik Ki Banaspati maupun Ki Sunda Sembawa pasti menduga bahwa anak buah Suji Angkara sudah mengetahui apa yang terjadi terhadap pemimpinnya.
“Coba cari Ki Joglo dan suruh menghadap ke sini!” perintah Ki Banaspati.
Dua orang jagabaya pergi mengemban perintah itu. Di ruangan besar itu tinggallah mereka bertiga, Ginggi, Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa.
“Siapa anak muda ini?” tanya Ki Sunda Sembawa.
Ginggi ingat akan basa-basi etika, maka dia segera mnyembah takzim.
“Dia masih kerabat dekat saya. Dan kelak anak muda ini akan jadi pembantu kita yang bisa diandalkan. Namanya Ginggi,” jawab Ki Banaspati.
Ki Sunda Sembawa meneliti wajah Ginggi, “serasa aku pernah melihat wajahmu, anak muda.”
“Benar Juragan (tuan), sebab tadi senja saya ikut rombongan Raden Suji Angkara,” jawab Ginggi hormat.
Ki Sunda Sembawa menyipitkan pandangan matanya dan jidatnya sedikit berkerut.
“Jangan khawatir, anak muda ini bukan anak buah Si Suji. Dia hanya kebetulan bergabung ditengah perjalanan,” kata Ki Banaspati.
“Engkau tahu peristiwa di hutan jati, anak muda?” Tanya kandagalante penuh selidik.
Ginggi mengangguk. Dan dahi pejabat wilayah Sagaraherang kembali berkerut.
”Jangan khawatir, sudah saya ungkapkan segalanya dan dia mengerti perjuangan kita,” kata Ki Banaspati menimpali.
“Kau memang harus mengerti perjuangan kami sebab bila tidak, aku tak mau memberikan pekerjaan kepada orang-orang yang tak sapaham,” gumam Ki Sunda Sembawa.
Sementara itu dari luar datang beberapa jagabaya. Dua orang membawa obor dan dua orang lagi mengusung cikrak (tandu). Ketika cikrak diturunkan isinya, nampak tubuh seorang lelaki.
“Ki Joglo?”
“Betul Juragan…”
“Mati?”
“Mati Juragan. Dia ditemukan di tepi kolam dengan leher hampir putus!” kata si pelapor.
Ginggi terkejut sebab yang disebut Ki Joglo ini ternyata pemimpin perampok di hutan jati yang tadi dia lumpuhkan.
“Bawa dan kuburkan malam ini juga. Aku tak senang melihat darah anak buahku,” kata Ki Sunda Sembawa yang juga dianggukkan oleh Ki Banaspati.
Mayat Ki Joglo diusung kembali tanpa dilihat untuk kedua kalinya oleh Ki Sunda Sembawa dan Ki Banaspati, sepertinya ini sebuah kematian tak berarti.
“Siapa yang membunuh dia?” Gumam Ki Banaspati.
Hanya Ginggi yang bisa mengira-ngira siapa yang bertindak kejam ini. Kurang ajar, Si Suji sebetulnya tak perlu membunuh orang tak berdaya, kata Ginggi dalam hati. Ya, kalau benar pembunuhnya adalah Suji Angkara, dia pun ikut terlibat. Sekurang-kurangnya membantu meringankan tugas anak muda itu untuk menggorok leher Ki Joglo. Sialan, desisnya.
“Juragan, mungkinkah pembunuhnya para anak buah Raden Suji? Kalau begitu, kita balas mereka sebab ada belasan anak buahnya yang lagi tidur karena mabuk tuak. Mereka tak sempat dibangunkan!” kata seorang jagabaya.
“Betul! Kita bunuh mereka!” kata yang lain.
“Jangan dibunuh, mereka tak berdosa!” Ginggi berdiri dan mencegah.
“Kau siapa?” tanya jayabaya.
“Dia anggota rombongan seba itu. Pasti sekongkol dengan kaki tangan Raden Suji!” teriak yang lainnya mengamang-amang obor.
Ginggi membalik ke arah Ki Banaspati, “Juragan sebaiknya orang-orang itu tak dibunuh. Mereka hanya tukang pikul biasa saja dan tak ada kaitannya dengan Raden Suji. Membunuh orang tak berarti hanya membuat sibuk pekerjaan saja,” kata Ginggi, memohon tapi bernada pasti.
“Bebaskan orang-orang itu dan suruh kembali ke dusunnya masing-masing. Beri pula mereka bekal dan katakan tugasnya sudah selesai.” kata Ki Banaspati memutuskan dan disetujui Ki Sunda Sembawa.
Ginggi merasa lega mendengarnya. Dengan demikian, korban sia-sia tak perlu terjadi lagi. Para jagabaya dibubarkan. Sebagian pergi melaksanakan tugur (ronda), sebagian mempersiapkan upah dan bekal bagi bekas anak buah Suji Angkara yang akan disuruh kembali ke Desa Cae.
Malam sudah kian larut dan cahaya bulan pudar mengambang di langit sebelah timur. Namun kendati begitu, Ginggi belum disuruh beristirahat. Dia malah dipanggil kembali untuk menghadap di bale gede.
“Ini peringatan pertama bagimu,” kata Ki Banaspati.
Ginggi tak mengerti atas perkataan ini.
“Di hadapanku dan Ki Sunda Sembawa, tidak di perkenankan siapa pun mengeluarkan pendapat tanpa diminta. Kau paham maksudku?”
“Kalau saya tak mengeluarkan pendapat, apakah orang-orang tadi tak akan dibunuh?” tanya Ginggi.
“Aku lebih tahu dari kau dan kau tak perlu memberi nasihat soal itu,” kata Ki Banaspati.
Ginggi diam menunduk.
“Ya, sudah kau pergi. Jagabaya sudah mampersiapkan tempat menginap untukmu,” kata Ki Banaspati lagi.
Ginggi menyembah hormat dan mengundurkan diri. Namun sebelum jauh benar, pemuda ini meloncat ke atas atap sirap dan menguping pembicaraan kedua orang itu.
“Saya belum percaya benar tehadap kepatuhan pemuda itu,” terdengar suara Ki Sunda Sembawa.
“Jangan khawatir. Dia bukan orang yang membahayakan gerakan kita. Tapi harap dimaklumi kalau perangainya begitu. Anak itu datang dari gunung terpencil dan tidak mengenal tata cara pergaulan kota. Kita akan coba mendidik etika padanya sebab di kemudian hari kita akan amat membutuhkan tenaganya. Tadi aku menjajal kemampuannya dan ilmu pemuda itu tidak terlalu jauh di bawah kemampuanku,” kata Ki Banaspati. “Kalau kita dapat mempengaruhinya, dia akan menjadi salah satu pembantu utama kita,” sambungnya.
Pembicaraan berhenti sebentar dan terdengar mereka meneguk minuman.
“Bagaimana dengan Suji Angkara?” terdengar suara Ki Sunda Sembawa.
“Itulah yang aku pikirkan. Kita perlu memastikan, apakah Ki Joglo berhasil membunuhnya di kolam. Tapi kalau tak berhasil, kita cukup berbahaya menghadapinya.” kata Ki Banaspati.
“Saya khawatir Ki Joglo bukan membunuhnya tapi malah dia yang dibunuh seperti terbukti tadi,” kata Ki Sunda Sembawa.
“Aku juga berpikir begitu. Sebab, dari mana pikiran anak buahnya timbul untuk melarikan diri kalau bukan dikabari Si Suji?” kata Ki Banaspati.
‘Mari kita periksa kolam dimana rencana pembunuhan terhadap pemuda itu akan dilakukan,” ajak Ki Sunda Sembawa.
Dari atas atap sirap Ginggi melihat dua orang itu keluar dari bale gede dan akan menuju kolam di mana tadi Ki Joglo memanggul tubuh Suji Angkara yang masih pingsan. Sudah barang tentu, Ginggi tahu pasti bahwa Ki Joglo belum sempat membenamkan Suji Angkara di kolam itu karena orang malang itu sudah lebih dahulu dia lumpuhkan.
Sudah hampir sebulan Ginggi “mengabdi” kepada Ki Banaspati. Selama sebulan itu, pemuda ini sudah mulai mengenal orang yang oleh Ki Darma disebut-sebut sebagai yang harus dia ikuti. Memang benar seperti apa yang diakui oleh Ki Banaspati, bahwa dirinya bukan orang sembarangan.
Ginggi pun mulai mengenal siapa Ki Sunda Sembawa Menurut obrolan para jagabaya yang secara diam-diam ditampung olehnya untuk sekadar pengetahuan, Kandagalante Sunda Sembawa ini kekuasaannya sudah semakin luas. Dia membawahi beberapa cutak (setingkat camat) dan belasan kuwu (kepala desa). Jumlah penduduk Sagaraherang waktu itu, lebih dari 1.200 orang dan kebanyakan masih memegang kepercayaan lama. Masih memegang erat agama lama, merupakan satu pilihan yang berani sebab Sagaraherang sudah amat dekat ke daerah utara yang dikuasai Cirebon.
Kata beberapa jagabaya, bentrokan-bentrokan kecil dengan Prajurit Cirebon yang sudah memiliki agama baru kerap kali terjadi. Bentrokan itu biasanya terjadi bila sudah mempermasalahkan seba. Kandagalante Sunda Sembawa membuat kebijaksanaan, seluruh desa yang ada di bawah kekuasaannya harus mengumpulkan sebagian kekayaan desa untuk kepentingan seba ke Pakuan. Seba atau pajak hasil bumi desa ditampung oleh cutak dan cutak harus mengirimkannya ke kandagalante. Tapi kebijaksanaan Ki Banaspati lebih hebat lagi. Dia bahkan berani mengutip seba ke wilayah-wilayah yang sebetulnya sudah menginduk ke pusat pemerintahan agama baru. Banyak desa yang ada di bawah kekuasaan Karatuan Sumedanglarang, asalkan desa itu jauh dari jangkauan pengawasan pusat pemerintahannya, hasil buminya dikutip anak buah Ki Banaspati. Demikian juga beberapa wilayah yang berada di bawah kekuasaan Karatuan Talaga, Ki Banaspati tidak membiarkannya.
Asalkan wilayah itu terasa susah dijangkau pemerintahan pusat, pasukannya rajin sekali mengutip hasil bumi wilayah tersebut. Ki Banaspati juga pandai memanfaatkan situasi. Dia tahu, Sumedanglarang dan Talaga belum utuh sebagai kerajaan yang memiliki kesatuan dalam memilih agama baru. Banyak juga di antara wilayah Kandagalante, atau bahkan hanya setingkat wilayah cutak dan desa secara diam-diam masih setia terhadap agama lama. Bila masih terjadi hal demikian, mudah diduga mereka masih setia juga terhadap Pakuan. Wilayah-wilayah seperti inilah yang menjadi santapan Ki Banaspati.
Kandagalante Sunda Sembawa setuju saja dengan kebijaksanaan ini. Ki Banaspati adalah aparat muhara (petugas penarik pajak) yang katanya berurusan dengan keputusan pusat. Artinya, kedudukan Kandalante Sunda Sembawa masih lebih rendah ketimbang utusan pusat. Lain dari pada itu, kebijaksanaan Ki Banaspati yang berani mengutip seba sampai jauh ke wilayah timur, hanya berarti menambah wibawa saja bagi keberadaan Kandagalante Sunda Sembawa.
Wilayah Sagaraherang disegani oleh lawan dari utara dan mereka tak berani sembarangan menyerang ke pusat kekuasaan. Jadi, kalau pun terjadi penyerangan, itu dilakukan pasukan agama baru terhadap rombongan seba dari timur yang akan memasuki wilayah Sagaraherang saja. Soal adanya penyerangan terhadap rombongan seba, sebetulnya masih simpang siur dan diragukan kebenarannya. Siapa yang melakukannya, apakah benar dari pasukan agama baru, atau kaum perampok semata? Beberapa Jagabaya Sagaraherang kerap kali mengabarkan perihal adanya macam-macam perampok.
“Sekarang ini zaman kacau. Di daerah-daerah di mana pengaruh Pakuan amat lemah dan pengaruh kekuasaan kerajaan agama baru belum begitu kuat, terdapat kekuatan-kekuatan baru yang tidak jelas tujuannya. Mereka tidak bersetia lagi kepada Pakuan tapi juga tidak menyukai kehadiran kekuasaan pemerintahan agama baru. Maka jadilah mereka pasukan-pasukan tak bertuan.
Untuk mempertahankan keberadaannya, mereka menjarah kampung atau juga mencegat rombongan seba yang sekiranya kurang mendapat pengawalan kuat,” tutur seorang jagabaya yang berusia tua.
“Apakah kekuatan tak bertuan itu termasuk juga yang mencegat rombongan seba di bawah pimpinan Raden Suji Angkara, Paman?” tanya Ginggi di suatu senja.
“Mungkin juga,” tutur jagabaya tua ini.
Mendengar penjelasan ini, Ginggi termenung. Tapi bagaimana dengan pengakuan Ki Banaspati sendiri yang memang mengaku “merampok” rombongan tersebut? Mendengar bunyi jawaban jagabaya tua ini, timbul kesan bahwa tidak seluruh gerakan Ki Banaspati diketahui seisi wilayah Sagaraherang. Kalau tidak begitu, tak mungkin pertanyaan pancingan Ginggi dijawab seperti itu.
Sampai di situ, terpaksa pemuda ini harus berpikir keras. Ki Banaspati benar-benar misterius. Tempo hari dia mengaku secara gelap menghimpun kekuatan untuk merampok pejabat Pajajaran yang korup dan menindas rakyat. Namun di lain fihak dia menjadi pejabat utama muhara langsung dari pusat guna menarik pajak. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Mungkinkah selama ini dia memiliki “dua wajah” dan tak pernah tercium baunya oleh pemerintahan di Pakuan?
“Aku tetap setia terhadap amanat Ki guru, bahwa aku harus menolong rakyat Pajajaran dari penindasan raja yang tak tahu diuntung itu!” kata Ki Banaspati kepada Ginggi tempo hari.
Kata Ki Banaspati, dia memang merampok pejabat korup dan mencegat rombongan pembawa hasil bumi atau kekayaan lainnya dari para saudagar yang bekerja tak halal. Hasil-hasil jarahannya sebagian dia berikan kembali kepada rakyat dan sebagian dihimpun untuk menciptakan kekuatan baru. Bila dia sudah memiliki kekuatan, akan dia pergunakan untuk menyerang Pakuan dan merebut kekuasaan.
“Ratu Sakti harus disingkirkan karena dia tak becus mempertahankan kebesaran Pajajaran. Kemudian, akulah kelak yang akan memegang tampuk pemerintahan di Pakuan. Akan kukembalikan kebesaran Pajajaran seperti ketika dipimpin oleh Kangjang Prabu Sri Baduga Maharaja!” kata pula Ki Banaspati.
Ginggi merenung keras. Begitukah cara melaksanakan amanat Ki Guru Darma dalam upaya membela rakyat? Cukup pantaskah Ki Banaspati mencuatkan dirinya untuk menjadi raja menggantikan Ratu Sakti?
“Sejauh mana keberadaan seseorang untuk diakui sebagai raja yang kelak harus mampu memayungi nasib sejumlah besar manusia di sebuah wilayah bernama negara?” pikir Ginggi.
Ginggi memang mengetahui, Ki Banaspati orangnya tegas, suaranya berwibawa, perintahnya tak pernah diabaikan dan selalu melihat darah mengalir sambil tanpa mempengaruhi perasaannya. Bagi Ki Banaspati, darah dan kematian sepertinya sesuatu hal yang biasa. Ginggi masih teringat peristiwa sebulan lalu. Ki Banaspati dengan enteng saja memerintahkan anak buahnya membunuh Suji Angkara dengan cara dibenamkan ke kolam. Ki Banaspati juga tidak melihat kendati hanya sebelah mata, ketika mendengar Ki Joglo tewas dengan leher hampir putus, padahal orang itu adalah anak buah yang amat dipercayanya dan padahal kematian orang itu karena berupaya melaksanakan perintahnya.
“Betulkah seorang calon raja yang bercita-cita ingin membela rakyat dan ingin mengembalikan kejayaan Pajajaran harus memiliki watak keras dan tega melihat kematian?” pikir Ginggi lagi.
Lantas pemuda ini menerawang ke arah Prabu Ratu Sakti, Raja Pajajaran yang tengah berkuasa sekarang. Khabarnya raja ini selalu menyinggung perasaan rakyat karena tindakan-tindakannya yang keras, kurang bijaksana dan selalu doyan perempuan. Bila Ki Banaspati punya cita-cita ingin meruntuhkan kekuasaan Sang Prabu Ratu Sakti dan menggantikannya sebagai raja, apakah Ki Banaspati sudah merasa bahwa dirinya jauh lebih baik dari raja sekarang? Ginggi menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras sepertinya dia hendak mengusir rasa penting yang membebani benaknya.
Banyak orang mengatakan bahwa Prabu Ratu Sakti memerintah dengan sewenang-wenang. Tapi sudah hampir tujuh tahun dia memimpin negara tanpa tergoyahkan. Menurut Ki Darma, selama dia memerintah, kekacauan terjadi di mana-mana dan berbagai pemberontakan pun banyak meletus. Akan tetapi raja ini tetap sanggup bertahan duduk di atas singgasananya. Sanggup bertahan dari serangan pemberontak, bahkan berani memadamkannya, hanya punya arti bahwa raja ini memiliki kekuatan dan banyak dilindungi oleh pembantu-pembantu pandai. Kalau dia masih dikelilingi orang-orang pandai, hanya menandakan bahwa dia berwibawa dan dipercaya aparatnya. Perlukah orang yang masih mendapatkan kepercayaan diusir pergi dari percaturan kekuasaan?
Sekarang pikiran pemuda itu beralih kembali kepada keberadaan Ki Banaspati. Orang ini keras kepala dan tinggi hati dan perintahnya musti selalu ditaati. Selama Ginggi tinggal di pusat pemerintahan Sagaraherang ini, dia melihat orang-orang patuh terhadap Ki Banaspati. Mereka sepertinya tak pernah punya rasa sakit hati atau sebangsanya. Yang ada bahkan sebaliknya. Banyak anak buah pasukan atau petugas jagabaya tinggal di Sagaraherang dengan suka cita. Semakin dekat hubungan orang-orang dengan Ki Banaspati atau Kandagalante Sunda Sembawa, semakin nampak orang-orang itu ceria.
Di kompleks pusat pemerintahan Kandagalante ini, hampir setiap malam ada semacam kegembiraan. Di kedai-kedai tuak, jagabaya yang tidak sedang bertugas kerjanya mencari hiburan. Kalau tak minum tuak sampai mabuk, mereka menggelar judi, atau bercanda dengan perempuan-perempuan yang berada di sana. Setiap malam, selalu saja ada tawa ceria dari kaum perempuan dengan mulut terbuka lebar, suara genit dan tindak-tanduk mengundang birahi.
Di wilayah Kandagalante Sunda Sembawa ini, sepertinya semua orang punya kesenangan yang sama. Hiburan malam yang sering ditampilkan adalah minuman tuak, judi dan main perempuan. Ki Banaspati istrinya lebih dari satu. Begitu juga Kandagalante Sunda Sembawa. Dan, kebanyakan dari orang-orang Sagaraherang ini juga memilih peranan sebagai suami yang punya istri lebih dari satu.
Orang-orang yang tinggal di pusat pemerintahan Kandagalante ini sanggup menampilkan sebagai orang yang memiliki kesenangan sempurna. Tak terjadi kejahatan di sana. Yang kalah judi, pulang ke rumah dengan tubuh gontai karena terlalu banyak tuak dan jauh dari perasaan putus asa atau dendam. Sebaliknya yang menang judi bias bergembira dengan buih di mulut karena tuak juga. Dia pulang ke rumah sambil gontai dan bersenandung tanpa khawatir harta hasil judinya dirampas orang di tengah jalan.
Orang-orang yang tinggal di seputar pusat pemerintahan Kandagalante ini semuanya mengabdi kepada Ki Sunda Sembawa dan Ki Banaspati. Semua menjadi jagabaya atau punggawa. Bertugas hanya menjaga keamanan wilayah Sagaraherang atau mengawal perjalanan seba yang banyak dikirim dari desa-desa seputarnya.
Sagaraherang, yaitu daerah kandagalante ini memang sanggup menampilkan kehidupan rakyat yang makmur, jauh dari gambaran rakyat tertindak karena kekeliruan raja. Ini memang sungguh ajaib. Bagaimana mungkin di tengah-tengah suasana penderitaan banyak orang, masyarakat Sagaraherang bisa menampilkan sosok sejahtera?
“Ini berkat kepemimpinan Kandagalante Sunda Sembawa yang dibimbing Ki Banaspati,” tutur seorang punggawa setia.
Menurutnya, kendati pemimpin mereka keras wataknya, namun tahu akan keperluan orang. Baik Ki Banaspati maupun Ki Sunda Sembawa sehari-harinya melakukan kehidupan royal. Mereka selalu makan makanan enak dan senang macam-macam hiburan. Dan hal yang sama juga diberikan ke semua orang. Artinya, kalau para pemimpinnya mampu mendapatkan kegembiraan, maka para anak buahnya pun mesti bisa mendapatkannya.
“Dari hasil mengabdi kepada kedua pemimpin ini, selain kami mendapatkan jatah hasil bumi juga kami mendapatkan penghargaan bulanan berupa uang logam,” kata para jagabaya.
Belakangan Ginggi baru menyadari, bahwa benda-benda kepingan logam yang dia simpan di buntalan kain hasil pemberian Kuwu Wado adalah logam bernama uang. Benda itu bisa ditukarkan dengan barang-barang keperluan di kedai atau di pasar, dari mulai tuak hingga beras, dari mulai ikat kepala hingga baju dan terumpah. Bagaimana cara menakar dan membandingkannya, Ginggi tak tahu.
Barang apa saja yang bisa ditukarkan dengan uang logam yang dimiliki Ginggi, pemuda itu pun sendiri tidak pernah tahu sebab tidak pernah menggunakannya. Selama sebulan hidup di Sagaraherang, makan dan pakaian sudah disediakan oleh Kandagalante Sunda Sembawa atas perintah Ki Banaspati. Yang pemuda itu tahu, bahwa uang logam yang dipunyainya berasal dari negri Campa, seperti apa kata pemberinya, yaitu Ki Kuwu Wado.
Barangkali inilah kiat-kiat tokoh Sagaraherang. Agar kewibawaannya tetap diakui, harus mampu memperhatikan kesenangan dan keperluan hidup para pendukungnya. Dan barangkali kiat Sang Ratu Sakti pun tak beda dengan itu. Bahwa untuk mempertahankan keberadaannya, dia harus bisa menyenangkan para pembantu dekatnya. Bahwa raja itu tidak berhasil mensejahterakan rakyat banyak, itu hanya perkara lain.
Ketika Ginggi mengobrol dengan beberapa jagabaya itulah dia mendapat kabar dari seorang jagabaya lain bahwa dirinya dipanggil Kandagalante Sunda Sembawa. Sudah hampir dua minggu sebetulnya Ki Banaspati meninggalkan Sagaraherang. Kata orang-orang terdekatnya, kerap kali Ki Banaspati memang pergi. Semua kepergiannya karena tugas-tugas semata sebagai utusan muhara, yaitu menguruskan pajak-pajak. Bahkan menurut mereka, Sagaraherang ini sebenarnya hanya kampung halamannya saja, sedangkan tempatnya “berkantor” adalah Pakuan.
“Barangkali Ki Banaspati selama dua minggu ini sedang berada di Pakuan. Biasanya berselang dua tiga bulan beliau baru kembali ke Sagalaherang,” kata orang-orang terdekatnya. Katanya perlu perjalanan empat hari dari Sagaraherang ke Pakuan.
Kandagalante Sunda Sembawa nampak sudah menunggu di bale gede, duduk bersila sambil makan sirih. Seperti biasa, Kandagalante Sunda Sembawa berpakaian rapih, mewah dan gagah bila tengah berada di bale gede. Dia memakai bendo citak kain batik dengan ornamen emas murni di depannya. Bajunya bedahan sisi dengan enam kancing logam mengkilap di sisinya. Dia juga berkain batik corak turuk ata disamping memakai celana komprang beludru hitam dengan hiasan ornamen emas pula.
“Kau masuklah Ginggi!” kata Kandagalante memerintah.
Ginggi menanggalkan terompahnya, berjalan dengan menggunakan sepasang lutut, bersila dan menyembah takzim.
“Adakah suatu keperluan yang membuat hamba dipanggil ke sini, Juragan?” tanya Ginggi sudah bisa berbasa-basi bicara halus.
Kandagalante manggut-manggut, bergembira melihat pemuda itu sudah mulai punya peradaban seperti layaknya masyarakat umum.
“Sudah kulihat penampilanmu selama ini dan membuat hatiku senang,” kata Sunda Sembawa.
“Hamba juga gembira mendengar Juragan selalu memperhatikan hamba,’ kata Ginggi lagi, kembali menyembah takzim.
“Memang selama ini aku perhatikan kau. Ternyata kau orang baik. Tidak pernah berbuat keributan, padahal aku dengar kau sering digoda orang. Kau juga tidak pernah memperlihatkan kepandaianmu kepada sembarangan orang, padahal menurut Ki Banaspati kepandaianmu tidak terlalu jauh di bawah Ki Banaspati. Ini hanya menandakan bahwa kau bukan orang sombong, kendati orang yang tak berani sombong bisa juga pengecut,” tutur Kandagalante Sunda Sembawa sambil masih tetap mengunyah sirih.
Sejenak Ginggi menatap tajam Sunda Sembawa. Namun kemudian dia ingat bahwa tak baik menatap pejabat dengan kepala tegak dan mata tajam menyorot. Kembali Ginggi menundukkan muka dan mata menatap lantai kayu.
“Aku katakan begitu, sebab orang yang tidak sombong kendati punya kepandaian hanya memiliki arti takut menghadapi segala macam tantangan. Kepandaian tanpa diperlihatkan dengan kesombongan juga hanya menandakan orang itu menjauhkan diri dari ambisi dan keinginan untuk maju. Padahal sekarang ini di dunia banyak tantangan hidup. Hanya yang berani memperlihatkan kepandaian dia akan dihargai dan ditakuti. Sedangkan bagi yang selalu menyembunyikannya, sepandai apa pun dia, akan tetap dicemooh dan direndahkan orang,” kata Ki Sunda Sembawa lagi.
Percakapan berhenti karena ada seorang wanita beringsut menyodorkan penganan. Wanita itu berpakaian sederhana saja. Mungkin hanya sekadar petugas dapur. Namun Ginggi melihat wanita itu berparas cukup cantik. Kandagalante ini pandai memilih wanita cantik. Kendati hanya untuk pembantu di dapur, dia pilihkan berparas cantik juga, pikir Ginggi.
“Hampir sebulan kau bekerja di sini, belum ada jenis pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanmu. Oleh jagabaya kau disuruh membelah kayu, padahal kemampuanmu lebih dari itu. Aku juga lihat kau disuruh mencuci pakaian di kali, atau mengambil air dengan pikulan, padahal kau bukan pekerja kasar,” kata Sunda Sembawa.
“Hamba tak pernah memilih-milih pekerjaan, Juragan. Asal jenis pekerjaan itu bermanfaat, akan selalu hamba kerjakan,” kata Ginggi.
Ginggi merasa lega mendengarnya. Dengan demikian, korban sia-sia tak perlu terjadi lagi. Para jagabaya dibubarkan. Sebagian pergi melaksanakan tugur (ronda), sebagian mempersiapkan upah dan bekal bagi bekas anak buah Suji Angkara yang akan disuruh kembali ke Desa Cae.
Malam sudah kian larut dan cahaya bulan pudar mengambang di langit sebelah timur. Namun kendati begitu, Ginggi belum disuruh beristirahat. Dia malah dipanggil kembali untuk menghadap di bale gede.
“Ini peringatan pertama bagimu,” kata Ki Banaspati.
Ginggi tak mengerti atas perkataan ini.
“Di hadapanku dan Ki Sunda Sembawa, tidak di perkenankan siapa pun mengeluarkan pendapat tanpa diminta. Kau paham maksudku?”
“Kalau saya tak mengeluarkan pendapat, apakah orang-orang tadi tak akan dibunuh?” tanya Ginggi.
“Aku lebih tahu dari kau dan kau tak perlu memberi nasihat soal itu,” kata Ki Banaspati.
Ginggi diam menunduk.
“Ya, sudah kau pergi. Jagabaya sudah mampersiapkan tempat menginap untukmu,” kata Ki Banaspati lagi.
Ginggi menyembah hormat dan mengundurkan diri. Namun sebelum jauh benar, pemuda ini meloncat ke atas atap sirap dan menguping pembicaraan kedua orang itu.
“Saya belum percaya benar tehadap kepatuhan pemuda itu,” terdengar suara Ki Sunda Sembawa.
“Jangan khawatir. Dia bukan orang yang membahayakan gerakan kita. Tapi harap dimaklumi kalau perangainya begitu. Anak itu datang dari gunung terpencil dan tidak mengenal tata cara pergaulan kota. Kita akan coba mendidik etika padanya sebab di kemudian hari kita akan amat membutuhkan tenaganya. Tadi aku menjajal kemampuannya dan ilmu pemuda itu tidak terlalu jauh di bawah kemampuanku,” kata Ki Banaspati. “Kalau kita dapat mempengaruhinya, dia akan menjadi salah satu pembantu utama kita,” sambungnya.
Pembicaraan berhenti sebentar dan terdengar mereka meneguk minuman.
“Bagaimana dengan Suji Angkara?” terdengar suara Ki Sunda Sembawa.
“Itulah yang aku pikirkan. Kita perlu memastikan, apakah Ki Joglo berhasil membunuhnya di kolam. Tapi kalau tak berhasil, kita cukup berbahaya menghadapinya.” kata Ki Banaspati.
“Saya khawatir Ki Joglo bukan membunuhnya tapi malah dia yang dibunuh seperti terbukti tadi,” kata Ki Sunda Sembawa.
“Aku juga berpikir begitu. Sebab, dari mana pikiran anak buahnya timbul untuk melarikan diri kalau bukan dikabari Si Suji?” kata Ki Banaspati.
‘Mari kita periksa kolam dimana rencana pembunuhan terhadap pemuda itu akan dilakukan,” ajak Ki Sunda Sembawa.
Dari atas atap sirap Ginggi melihat dua orang itu keluar dari bale gede dan akan menuju kolam di mana tadi Ki Joglo memanggul tubuh Suji Angkara yang masih pingsan. Sudah barang tentu, Ginggi tahu pasti bahwa Ki Joglo belum sempat membenamkan Suji Angkara di kolam itu karena orang malang itu sudah lebih dahulu dia lumpuhkan.
Sudah hampir sebulan Ginggi “mengabdi” kepada Ki Banaspati. Selama sebulan itu, pemuda ini sudah mulai mengenal orang yang oleh Ki Darma disebut-sebut sebagai yang harus dia ikuti. Memang benar seperti apa yang diakui oleh Ki Banaspati, bahwa dirinya bukan orang sembarangan.
Ginggi pun mulai mengenal siapa Ki Sunda Sembawa Menurut obrolan para jagabaya yang secara diam-diam ditampung olehnya untuk sekadar pengetahuan, Kandagalante Sunda Sembawa ini kekuasaannya sudah semakin luas. Dia membawahi beberapa cutak (setingkat camat) dan belasan kuwu (kepala desa). Jumlah penduduk Sagaraherang waktu itu, lebih dari 1.200 orang dan kebanyakan masih memegang kepercayaan lama. Masih memegang erat agama lama, merupakan satu pilihan yang berani sebab Sagaraherang sudah amat dekat ke daerah utara yang dikuasai Cirebon.
Kata beberapa jagabaya, bentrokan-bentrokan kecil dengan Prajurit Cirebon yang sudah memiliki agama baru kerap kali terjadi. Bentrokan itu biasanya terjadi bila sudah mempermasalahkan seba. Kandagalante Sunda Sembawa membuat kebijaksanaan, seluruh desa yang ada di bawah kekuasaannya harus mengumpulkan sebagian kekayaan desa untuk kepentingan seba ke Pakuan. Seba atau pajak hasil bumi desa ditampung oleh cutak dan cutak harus mengirimkannya ke kandagalante. Tapi kebijaksanaan Ki Banaspati lebih hebat lagi. Dia bahkan berani mengutip seba ke wilayah-wilayah yang sebetulnya sudah menginduk ke pusat pemerintahan agama baru. Banyak desa yang ada di bawah kekuasaan Karatuan Sumedanglarang, asalkan desa itu jauh dari jangkauan pengawasan pusat pemerintahannya, hasil buminya dikutip anak buah Ki Banaspati. Demikian juga beberapa wilayah yang berada di bawah kekuasaan Karatuan Talaga, Ki Banaspati tidak membiarkannya.
Asalkan wilayah itu terasa susah dijangkau pemerintahan pusat, pasukannya rajin sekali mengutip hasil bumi wilayah tersebut. Ki Banaspati juga pandai memanfaatkan situasi. Dia tahu, Sumedanglarang dan Talaga belum utuh sebagai kerajaan yang memiliki kesatuan dalam memilih agama baru. Banyak juga di antara wilayah Kandagalante, atau bahkan hanya setingkat wilayah cutak dan desa secara diam-diam masih setia terhadap agama lama. Bila masih terjadi hal demikian, mudah diduga mereka masih setia juga terhadap Pakuan. Wilayah-wilayah seperti inilah yang menjadi santapan Ki Banaspati.
Kandagalante Sunda Sembawa setuju saja dengan kebijaksanaan ini. Ki Banaspati adalah aparat muhara (petugas penarik pajak) yang katanya berurusan dengan keputusan pusat. Artinya, kedudukan Kandalante Sunda Sembawa masih lebih rendah ketimbang utusan pusat. Lain dari pada itu, kebijaksanaan Ki Banaspati yang berani mengutip seba sampai jauh ke wilayah timur, hanya berarti menambah wibawa saja bagi keberadaan Kandagalante Sunda Sembawa.
Wilayah Sagaraherang disegani oleh lawan dari utara dan mereka tak berani sembarangan menyerang ke pusat kekuasaan. Jadi, kalau pun terjadi penyerangan, itu dilakukan pasukan agama baru terhadap rombongan seba dari timur yang akan memasuki wilayah Sagaraherang saja. Soal adanya penyerangan terhadap rombongan seba, sebetulnya masih simpang siur dan diragukan kebenarannya. Siapa yang melakukannya, apakah benar dari pasukan agama baru, atau kaum perampok semata? Beberapa Jagabaya Sagaraherang kerap kali mengabarkan perihal adanya macam-macam perampok.
“Sekarang ini zaman kacau. Di daerah-daerah di mana pengaruh Pakuan amat lemah dan pengaruh kekuasaan kerajaan agama baru belum begitu kuat, terdapat kekuatan-kekuatan baru yang tidak jelas tujuannya. Mereka tidak bersetia lagi kepada Pakuan tapi juga tidak menyukai kehadiran kekuasaan pemerintahan agama baru. Maka jadilah mereka pasukan-pasukan tak bertuan.
Untuk mempertahankan keberadaannya, mereka menjarah kampung atau juga mencegat rombongan seba yang sekiranya kurang mendapat pengawalan kuat,” tutur seorang jagabaya yang berusia tua.
“Apakah kekuatan tak bertuan itu termasuk juga yang mencegat rombongan seba di bawah pimpinan Raden Suji Angkara, Paman?” tanya Ginggi di suatu senja.
“Mungkin juga,” tutur jagabaya tua ini.
Mendengar penjelasan ini, Ginggi termenung. Tapi bagaimana dengan pengakuan Ki Banaspati sendiri yang memang mengaku “merampok” rombongan tersebut? Mendengar bunyi jawaban jagabaya tua ini, timbul kesan bahwa tidak seluruh gerakan Ki Banaspati diketahui seisi wilayah Sagaraherang. Kalau tidak begitu, tak mungkin pertanyaan pancingan Ginggi dijawab seperti itu.
Sampai di situ, terpaksa pemuda ini harus berpikir keras. Ki Banaspati benar-benar misterius. Tempo hari dia mengaku secara gelap menghimpun kekuatan untuk merampok pejabat Pajajaran yang korup dan menindas rakyat. Namun di lain fihak dia menjadi pejabat utama muhara langsung dari pusat guna menarik pajak. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Mungkinkah selama ini dia memiliki “dua wajah” dan tak pernah tercium baunya oleh pemerintahan di Pakuan?
“Aku tetap setia terhadap amanat Ki guru, bahwa aku harus menolong rakyat Pajajaran dari penindasan raja yang tak tahu diuntung itu!” kata Ki Banaspati kepada Ginggi tempo hari.
Kata Ki Banaspati, dia memang merampok pejabat korup dan mencegat rombongan pembawa hasil bumi atau kekayaan lainnya dari para saudagar yang bekerja tak halal. Hasil-hasil jarahannya sebagian dia berikan kembali kepada rakyat dan sebagian dihimpun untuk menciptakan kekuatan baru. Bila dia sudah memiliki kekuatan, akan dia pergunakan untuk menyerang Pakuan dan merebut kekuasaan.
“Ratu Sakti harus disingkirkan karena dia tak becus mempertahankan kebesaran Pajajaran. Kemudian, akulah kelak yang akan memegang tampuk pemerintahan di Pakuan. Akan kukembalikan kebesaran Pajajaran seperti ketika dipimpin oleh Kangjang Prabu Sri Baduga Maharaja!” kata pula Ki Banaspati.
Ginggi merenung keras. Begitukah cara melaksanakan amanat Ki Guru Darma dalam upaya membela rakyat? Cukup pantaskah Ki Banaspati mencuatkan dirinya untuk menjadi raja menggantikan Ratu Sakti?
“Sejauh mana keberadaan seseorang untuk diakui sebagai raja yang kelak harus mampu memayungi nasib sejumlah besar manusia di sebuah wilayah bernama negara?” pikir Ginggi.
Ginggi memang mengetahui, Ki Banaspati orangnya tegas, suaranya berwibawa, perintahnya tak pernah diabaikan dan selalu melihat darah mengalir sambil tanpa mempengaruhi perasaannya. Bagi Ki Banaspati, darah dan kematian sepertinya sesuatu hal yang biasa. Ginggi masih teringat peristiwa sebulan lalu. Ki Banaspati dengan enteng saja memerintahkan anak buahnya membunuh Suji Angkara dengan cara dibenamkan ke kolam. Ki Banaspati juga tidak melihat kendati hanya sebelah mata, ketika mendengar Ki Joglo tewas dengan leher hampir putus, padahal orang itu adalah anak buah yang amat dipercayanya dan padahal kematian orang itu karena berupaya melaksanakan perintahnya.
“Betulkah seorang calon raja yang bercita-cita ingin membela rakyat dan ingin mengembalikan kejayaan Pajajaran harus memiliki watak keras dan tega melihat kematian?” pikir Ginggi lagi.
Lantas pemuda ini menerawang ke arah Prabu Ratu Sakti, Raja Pajajaran yang tengah berkuasa sekarang. Khabarnya raja ini selalu menyinggung perasaan rakyat karena tindakan-tindakannya yang keras, kurang bijaksana dan selalu doyan perempuan. Bila Ki Banaspati punya cita-cita ingin meruntuhkan kekuasaan Sang Prabu Ratu Sakti dan menggantikannya sebagai raja, apakah Ki Banaspati sudah merasa bahwa dirinya jauh lebih baik dari raja sekarang? Ginggi menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras sepertinya dia hendak mengusir rasa penting yang membebani benaknya.
Banyak orang mengatakan bahwa Prabu Ratu Sakti memerintah dengan sewenang-wenang. Tapi sudah hampir tujuh tahun dia memimpin negara tanpa tergoyahkan. Menurut Ki Darma, selama dia memerintah, kekacauan terjadi di mana-mana dan berbagai pemberontakan pun banyak meletus. Akan tetapi raja ini tetap sanggup bertahan duduk di atas singgasananya. Sanggup bertahan dari serangan pemberontak, bahkan berani memadamkannya, hanya punya arti bahwa raja ini memiliki kekuatan dan banyak dilindungi oleh pembantu-pembantu pandai. Kalau dia masih dikelilingi orang-orang pandai, hanya menandakan bahwa dia berwibawa dan dipercaya aparatnya. Perlukah orang yang masih mendapatkan kepercayaan diusir pergi dari percaturan kekuasaan?
Sekarang pikiran pemuda itu beralih kembali kepada keberadaan Ki Banaspati. Orang ini keras kepala dan tinggi hati dan perintahnya musti selalu ditaati. Selama Ginggi tinggal di pusat pemerintahan Sagaraherang ini, dia melihat orang-orang patuh terhadap Ki Banaspati. Mereka sepertinya tak pernah punya rasa sakit hati atau sebangsanya. Yang ada bahkan sebaliknya. Banyak anak buah pasukan atau petugas jagabaya tinggal di Sagaraherang dengan suka cita. Semakin dekat hubungan orang-orang dengan Ki Banaspati atau Kandagalante Sunda Sembawa, semakin nampak orang-orang itu ceria.
Di kompleks pusat pemerintahan Kandagalante ini, hampir setiap malam ada semacam kegembiraan. Di kedai-kedai tuak, jagabaya yang tidak sedang bertugas kerjanya mencari hiburan. Kalau tak minum tuak sampai mabuk, mereka menggelar judi, atau bercanda dengan perempuan-perempuan yang berada di sana. Setiap malam, selalu saja ada tawa ceria dari kaum perempuan dengan mulut terbuka lebar, suara genit dan tindak-tanduk mengundang birahi.
Di wilayah Kandagalante Sunda Sembawa ini, sepertinya semua orang punya kesenangan yang sama. Hiburan malam yang sering ditampilkan adalah minuman tuak, judi dan main perempuan. Ki Banaspati istrinya lebih dari satu. Begitu juga Kandagalante Sunda Sembawa. Dan, kebanyakan dari orang-orang Sagaraherang ini juga memilih peranan sebagai suami yang punya istri lebih dari satu.
Orang-orang yang tinggal di pusat pemerintahan Kandagalante ini sanggup menampilkan sebagai orang yang memiliki kesenangan sempurna. Tak terjadi kejahatan di sana. Yang kalah judi, pulang ke rumah dengan tubuh gontai karena terlalu banyak tuak dan jauh dari perasaan putus asa atau dendam. Sebaliknya yang menang judi bias bergembira dengan buih di mulut karena tuak juga. Dia pulang ke rumah sambil gontai dan bersenandung tanpa khawatir harta hasil judinya dirampas orang di tengah jalan.
Orang-orang yang tinggal di seputar pusat pemerintahan Kandagalante ini semuanya mengabdi kepada Ki Sunda Sembawa dan Ki Banaspati. Semua menjadi jagabaya atau punggawa. Bertugas hanya menjaga keamanan wilayah Sagaraherang atau mengawal perjalanan seba yang banyak dikirim dari desa-desa seputarnya.
Sagaraherang, yaitu daerah kandagalante ini memang sanggup menampilkan kehidupan rakyat yang makmur, jauh dari gambaran rakyat tertindak karena kekeliruan raja. Ini memang sungguh ajaib. Bagaimana mungkin di tengah-tengah suasana penderitaan banyak orang, masyarakat Sagaraherang bisa menampilkan sosok sejahtera?
“Ini berkat kepemimpinan Kandagalante Sunda Sembawa yang dibimbing Ki Banaspati,” tutur seorang punggawa setia.
Menurutnya, kendati pemimpin mereka keras wataknya, namun tahu akan keperluan orang. Baik Ki Banaspati maupun Ki Sunda Sembawa sehari-harinya melakukan kehidupan royal. Mereka selalu makan makanan enak dan senang macam-macam hiburan. Dan hal yang sama juga diberikan ke semua orang. Artinya, kalau para pemimpinnya mampu mendapatkan kegembiraan, maka para anak buahnya pun mesti bisa mendapatkannya.
“Dari hasil mengabdi kepada kedua pemimpin ini, selain kami mendapatkan jatah hasil bumi juga kami mendapatkan penghargaan bulanan berupa uang logam,” kata para jagabaya.
Belakangan Ginggi baru menyadari, bahwa benda-benda kepingan logam yang dia simpan di buntalan kain hasil pemberian Kuwu Wado adalah logam bernama uang. Benda itu bisa ditukarkan dengan barang-barang keperluan di kedai atau di pasar, dari mulai tuak hingga beras, dari mulai ikat kepala hingga baju dan terumpah. Bagaimana cara menakar dan membandingkannya, Ginggi tak tahu.
Barang apa saja yang bisa ditukarkan dengan uang logam yang dimiliki Ginggi, pemuda itu pun sendiri tidak pernah tahu sebab tidak pernah menggunakannya. Selama sebulan hidup di Sagaraherang, makan dan pakaian sudah disediakan oleh Kandagalante Sunda Sembawa atas perintah Ki Banaspati. Yang pemuda itu tahu, bahwa uang logam yang dipunyainya berasal dari negri Campa, seperti apa kata pemberinya, yaitu Ki Kuwu Wado.
Barangkali inilah kiat-kiat tokoh Sagaraherang. Agar kewibawaannya tetap diakui, harus mampu memperhatikan kesenangan dan keperluan hidup para pendukungnya. Dan barangkali kiat Sang Ratu Sakti pun tak beda dengan itu. Bahwa untuk mempertahankan keberadaannya, dia harus bisa menyenangkan para pembantu dekatnya. Bahwa raja itu tidak berhasil mensejahterakan rakyat banyak, itu hanya perkara lain.
Ketika Ginggi mengobrol dengan beberapa jagabaya itulah dia mendapat kabar dari seorang jagabaya lain bahwa dirinya dipanggil Kandagalante Sunda Sembawa. Sudah hampir dua minggu sebetulnya Ki Banaspati meninggalkan Sagaraherang. Kata orang-orang terdekatnya, kerap kali Ki Banaspati memang pergi. Semua kepergiannya karena tugas-tugas semata sebagai utusan muhara, yaitu menguruskan pajak-pajak. Bahkan menurut mereka, Sagaraherang ini sebenarnya hanya kampung halamannya saja, sedangkan tempatnya “berkantor” adalah Pakuan.
“Barangkali Ki Banaspati selama dua minggu ini sedang berada di Pakuan. Biasanya berselang dua tiga bulan beliau baru kembali ke Sagalaherang,” kata orang-orang terdekatnya. Katanya perlu perjalanan empat hari dari Sagaraherang ke Pakuan.
Kandagalante Sunda Sembawa nampak sudah menunggu di bale gede, duduk bersila sambil makan sirih. Seperti biasa, Kandagalante Sunda Sembawa berpakaian rapih, mewah dan gagah bila tengah berada di bale gede. Dia memakai bendo citak kain batik dengan ornamen emas murni di depannya. Bajunya bedahan sisi dengan enam kancing logam mengkilap di sisinya. Dia juga berkain batik corak turuk ata disamping memakai celana komprang beludru hitam dengan hiasan ornamen emas pula.
“Kau masuklah Ginggi!” kata Kandagalante memerintah.
Ginggi menanggalkan terompahnya, berjalan dengan menggunakan sepasang lutut, bersila dan menyembah takzim.
“Adakah suatu keperluan yang membuat hamba dipanggil ke sini, Juragan?” tanya Ginggi sudah bisa berbasa-basi bicara halus.
Kandagalante manggut-manggut, bergembira melihat pemuda itu sudah mulai punya peradaban seperti layaknya masyarakat umum.
“Sudah kulihat penampilanmu selama ini dan membuat hatiku senang,” kata Sunda Sembawa.
“Hamba juga gembira mendengar Juragan selalu memperhatikan hamba,’ kata Ginggi lagi, kembali menyembah takzim.
“Memang selama ini aku perhatikan kau. Ternyata kau orang baik. Tidak pernah berbuat keributan, padahal aku dengar kau sering digoda orang. Kau juga tidak pernah memperlihatkan kepandaianmu kepada sembarangan orang, padahal menurut Ki Banaspati kepandaianmu tidak terlalu jauh di bawah Ki Banaspati. Ini hanya menandakan bahwa kau bukan orang sombong, kendati orang yang tak berani sombong bisa juga pengecut,” tutur Kandagalante Sunda Sembawa sambil masih tetap mengunyah sirih.
Sejenak Ginggi menatap tajam Sunda Sembawa. Namun kemudian dia ingat bahwa tak baik menatap pejabat dengan kepala tegak dan mata tajam menyorot. Kembali Ginggi menundukkan muka dan mata menatap lantai kayu.
“Aku katakan begitu, sebab orang yang tidak sombong kendati punya kepandaian hanya memiliki arti takut menghadapi segala macam tantangan. Kepandaian tanpa diperlihatkan dengan kesombongan juga hanya menandakan orang itu menjauhkan diri dari ambisi dan keinginan untuk maju. Padahal sekarang ini di dunia banyak tantangan hidup. Hanya yang berani memperlihatkan kepandaian dia akan dihargai dan ditakuti. Sedangkan bagi yang selalu menyembunyikannya, sepandai apa pun dia, akan tetap dicemooh dan direndahkan orang,” kata Ki Sunda Sembawa lagi.
Percakapan berhenti karena ada seorang wanita beringsut menyodorkan penganan. Wanita itu berpakaian sederhana saja. Mungkin hanya sekadar petugas dapur. Namun Ginggi melihat wanita itu berparas cukup cantik. Kandagalante ini pandai memilih wanita cantik. Kendati hanya untuk pembantu di dapur, dia pilihkan berparas cantik juga, pikir Ginggi.
“Hampir sebulan kau bekerja di sini, belum ada jenis pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanmu. Oleh jagabaya kau disuruh membelah kayu, padahal kemampuanmu lebih dari itu. Aku juga lihat kau disuruh mencuci pakaian di kali, atau mengambil air dengan pikulan, padahal kau bukan pekerja kasar,” kata Sunda Sembawa.
“Hamba tak pernah memilih-milih pekerjaan, Juragan. Asal jenis pekerjaan itu bermanfaat, akan selalu hamba kerjakan,” kata Ginggi.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment