Sejenak Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa tak bisa mengeluarkan komentar.
“Sekarang mereka bukan berbicara atas nama agama, akan tetapi bergerak untuk kepentingan politik. Tahukah engkau peristiwa puluhan tahun yang lalu di mana Banten dan Cirebon mengepung serta merebut Pelabuhan Sunda Kalapa? Apakah mereka menyerang dan merampas Sunda Kalapa dari tangan Pakuan karena urusan agama? Tidak! Mereka melakukan kesemuanya karena kepentingan politik semata. Kalau bicara atas nama agama, tak nanti mereka menyengsarakan penduduk Sunda Kalapa dan menutup lalu-lintas perdagangan antar pulau sehingga masa depan Pajajaran terhambat karenanya,” kata Ki Sunda Sembawa dengan nada tinggi.
Ki Banaspati mengangguk-angguk mengiyakan. Yang hadir juga sama mengangguk-angguk tanda setuju dengan pendapat itu, kecuali Ginggi yang tetap diam mematung.
“Kalau begitu, menurut Ki Banaspati, bisa juga perampok di hutan jati itu orang-orang yang sudah masuk pengaruh Cirebon,” kata Suji Angkara.
“Bisa juga begitu. Dan supaya namaku buruk, mereka memfitnah seolah-olah perampokan itu dilakukan di bawah perintahku. Begitu kan, Ki Kandagalante?” kata Ki Banaspati kepada Ki Sunda Sembawa.
“Kalau begitu adanya, saya bersyukur. Dengan demikian, tugas yang saya berikan ini tidak percuma,” kata Suji Angkara menatap tajam Ki Banaspati.
Yang ditatap balas menatap. Dan untuk beberapa lama mereka saling tatap. Ki Banaspati yang duluan memalingkan muka. Dia berpaling sambil tersenyum tipis penuh arti. Mereka berbincang-bincang beberapa waktu lamanya, sampai akhirnya semua orang akan disuguhi makanan. Sudah barang tentu semua anggota rombongan, terutama yang bertugas memikul dongdang amat suka cita dengan rencana acara makan ini. Menurut seseorang yang pernah datang ke Kandagalante Sagaraherang, Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa doyan makanan yang enak-enak Dan benar saja dugaannya. Mereka dibawa ke ruangan khusus, yaitu sebuah bale kambang (bangunan terbuka seperti mengambang di tengah kolam) yang amat benderang karena penerangan api yang dipasang di sana-sini.
Yang menggembirakan mereka, bukan karena benderangnya suasana bale kambang, tetapi karena meja panjang yang digelar di sana. Meja panjang itu sarat dengan berbagai penganan. Ada nasi putih beberapa bakul dengan kepulan asapnya yang memikat selera makan. Ada macam-macam daging, mulai dari panggang daging ayam, kambing, sampai panggang ikan mas. Ada buah-buahan mulai dari buah dukuh, rambutan dan durian, sampai buah pisang yang ranum-ranum.
“Ayo, semua makanan untuk kalian!” seru Ki Banaspati yang disambut oleh teriakan gembira dari semua anggota rombongan.
Ginggi juga termasuk yang berteriak keras saking gembiranya. Betapa tidak, sebab selama ini dia hanya makan jenis makanan yang sederhana saja. Ketika dijamu Kuwu Wado memang ada makanan enak tapi tidak semewah yang disediakan disini.
“Ha, ini minuman apa?” Ginggi menyemput sebuah kendi kecil tapi berbau harum.
“Hus! Jangan dulu ambil minuman itu!” kata Ki Ogel menarik tangan Ginggi dan menyuruhnya menyimpan kembali minuman itu.
“Mengapa jangan diminum, aku haus sekali” kata Ginggi.
“Itu tuak, kau bisa mabuk dibuatnya.”
“Tuak?”
“Tuak adalah jenis minuman keras. Yang tidak biasa minum akan mabuk, bicara mengacau karena tidak sadarkan diri,” kata Ki Ogel.
“Kalau membuat orang tak sadar, mengapa disiapkan untuk diminum?”
“Aaaah! Bawel kamu. Dasar anak tolol! Sudah, yang penting kamu makan ini!” kata Ki Ogel sambil membenamkan paha ayam ke mulut Ginggi yang masih melongo.
Ginggi kelabakan dan membuat orang yang menyaksikan tertawa dibuatnya. Semua makan-makan sepuasnya. Kegembiraan kian bertambah sesudah hadir beberapa wanita muda dengan paras yang elok-elok. Kata pelayan pria yang ada disana, wanita-wanita muda ini pun ditugaskan melayani mereka.
“Apa yang kalian minta dari gadis-gadis cantik ini, pasti diserahkan,” kata seorang lelaki bertubuh gempal.
Mendengar penjelasan ini, semua orang bersorak riang. Ginggi sibuk dengan berbagai makanan di mulutnya dan tak begitu memperhatikan para gadis cantik berkebaya dengan tonjolan buah dada menantang itu. Tapi ketika perutnya mulai kenyang, dia mulai melihat sekeliling. Teman-temannya sudah berhenti makan dan sekarang beralih kepada minuman di kendi-kendi kecil itu. Mereka minum banyak-banyak. Kian banyak meminum, kian kasar dan tak punya malu kelakuannya. Beberapa dari dari mereka bahkan tak canggung-canggung memeluk gadis cantik-cantik itu. Beberapa orang bahkan berani mencium pipi sang gadis, membuat Ginggi malu melihatnya. Tapi anehnya, gadis-gadis itu tidak tersinggung sedikitpun. Bahkan beberapa di antaranya tersenyum-senyum dengan genitnya.
Para anggota rombongan pengirim seba kebanyakan berusia muda, jadi wajar bila mereka begitu bergairah berdekatan dengan gadis-gadis cantik. Akan tetapi Ginggi memuji kepada pendirian pemuda Seta. Dia tak tertarik terhadap suasana romantis ini. Ketika dia dihampiri seorang wanita muda dan duduk merapat di sisinya, Seta malah menggeser duduknya, Seta malah berusaha melepaskannya.
“Ih, sombong betul. Apakah saya kurang cantik, Kakang?” wanita muda itu mendelik tapi senyumnya masih nampak.
“Maaf Nyai, saya sudah punya tunangan. Tunangan saya malah sedang sakit. Tak baik saya di tempat jauh berlaku tak setia kepadanya,” kata Seta serius, membuat Ginggi kagum sekaligus malu.
Si Seta ini sehari-harinya angkuh tapi ternyata dia memiliki kesetian terhadap sesuatu yang bernama ikatan jodoh.
“Ih, kuno, lelaki kuno!” teriak wanita muda itu sambil ngeloyor pergi.
“Kemana dia pergi? Ah, seperti ke arah sini. Bahaya aku!” Gumam Ginggi berjingkat meninggalkan kehiruk-pikukan ini.
Gadis-gadis di sini nampaknya lebih berani dan terbuka, tidak seperti Nyi Santimi misalnya, selalu nampak pemalu dan penuh ragu. Akan tetapi bagi Ginggi, baik gadis-gadis pemberani ini, maupun gadis pemalu seperti Nyi Santimi, toh kalau dilayani akan berakhir sama menciptakan banyak urusan baginya. Itulah sebabnya, pemuda itu lebih baik nyeloyor pergi, menjauhkan diri dari gejala-gejala tak baik ini.
Ginggi keluar dari tempat romantis di tengah kolam ini. Di luar udaranya agak segar, tidak sepanas di bale kambang. Dia duduk di sebuah bangku tepi kolam dan hanya menyaksikan tingkah polah teman-temannya yang kian menggila bersama para wanita muda genit itu. Matanya meneliti, yang ramai-ramai bergembira di tempat itu hanya teman-temannya saja. Dia baru menyadari bahwa Suji Angkara tak ada di sana. Begitu pun Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa. Ginggi mengingat-ingat, memang pertama kali dia dan teman-temannya memasuki bale kembang, Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa tidak ikut bersama. Tapi Suji Angkara ada duduk dan makan-makan. Mungkin ketika selesai makan, di mana acara beralih kepada minum-minuman keras, Suji Angkara meninggalkan tempat itu. Tapi ke mana dia?
“Sekarang mereka bukan berbicara atas nama agama, akan tetapi bergerak untuk kepentingan politik. Tahukah engkau peristiwa puluhan tahun yang lalu di mana Banten dan Cirebon mengepung serta merebut Pelabuhan Sunda Kalapa? Apakah mereka menyerang dan merampas Sunda Kalapa dari tangan Pakuan karena urusan agama? Tidak! Mereka melakukan kesemuanya karena kepentingan politik semata. Kalau bicara atas nama agama, tak nanti mereka menyengsarakan penduduk Sunda Kalapa dan menutup lalu-lintas perdagangan antar pulau sehingga masa depan Pajajaran terhambat karenanya,” kata Ki Sunda Sembawa dengan nada tinggi.
Ki Banaspati mengangguk-angguk mengiyakan. Yang hadir juga sama mengangguk-angguk tanda setuju dengan pendapat itu, kecuali Ginggi yang tetap diam mematung.
“Kalau begitu, menurut Ki Banaspati, bisa juga perampok di hutan jati itu orang-orang yang sudah masuk pengaruh Cirebon,” kata Suji Angkara.
“Bisa juga begitu. Dan supaya namaku buruk, mereka memfitnah seolah-olah perampokan itu dilakukan di bawah perintahku. Begitu kan, Ki Kandagalante?” kata Ki Banaspati kepada Ki Sunda Sembawa.
“Kalau begitu adanya, saya bersyukur. Dengan demikian, tugas yang saya berikan ini tidak percuma,” kata Suji Angkara menatap tajam Ki Banaspati.
Yang ditatap balas menatap. Dan untuk beberapa lama mereka saling tatap. Ki Banaspati yang duluan memalingkan muka. Dia berpaling sambil tersenyum tipis penuh arti. Mereka berbincang-bincang beberapa waktu lamanya, sampai akhirnya semua orang akan disuguhi makanan. Sudah barang tentu semua anggota rombongan, terutama yang bertugas memikul dongdang amat suka cita dengan rencana acara makan ini. Menurut seseorang yang pernah datang ke Kandagalante Sagaraherang, Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa doyan makanan yang enak-enak Dan benar saja dugaannya. Mereka dibawa ke ruangan khusus, yaitu sebuah bale kambang (bangunan terbuka seperti mengambang di tengah kolam) yang amat benderang karena penerangan api yang dipasang di sana-sini.
Yang menggembirakan mereka, bukan karena benderangnya suasana bale kambang, tetapi karena meja panjang yang digelar di sana. Meja panjang itu sarat dengan berbagai penganan. Ada nasi putih beberapa bakul dengan kepulan asapnya yang memikat selera makan. Ada macam-macam daging, mulai dari panggang daging ayam, kambing, sampai panggang ikan mas. Ada buah-buahan mulai dari buah dukuh, rambutan dan durian, sampai buah pisang yang ranum-ranum.
“Ayo, semua makanan untuk kalian!” seru Ki Banaspati yang disambut oleh teriakan gembira dari semua anggota rombongan.
Ginggi juga termasuk yang berteriak keras saking gembiranya. Betapa tidak, sebab selama ini dia hanya makan jenis makanan yang sederhana saja. Ketika dijamu Kuwu Wado memang ada makanan enak tapi tidak semewah yang disediakan disini.
“Ha, ini minuman apa?” Ginggi menyemput sebuah kendi kecil tapi berbau harum.
“Hus! Jangan dulu ambil minuman itu!” kata Ki Ogel menarik tangan Ginggi dan menyuruhnya menyimpan kembali minuman itu.
“Mengapa jangan diminum, aku haus sekali” kata Ginggi.
“Itu tuak, kau bisa mabuk dibuatnya.”
“Tuak?”
“Tuak adalah jenis minuman keras. Yang tidak biasa minum akan mabuk, bicara mengacau karena tidak sadarkan diri,” kata Ki Ogel.
“Kalau membuat orang tak sadar, mengapa disiapkan untuk diminum?”
“Aaaah! Bawel kamu. Dasar anak tolol! Sudah, yang penting kamu makan ini!” kata Ki Ogel sambil membenamkan paha ayam ke mulut Ginggi yang masih melongo.
Ginggi kelabakan dan membuat orang yang menyaksikan tertawa dibuatnya. Semua makan-makan sepuasnya. Kegembiraan kian bertambah sesudah hadir beberapa wanita muda dengan paras yang elok-elok. Kata pelayan pria yang ada disana, wanita-wanita muda ini pun ditugaskan melayani mereka.
“Apa yang kalian minta dari gadis-gadis cantik ini, pasti diserahkan,” kata seorang lelaki bertubuh gempal.
Mendengar penjelasan ini, semua orang bersorak riang. Ginggi sibuk dengan berbagai makanan di mulutnya dan tak begitu memperhatikan para gadis cantik berkebaya dengan tonjolan buah dada menantang itu. Tapi ketika perutnya mulai kenyang, dia mulai melihat sekeliling. Teman-temannya sudah berhenti makan dan sekarang beralih kepada minuman di kendi-kendi kecil itu. Mereka minum banyak-banyak. Kian banyak meminum, kian kasar dan tak punya malu kelakuannya. Beberapa dari dari mereka bahkan tak canggung-canggung memeluk gadis cantik-cantik itu. Beberapa orang bahkan berani mencium pipi sang gadis, membuat Ginggi malu melihatnya. Tapi anehnya, gadis-gadis itu tidak tersinggung sedikitpun. Bahkan beberapa di antaranya tersenyum-senyum dengan genitnya.
Para anggota rombongan pengirim seba kebanyakan berusia muda, jadi wajar bila mereka begitu bergairah berdekatan dengan gadis-gadis cantik. Akan tetapi Ginggi memuji kepada pendirian pemuda Seta. Dia tak tertarik terhadap suasana romantis ini. Ketika dia dihampiri seorang wanita muda dan duduk merapat di sisinya, Seta malah menggeser duduknya, Seta malah berusaha melepaskannya.
“Ih, sombong betul. Apakah saya kurang cantik, Kakang?” wanita muda itu mendelik tapi senyumnya masih nampak.
“Maaf Nyai, saya sudah punya tunangan. Tunangan saya malah sedang sakit. Tak baik saya di tempat jauh berlaku tak setia kepadanya,” kata Seta serius, membuat Ginggi kagum sekaligus malu.
Si Seta ini sehari-harinya angkuh tapi ternyata dia memiliki kesetian terhadap sesuatu yang bernama ikatan jodoh.
“Ih, kuno, lelaki kuno!” teriak wanita muda itu sambil ngeloyor pergi.
“Kemana dia pergi? Ah, seperti ke arah sini. Bahaya aku!” Gumam Ginggi berjingkat meninggalkan kehiruk-pikukan ini.
Gadis-gadis di sini nampaknya lebih berani dan terbuka, tidak seperti Nyi Santimi misalnya, selalu nampak pemalu dan penuh ragu. Akan tetapi bagi Ginggi, baik gadis-gadis pemberani ini, maupun gadis pemalu seperti Nyi Santimi, toh kalau dilayani akan berakhir sama menciptakan banyak urusan baginya. Itulah sebabnya, pemuda itu lebih baik nyeloyor pergi, menjauhkan diri dari gejala-gejala tak baik ini.
Ginggi keluar dari tempat romantis di tengah kolam ini. Di luar udaranya agak segar, tidak sepanas di bale kambang. Dia duduk di sebuah bangku tepi kolam dan hanya menyaksikan tingkah polah teman-temannya yang kian menggila bersama para wanita muda genit itu. Matanya meneliti, yang ramai-ramai bergembira di tempat itu hanya teman-temannya saja. Dia baru menyadari bahwa Suji Angkara tak ada di sana. Begitu pun Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa. Ginggi mengingat-ingat, memang pertama kali dia dan teman-temannya memasuki bale kembang, Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa tidak ikut bersama. Tapi Suji Angkara ada duduk dan makan-makan. Mungkin ketika selesai makan, di mana acara beralih kepada minum-minuman keras, Suji Angkara meninggalkan tempat itu. Tapi ke mana dia?
Ginggi berdiri dari duduknya. Dengan menghilangnya pemuda itu menjadikan ide baginya. Entah pergi ke mana Suji Angkara. Yang jelas, dia pun harus pergi. Entah apa yang tengah dikerjakan Suji Angkara. Tapi yang jelas, Ginggi harus melakukan sesuatu di sini. Tujuan utama mengikuti rombongan seba ini karena dia ingin menyelusuri di mana keempat murid Ki Darma berada. Sekarang, salah seorang di antaranya diduga sudah bisa dia temukan walau pun masih jadi keraguan dirinya. Betulkah Ki Banaspati yang dimaksud Ki Darma adalah Ki Banaspati yang berada di tempat ini dan sekarang menjadi orang penting? Ginggi belum mendapatkan keterangan yang sejelasnya kendati sudah bertemu dengan orang itu. Untuk mendapatkan keyakinan, dia harus menyelidikinya. Teringat sampai di situ, maka sambil menoleh ke kiri dan kanan, pemuda itu segera berlalu setelah tahu bahwa tak ada orang lain yang memperhatikan dirinya.
Ginggi meneliti, kompleks rumah yang dimiliki Kandagalante Ki Sunda Sembawa demikian megah dan besar. Bangunan tempat dia tinggal merupakan bangunan utama. Seluruhnya terbuat dari bahan-bahan kayu terpilih, mengkilat karena halus. Atapnya terbuat dari sirap, tersusun rapi bagaikan bulu burung garuda dan berwarna legam. Bangunan utama itu dikelilingi oleh beberapa bangunan lainnya. Ginggi meneliti bangunan-bangunan lain yang ukurannya lebih kecil. Ada sebuah bangunan beratap rumbia berupa panggung tapi amat jangkung. Bangunan besar itu disangga balok-balok kayu besar dan kokoh.
Ginggi meloncat ke atas atap dengan mengerahkan tolakan kaki dan ilmu kapas ngapung semacam ilmu untuk membuat tubuh menjadi ringan. Sesudah tubuhnya menclok tanpa bunyi di atap, dia mencoba membuka lapisan rumbia sedikit. Ternyata di dalam gelap gulita, kecuali tercium dedak padi. Tak ada orang di sana sebab bangunan ini adalah lumbung padi.
Ginggi kembali meloncat turun dan meneliti bangunan-bangunan lain. Sampai pada suatu saat dia tiba di sebuah bangunan yang amat kokoh. Berbeda dengan bangunan-bangunan lainnya, bangunan ini tidak berbentuk panggung sebab keempat dindingnya langsung menyambung dengan tanah. Dari celah-celah dinding kayu, Ginggi berkeyakinan di dalam ada penerangan, walau pun remang-remang saja. Lebih yakin dari itu, Ginggi mendapatkan bahwa di ruangan itu ada orang sedang berbincang-bincang. Atau lebih tepatnya lagi, ada seseorang tengah memarahi orang lain. Siapakah dia, Ginggi perlu melihat lebih jelas. Untuk itu dia segera meloncat kembali ke atas atap dan mencoba membuat lubang kecil pada lapisan atas sirap.
Begitu pandangannya melihat ke bawah, pemuda itu merasa terkejut sebab Ki Banaspati dan Kandagalante Sunda Sembawa tengah memarahi seseorang. Ginggi tak akan demikian terkejut bila dia tak kenal siapa orang yang dimarahinya itu. Orang itu ternyata pimpinan perampok yang tempo hari mencegat rombongan Suji Angkara. Pemuda itu hafal betul, sebab di pipi kiri orang itu ada goresan luka bekas serangan Suji Angkara.
“Sialan! Dasar kau brengsek! Bodoh! Tolol! Kau membahayakan gerakan kita!” kata Ki Banaspati.
Dan, plak, plak, plak! Orang itu tersungkur mencium lantai tanah. Ketika bangun, wajahnya berlepotan darah.
“Ampun Gusti. Hamba tak tahu bahwa itu rombongan seba yang dikawal anak muda itu. Hamba hanya mengira, mereka rombongan saudagar yang akan mengirim barang-barang dagangan ke Sumedanglarang!” kata orang itu terbata-bata.
“Dasar manusia dungu! Harusnya kau berpikir, tak mungkin saudagar mengambil jalan sunyi. Kalau mereka semua mati olehmu dan barang-barangnya dapat kau rebut, itu tak mengapa. Tapi celakanya, mereka selamat dan mengalahkan kamu. Kalau mereka tahu akan hal ini dan melapor ke Pakuan, kau bisa apa?” kata Ki Sunda Sembawa sama marahnya.
“Ampunkan hamba, Gusti…..” kata orang itu sambil tubuh masih merunduk hingga hampir rata dengan tanah.
“Satu kali lagi kamu membuat kesalahan serupa, nyawa tak berhargamu akan kucabut!” kata Ki Banaspati dengan suara dingin.
Orang itu membentur-benturkan jidatnya ke atas tanah tanda mengerti ancaman ini.
“Ayo sudah! Keluar kamu!” kata Ki Banaspati menendang bokong orang itu.
Dengan tergopoh-gopoh dia membuka pintu keluar. Tapi belum juga dia melangkah, dari arah luar masuk seseorang. Suji Angkara! Nampak oleh Ginggi dari sela-sela lapisan atap sirap, betapa ketiga orang terkejut setengah mati.
“Kau anak muda…” desis Ki Banaspati.
“Akhirnya aku tahu apa yang berlangsung di sini…!” kata Suji Angkara dingin, mencoba menahan kemarahan.
Ucapan ini tidak dijawab dengan perkataan, melainkan gerakan menyerang dari Ki Banaspati. Serangan itu cepat dan keras serta tidak memberikan peringatan terlebih dahulu. Serangan itu pun terlihat ganas dan langsung mengarah ke ubun-ubun Suji Angkara.
Ginggi terkejut melihat serangan ini. Ki Banaspati menyerang dengan tangan kiri serta dua jari mengarah tajam hendak menyerang ubun-ubun. Bagaimana Ginggi tidak terkejut sebab itulah gerakan maut yang biasa dilatihnya dengan Ki Darma. Hanya bedanya, bila Ginggi melakukan serangan dengan menggunakan tangan kanan terbuka lebar, adalah sebaliknya dengan Ki Banaspati. Dia mendahulukan serangan dengan dua jari maut tangan kiri.
Suji Angkara amat terkejut menerima serangan ini. Secepat kilat dia merunduk sambil menangkis tusukan dua jari itu. Namun begitu dua tangan beradu, anak muda itu menjerit ngeri dan seperti menderita kesakitan di bagian pergelangan tangan. Belum juga habis rasa kagetnya, sebuah serangan tangan kanan dengan jari-jari mengembang lebar segera mendorong jidatnya.
“Plak!”
Tubuh Suji terlontar ke belakang karena jidatnya terdorong oleh tenaga kuat dari telapak tangan Ki Banaspati. Suji Angkara tubuhnya terjengkang ke belakang dan tak mampu bangun lagi.
“Tenggelamkan dia ke kolam, agar seolah-olah ia mati karena mabuk dan terbenam di sana,” kata Ki Banaspati.
Anak buahnya yang baru didamprat tadi segera menyeret pemuda pingsan itu. Dibawanya jauh dari tempat itu. Ginggi secepat kilat turun dari atap sirap. Dengan gerakan napak-sancang, yaitu ilmu berlari cepat tanpa mengeluarkan bunyi, pemuda itu menguntit orang yang memanggul tubuh Suji Angkara secara diam-diam dan tanpa kakinya mengeluarkan bunyi sedikitpun.
Orang itu ternyata memanggul tubuh itu ke kolam lain, jauh dari bale kambang. Namun sebelum tubuh Suji Angkara dicemplungkan ke kolam, Ginggi segera mengambil tindakan cepat. Dengan pukulan telak di tengkuk, orang itu tersuruk jatuh tanpa bersuara dan tak bisa bangun lagi. Pukulan itu tepat mengarah jalan darah di tengkuk. Sesudah melumpuhkan orang itu, Ginggi mengurut-urut leher Suji Angkara, sehingga tak berapa lama kemudian pemuda itu menggerak-gerakan tubuhnya. Ginggi memencet kulit tenggorokanya dan berbicara,
“Cepat ajak semua temanmu untuk meninggalkan tempat ini!” katanya.
Sesudah itu Ginggi pergi dengan cepat. Dia berlari menuju bangunan besar dimana barusan terjadi peristiwa yang membuat dirinya terkejut.
Ketika dia tiba, Ki Banaspati baru saja akan meninggalkan tempat itu bersama Ki Sunda Sembawa. Ginggi yakin, Ki Banaspati adalah murid Ki Darma, terbukti dari jurus berkelahi yang dia tampilkan ketika menyerang Suji Angkara. Pemuda itu harus meyakinkan dirinya bahwa dia punya hubungan dengan Ki Darma. Maka, empat depa sebelum tiba di depan Ki Banaspati, dia segera melompat menotol tanah. Dua jari tangan kiri menusuk dan telapak tangan kanan mengembang.
Nyata sekali ada rasa terkejut di wajah Ki Banaspati. Mungkin bukan terkejut karena itu sebuah serangan maut, tepi terkejut karena bentuk gerakan serangan itu. Sambil wajah menampakkan keheranan, dengan mudah saja Ki Banaspati melayang ke atas sehingga kedudukannya berada tepat di atas tubuh Ginggi. Pemuda itu juga tahu, inilah cara menangkis serangan walet notol yang biasa dilatihkan Ki Darma kepadanya. Dan seharusnya, sesudah melayang ke atas untuk memunahkan serangan jurus wallet notol, tubuh harus bersalto. Ketika bagian kepala ada di bawah, Ki Banaspati harus melancarkan serangan balasan dari atas. Yang jadi sasaran serangan mestinya punggung atau bagian belakang tubuh Ginggi. Namun pemuda itu merasakan, Ki Banaspati tidak berniat membalas serangan. Dia hanya melayang begitu saja dan kembali turun ke atas tanah dengan lembutnya.
Kini Ginggi mengubah serangan dengan jurus baru. Tubuhnya mendekam seperti harimau. Sepasang tangannya menahan tanah dengan hanya menggunakan semua kuku-kukunya. Sesudah mengeluarkan gerengan dahsyat, sepasang tangan itu menotol bumi berlari cepat satu sampai dua tindak. Setelah itu dengan loncatan yang ringan tapi secepat gerakan harimau, Ginggi menerkam tubuh Ki Banaspati.
“Maung luncat muru mencek (Harimau Memburu Menjangan)…” desis Ki Banaspati mengenali jurus ini sambil tubuh doyong ke belakang dan terus ke belakang hingga akhirnya punggung Ki Banaspati rata merapat di permukaan tanah.
Menurut teori yang dibebankan oleh Ki Darma, seharusnya bila menerima serangan ini, Ki Banaspati bukan hanya menghindar dengan mentelentangkan tubuh saja, tapi harus terus berguling seperti trenggiling sambil membalas serangan dengan tangan dan kaki. Namun Ginggi tahu, Ki Banaspati tak mau melakukan serangan balasan. Rupanya dia hanya ingin mengenal lebih dekat saja gerakan-gerakan ini. Pemuda itu akan segera melakukan serangan susulan, tapi sebelum Ginggi membentuk pasangan kuda-kuda baru, Ki Banaspati sudah meloncat pergi.
“Ki Sunda, kau tunggu saja aku di bale gede,” kata Ki Banaspati.
Dia segera menghilang di kegelapan tapi sengaja memperlambat larinya supaya diikuti Ginggi. Ginggi mengerti maksud Ki Banaspati. Dia pun segera menyusul ke kegelapan malam. Dan Ki Banaspati memang bukan melarikan diri. Sebab di sebuah lapangan terbuka dia telah menunggu kehadiran Ginggi. Keduanya sudah saling berhadapan. Ki Banaspati menatap di keremangan sambil bertolak pinggang.
“Kau siapa?” tanyanya.
“Aku suruhan dari Ki Darma!” jawab Ginggi.
Ki Banaspati melirik ke kiri dan kanan.
“Di muka umum kau jangan sebut nama itu!” kata Ki Banaspati.
“Mengapa?” tanya Ginggi heran.
Kini giliran Ki Banapati yang nampak heran.
“Kau mengaku suruhan Ki Guru tapi tidak tahu perihal dirinya!”
“Aku hanya kenal dia telah merawatku selama sepuluh tahun. Suka menyendiri dan tegas dalam berbicara. Lain dari itu aku tak kenal dia,” kata Ginggi pula.
“Biarlah kalau kau tak tahu. Tapi satu hal harus kau ingatkan, amat berbahaya di dunia luar membawa-bawa nama Ki Guru. Begitu bila kau ingin selamat,” kata Ki Banaspati.“
“Sekarang, coba kau sebutkan siapa namamu dan apa keperluanmu menemuiku,” kata pula Ki Banaspati.
Ginggi terdiam sejenak. Ki Banaspati ini murid Ki Darma. Sedikitnya orang ini harus merasa punya hubungan dekat dengan Ginggi. Namun pemuda itu heran, tak sedikit pun ada sambutan hangat kepadanya. Ki Banaspati bahkan seperti penuh curiga dalam menyambut kehadiran dirinya. Tidakkah ini karena Ki Banaspati merasa punya satu pekerjaan yang orang lain tak boleh tahu, misalnya seperti apa yang telah membuat kemarahan Suji Angkara?
“Aku diutus turun gunung oleh Ki Darma dan ditugaskan mengawasi perkembangan bumi Pajajaran, terutama yang menyangkut nasib rakyat, seperti apa yang Ki Darma tugaskan kepada keempat muridnya. Dan untuk bisa menjalankan tugas ini, aku harus meminta petunjuk dan pengarahan dari keempat murid Ki Darma. Salah satu di antaranya, engkaulah,” kata Ginggi menatap wajah Ki Banaspati yang nampak mengangguk-angguk tapi entah apa maksudnya.
“Ya, betul! Aku punya misi menjalankan perintah guru. Juga ketiga saudara perguruanku yang sampai saat ini aku tak tahu berada di mana,” gumam Ki Banaspati.
“Kalau begitu aku minta petunjukmu, asal kau tidak beri aku tugas merampok!” kata Ginggi tak berbasa-basi.
Mendengar ucapan ini, Ki Banaspati mundur setindak. Secara tak sadar dia memegang hulu gagang senjata yang diselipkan di pinggangnya.
“Kau?”
“Aku tahu ada perampokan di hutan jati sebab aku ikut rombongan Suji Angkara!” kata Ginggi.
“Kau anak buahnya?”
“Bukan, hanya kebetulan saja melakukan perjalanan bersama. Tapi apa betul perampok itu di bawah kendalimu?” tanya Ginggi masih tak mengerti keadaan.
Dia bingung menyimak sikap Ki Banaspati ini. Menurut bayangannya, Ki Banaspati ini pembela rakyat seperti apa yang diperintah Ki Darma. Namun kenyataannya, di malah jadi muhara kerajaan yang bertugas menghimpun pajak dari rakyat. Sekurang-kurangnya begitu yang dikatakan oleh Ki Banen tempo hari. Tapi belakangan, Ki Banaspati juga bertindak sebagai orang jahat. Sekurang-kurangnya begitu yang dia saksikan dalam percakapan antara Ki Banaspati dengan anak buahnya yang dia lumpuhkan tadi. Jadi, siapa sebenarnya Ki Banaspati yang begitu erat dengan petugas negara seperti Kandagalante Sunda Sembawa namun juga bertindak sebagai “kepala perampok” itu? Ginggi bingung memikirkannya. Baru turun gunung kurang dari seminggu, dia sudah dapat hal-hal yang misterius. Ada penjahat pemerkosa yang entah siapa, ada Suji Angkara dan sekarang Ki Banaspati, yang kesemuanya masih menyimpan kabut misteri. Terdengar Ki Banaspati terkekeh. Dia membalikkan badan dan berdiri membelakangi pemuda itu.
“Itulah pengorbanan bagi seorang pejuang,” katanya dengan suara seperti memendam kepedihan menyayat. “Untuk membela rakyat, aku harus pura-pura mengabdi kepada raja. Juga untuk membela rakyat, aku pun harus pura-pura dan menghinakan diriku menjadi rampok.”
“Aku tak mengerti sikapmu,” kata Ginggi. Ki Banaspati kembali berbalik dan menatap wajah pemuda itu.
“Kau tahu, aku bertugas sebagai muhara, bekerja mengumpulkan pajak. Tapi, apakah kau tahu pula dikemanakan hasil pajak itu aku bawa? Tidak! Aku tidak menyetorkan ke Pakuan tapi aku himpun sendiri. Sebagian aku kembalikan kepada rakyat dan sebagian kukumpulkan dan bila menjadi besar akan kugunakan untuk melawan raja!’ kata Ki Banaspati.
Ginggi masih menunggu ucapan Ki Banaspati lebih lanjut.
“Kau pun tahu, aku memimpin perampok. Tapi apakah kau tahu pula, siap yang aku rampok?”
“Apakah kau merampok rakyat juga?” tanya Ginggi.
“Tidak, yang aku rampok adalah kaum bangsawan, pejabat negara dan para tuan tanah yang suka memeras kehidupan rakyat. Semua kekayaan aku kumpulkan dan akan aku gunakan untuk memerangi raja,” kata Ki Banaspati pula.
Ginggi termangu-mangu mendengar penjelasan Ki Banaspati. Benarkah murid Ki Darma ini berjuang demikian hebat untuk kepentingan rakyat semata?
“Kalau kau percaya kepada tindakkanku, kau boleh ikut bergabung. Tapi bila menyangsikannya, kau boleh pergi meninggalkan aku berjuang sendirian. Hanya saja kau harus pandai-pandai memberikan alasan kepada Ki Guru,” tutur Ki Banaspati.
Ginggi mendengar ucapan murid Ki Darma ini seperti memaklumi kesangsian dirinya.
“Baiklah aku ikut kau. Tapi kalau ternyata cara kerjamu tak dianggap cocok, aku akan kerja sendirian saja, atau aku akan cari murid-murid Ki Darma yang lainnya!” kata Ginggi.
Ki Banaspati tersenyum tipis. “Terserah apa maumu. Yang penting kau bekerja untuk sisi yang dibebankan Ki Guru. Tapi bila kau memilih ikut aku, kau harus mentaati ketentuan-ketentuan yang kuatur,” kata Ki Banaspati menatap tajam.
“Coba katakan.”
“Pertama kau harus sopan padaku. Ingat, aku di sini pejabat terkemuka. Semua orang hormat padaku, tidak terkecuali pejabat Kandagalante. Ku maklumi karena kau baru turun gunung. Tapi sesudah kau banyak bergaul dengan kehidupan umum, kau harus mentaati etika yang berlaku,” kata Ki Banaspati.
Ini adalah omongan yang kesekian kalinya didengar pemuda itu. Sudah beberapa orang yang mengata-ngatai dia bahwa dirinya manusia tak punya aturan hidup, bila bicara semaunya dan tidak punya sopan-santun. Bertemu dan melihat orang-orang berhubungan sepertinya punya tata-cara yang sudah diatur. Anak-anak bicara hormat kepada ibu-bapaknya dan orang muda berkata halus kepada yang lebih tua. Dan yang jelas dia saksikan, bahwa seorang yang punya kedudukan rendah harus merunduk-runduk dan mengikuti serta tunduk kepada perkataan dan kehendak orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi.
Ki Ogel dan Ki Banen mentaati perkataan Ki Kuwu Suntara dan Rama Dongdo, pemuda Seta dan Madi juga tunduk kepada Suji Angkara. Sepertinya ini sudah hukum alam, bahwa yang punya kedudukan tinggi kerjanya memerintah dan sebaliknya yang rendah hanya mentaati perintah. Sekarang, setujukah Ginggi terhadap hukum yang berlaku dalam kehidupan ini?
Entahlah sebetulnya dia tak kerasan dengan berbagai basa-basi ini. Peraturan etika hidup ini sepertinya hanya mengikat dan membelit kebebasannya dalam bergerak dan berkata-kata. Etika sopan-santun bahkan dia saksikan hanya sebagai kedok atau hiasan yang tidak menggambarkan keadaan hati yang sebenarnya. Ginggi mengambil contoh dari beberapa sikap anggota rombongan seba yang dipimpin Suji Angkara. Di hadapan pemimpinnya, mereka berkata sopan dan taat akan segala perintah. Tapi di belakangnya mereka mengomel panjang-pendek. Ginggi tak senang dengan keadaan ini. Yang dia sukai adalah seperti sikap Ki Darma yang kemudian menurun kepadanya. Bahwa apa yang ada di mulut dan di wajah, itulah yang ada di hatinya. Dia tak ingin ada orang pura-pura menangis padahal hatinya tertawa, atau sebaliknya ada orang pura-pura tertawa padahal hatinya menangis.
“Rakyat Pajajaran sekarang banyak yang memaksakan diri untuk tertawa hanya karena menyegani rajanya, padahal hatinya menangis karena prihatin. Karena tradisi harus hormat kepada raja, banyak rakyat tidak memperlihatkan isi hati yang sebenarnya,” kata Ki Darma tempo hari.
Sekarang memang zaman kepalsuan. Haruskah dia pun terjun ke kancah kepalsuan itu? Tapi, rupanya sekarang ini memang aku harus melibatkan diri dalam basa-basi ini, pikir Ginggi. Bukan karena dia ingin menyesuaikan kepada kepalsuan itu. Tapi untuk melancarkan misi yang diembannya. Dia tak boleh banyak mendapatkan rintangan yang sebetulnya tidak perlu terjadi. Untuk apa memperlihatkan sikap tak sopan bila hanya akan mendatangkan keributan saja?
Ginggi meneliti, kompleks rumah yang dimiliki Kandagalante Ki Sunda Sembawa demikian megah dan besar. Bangunan tempat dia tinggal merupakan bangunan utama. Seluruhnya terbuat dari bahan-bahan kayu terpilih, mengkilat karena halus. Atapnya terbuat dari sirap, tersusun rapi bagaikan bulu burung garuda dan berwarna legam. Bangunan utama itu dikelilingi oleh beberapa bangunan lainnya. Ginggi meneliti bangunan-bangunan lain yang ukurannya lebih kecil. Ada sebuah bangunan beratap rumbia berupa panggung tapi amat jangkung. Bangunan besar itu disangga balok-balok kayu besar dan kokoh.
Ginggi meloncat ke atas atap dengan mengerahkan tolakan kaki dan ilmu kapas ngapung semacam ilmu untuk membuat tubuh menjadi ringan. Sesudah tubuhnya menclok tanpa bunyi di atap, dia mencoba membuka lapisan rumbia sedikit. Ternyata di dalam gelap gulita, kecuali tercium dedak padi. Tak ada orang di sana sebab bangunan ini adalah lumbung padi.
Ginggi kembali meloncat turun dan meneliti bangunan-bangunan lain. Sampai pada suatu saat dia tiba di sebuah bangunan yang amat kokoh. Berbeda dengan bangunan-bangunan lainnya, bangunan ini tidak berbentuk panggung sebab keempat dindingnya langsung menyambung dengan tanah. Dari celah-celah dinding kayu, Ginggi berkeyakinan di dalam ada penerangan, walau pun remang-remang saja. Lebih yakin dari itu, Ginggi mendapatkan bahwa di ruangan itu ada orang sedang berbincang-bincang. Atau lebih tepatnya lagi, ada seseorang tengah memarahi orang lain. Siapakah dia, Ginggi perlu melihat lebih jelas. Untuk itu dia segera meloncat kembali ke atas atap dan mencoba membuat lubang kecil pada lapisan atas sirap.
Begitu pandangannya melihat ke bawah, pemuda itu merasa terkejut sebab Ki Banaspati dan Kandagalante Sunda Sembawa tengah memarahi seseorang. Ginggi tak akan demikian terkejut bila dia tak kenal siapa orang yang dimarahinya itu. Orang itu ternyata pimpinan perampok yang tempo hari mencegat rombongan Suji Angkara. Pemuda itu hafal betul, sebab di pipi kiri orang itu ada goresan luka bekas serangan Suji Angkara.
“Sialan! Dasar kau brengsek! Bodoh! Tolol! Kau membahayakan gerakan kita!” kata Ki Banaspati.
Dan, plak, plak, plak! Orang itu tersungkur mencium lantai tanah. Ketika bangun, wajahnya berlepotan darah.
“Ampun Gusti. Hamba tak tahu bahwa itu rombongan seba yang dikawal anak muda itu. Hamba hanya mengira, mereka rombongan saudagar yang akan mengirim barang-barang dagangan ke Sumedanglarang!” kata orang itu terbata-bata.
“Dasar manusia dungu! Harusnya kau berpikir, tak mungkin saudagar mengambil jalan sunyi. Kalau mereka semua mati olehmu dan barang-barangnya dapat kau rebut, itu tak mengapa. Tapi celakanya, mereka selamat dan mengalahkan kamu. Kalau mereka tahu akan hal ini dan melapor ke Pakuan, kau bisa apa?” kata Ki Sunda Sembawa sama marahnya.
“Ampunkan hamba, Gusti…..” kata orang itu sambil tubuh masih merunduk hingga hampir rata dengan tanah.
“Satu kali lagi kamu membuat kesalahan serupa, nyawa tak berhargamu akan kucabut!” kata Ki Banaspati dengan suara dingin.
Orang itu membentur-benturkan jidatnya ke atas tanah tanda mengerti ancaman ini.
“Ayo sudah! Keluar kamu!” kata Ki Banaspati menendang bokong orang itu.
Dengan tergopoh-gopoh dia membuka pintu keluar. Tapi belum juga dia melangkah, dari arah luar masuk seseorang. Suji Angkara! Nampak oleh Ginggi dari sela-sela lapisan atap sirap, betapa ketiga orang terkejut setengah mati.
“Kau anak muda…” desis Ki Banaspati.
“Akhirnya aku tahu apa yang berlangsung di sini…!” kata Suji Angkara dingin, mencoba menahan kemarahan.
Ucapan ini tidak dijawab dengan perkataan, melainkan gerakan menyerang dari Ki Banaspati. Serangan itu cepat dan keras serta tidak memberikan peringatan terlebih dahulu. Serangan itu pun terlihat ganas dan langsung mengarah ke ubun-ubun Suji Angkara.
Ginggi terkejut melihat serangan ini. Ki Banaspati menyerang dengan tangan kiri serta dua jari mengarah tajam hendak menyerang ubun-ubun. Bagaimana Ginggi tidak terkejut sebab itulah gerakan maut yang biasa dilatihnya dengan Ki Darma. Hanya bedanya, bila Ginggi melakukan serangan dengan menggunakan tangan kanan terbuka lebar, adalah sebaliknya dengan Ki Banaspati. Dia mendahulukan serangan dengan dua jari maut tangan kiri.
Suji Angkara amat terkejut menerima serangan ini. Secepat kilat dia merunduk sambil menangkis tusukan dua jari itu. Namun begitu dua tangan beradu, anak muda itu menjerit ngeri dan seperti menderita kesakitan di bagian pergelangan tangan. Belum juga habis rasa kagetnya, sebuah serangan tangan kanan dengan jari-jari mengembang lebar segera mendorong jidatnya.
“Plak!”
Tubuh Suji terlontar ke belakang karena jidatnya terdorong oleh tenaga kuat dari telapak tangan Ki Banaspati. Suji Angkara tubuhnya terjengkang ke belakang dan tak mampu bangun lagi.
“Tenggelamkan dia ke kolam, agar seolah-olah ia mati karena mabuk dan terbenam di sana,” kata Ki Banaspati.
Anak buahnya yang baru didamprat tadi segera menyeret pemuda pingsan itu. Dibawanya jauh dari tempat itu. Ginggi secepat kilat turun dari atap sirap. Dengan gerakan napak-sancang, yaitu ilmu berlari cepat tanpa mengeluarkan bunyi, pemuda itu menguntit orang yang memanggul tubuh Suji Angkara secara diam-diam dan tanpa kakinya mengeluarkan bunyi sedikitpun.
Orang itu ternyata memanggul tubuh itu ke kolam lain, jauh dari bale kambang. Namun sebelum tubuh Suji Angkara dicemplungkan ke kolam, Ginggi segera mengambil tindakan cepat. Dengan pukulan telak di tengkuk, orang itu tersuruk jatuh tanpa bersuara dan tak bisa bangun lagi. Pukulan itu tepat mengarah jalan darah di tengkuk. Sesudah melumpuhkan orang itu, Ginggi mengurut-urut leher Suji Angkara, sehingga tak berapa lama kemudian pemuda itu menggerak-gerakan tubuhnya. Ginggi memencet kulit tenggorokanya dan berbicara,
“Cepat ajak semua temanmu untuk meninggalkan tempat ini!” katanya.
Sesudah itu Ginggi pergi dengan cepat. Dia berlari menuju bangunan besar dimana barusan terjadi peristiwa yang membuat dirinya terkejut.
Ketika dia tiba, Ki Banaspati baru saja akan meninggalkan tempat itu bersama Ki Sunda Sembawa. Ginggi yakin, Ki Banaspati adalah murid Ki Darma, terbukti dari jurus berkelahi yang dia tampilkan ketika menyerang Suji Angkara. Pemuda itu harus meyakinkan dirinya bahwa dia punya hubungan dengan Ki Darma. Maka, empat depa sebelum tiba di depan Ki Banaspati, dia segera melompat menotol tanah. Dua jari tangan kiri menusuk dan telapak tangan kanan mengembang.
Nyata sekali ada rasa terkejut di wajah Ki Banaspati. Mungkin bukan terkejut karena itu sebuah serangan maut, tepi terkejut karena bentuk gerakan serangan itu. Sambil wajah menampakkan keheranan, dengan mudah saja Ki Banaspati melayang ke atas sehingga kedudukannya berada tepat di atas tubuh Ginggi. Pemuda itu juga tahu, inilah cara menangkis serangan walet notol yang biasa dilatihkan Ki Darma kepadanya. Dan seharusnya, sesudah melayang ke atas untuk memunahkan serangan jurus wallet notol, tubuh harus bersalto. Ketika bagian kepala ada di bawah, Ki Banaspati harus melancarkan serangan balasan dari atas. Yang jadi sasaran serangan mestinya punggung atau bagian belakang tubuh Ginggi. Namun pemuda itu merasakan, Ki Banaspati tidak berniat membalas serangan. Dia hanya melayang begitu saja dan kembali turun ke atas tanah dengan lembutnya.
Kini Ginggi mengubah serangan dengan jurus baru. Tubuhnya mendekam seperti harimau. Sepasang tangannya menahan tanah dengan hanya menggunakan semua kuku-kukunya. Sesudah mengeluarkan gerengan dahsyat, sepasang tangan itu menotol bumi berlari cepat satu sampai dua tindak. Setelah itu dengan loncatan yang ringan tapi secepat gerakan harimau, Ginggi menerkam tubuh Ki Banaspati.
“Maung luncat muru mencek (Harimau Memburu Menjangan)…” desis Ki Banaspati mengenali jurus ini sambil tubuh doyong ke belakang dan terus ke belakang hingga akhirnya punggung Ki Banaspati rata merapat di permukaan tanah.
Menurut teori yang dibebankan oleh Ki Darma, seharusnya bila menerima serangan ini, Ki Banaspati bukan hanya menghindar dengan mentelentangkan tubuh saja, tapi harus terus berguling seperti trenggiling sambil membalas serangan dengan tangan dan kaki. Namun Ginggi tahu, Ki Banaspati tak mau melakukan serangan balasan. Rupanya dia hanya ingin mengenal lebih dekat saja gerakan-gerakan ini. Pemuda itu akan segera melakukan serangan susulan, tapi sebelum Ginggi membentuk pasangan kuda-kuda baru, Ki Banaspati sudah meloncat pergi.
“Ki Sunda, kau tunggu saja aku di bale gede,” kata Ki Banaspati.
Dia segera menghilang di kegelapan tapi sengaja memperlambat larinya supaya diikuti Ginggi. Ginggi mengerti maksud Ki Banaspati. Dia pun segera menyusul ke kegelapan malam. Dan Ki Banaspati memang bukan melarikan diri. Sebab di sebuah lapangan terbuka dia telah menunggu kehadiran Ginggi. Keduanya sudah saling berhadapan. Ki Banaspati menatap di keremangan sambil bertolak pinggang.
“Kau siapa?” tanyanya.
“Aku suruhan dari Ki Darma!” jawab Ginggi.
Ki Banaspati melirik ke kiri dan kanan.
“Di muka umum kau jangan sebut nama itu!” kata Ki Banaspati.
“Mengapa?” tanya Ginggi heran.
Kini giliran Ki Banapati yang nampak heran.
“Kau mengaku suruhan Ki Guru tapi tidak tahu perihal dirinya!”
“Aku hanya kenal dia telah merawatku selama sepuluh tahun. Suka menyendiri dan tegas dalam berbicara. Lain dari itu aku tak kenal dia,” kata Ginggi pula.
“Biarlah kalau kau tak tahu. Tapi satu hal harus kau ingatkan, amat berbahaya di dunia luar membawa-bawa nama Ki Guru. Begitu bila kau ingin selamat,” kata Ki Banaspati.“
“Sekarang, coba kau sebutkan siapa namamu dan apa keperluanmu menemuiku,” kata pula Ki Banaspati.
Ginggi terdiam sejenak. Ki Banaspati ini murid Ki Darma. Sedikitnya orang ini harus merasa punya hubungan dekat dengan Ginggi. Namun pemuda itu heran, tak sedikit pun ada sambutan hangat kepadanya. Ki Banaspati bahkan seperti penuh curiga dalam menyambut kehadiran dirinya. Tidakkah ini karena Ki Banaspati merasa punya satu pekerjaan yang orang lain tak boleh tahu, misalnya seperti apa yang telah membuat kemarahan Suji Angkara?
“Aku diutus turun gunung oleh Ki Darma dan ditugaskan mengawasi perkembangan bumi Pajajaran, terutama yang menyangkut nasib rakyat, seperti apa yang Ki Darma tugaskan kepada keempat muridnya. Dan untuk bisa menjalankan tugas ini, aku harus meminta petunjuk dan pengarahan dari keempat murid Ki Darma. Salah satu di antaranya, engkaulah,” kata Ginggi menatap wajah Ki Banaspati yang nampak mengangguk-angguk tapi entah apa maksudnya.
“Ya, betul! Aku punya misi menjalankan perintah guru. Juga ketiga saudara perguruanku yang sampai saat ini aku tak tahu berada di mana,” gumam Ki Banaspati.
“Kalau begitu aku minta petunjukmu, asal kau tidak beri aku tugas merampok!” kata Ginggi tak berbasa-basi.
Mendengar ucapan ini, Ki Banaspati mundur setindak. Secara tak sadar dia memegang hulu gagang senjata yang diselipkan di pinggangnya.
“Kau?”
“Aku tahu ada perampokan di hutan jati sebab aku ikut rombongan Suji Angkara!” kata Ginggi.
“Kau anak buahnya?”
“Bukan, hanya kebetulan saja melakukan perjalanan bersama. Tapi apa betul perampok itu di bawah kendalimu?” tanya Ginggi masih tak mengerti keadaan.
Dia bingung menyimak sikap Ki Banaspati ini. Menurut bayangannya, Ki Banaspati ini pembela rakyat seperti apa yang diperintah Ki Darma. Namun kenyataannya, di malah jadi muhara kerajaan yang bertugas menghimpun pajak dari rakyat. Sekurang-kurangnya begitu yang dikatakan oleh Ki Banen tempo hari. Tapi belakangan, Ki Banaspati juga bertindak sebagai orang jahat. Sekurang-kurangnya begitu yang dia saksikan dalam percakapan antara Ki Banaspati dengan anak buahnya yang dia lumpuhkan tadi. Jadi, siapa sebenarnya Ki Banaspati yang begitu erat dengan petugas negara seperti Kandagalante Sunda Sembawa namun juga bertindak sebagai “kepala perampok” itu? Ginggi bingung memikirkannya. Baru turun gunung kurang dari seminggu, dia sudah dapat hal-hal yang misterius. Ada penjahat pemerkosa yang entah siapa, ada Suji Angkara dan sekarang Ki Banaspati, yang kesemuanya masih menyimpan kabut misteri. Terdengar Ki Banaspati terkekeh. Dia membalikkan badan dan berdiri membelakangi pemuda itu.
“Itulah pengorbanan bagi seorang pejuang,” katanya dengan suara seperti memendam kepedihan menyayat. “Untuk membela rakyat, aku harus pura-pura mengabdi kepada raja. Juga untuk membela rakyat, aku pun harus pura-pura dan menghinakan diriku menjadi rampok.”
“Aku tak mengerti sikapmu,” kata Ginggi. Ki Banaspati kembali berbalik dan menatap wajah pemuda itu.
“Kau tahu, aku bertugas sebagai muhara, bekerja mengumpulkan pajak. Tapi, apakah kau tahu pula dikemanakan hasil pajak itu aku bawa? Tidak! Aku tidak menyetorkan ke Pakuan tapi aku himpun sendiri. Sebagian aku kembalikan kepada rakyat dan sebagian kukumpulkan dan bila menjadi besar akan kugunakan untuk melawan raja!’ kata Ki Banaspati.
Ginggi masih menunggu ucapan Ki Banaspati lebih lanjut.
“Kau pun tahu, aku memimpin perampok. Tapi apakah kau tahu pula, siap yang aku rampok?”
“Apakah kau merampok rakyat juga?” tanya Ginggi.
“Tidak, yang aku rampok adalah kaum bangsawan, pejabat negara dan para tuan tanah yang suka memeras kehidupan rakyat. Semua kekayaan aku kumpulkan dan akan aku gunakan untuk memerangi raja,” kata Ki Banaspati pula.
Ginggi termangu-mangu mendengar penjelasan Ki Banaspati. Benarkah murid Ki Darma ini berjuang demikian hebat untuk kepentingan rakyat semata?
“Kalau kau percaya kepada tindakkanku, kau boleh ikut bergabung. Tapi bila menyangsikannya, kau boleh pergi meninggalkan aku berjuang sendirian. Hanya saja kau harus pandai-pandai memberikan alasan kepada Ki Guru,” tutur Ki Banaspati.
Ginggi mendengar ucapan murid Ki Darma ini seperti memaklumi kesangsian dirinya.
“Baiklah aku ikut kau. Tapi kalau ternyata cara kerjamu tak dianggap cocok, aku akan kerja sendirian saja, atau aku akan cari murid-murid Ki Darma yang lainnya!” kata Ginggi.
Ki Banaspati tersenyum tipis. “Terserah apa maumu. Yang penting kau bekerja untuk sisi yang dibebankan Ki Guru. Tapi bila kau memilih ikut aku, kau harus mentaati ketentuan-ketentuan yang kuatur,” kata Ki Banaspati menatap tajam.
“Coba katakan.”
“Pertama kau harus sopan padaku. Ingat, aku di sini pejabat terkemuka. Semua orang hormat padaku, tidak terkecuali pejabat Kandagalante. Ku maklumi karena kau baru turun gunung. Tapi sesudah kau banyak bergaul dengan kehidupan umum, kau harus mentaati etika yang berlaku,” kata Ki Banaspati.
Ini adalah omongan yang kesekian kalinya didengar pemuda itu. Sudah beberapa orang yang mengata-ngatai dia bahwa dirinya manusia tak punya aturan hidup, bila bicara semaunya dan tidak punya sopan-santun. Bertemu dan melihat orang-orang berhubungan sepertinya punya tata-cara yang sudah diatur. Anak-anak bicara hormat kepada ibu-bapaknya dan orang muda berkata halus kepada yang lebih tua. Dan yang jelas dia saksikan, bahwa seorang yang punya kedudukan rendah harus merunduk-runduk dan mengikuti serta tunduk kepada perkataan dan kehendak orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi.
Ki Ogel dan Ki Banen mentaati perkataan Ki Kuwu Suntara dan Rama Dongdo, pemuda Seta dan Madi juga tunduk kepada Suji Angkara. Sepertinya ini sudah hukum alam, bahwa yang punya kedudukan tinggi kerjanya memerintah dan sebaliknya yang rendah hanya mentaati perintah. Sekarang, setujukah Ginggi terhadap hukum yang berlaku dalam kehidupan ini?
Entahlah sebetulnya dia tak kerasan dengan berbagai basa-basi ini. Peraturan etika hidup ini sepertinya hanya mengikat dan membelit kebebasannya dalam bergerak dan berkata-kata. Etika sopan-santun bahkan dia saksikan hanya sebagai kedok atau hiasan yang tidak menggambarkan keadaan hati yang sebenarnya. Ginggi mengambil contoh dari beberapa sikap anggota rombongan seba yang dipimpin Suji Angkara. Di hadapan pemimpinnya, mereka berkata sopan dan taat akan segala perintah. Tapi di belakangnya mereka mengomel panjang-pendek. Ginggi tak senang dengan keadaan ini. Yang dia sukai adalah seperti sikap Ki Darma yang kemudian menurun kepadanya. Bahwa apa yang ada di mulut dan di wajah, itulah yang ada di hatinya. Dia tak ingin ada orang pura-pura menangis padahal hatinya tertawa, atau sebaliknya ada orang pura-pura tertawa padahal hatinya menangis.
“Rakyat Pajajaran sekarang banyak yang memaksakan diri untuk tertawa hanya karena menyegani rajanya, padahal hatinya menangis karena prihatin. Karena tradisi harus hormat kepada raja, banyak rakyat tidak memperlihatkan isi hati yang sebenarnya,” kata Ki Darma tempo hari.
Sekarang memang zaman kepalsuan. Haruskah dia pun terjun ke kancah kepalsuan itu? Tapi, rupanya sekarang ini memang aku harus melibatkan diri dalam basa-basi ini, pikir Ginggi. Bukan karena dia ingin menyesuaikan kepada kepalsuan itu. Tapi untuk melancarkan misi yang diembannya. Dia tak boleh banyak mendapatkan rintangan yang sebetulnya tidak perlu terjadi. Untuk apa memperlihatkan sikap tak sopan bila hanya akan mendatangkan keributan saja?
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment