Tapi Seta diam saja. Mendengar pun tidak. Ginggi pun tak memaksanya. Dia hanya berkata kepada pasien yang lima orang, agar setiap hari mentaatinya menggunakan obat yang dibuatnya.
“Sehari saja kalian tidak makan ramuanku, kalian akan mati karena demam yang hebat dan karena luka yang membusuk,” kata Ginggi yang dianggukan oleh para pasiennya. Ketika Ginggi akan mengambil tempat untuk tidur, Seta datang menghampirinya.
“Jangan tidur! Brengsek kau!” kata Seta.
“Ha! Sudah tak ada pekerjaan untukku!” kata Ginggi.
“Cepat, obati aku!” kata Seta bernada perintah.
Sambil senyum dikulum, Ginggi bekerja lagi membuat ramuan sampai hari menjelang pagi.
Ginggi dibangunkan dari tidur lelapnya ketika rombongan akan melakukan perjalanan kembali. Kata Ki Ogel, Suji Angkara yang mengizinkan agar Ginggi dibiarkan beristirahat agak lama. Namun tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk mencari air guna keperluan membasuh muka, rombongan segera berangkat.
Suji Angkara mengabarkan bahwa untuk sementara perjalanan hanya akan mencapai tepi Sungai Cipeles saja dulu. Di tepi jalan di ujung jembatan gantung ada garduh tempat beristirahat dan di sanalah utusan Ki Banaspati menunggu.
Sudah barang tentu, uraian ini semakin menarik bagi Ginggi. Suji Angkara yang dianggap misterius dan dicurigai Rama Dongdo, bagi Ginggi hari ini merupakan orang yang amat diperlukan karena bisa digunakan sebagai petunjuk. Ginggi juga ingin tahu, apa hubungan Suji Angkara dengan Ki Banaspati? Kemudian, apa pula hubungan antara Ki Banaspati dengan komplotan perampok itu. Tadi malam seusai pertempuran kecil di hutan jati, perampok berteriak mengakui dirinya sebagai bawahan Ki Banaspati.
Kalau benar begitu, hanya menggambarkan seolah-olah Ki Banaspati pimpinan para perampok! Sungguh gila pengakuan ini. Padahal Ki Banaspati yang dimaksud Ki Darma adalah seorang yang tengah menjalankan misi untuk membela ambarahayat Pajajaran. Atau, ada berapa banyak nama Ki Banaspati di bumi Pajajaran ini? Mungkinkah yang dikenal Suji Angkara atau pun perampok di hutan jati bukan yang dimaksud Ki Darma?
“Aku harus terus bergabung dengan rombongan ini,” kata Ginggi dalam hatinya.
Seperti biasa, rombongan pengirim barang seba ini berjalan terseok-seok karena perjalanan yang berat. Sekarang barangkali lebih lambat sebab adanya orang-orang yang luka. Mereka jangankan disuruh memikul beban berat, untuk melangkah dengan tegap saja nampaknya amat kesulitan.
“Kalian nanti beristirahat di dusun kecil tepi Sungai Cipeles,” kata Suji Angkara kepada yang terluka.
“Apakah di sana kita akan mengangkut barang seba yang baru lagi, Raden?” tanya Ki Banen yang selama di perjalanan jarang sekali bicara.
“Tahun-tahun lalu dusun itu suka bergabung dan mengirimkan hasil bumi kepada Umbul Cipeles, untuk selanjutnya dikirim ke Kandagalante yang menguasai Sumedang Selatan. Tapi kita lihat saja nanti, apakah ada kekayaan mereka yang perlu kita angkut,” kata pemuda yang mencongklang kudanya lambat-lambat di depan.
Ginggi ada di barisan paling belakang. Dia bertugas mengawal perjalanan roda pedati. Kalau roda melesak ke tanah lembek atau masuk ke sela-sela batu, tugas Ginggi untuk mendorong pedati, dibantu oleh beberapa orang yang terpaksa menurunkan pikulannya. Kalau mau, sebetulnya dengan tenaga seorang saja pemuda itu sanggup mendorong-dorong pedati tanpa menggunakan kerbau. Hanya saja bila dia sembrono memperlihatkan tenaganya, hanya akan membuat orang bercuriga padanya. Dia tak ingin membuat orang memperhatikannya secara khusus.
“Kalau orang mengetahui bahwa kita punya kekuatan, mereka akan bertindak hati-hati kepada kita. Tapi sebaliknya, bila kita terlihat bodoh, maka mereka akan menganggap enteng dan selalu melakukan tindakan sembrono yang dalam hal-hal tertentu akan menguntungkan kita,” kata Ki Darma tempo hari di tengah-tengah latihan kerasnya.
Ucapan Ki Darma ini mudah dibuktikan kebenarannya sesudah Ginggi turun gunung. Jangan jauh-jauh, pikirnya, karakter dan isi benak pemuda Seta dan Madi begitu terkuak dan mudah diketahui Ginggi, hanya karena dia berpura-pura menjadi orang lemah. Kedua pemuda itu mungkin beranggapan bahwa sikap dan kebiasaannya tak perlu mendapatkan penilaian dari pemuda “bodoh” macam Ginggi. Coba kalau pemuda ini memperlihatkan kemampuan yang sebenarnya, bisa-bisa Seta dan Madi membungkuk dan merunduk atau menyembah sampai wajah mereka mencium tanah saking hormat kepadanya. Dan penampilan hormat itu hanya polesan belaka, tidak menampilkan karakter yang sesungguhnya. Ketika Ginggi mendorong pedati dengan susah payah, Ki Banen yang selalu berjalan di muka bersama Ki Ogel, pergi ke barisan belakang dan ikut mendorong pedati.
“Kau ke mana saja, anak muda?” tanyanya
“Dari tadi aku mendorong pedati disini, Aki!” kata Ginggi dengan nafas senggal-senggal.
“Maksudku, kemarin dulu itu,” kata Ki Banen. “Malam pertama kehadiranmu di Desa Cae, kau tidur di gardu. Malam kedua, aku tahu kau menonton pertunjukan pantun. Tapi di malam ketiga, aku tak lihat kamu,” katanya.
“Malam ketiga? Di mana aku, ya?” Ginggi menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Bukan apa-apa. Aku ingin memberikan beberapa penjelasan malam itu karena aku ingat kau ingin ikut menjadi pengirim barang-barang seba,,” kata Ki Banen.
Ginggi hanya diam saja.
“Kau harus hati-hati terhadap Raden Suji…” kata Ki Banen lagi.
“Pemuda tampan itu baik padaku,” jawab Ginggi.
“Begitu, selama engkau menuruti kata-katanya. Tapi kalau kau punya pendapat yang tak berkenan di hatinya, kau bisa repot.”
“Ya, akan kuusahakan saja,” gumam Ginggi. “Tapi, kau selalu sependapat dengan pemuda tampan itu, bukan?” giliran Ginggi mengajukan pertanyaan.
Tampak Ki Banen menghela nafas. Roda pedati masuk ke sela-sela batu, berhenti mendadak karena terganjal. Ginggi tersuruk ke depan dan mukanya membentur pantat pedati. Hanya saja Ki Banen sanggup menahan tubuhnya sehingga tak sampai terjerembab ke depan. Ginggi mengusap-ngusap jidatnya, nampak seperti kesakitan.
“Ayo dorong berdua. Satu, dua, tigaaa!! Ya!!!” teriak Ki Banen memberi aba-aba. Pedati kembali berjalan.
“Kalau aku punya waktu, kapan-kapan kau kulatih ilmu penca, anak muda!” kata Ki Banen.
“Penca, apakah itu?”
“Itu ilmu untuk mempertahankan diri dari gangguan musuh. Bila kau memiliki ilmu penca, kau tidak akan dijadikan bulan-bulanan oleh Seta dan Madi.”
Ginggi tersipu dan memalingkan muka.
“Aku dengar kau dianiaya oleh kedua pemuda sombong itu di tepi pancuran. Kalau kau punya kepandaian, kau tak mungkin dihina seperti itu,” kata Ki Banen.
“Kalau aku punya kepandaian, giliran aku yang menghina orang lemah, ya, Aki!”
Ki Banen tersenyum. “Itulah kekeliruan hidup, anak muda. Manusia cenderung menganggap enteng orang yang dianggapnya lebih lemah dari kita. Padahal ilmu penca juga mengajarkan budi pekerti selain sebagai ilmu bela diri. Bila orang sudah belajar penca, jangan ingin dipuji karena punya kepandaian dan jangan menghina orang, juga karena kepandaian. Penca hanya akan memberikan kesadaran kepada kita bahwa sebenarnya kita ini makhluk lemah dan tak ada apa-apanya dibandingkan Sang Rumuhun,” kata Ki Banen.
“Siapa Sang Rumuhun?”
“Itulah penguasa tunggal di jagat ini. Langit dan bumi beserta isinya, semua milikNya,” kata Ki Banen.
“Sehari saja kalian tidak makan ramuanku, kalian akan mati karena demam yang hebat dan karena luka yang membusuk,” kata Ginggi yang dianggukan oleh para pasiennya. Ketika Ginggi akan mengambil tempat untuk tidur, Seta datang menghampirinya.
“Jangan tidur! Brengsek kau!” kata Seta.
“Ha! Sudah tak ada pekerjaan untukku!” kata Ginggi.
“Cepat, obati aku!” kata Seta bernada perintah.
Sambil senyum dikulum, Ginggi bekerja lagi membuat ramuan sampai hari menjelang pagi.
Ginggi dibangunkan dari tidur lelapnya ketika rombongan akan melakukan perjalanan kembali. Kata Ki Ogel, Suji Angkara yang mengizinkan agar Ginggi dibiarkan beristirahat agak lama. Namun tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk mencari air guna keperluan membasuh muka, rombongan segera berangkat.
Suji Angkara mengabarkan bahwa untuk sementara perjalanan hanya akan mencapai tepi Sungai Cipeles saja dulu. Di tepi jalan di ujung jembatan gantung ada garduh tempat beristirahat dan di sanalah utusan Ki Banaspati menunggu.
Sudah barang tentu, uraian ini semakin menarik bagi Ginggi. Suji Angkara yang dianggap misterius dan dicurigai Rama Dongdo, bagi Ginggi hari ini merupakan orang yang amat diperlukan karena bisa digunakan sebagai petunjuk. Ginggi juga ingin tahu, apa hubungan Suji Angkara dengan Ki Banaspati? Kemudian, apa pula hubungan antara Ki Banaspati dengan komplotan perampok itu. Tadi malam seusai pertempuran kecil di hutan jati, perampok berteriak mengakui dirinya sebagai bawahan Ki Banaspati.
Kalau benar begitu, hanya menggambarkan seolah-olah Ki Banaspati pimpinan para perampok! Sungguh gila pengakuan ini. Padahal Ki Banaspati yang dimaksud Ki Darma adalah seorang yang tengah menjalankan misi untuk membela ambarahayat Pajajaran. Atau, ada berapa banyak nama Ki Banaspati di bumi Pajajaran ini? Mungkinkah yang dikenal Suji Angkara atau pun perampok di hutan jati bukan yang dimaksud Ki Darma?
“Aku harus terus bergabung dengan rombongan ini,” kata Ginggi dalam hatinya.
Seperti biasa, rombongan pengirim barang seba ini berjalan terseok-seok karena perjalanan yang berat. Sekarang barangkali lebih lambat sebab adanya orang-orang yang luka. Mereka jangankan disuruh memikul beban berat, untuk melangkah dengan tegap saja nampaknya amat kesulitan.
“Kalian nanti beristirahat di dusun kecil tepi Sungai Cipeles,” kata Suji Angkara kepada yang terluka.
“Apakah di sana kita akan mengangkut barang seba yang baru lagi, Raden?” tanya Ki Banen yang selama di perjalanan jarang sekali bicara.
“Tahun-tahun lalu dusun itu suka bergabung dan mengirimkan hasil bumi kepada Umbul Cipeles, untuk selanjutnya dikirim ke Kandagalante yang menguasai Sumedang Selatan. Tapi kita lihat saja nanti, apakah ada kekayaan mereka yang perlu kita angkut,” kata pemuda yang mencongklang kudanya lambat-lambat di depan.
Ginggi ada di barisan paling belakang. Dia bertugas mengawal perjalanan roda pedati. Kalau roda melesak ke tanah lembek atau masuk ke sela-sela batu, tugas Ginggi untuk mendorong pedati, dibantu oleh beberapa orang yang terpaksa menurunkan pikulannya. Kalau mau, sebetulnya dengan tenaga seorang saja pemuda itu sanggup mendorong-dorong pedati tanpa menggunakan kerbau. Hanya saja bila dia sembrono memperlihatkan tenaganya, hanya akan membuat orang bercuriga padanya. Dia tak ingin membuat orang memperhatikannya secara khusus.
“Kalau orang mengetahui bahwa kita punya kekuatan, mereka akan bertindak hati-hati kepada kita. Tapi sebaliknya, bila kita terlihat bodoh, maka mereka akan menganggap enteng dan selalu melakukan tindakan sembrono yang dalam hal-hal tertentu akan menguntungkan kita,” kata Ki Darma tempo hari di tengah-tengah latihan kerasnya.
Ucapan Ki Darma ini mudah dibuktikan kebenarannya sesudah Ginggi turun gunung. Jangan jauh-jauh, pikirnya, karakter dan isi benak pemuda Seta dan Madi begitu terkuak dan mudah diketahui Ginggi, hanya karena dia berpura-pura menjadi orang lemah. Kedua pemuda itu mungkin beranggapan bahwa sikap dan kebiasaannya tak perlu mendapatkan penilaian dari pemuda “bodoh” macam Ginggi. Coba kalau pemuda ini memperlihatkan kemampuan yang sebenarnya, bisa-bisa Seta dan Madi membungkuk dan merunduk atau menyembah sampai wajah mereka mencium tanah saking hormat kepadanya. Dan penampilan hormat itu hanya polesan belaka, tidak menampilkan karakter yang sesungguhnya. Ketika Ginggi mendorong pedati dengan susah payah, Ki Banen yang selalu berjalan di muka bersama Ki Ogel, pergi ke barisan belakang dan ikut mendorong pedati.
“Kau ke mana saja, anak muda?” tanyanya
“Dari tadi aku mendorong pedati disini, Aki!” kata Ginggi dengan nafas senggal-senggal.
“Maksudku, kemarin dulu itu,” kata Ki Banen. “Malam pertama kehadiranmu di Desa Cae, kau tidur di gardu. Malam kedua, aku tahu kau menonton pertunjukan pantun. Tapi di malam ketiga, aku tak lihat kamu,” katanya.
“Malam ketiga? Di mana aku, ya?” Ginggi menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Bukan apa-apa. Aku ingin memberikan beberapa penjelasan malam itu karena aku ingat kau ingin ikut menjadi pengirim barang-barang seba,,” kata Ki Banen.
Ginggi hanya diam saja.
“Kau harus hati-hati terhadap Raden Suji…” kata Ki Banen lagi.
“Pemuda tampan itu baik padaku,” jawab Ginggi.
“Begitu, selama engkau menuruti kata-katanya. Tapi kalau kau punya pendapat yang tak berkenan di hatinya, kau bisa repot.”
“Ya, akan kuusahakan saja,” gumam Ginggi. “Tapi, kau selalu sependapat dengan pemuda tampan itu, bukan?” giliran Ginggi mengajukan pertanyaan.
Tampak Ki Banen menghela nafas. Roda pedati masuk ke sela-sela batu, berhenti mendadak karena terganjal. Ginggi tersuruk ke depan dan mukanya membentur pantat pedati. Hanya saja Ki Banen sanggup menahan tubuhnya sehingga tak sampai terjerembab ke depan. Ginggi mengusap-ngusap jidatnya, nampak seperti kesakitan.
“Ayo dorong berdua. Satu, dua, tigaaa!! Ya!!!” teriak Ki Banen memberi aba-aba. Pedati kembali berjalan.
“Kalau aku punya waktu, kapan-kapan kau kulatih ilmu penca, anak muda!” kata Ki Banen.
“Penca, apakah itu?”
“Itu ilmu untuk mempertahankan diri dari gangguan musuh. Bila kau memiliki ilmu penca, kau tidak akan dijadikan bulan-bulanan oleh Seta dan Madi.”
Ginggi tersipu dan memalingkan muka.
“Aku dengar kau dianiaya oleh kedua pemuda sombong itu di tepi pancuran. Kalau kau punya kepandaian, kau tak mungkin dihina seperti itu,” kata Ki Banen.
“Kalau aku punya kepandaian, giliran aku yang menghina orang lemah, ya, Aki!”
Ki Banen tersenyum. “Itulah kekeliruan hidup, anak muda. Manusia cenderung menganggap enteng orang yang dianggapnya lebih lemah dari kita. Padahal ilmu penca juga mengajarkan budi pekerti selain sebagai ilmu bela diri. Bila orang sudah belajar penca, jangan ingin dipuji karena punya kepandaian dan jangan menghina orang, juga karena kepandaian. Penca hanya akan memberikan kesadaran kepada kita bahwa sebenarnya kita ini makhluk lemah dan tak ada apa-apanya dibandingkan Sang Rumuhun,” kata Ki Banen.
“Siapa Sang Rumuhun?”
“Itulah penguasa tunggal di jagat ini. Langit dan bumi beserta isinya, semua milikNya,” kata Ki Banen.
“Kau pernah berjumpa dengannya?”
“Kita bisa berjumpa denganNya hanya melalui hati dan naluri. MencariNya hanya menggunakan akal tak akan bias ditemukan. Akal tidak bisa menjawabnya bila ada pertanyaan mengapa Sang Rumuhun menciptakan kita, menciptakan binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam raya. Hanya dengan naluri saja kita mengakui kekuasaanNya,” kata Ki Banen.
“Bila hidup kita dikuasai olehNya, barangkali kita tak boleh berbuat semaunya, Aki!”
“Betul.”
“Tidak boleh sewenang-wenang.”
“Betul…”
“Tidak boleh merampas barang orang lain walau pun apa alasannya.”
“Betul…”
“Termasuk dengan alasan kepentingan seba…”
Ki Banen merandek, kemudian tunduk dan menghela nafas. ”Kau pasti tahu peristiwa di Kampung Wado, anak muda,” keluhnya.
“Aku singgah di sana sebelum menyusulmu, Aki” kata Ginggi menatap orang tua ini untuk mencari jawab peristiwa di Wado.
“Inilah bagian dari kemelut negara, anak muda.”
“Tapi menurutmu tempo hari, pengiriman seba ke Pakuan berlangsung tanpa musyawarah. Wilayah mana yang tetap bersetia terhadap Pakuan, dia pergi mengirim seba. Tetapi yang tidak mau, biarkan punya pendirian sekehendak hatinya sendiri,” tutur Ginggi menirukan apa yang telah diucapkan Ki Banen tempo hari.
“Memang begitu,” jawab Ki Banen.
“Nah! Tapi mengapa kalian memaksa orang Wado untuk mengirim seba ke Pakuan padahal ratunya sudah memilih ke Cirebon?”
“Memang kacau, kacau!” gumam Ki Banen. “Raden Suji punya pendirian keras. Dia tetap bersetia kepada Pakuan, bahkan berani memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Jadi menurutnya, semua orang harus tetap mengakui Pajajaran sebagai penguasa tunggal di tanah Sunda ini,” kata Ki Banen.
“Dan Aki sendiri akan bersetia ke mana?” tanya Ginggi.
“Aku ini orang Pajajaran. Sejak pemerintahan Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja lebih dari limapuluh tahun lalu, di masa remaja, aku sudah mengabdi sebagai jagabaya di beberapa kandagalante. Terakhir aku menjadi jagabaya bersama Ki Ogel di Karatuan Talaga dan baru berhenti ketika Talaga masuk wilayah Cirebon,” kata Ki Banen menerawang masa-masa yang telah lalu.
“Kau terus bersetia kendati raja-raja yang memimpin Pajajaran tidak sebaik pendahulunya, Aki?” tanya Ginggi mengerutkan alisnya.
Ki Banen menghela nafas. “Raja boleh berganti-ganti tetapi Pajajaran tetap sama. Dan kau harus ingat, bahwa sebetulnya kau hidup di bumi Pajajaran. Kepada Pajajaran pula kau harus mengabdi,” kata Ki Banen pasti.
“Aku tidak akan ikut campur pada pendirianmu, Aki. Tapi aku ingin mengingatkanmu, hati-hatilah dalam melakukan pengabdianmu. Kau jangan keliru memilih, jangan sampai kesetiaanmu dimanfaatkan untuk kepentingan lain oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab,” kata Ginggi.
Ki Banen menatap sejenak, kemudian tertawa kecil.
Ginggi tak faham, tawa kecilnya ini karena apa. Apakah karena ia mengerti akan peringatan pemuda itu, atau malah melecehkannya karena merasa dinasihati oleh anak muda.
“Satu lagi pertanyaanku, Aki,” kata Ginggi sesudah untuk yang kesekian kalinya menjungkat roda pedati yang masuk terhimpit sela-sela batu.
Ki Banen menoleh ke arah Ginggi.
“Aku ingin tahu, siapa Ki Banaspati itu?” tanya Ginggi.
“Aku belum jumpa dengan orang ini. Tapi pasti merupakan tokoh penting di Pakuan. Suji pun Nampak menyeganinya. Kata anak muda itu, Ki Banaspati petugas penting di jajaran Muhara Pakuan,’ jawab Ki Banen.
“Muhara…?”
“Muhara adalah petugas penarik pajak. Pucuk muhara di Pakuan dipegang oleh Bangsawan Soka, masih kerabat raja juga. Kata Raden Suji, Ki Banaspati bertugas sebagai muhara di wilayah timur, wilayah paling berat dalam pemungutan pajak, sebab selain jarak jangkaunya amat jauh, juga beberapa wilayah sudah memihak Cirebon. Raden Suji Angkara, putra Ki Kuwu Suntara, merupakan tangan kanan Ki Banaspati dalam pemungutan pajak di daerah timur,” kata Ki Banen.
Ginggi masih termangu-mangu di saat-saat santai bila pedati lancar berjalan.
“Tapi, tadi malam…” Ginggi tak melanjutkan kata-katanya.
Sedianya teriakan perampok yang mengaku anak buah Ki Banaspati akan ditanyakan. Tapi mana mungkin dia bertanya, padahal ketika teriakan itu terdengar, dia masih sembunyi. Ki Banen tak memperhatikan pertanyaan yang terpotong itu sebab ada suara Suji Angkara memanggil dirinya. Ketika matahari sudah condong ke barat, rombongan tiba di dusun kecil tepi Kali Cipeles. Di dusun ini mereka bermalam agar besok bisa melanjutkan perjalanan pagi-pagi sekali.
Tidak ada kejadian berarti di dusun kecil ini, kecuali adanya penghormatan berlebihan dari kepala dusun kepada Suji Angkara. Kepala dusun dengan rasa takut dan segera mengatakan bahwa dusunnya tak sanggup membayar seba kekayaan hasil bumi karena panenan palawija kurang berhasil.
“Kalau bisa diterima kami akan menjalankan dasa saja, yaitu membayar pajak dengan tenaga. Semua penduduk dusun siap sedia membantu mengangkut barang pikulan yang banyak ini,” kata kepala dusun.
“Baik, kalian kerjakan saja apa yang mampu kalian kerjakan. Yang penting kalian tetap mengabdi kepada Pajajaran,” kata Suji Angkara.
Kepala dusun merunduk dan menggangguk sebagai tanda bersyukur bahwa dia diizinkan membayar pajak berdasarkan kemampuan yang ada.
“Ada enam orang petugas kami yang luka-luka karena gangguan orang jahat di tengah perjalanan. Kau berkewajiban merawat anggota kami di sini. Dan karena kami butuh anggota pengganti, kau harus sediakan tenaga enam atau sekurang-kurangnya lima orang pemuda bertubuh sehat dan bertenaga kuat. Mereka harus bergabung dalam pengiriman seba yang bertugas hingga Sagaraherang,” kata Suji Angkara.
Kepala dusun mengganguk tanda siap melaksanakan perintah. Besok paginya, benar saja kepala dusun sudah menyiapkan enam orang pemuda yang tegap-tegap. Kepala dusun pun sudah mengatur agar enam orang petugas pengiriman seba yang luka ditampung di rumah-rumah penduduk untuk dirawat kesehatannya. Rombongan segera berangkat lagi. Kali ini, jalan pedati sudah tak seberat seperti di bukit-bukit hutan jati sana. Selain perjalanan tidak naik turun bukit, juga jalanan sedikit rata berdebu di saat kemarau yang tengah berlangsung ini.
Jalan pedati ini terus menyusuri Kali Cipeles dan yang kelak satunya akan menuju wilayah Kandagalante Sumedang dan satunya akan menyebrangi Kali Cipeles, terus ke utara menuju Sagaraherang, Cikao, Karawang, Tanjungpura, Warunggede, kemudian lurus ke barat menuju Cibarusa, Cileungsi, dan akan berakhir di ibukota Pajajaran, Pakuan.
“Tapi di beberapa daerah utara, bisa jadi kita tak akan melewati jalur utama sebab kekuatan Pasukan Cirebon di wilayah utara sudah nampak nyata. Kita harus menghindari percekcokan dengan mereka tentang urusan seba ini,” kata Suji Angkara.
Ki Banen mengatakan kepada Ginggi, perjalanan pengiriman seba ini memang tersendat-sendat tidak seperti masa-masa Pajajaran utuh menguasai tanah Sunda.
Pengiriman seba dari wilayah-wilayah yang diakui Cirebon sebagai wilayah mereka jelas akan ditentang mereka. Kata Ki Banen, jangankan melakukan perjalanan membawa seba secara terang-terangan di wilayah utara, menumpang lewat saja ke Sumedanglarang, rombongan ini tak berani melakukannya.
“Selepas Wado kemarin dulu misalnya, kita tak berani mengambil jalan bagus sebab harus melewati Pasanggrahan dan Ciguling, ibukota Karatuan Sumedanglarang. Berani masuk ke pusat wilayah mereka, kita akan menghadapi berbagai hambatan,” kata Ki Banen.
Sebelum matahari ada di atas kepala, rombongan sudah tiba di jalan bercagak tepi sungai. Satu lurus ke timur menuju wilayah kandagalante Sumedang, satunya menyebrang Sungai Cipeles menuju utara ke Sagaraherang. Di jalan bercagak ini memang terdapat sebuah gardu tempat orang beristirahat. Tapi tidak seperti dikatakan Suji Angkara, ternyata di sini tidak diketemui seseorang yang mengaku utusan Ki Banaspati. Gardu itu kosong.
“Kita terlambat satu hari, sebab seharusnya kita tiba disini kemarin pagi,” kata Suji Angkara kemudian.
“Jadi, kita mesti bagaimana Raden?” tanya Ki Ogel.
“Kita lanjutkan perjalanan sampai ke Sagaraherang saja,” katanya.
Yang mendengarkan perkataan Suji Angkara saling pandang satu sama lain.
“Raden, orang-orang kita ini tidak dipersiapkan untuk melakukan perjalanan sejauh itu. Mereka hanya bertugas sampai selepas Sumedanglarang saja,” kata Ki Banen.
“Boleh, siapa yang tidak siap ikut denganku?” tanya Suji Angkara sambil meneliti tiap-tiap orang.
Tapi tidak seorang pun berani berkata tidak. Tidak pula Ki Banen. “Saya siap mengikuti anda ke mana saja, Raden,” kata Seta bersemangat.
“Saya pun siap bersama anda apa pun yang terjadi!” Madi tak kalah semangatnya.
Suji Angkara menyipitkan mata dan melihati setiap wajah anak buahnya. Semuanya nampak mengangguk-angguk tanda siap.
“Hei, kamu anak bodoh, bagaimana?” Suji Angkara menatap ke arah Ginggi.
“Aku juga siap sampai mati!” teriak Ginggi bersemangat.
Suji Angkara tersenyum mendengarnya. “Ternyata tak ada yang pengecut melakukan perjalanan jauh, Paman Banen,” kata Suji Angkara tersenyum kecil.
KiBanen menunduk. Dan akhirnya perjalanan dilanjutkan menyebrangi jembatan gantung Sungai Cipeles. Perjalanan menuju utara juga terasa sangat berat kendati tidak seberat di hutan jati wilayah Wado. Daerah utara sebetulnya merupakan wilayah dataran rendah. Dan kian ke utara kian rendah sebab menuju pantai. Tapi sebelum tiba di dataran rendah, perjalanan akan melewati wilayah pegunungan hutan pinus dan cemara yang amat lebat. Di beberapa tempat, jalan pedati akan melalui lembah dan ngarai di mana matahari tidak bisa tembus ke bumi.
Rombongan harus berkejaran dengan waktu dan Suji Angkara tak memperkenankan matahari lebih tiba sampai di barat dibandingkan dengan rombongannya. Untuk itu, dia memerintahkan agar rombongan berjalan cepat.
Keinginan pemuda tampan ini memang bias dilaksanakan sebab kondisi jalan di daerah ini sedikit lebih baik ketimbang tempat-tempat yang sudah dilalui. Jalan pedati di daerah ngarai, kendati berkelok-kelok dan turun naik tapi permukaan jalan sedikit rata dan memudahkan roda pedati untuk menggelinding dengan mudah. Hanya satu kali saja ada gangguan di perjalanan yaitu ketika ke tengah jalan melintas seekor ular yang cukup besar. Oleh mereka, ular itu dibunuh ramai-ramai dan dagingnya dipanggang.
Menjelang senja hari, rombongan sudah berhasil melintasi hutan perbukitan dan mereka tengah menempuh perjalanan menurun menuju daerah dataran rendah. Sebelum matahari benar-benar tenggelam, rombongan sudah tiba di wilayah Kandagalante Sagaraherang. Lawang kori (gerbang) yang sedianya akan segera ditutup, harus menunggu mereka masuk. Sejenak rombongan mendapatkan pemeriksaan. Dan tak berapa lama kemudian petugas mengizinkan rombongan ini memasuki pintu gerbang.
“Ki Banaspati sudah lama menunggu kedatangan rombongan kalian,” kata jagabaya.
Bergetar dada Ginggi mendengarnya. Mengapa tidak begitu, sebab ini adalah pertemuan pertama dengan orang yang menjadi murid Ki Darma. Melalui Ki Banaspati ini, Ginggi akan segera mendapat petunjuk dan pengarahan perihal tugas-tugas yang dibebankan Ki Darma padanya.
Namun kendati demikian, pemuda ini tetap akan bersifat hati-hati dan tak akan begitu saja memperkenalkan diri. Dia tetap teringat akan teriakan pimpinan perampok di hutan jati bahwa mereka anak buah Ki Banaspati. Biarlah. Yang disebut Ki Banaspati ini ternyata seorang lelaki setengah baya berusia kurang lebih limapuluh tahun. Lelaki ini nampak gagah dan berwibawa. Tubuhnya tinggi besar dan dadanya bidang. Dia berpakaian seperti bangsawan, menggunakan pakaian bedahan lima jenis beludru coklat.
Celana komprang hitam dengan ornamen warna emas. Pinggangnya dililit ikat pinggang terbuat dari kulit rusa, indah dan gagah. Sedangkan kepalanya ditutup bendo citak dari kain batik corak hihinggulan, Yang membuat Ki Banaspati lebih berwibawa adalah juga penampilan wajahnya. Matanya tajam berkilat, sepasang alis tebal melengkung seperti golok dan hidungnya mancung agak melengkung. Ada kumis tipis di atas bibir menambah kegagahannya.
Ki Banaspati duduk bersila di ruangan tengah yang cukup luas dengan lantai mengkilat terbuat dari papan jati. Di sampingnya duduk seorang lelaki setengah baya lainnya tapi dengan penampilan tak kalah gagahnya. Atau malah bisa juga lebih gagah Mungkin karena jenis pakaiannya lebih mewah, di mana baju bedahan tengah yang dikenakannya terbuat dari bahan antik yang bukan dibuat di Pajajaran.
Kalau Ginggi pernah mengenalnya, jenis kain yang digunakan untuk baju bedahan tengah ini hanya dipakai oleh para saudagar yang sering berhubungan dengan saudagar bangsa asing saja, sebab jenis kain yang didapat merupakan hasil pertukaran dengan barang-barang keperluan yang mereka butuhkan dari bumi Pajajaran.
Lelaki ini juga memakai tutup kepala berupa bendo citak dengan motif batik warna lain. Hanya bedanya, tepat di bagian depan bendo, dihiasi ornamen logam warna emas, sehingga ketika lampu minyak kelapa yang digantung di ruangan tengah menerangi, ornamen itu memantulkan warna-warna gemerlap. Wajahnya agak bulat telur, berkulit putih bersih dan ada kumis tebal di bawah hidungnya yang sedikit mancung.
Ki Banaspati memperkenalkan lelaki ini sebagai Ki Sunda Sembawa, seorang pejabat berpangkat Kandagalante (setingkat wedana untuk masa kini-pen) yang mengusai wilayah Sagaraherang. Hanya lima orang yang berkenan duduk di ruang tengah menghadap Ki Sunda Sembawa dan Ki Banaspati, sebab yang lain-lainnya termasuk Ginggi, duduk bersila ditepas (beranda) saja.
“Terima kasih engkau berhasil mengawal barang seba hingga ke tujuan,” kata Ki Banaspati kepada Suji Angkara.
Suji Angkara mengangguk hormat sebagai tanda terima kasih bahwa tugasnya dihargai.
“Berkat doa Ki Banaspati, kami bisa selamat sampai di Sagaraherang, kendati di tengah jalan mengalami gangguan pengacau,” ujar Suji Angkara.
Berkerut alis Ki Banaspati mendengar laporan ini.
“Kami dihadang perampok di tengah hutan jati wilayah Wado,” kata Suji Angkara lagi.
“Perampok di hutan jati?” Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa terkejut dan saling pandang.
“Benar. Tapi yang mengagetkan kami, para perampok mengaku di bawah kendali Ki Banaspati. Kami secuil pun tidak mempercayainya. Namun begitu, kami akan tetap meminta penjelasan perihal ini,” kata Suji Angkara masih bernada hormat tapi tegas.
Untuk kedua kalinya, Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa saling pandang dengan alis berkerut. Nampak sekali kedua orang ini amat terkejut.
“Aku Bersyukur kalian tiba dengan selamat dan dapat menghalau penjahat. Tapi kalian harus percaya sepenuhnya, bahwa pengakun orang-orang jahat itu fitnah belaka,” kata Ki Banaspati dengan wajah geram.
Ki Sunda Sembawa pun menampakkan kegeraman, wajahnya yang putih bersemu merah dan bibirnya dikatupkan.
“Kau harus percaya anak muda, bahwa baik kepada Ki Banaspati, maupun kepadaku, ada kelompok-kelompok yang tidak suka. Mereka tidak suka bila kami berpengaruh di daerah sini. Mereka juga tidak suka kami masih tetap menjalankan kebijaksanaan memungut seba untuk Pajajaran. Mungkin kau tahu, di sini daerah apa dan siapa kira-kira yang tidak senang kepada kami,” kata Ki Sunda Sembawa.
Suji Angkara mengiyakan. “Wilayah Kandagalante Sagaraherang memang berbatasan dengan wilayah utara yang dikuasai orang-orang Cirebon. Mereka selalu membuat hambatan agar kita tak mengirimkan seba ke Pakuan,” kata Suji Angkara.
Ki Banaspati dan Ki sunda Sembawa sama-sama menggangguk tanda membenarkan pendapat anak muda itu.
“Tapi, mungkinkah mereka menyamar sebagai perampok, padahal mereka mengaku sudah mempercayai agama baru dan pantang melakukan kejahatan?” sambung Suji Angkara meminta pendapat.
“Kita bisa berjumpa denganNya hanya melalui hati dan naluri. MencariNya hanya menggunakan akal tak akan bias ditemukan. Akal tidak bisa menjawabnya bila ada pertanyaan mengapa Sang Rumuhun menciptakan kita, menciptakan binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam raya. Hanya dengan naluri saja kita mengakui kekuasaanNya,” kata Ki Banen.
“Bila hidup kita dikuasai olehNya, barangkali kita tak boleh berbuat semaunya, Aki!”
“Betul.”
“Tidak boleh sewenang-wenang.”
“Betul…”
“Tidak boleh merampas barang orang lain walau pun apa alasannya.”
“Betul…”
“Termasuk dengan alasan kepentingan seba…”
Ki Banen merandek, kemudian tunduk dan menghela nafas. ”Kau pasti tahu peristiwa di Kampung Wado, anak muda,” keluhnya.
“Aku singgah di sana sebelum menyusulmu, Aki” kata Ginggi menatap orang tua ini untuk mencari jawab peristiwa di Wado.
“Inilah bagian dari kemelut negara, anak muda.”
“Tapi menurutmu tempo hari, pengiriman seba ke Pakuan berlangsung tanpa musyawarah. Wilayah mana yang tetap bersetia terhadap Pakuan, dia pergi mengirim seba. Tetapi yang tidak mau, biarkan punya pendirian sekehendak hatinya sendiri,” tutur Ginggi menirukan apa yang telah diucapkan Ki Banen tempo hari.
“Memang begitu,” jawab Ki Banen.
“Nah! Tapi mengapa kalian memaksa orang Wado untuk mengirim seba ke Pakuan padahal ratunya sudah memilih ke Cirebon?”
“Memang kacau, kacau!” gumam Ki Banen. “Raden Suji punya pendirian keras. Dia tetap bersetia kepada Pakuan, bahkan berani memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Jadi menurutnya, semua orang harus tetap mengakui Pajajaran sebagai penguasa tunggal di tanah Sunda ini,” kata Ki Banen.
“Dan Aki sendiri akan bersetia ke mana?” tanya Ginggi.
“Aku ini orang Pajajaran. Sejak pemerintahan Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja lebih dari limapuluh tahun lalu, di masa remaja, aku sudah mengabdi sebagai jagabaya di beberapa kandagalante. Terakhir aku menjadi jagabaya bersama Ki Ogel di Karatuan Talaga dan baru berhenti ketika Talaga masuk wilayah Cirebon,” kata Ki Banen menerawang masa-masa yang telah lalu.
“Kau terus bersetia kendati raja-raja yang memimpin Pajajaran tidak sebaik pendahulunya, Aki?” tanya Ginggi mengerutkan alisnya.
Ki Banen menghela nafas. “Raja boleh berganti-ganti tetapi Pajajaran tetap sama. Dan kau harus ingat, bahwa sebetulnya kau hidup di bumi Pajajaran. Kepada Pajajaran pula kau harus mengabdi,” kata Ki Banen pasti.
“Aku tidak akan ikut campur pada pendirianmu, Aki. Tapi aku ingin mengingatkanmu, hati-hatilah dalam melakukan pengabdianmu. Kau jangan keliru memilih, jangan sampai kesetiaanmu dimanfaatkan untuk kepentingan lain oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab,” kata Ginggi.
Ki Banen menatap sejenak, kemudian tertawa kecil.
Ginggi tak faham, tawa kecilnya ini karena apa. Apakah karena ia mengerti akan peringatan pemuda itu, atau malah melecehkannya karena merasa dinasihati oleh anak muda.
“Satu lagi pertanyaanku, Aki,” kata Ginggi sesudah untuk yang kesekian kalinya menjungkat roda pedati yang masuk terhimpit sela-sela batu.
Ki Banen menoleh ke arah Ginggi.
“Aku ingin tahu, siapa Ki Banaspati itu?” tanya Ginggi.
“Aku belum jumpa dengan orang ini. Tapi pasti merupakan tokoh penting di Pakuan. Suji pun Nampak menyeganinya. Kata anak muda itu, Ki Banaspati petugas penting di jajaran Muhara Pakuan,’ jawab Ki Banen.
“Muhara…?”
“Muhara adalah petugas penarik pajak. Pucuk muhara di Pakuan dipegang oleh Bangsawan Soka, masih kerabat raja juga. Kata Raden Suji, Ki Banaspati bertugas sebagai muhara di wilayah timur, wilayah paling berat dalam pemungutan pajak, sebab selain jarak jangkaunya amat jauh, juga beberapa wilayah sudah memihak Cirebon. Raden Suji Angkara, putra Ki Kuwu Suntara, merupakan tangan kanan Ki Banaspati dalam pemungutan pajak di daerah timur,” kata Ki Banen.
Ginggi masih termangu-mangu di saat-saat santai bila pedati lancar berjalan.
“Tapi, tadi malam…” Ginggi tak melanjutkan kata-katanya.
Sedianya teriakan perampok yang mengaku anak buah Ki Banaspati akan ditanyakan. Tapi mana mungkin dia bertanya, padahal ketika teriakan itu terdengar, dia masih sembunyi. Ki Banen tak memperhatikan pertanyaan yang terpotong itu sebab ada suara Suji Angkara memanggil dirinya. Ketika matahari sudah condong ke barat, rombongan tiba di dusun kecil tepi Kali Cipeles. Di dusun ini mereka bermalam agar besok bisa melanjutkan perjalanan pagi-pagi sekali.
Tidak ada kejadian berarti di dusun kecil ini, kecuali adanya penghormatan berlebihan dari kepala dusun kepada Suji Angkara. Kepala dusun dengan rasa takut dan segera mengatakan bahwa dusunnya tak sanggup membayar seba kekayaan hasil bumi karena panenan palawija kurang berhasil.
“Kalau bisa diterima kami akan menjalankan dasa saja, yaitu membayar pajak dengan tenaga. Semua penduduk dusun siap sedia membantu mengangkut barang pikulan yang banyak ini,” kata kepala dusun.
“Baik, kalian kerjakan saja apa yang mampu kalian kerjakan. Yang penting kalian tetap mengabdi kepada Pajajaran,” kata Suji Angkara.
Kepala dusun merunduk dan menggangguk sebagai tanda bersyukur bahwa dia diizinkan membayar pajak berdasarkan kemampuan yang ada.
“Ada enam orang petugas kami yang luka-luka karena gangguan orang jahat di tengah perjalanan. Kau berkewajiban merawat anggota kami di sini. Dan karena kami butuh anggota pengganti, kau harus sediakan tenaga enam atau sekurang-kurangnya lima orang pemuda bertubuh sehat dan bertenaga kuat. Mereka harus bergabung dalam pengiriman seba yang bertugas hingga Sagaraherang,” kata Suji Angkara.
Kepala dusun mengganguk tanda siap melaksanakan perintah. Besok paginya, benar saja kepala dusun sudah menyiapkan enam orang pemuda yang tegap-tegap. Kepala dusun pun sudah mengatur agar enam orang petugas pengiriman seba yang luka ditampung di rumah-rumah penduduk untuk dirawat kesehatannya. Rombongan segera berangkat lagi. Kali ini, jalan pedati sudah tak seberat seperti di bukit-bukit hutan jati sana. Selain perjalanan tidak naik turun bukit, juga jalanan sedikit rata berdebu di saat kemarau yang tengah berlangsung ini.
Jalan pedati ini terus menyusuri Kali Cipeles dan yang kelak satunya akan menuju wilayah Kandagalante Sumedang dan satunya akan menyebrangi Kali Cipeles, terus ke utara menuju Sagaraherang, Cikao, Karawang, Tanjungpura, Warunggede, kemudian lurus ke barat menuju Cibarusa, Cileungsi, dan akan berakhir di ibukota Pajajaran, Pakuan.
“Tapi di beberapa daerah utara, bisa jadi kita tak akan melewati jalur utama sebab kekuatan Pasukan Cirebon di wilayah utara sudah nampak nyata. Kita harus menghindari percekcokan dengan mereka tentang urusan seba ini,” kata Suji Angkara.
Ki Banen mengatakan kepada Ginggi, perjalanan pengiriman seba ini memang tersendat-sendat tidak seperti masa-masa Pajajaran utuh menguasai tanah Sunda.
Pengiriman seba dari wilayah-wilayah yang diakui Cirebon sebagai wilayah mereka jelas akan ditentang mereka. Kata Ki Banen, jangankan melakukan perjalanan membawa seba secara terang-terangan di wilayah utara, menumpang lewat saja ke Sumedanglarang, rombongan ini tak berani melakukannya.
“Selepas Wado kemarin dulu misalnya, kita tak berani mengambil jalan bagus sebab harus melewati Pasanggrahan dan Ciguling, ibukota Karatuan Sumedanglarang. Berani masuk ke pusat wilayah mereka, kita akan menghadapi berbagai hambatan,” kata Ki Banen.
Sebelum matahari ada di atas kepala, rombongan sudah tiba di jalan bercagak tepi sungai. Satu lurus ke timur menuju wilayah kandagalante Sumedang, satunya menyebrang Sungai Cipeles menuju utara ke Sagaraherang. Di jalan bercagak ini memang terdapat sebuah gardu tempat orang beristirahat. Tapi tidak seperti dikatakan Suji Angkara, ternyata di sini tidak diketemui seseorang yang mengaku utusan Ki Banaspati. Gardu itu kosong.
“Kita terlambat satu hari, sebab seharusnya kita tiba disini kemarin pagi,” kata Suji Angkara kemudian.
“Jadi, kita mesti bagaimana Raden?” tanya Ki Ogel.
“Kita lanjutkan perjalanan sampai ke Sagaraherang saja,” katanya.
Yang mendengarkan perkataan Suji Angkara saling pandang satu sama lain.
“Raden, orang-orang kita ini tidak dipersiapkan untuk melakukan perjalanan sejauh itu. Mereka hanya bertugas sampai selepas Sumedanglarang saja,” kata Ki Banen.
“Boleh, siapa yang tidak siap ikut denganku?” tanya Suji Angkara sambil meneliti tiap-tiap orang.
Tapi tidak seorang pun berani berkata tidak. Tidak pula Ki Banen. “Saya siap mengikuti anda ke mana saja, Raden,” kata Seta bersemangat.
“Saya pun siap bersama anda apa pun yang terjadi!” Madi tak kalah semangatnya.
Suji Angkara menyipitkan mata dan melihati setiap wajah anak buahnya. Semuanya nampak mengangguk-angguk tanda siap.
“Hei, kamu anak bodoh, bagaimana?” Suji Angkara menatap ke arah Ginggi.
“Aku juga siap sampai mati!” teriak Ginggi bersemangat.
Suji Angkara tersenyum mendengarnya. “Ternyata tak ada yang pengecut melakukan perjalanan jauh, Paman Banen,” kata Suji Angkara tersenyum kecil.
KiBanen menunduk. Dan akhirnya perjalanan dilanjutkan menyebrangi jembatan gantung Sungai Cipeles. Perjalanan menuju utara juga terasa sangat berat kendati tidak seberat di hutan jati wilayah Wado. Daerah utara sebetulnya merupakan wilayah dataran rendah. Dan kian ke utara kian rendah sebab menuju pantai. Tapi sebelum tiba di dataran rendah, perjalanan akan melewati wilayah pegunungan hutan pinus dan cemara yang amat lebat. Di beberapa tempat, jalan pedati akan melalui lembah dan ngarai di mana matahari tidak bisa tembus ke bumi.
Rombongan harus berkejaran dengan waktu dan Suji Angkara tak memperkenankan matahari lebih tiba sampai di barat dibandingkan dengan rombongannya. Untuk itu, dia memerintahkan agar rombongan berjalan cepat.
Keinginan pemuda tampan ini memang bias dilaksanakan sebab kondisi jalan di daerah ini sedikit lebih baik ketimbang tempat-tempat yang sudah dilalui. Jalan pedati di daerah ngarai, kendati berkelok-kelok dan turun naik tapi permukaan jalan sedikit rata dan memudahkan roda pedati untuk menggelinding dengan mudah. Hanya satu kali saja ada gangguan di perjalanan yaitu ketika ke tengah jalan melintas seekor ular yang cukup besar. Oleh mereka, ular itu dibunuh ramai-ramai dan dagingnya dipanggang.
Menjelang senja hari, rombongan sudah berhasil melintasi hutan perbukitan dan mereka tengah menempuh perjalanan menurun menuju daerah dataran rendah. Sebelum matahari benar-benar tenggelam, rombongan sudah tiba di wilayah Kandagalante Sagaraherang. Lawang kori (gerbang) yang sedianya akan segera ditutup, harus menunggu mereka masuk. Sejenak rombongan mendapatkan pemeriksaan. Dan tak berapa lama kemudian petugas mengizinkan rombongan ini memasuki pintu gerbang.
“Ki Banaspati sudah lama menunggu kedatangan rombongan kalian,” kata jagabaya.
Bergetar dada Ginggi mendengarnya. Mengapa tidak begitu, sebab ini adalah pertemuan pertama dengan orang yang menjadi murid Ki Darma. Melalui Ki Banaspati ini, Ginggi akan segera mendapat petunjuk dan pengarahan perihal tugas-tugas yang dibebankan Ki Darma padanya.
Namun kendati demikian, pemuda ini tetap akan bersifat hati-hati dan tak akan begitu saja memperkenalkan diri. Dia tetap teringat akan teriakan pimpinan perampok di hutan jati bahwa mereka anak buah Ki Banaspati. Biarlah. Yang disebut Ki Banaspati ini ternyata seorang lelaki setengah baya berusia kurang lebih limapuluh tahun. Lelaki ini nampak gagah dan berwibawa. Tubuhnya tinggi besar dan dadanya bidang. Dia berpakaian seperti bangsawan, menggunakan pakaian bedahan lima jenis beludru coklat.
Celana komprang hitam dengan ornamen warna emas. Pinggangnya dililit ikat pinggang terbuat dari kulit rusa, indah dan gagah. Sedangkan kepalanya ditutup bendo citak dari kain batik corak hihinggulan, Yang membuat Ki Banaspati lebih berwibawa adalah juga penampilan wajahnya. Matanya tajam berkilat, sepasang alis tebal melengkung seperti golok dan hidungnya mancung agak melengkung. Ada kumis tipis di atas bibir menambah kegagahannya.
Ki Banaspati duduk bersila di ruangan tengah yang cukup luas dengan lantai mengkilat terbuat dari papan jati. Di sampingnya duduk seorang lelaki setengah baya lainnya tapi dengan penampilan tak kalah gagahnya. Atau malah bisa juga lebih gagah Mungkin karena jenis pakaiannya lebih mewah, di mana baju bedahan tengah yang dikenakannya terbuat dari bahan antik yang bukan dibuat di Pajajaran.
Kalau Ginggi pernah mengenalnya, jenis kain yang digunakan untuk baju bedahan tengah ini hanya dipakai oleh para saudagar yang sering berhubungan dengan saudagar bangsa asing saja, sebab jenis kain yang didapat merupakan hasil pertukaran dengan barang-barang keperluan yang mereka butuhkan dari bumi Pajajaran.
Lelaki ini juga memakai tutup kepala berupa bendo citak dengan motif batik warna lain. Hanya bedanya, tepat di bagian depan bendo, dihiasi ornamen logam warna emas, sehingga ketika lampu minyak kelapa yang digantung di ruangan tengah menerangi, ornamen itu memantulkan warna-warna gemerlap. Wajahnya agak bulat telur, berkulit putih bersih dan ada kumis tebal di bawah hidungnya yang sedikit mancung.
Ki Banaspati memperkenalkan lelaki ini sebagai Ki Sunda Sembawa, seorang pejabat berpangkat Kandagalante (setingkat wedana untuk masa kini-pen) yang mengusai wilayah Sagaraherang. Hanya lima orang yang berkenan duduk di ruang tengah menghadap Ki Sunda Sembawa dan Ki Banaspati, sebab yang lain-lainnya termasuk Ginggi, duduk bersila ditepas (beranda) saja.
“Terima kasih engkau berhasil mengawal barang seba hingga ke tujuan,” kata Ki Banaspati kepada Suji Angkara.
Suji Angkara mengangguk hormat sebagai tanda terima kasih bahwa tugasnya dihargai.
“Berkat doa Ki Banaspati, kami bisa selamat sampai di Sagaraherang, kendati di tengah jalan mengalami gangguan pengacau,” ujar Suji Angkara.
Berkerut alis Ki Banaspati mendengar laporan ini.
“Kami dihadang perampok di tengah hutan jati wilayah Wado,” kata Suji Angkara lagi.
“Perampok di hutan jati?” Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa terkejut dan saling pandang.
“Benar. Tapi yang mengagetkan kami, para perampok mengaku di bawah kendali Ki Banaspati. Kami secuil pun tidak mempercayainya. Namun begitu, kami akan tetap meminta penjelasan perihal ini,” kata Suji Angkara masih bernada hormat tapi tegas.
Untuk kedua kalinya, Ki Banaspati dan Ki Sunda Sembawa saling pandang dengan alis berkerut. Nampak sekali kedua orang ini amat terkejut.
“Aku Bersyukur kalian tiba dengan selamat dan dapat menghalau penjahat. Tapi kalian harus percaya sepenuhnya, bahwa pengakun orang-orang jahat itu fitnah belaka,” kata Ki Banaspati dengan wajah geram.
Ki Sunda Sembawa pun menampakkan kegeraman, wajahnya yang putih bersemu merah dan bibirnya dikatupkan.
“Kau harus percaya anak muda, bahwa baik kepada Ki Banaspati, maupun kepadaku, ada kelompok-kelompok yang tidak suka. Mereka tidak suka bila kami berpengaruh di daerah sini. Mereka juga tidak suka kami masih tetap menjalankan kebijaksanaan memungut seba untuk Pajajaran. Mungkin kau tahu, di sini daerah apa dan siapa kira-kira yang tidak senang kepada kami,” kata Ki Sunda Sembawa.
Suji Angkara mengiyakan. “Wilayah Kandagalante Sagaraherang memang berbatasan dengan wilayah utara yang dikuasai orang-orang Cirebon. Mereka selalu membuat hambatan agar kita tak mengirimkan seba ke Pakuan,” kata Suji Angkara.
Ki Banaspati dan Ki sunda Sembawa sama-sama menggangguk tanda membenarkan pendapat anak muda itu.
“Tapi, mungkinkah mereka menyamar sebagai perampok, padahal mereka mengaku sudah mempercayai agama baru dan pantang melakukan kejahatan?” sambung Suji Angkara meminta pendapat.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment