Ads

Monday, November 8, 2021

Kidung Senja Jatuh di Pajajaran 005

Antara sadar dan tidak karena kantuk masih juga menyerangnya, Ginggi mencoba mengucak-ngucak kedua belah matanya. Diapun segera menggoyang-goyangkan kepalanya mencoba mengusir rasa kantuknya itu. Ginggi memang harus bangun pagi untuk membuat langkah perjalanan selanjutnya. Mana yang lebih penting, melanjutkan perjalanan atau mencoba mencari pekerjaan di desa ini. Nampaknya memang ada tawaran kerja disini. Tapi tawaran kerja apa, dia tak tahu.

“Biar nanti kuputuskan seusai mandi saja,” gumamnya sendirian.

Di gardu tinggal dia sendirian sebab Ki Ogel entah sudah pergi kemana, begitu pun Ki Banen. Perkara kedua pemuda bernama Madi dan Seta yang tak dia senangi, Ginggi tak perlu mengingatnya. Tak kutemui lagi pun tak mengapa, pikirnya.

Ginggi menjinjing buntalan kainnya menuju lawang kori untuk keluar kampung, sebab menurut Ki Ogel, pancuran tempat mandi ada diluar benteng kampung. Pintu lawang kori sudah terbuka lebar namun tak ada penjaga disana. Sebagai tanda, pada siang hari penduduk tak merisaukan akan adanya gangguan yang tak diharapkan.

Ginggi melangkah ke luar kampung. Beberapa ratus langkah mengikuti jalan utama, dia sudah menemukan jalan setapak ke kiri, menurun dan membelok. Ginggi mengikuti arah ini, sebab sayup-sayup dia mendengar suara air pancuran.

Benar saja, disana ada pancuran. Airnya bening keluar dari sebuah mata air di bukit terjal. Mengucur turun melalui sela-sela batu cadas dan kemudian ditampung saluran bambu. Air pancuran itu jatuh terus-menerus membentuk sungai kecil berbatu. Banyak hamparan batu kecil rata mengkilap, mungkin selalu digunakan orang mencuci kain.

Karena disitu masih sunyi, maka dengan leluasa Ginggi menanggalkan seluruh pakaiannya. Baju kampret warna nilanya dibuka, begitupun celana sontongnya. Dan brus, begitu saja dia membiarkan seluruh badannya diguyur air pancuran yang dingin menusuk tulang sumsum. Sampai pada suatu saat terdengar jeritan tertahan dari arah jalan setapak. Ginggi menoleh dan amat terkejut, sebab jeritan itu keluar dari mulut seorang gadis. Gadis itu menutup mulutnya, membalikkan badan dan berlindung dibalik rimbunan pohon.

“Nanti dulu, aku masih telanjang bulat!” seru Ginggi mempercepat mandinya.

“Saya sembunyi disini, tidak lihat engkau!” terdengar jawaban dari balik pohon. “Tapi kau salah. Seharusnya tidak mandi di pancuran ini. Ini tempat mandi dan cuci kaum wanita!” seru suara di balik rimbunan pohon itu.

“Kau gadis yang tadi malam menyodorkan penganan di rumah Rama Dongdo, bukan?”

“Betul! Beliau kakekku!” jawab dari balik rimbun pohon lagi.

“Mengapa tak mengobrol denganku?”

“Ih, tak sopan benar, seorang gadis mengajak berbincang kepada orang yang baru dikenalnya!”

“Sekarang kan bisa?”

“Ih, cepatlah, ketahuan orang lain, kau nanti dimarahi!” kata suara dibalik rimbunan pohon itu. “Laki-laki tak boleh sembarangan dekat-dekat pancuran ini!” katanya pula masih sembunyi.

“Ini, aku sudah jauh dari pancuran!” kata Ginggi yang sudah berdiri di dekat gadis itu.

Gadis berkain dan berkebaya hitam dengan rambut terurai sebatas pinggul ini terkejut manakala membalikkan badan sudah melihat seorang pemuda berikat kepala dan berpakaian kampret dengan rapih.

“Kapan kau selesai mandi? Tak kudengar gerakanmu,” katanya menatap wajah pemuda itu selintas, namun bisa meneliti hidung pemuda itu yang sedikit mancung, bola mata bundar dan dagu sedikit terbelah dua ini.

Sebaliknya Ginggipun terpesona melihat lesung pipit di pipi kiri gadis itu. Hidungnya kecil mancung serta bibir tipis sedikit merah, dengan sudut-sudut mata yang tajam dengan mata yang hitam legam. Ginggipun terpesona melihat ke celah di bagian dada, ada kulit kuning langsat agak montok menonjol dan menantang selera kaum lelaki.

Gadis itu rupanya tahu apa yang diperhatikan pemuda itu, dan serta merta melindungi bagian yang jadi incaran mata penatapnya. Kini giliran Ginggi yang tersipu-sipu. Pipi dan telinganya terasa panas manakala dia menduga bahwa apa yang dia lakukan dengan matanya diketahui dan dirasakan gadis itu.

“Plakk!”

Pemuda itu menempeleng pipinya sendiri dan membuat bengong gadis itu.

“Apa yang kau lakukan, Kang?” tanya gadis itu heran.

“Ada… ada nyamuk di pipiku!” kata pemuda itu gagap.

Sang gadis yang kini diketahui menjinjing cucian di sebuah ember kayu terkekeh lucu mendengarnya.

“Kok, urusan nyamuk saja ditertawakan?” kata Ginggi heran.

“Lucu, baru kali ini di kampungku banyak nyamuk pada pagi hari…” kata gadis itu terkekeh lagi. Tangannya yang putih lentik itu digunakannya menutup renyah tawanya.

Ginggi tersenyum. “Memang tak ada nyamuk, sih…” katanya menggaruk belakang kepala. “Mari, aku bawakan jinjinganmu, nampaknya berat,” kata pemuda itu menawarkan jasa.

“Sudah biasa aku bawa jinjingan macam begini saban pagi,” kata gadis itu sebagai tanda menolak tawaran pemuda itu.

“Ini karena sekalian saja. Aku juga mau mencuci pakaian kotor !” kata Ginggi sedikit memaksa.

“Ih, sudah aku katakan, lelaki tidak disini! Ayo, sini saja cucianmu, aku yang bersihkan!” kata gadis itu, langsung mengambil pakaian kotor yang tengah digapit Ginggi.

Pemuda itu mandah saja pakaian kotornya diambil gadis itu. Bahkan di hatinya ada perasaan senang gadis itu mau melakukan untuknya.

“Aku tunggu disana, ya?” kata Ginggi.



“Ah, sudahlah. Dirumah ada ubi rebus, sengaja aku buatkan. Lagi pula, kakek ingin bertemu kau,” kata gadis dengan rambut halus menghiasi jidatnya ini sambil berlalu menuruni anak tangga batu.

Ginggi menyimak langkah kaki gadis itu, sampai hilang di kelokan. Ginggi menghela nafas, entah karena apa. Tapi dia lupa akan ucapan gadis itu bahwa dia ditunggu Rama Dongdo. Dia malah memilih batu sebagai tempat duduk di pinggir jalan itu. Duduk termenung namun dengan hati ringan dan senang. Apalagi ketika didengarnya sang gadis mempermainkan air pancuran karena sedang membersihkan badan.

Pemuda itu membayangkan, betapa Si Gadis tengah menyibakkan dan menguraikan rambutnya yang hitam legam agar diguyur air dingin dan jernih itu. Diapun membayangkan, betapa kulit wajah yang putih halus itu ikut diguyur, juga pundaknya yang sedikit berbulu tipis-tipis, juga betisnya, juga dadanya yang montok. Dan, ah, semuanya diguyur air pancuran itu.

Beruntung benar sang pancuran, dia bisa bebas dan semena-mena menyaksikan tubuh mulus tanpa busana itu. Berbahagia sekali sang air gunung, dia dengan bebas dan semena-mena mengelus-elus semua lekuk dan bagian tubuh mungil itu. Sialan benar! Pasti tak ada yang terlewat, semua lekuk dan relung dirambahnya oleh air keparat itu!

“Tuk!”

Ginggi mengetuk ubun-ubunnya sendiri. Benar kata Ki Darma tempo hari, kalau tak ada kendali, lari kuda bisa kemana saja. Tidak pula untuk jalan pikiran manusia. Dan ingat ini, Ginggi segera berdiri. Dia akan mengunjungi Rama Dongdo seperti apa yang dipesankan gadis itu. Dia melongok sebentar ke arah jalan setapak yang menurun dan berkelok itu sebelum meninggalkannya. Namun baru saja akan membalikkan badan untuk berlalu,

“tuk!”, kepala bagian belakangnya terasa ada yang memukul.

Ginggi menoleh ke belakang. Bukan karena sakit tapi karena terkejutnya. Rasanya, sudah dari tadi dia menggetok kepalanya sendiri, mengapa sekarang terasa ada getokan lagi.

“Kau mencuri lihat orang mandi, ya?” kata seseorang mengamangkan alat pikul.

Ternyata yang datang adalah Madi, pemuda jangkung hitam bergigi tonghor itu. Dia pasti telah menggetok kepala Ginggi dengan ujung pikulan.

“Siapa bilang aku mengintip orang mandi?” kata Ginggi menolak tuduhan.

“Pasti mengintip. Kalau tak begitu, masa engkau diam disini. Dibawah kan pancuran tempat orang mandi?” kata si tonghor dengan pikulan siap dipukulkan lagi.

“Aku tak mengintip orang mandi. Aku bahkan baru saja mandi,” kata Ginggi lagi.

Mendengar perkataan ini, sitonghor membelalakkan mata. Melihat ke jalan setapak arah pancuran, lantas berpaling kembali ke wajah Ginggi.

“Kau maksudkan mandi di pancuran ini?”

Ginggi menganggukkan kepala.

“Sialan kau! Tidak tahukah bahwa ini pancuran untuk kaum wanita?” bentak si tonghor berteriak. Mulutnya terbuka lebar dan gigi tonghornya kian kentara. Kuning, kehitaman dan jarang-jarang.

“Ah, biar saja!” kata Ginggi mencoba berpura-pura tak acuh akan kemarahan si tonghor.

Merasa diabaikan, pemuda kurus jangkung dan hitam ini segera mengayunkan pikulan yang kini digunakan sebagai pentungan. Sudah barang tentu, Ginggi tak rela ubun-ubunnya begitu saja menerima pentungan, apalagi ini dilakukan dengan pengerahan tenaga. Tetapi pemuda ini pun tak mau membuat orang mencurigai bahwa dia memiliki ilmu berkelahi. Ginggi menutup wajah rapat-rapat dengan kedua belah telapak tangannya dan berteriak minta tolong.

Namun sambil meringis dia menunduk dan mundur setindak. Hanya terdengar ujung pikulan bersiut lewat beberapa sentimeter saja tapi ubun-ubun pemuda itu lolos dari serangan. Ginggi lari kesana-kemari sambil teriak minta tolong, dikejar pemuda tonghor dengan beringas.

Sementara semakin matahari bersinar, semakin banyak orang menuju pancuran, laki-laki dan perempuan. Mereka heran sepagi ini ada orang teriak-teriak ketakutan. Beberapa orang berlarian mendatangi tempat kejadian dan mendapatkan dua anak muda saling berkejaran. Yang satu minta tolong satunya lagi melayangkan pikulan ke kiri dan ke kanan. Seorang pemuda yang jauh lebih awal tiba disana mencoba menghentikan aksi kejar mengejar.

“Madi, mengapa engkau hendak menganiaya pemuda itu?” tanyanya, sambil menahan gerak Madi.

“Dia brengsek! Dia kurang ajar, Seta!”

“Brengsek dan kurang ajar karena apa, Madi?” tanya Seta sambil mendelik kepada Ginggi.

“Dia mandi di pancuran wanita. Ketika aku peringatkan, malah bilang biar saja. Begitukan kau bilang tadi?”

“Apa tadi perkataanku kau dengar lain?” Ginggi ringan saja menjawabnya.

“Tuh, kurang ajar, kan? “

“Kurang ajar bagaimana,” Ginggi memotong. “Kubilang biar saja karena tadi hari masih pagi dan tak ada wanita mandi disana,” katanya.

Tapi berbareng dengan itu, dari jalan setapak arah pancuran, muncul gadis rambut tergerai sebatas pinggul sambil menjinjing ember kayu dengan setumpuk cucian.

Gadis berlesung pipit ini hanya mengenakan kain hitam sebatas dadanya dan membuat seluruh lekuk-relung tubuhnya tercetak erat dan ketat, membikin ketiga pemuda itu terpana dan melongo. Si gadis yang melangkah cepat karena mendengar ribut-ribut, segera menutupi bagian dadanya dengan tangan kiri setelah tahu bahwa ketiga pemuda itu matanya seragam menyorot ke arah bagian badan yang barusan dia tutupi.

Semuanya tersipu-sipu malu karena kelakuannya ini. Tapi rasa malu Seta berubah menjadi kemarahan. Dia cepat menghambur ke arah Ginggi, dan

“plak-plak-plak!” Tiga tamparan mendarat di pipi Ginggi.

Gadis itu menjerit kecil karena peristiwa ini.

“Hai, mengapa kau tampar wajahku?” Ginggi lebih merasa heran ketimbang sakit melihat Seta menamparnya beberapa kali.

“Kau kurang ajar menatap wanita lewat!” bentak Seta.

“Kalau begitu, tamparlah juga wajahmu tiga kali, malah empat kali buat temanmu itu, sebab dia menatap gadis itu sambil menelan air liurnya!” kata Ginggi tersenyum.

Tapi omongan ini kian menyulut kemarahan Seta. Dibantu Madi ia kembali menghambur menerjang Ginggi. Para wanita yang menyaksikan pertengkaran ini menjerit-jerit ngeri karena baik Madi ataupun Seta dengan garangnya mengayunkan pikulan untuk mencecar kepala Ginggi.

Yang diserang malah hanya berteriak-teriak minta tolong sambil meringis dan menutupi wajahnya. Ketika ayunan alat pemikul yang dipegang Seta hendak menyabet tengkuk, kaki Ginggi tersandung akar dan jatuh terjerembab. Namun akibatnya, sabetan ke arah tengkuk menjadi lolos. Ketika pikulan Madi hendak mencecar pinggulnya, Ginggi bangun dengan cara berguling dulu ke kiri. Santai saja dia melakukannya, namun gerakan menggulir badan dilakukan dengan pas, sehingga serangan alat pikul hanya menggebuk permukaan tanah.

Sambil menepuk-nepuk celana kampretnya karena kena debu, Ginggi berdiri dan secuilpun tidak melirik ke arah penyerangnya yang mulai mengepung dirinya. Kedua orang itu mengelilinginya sambil memutar-mutar alat pikul. Madi ada di belakang dan Seta ada di depannya. Sambil memutar alat pikul, kedua orang itu melakukan langkah-langkah mantap dan itu merupakan kuda-kuda semacam ilmu berkelahi.

Ginggi sendiri tetap menampilkan diri sebagai seorang yang tak mengenal ilmu kedigjayaan, seperti apa yang dipesankan Ki Darma. Di samping ingat pesan orang tua itu, Ginggipun merasa tak punya kepentingan untuk mengeluarkan jurusnya, sebab menurutnya, ini hanya urusan sepele saja.

Menghadapi pasangan kuda-kuda kedua orang yang mengepungnya, Ginggi hanya meringis saja. Kedua tangannya di depan dada seperti orang ketakutan dan minta diampuni.

Beberapa orang yang sedianya hendak ke pancuran atau hendak berangkat ke ladang, menyuruh mereka supaya berhenti saja. Gadis semampai berlesung pipitpun berteriak-teriak menyuruh untuk menyelesaikan urusan ini.

Namun Seta dan Madi sepertinya masih memiliki rasa penasaran bila belum menggebuk pemuda bodoh tapi ugal-ugalan ini. Secara serentak keduanya melakukan serangan. Madi mengemplangnya dari belakang Seta menyodoknya dari depan. Ginggi menjerit ngeri, begitupun yang lain, semuanya akan membayangkan bahwa sebentar lagi ubun-ubun kepala Ginggi akan kena kemplang alat pikul yang keras itu dan ulu hatinya pasti tersodok ujung pikulan ditangan Seta.

Untuk kesekian kalinya, Ginggi berteriak minta tolong sambil punggungnya membungkuk ke depan. Karena gerakan membungkuk ini, kemplangan dari belakang hanya menggebuk angin. Sedangkan serangan Seta hanya akan lolos sementara ketika tubuh Ginggi melenting ke belakang.

Bila Ginggi tak menjatuhkan tubuhnya ke samping, akhirnya sodokan akan kena juga. Sambil telapak kaki menginjak tonjolan batu, Ginggi pura-pura terpeleset dan jatuh ke samping. Dilain fihak, Seta terlanjur mengeluarkan tenaga sodokan sepenuhnya, sehingga manakala sodokan itu gagal, tubuh Seta terjerembab ke depan.

Akan halnya pemuda Madi yang merasa kemplangan pertama gagal, secara cepat mengayunkan alat pikulnya untuk menyabet badan Ginggi bagian samping. Namun tubuh Ginggi sudah jatuh duluan ke arah berlawanan karena terpeleset batu. Padahal ketika serangan itu datang, amat bersamaan dengan munculnya tubuh Seta yang terjerembab ke depan. Akibatnya tak ayal, jidat Seta terkena sabetan ujung pikulan. Tidak telak benar, namun cukup membuat jidat pemuda itu benjol dan warna hijau menghiasi benjolan itu.

Orang-orang tertawa melihatnya. Betapa tidak, serangan dua orang pengepung, dikacaukan begitu saja hanya karena yang diserang terpeleset kakinya. Lebih lucu dari itu, terjadi kesalahan penyerangan sehingga yang satu menyerang kawan satunya lagi. Madi terkejut menyaksikan hasil kerjanya lain dari harapan. Sebaliknya Seta menjadi kesal dibuatnya. Sambil menahan rasa sakit di jidat, Seta menghambur ke arah Madi.

“Hai, Seta mengapa malah menyerangku!” teriak Madi menangkis serangan Seta. “Mengapa kau menggebukku?”

Seta kembali melayangkan kemplangan. Dan, pletaaak!!! Ujung pikulan mendarat di dahi Madi. Yang dipukul balik menyerang, sehingga keduanya akhirnya saling kemplang disertai sumpah serapah. Kini suara jerit penonton disertai teriakan kesakitan sebab yang bergumul, satu sama lain berhasil mengemplang lawannya.

“Hai! Hai! Jangan berkelahi! Berhenti! Berhenti!” Ginggi sibuk melerai kedua orang yang baku hantam ini.

Akhirnya semua orang ikut terjun melerai perkelahian ini. Dan suasana kacau di pagi hari, disaat burung berkicau di hutan sana, berhenti manakala terdengar suara keras memekik dan menyakitkan telinga.

“Berhenti! Apa-apaan sepagi ini kalian sudah saling kemplang, hah?” kata orang itu.

Semua mundur teratur sebab yang datang adalah Ki Kuwu Suntara. “Mengapa kalian berkelahi?” tanyanya lagi.

“Karena anak dungu itu, Ki Kuwu!” kata Seta menunjuk ke arah Ginggi.

“Karena apa?”

“Dia mengintip orang mandi, Ki Kuwu!”

“Lantas, mengapa malah kalian yang berkelahi?”

Keduanya tak bisa menjawab. Saling pandang dan akhirnya menunduk. Giliran Ginggi yang diperiksa Ki Kuwu.

“Kau mengintip orang mandi, anak dungu?”

“Aku hanya kena tuding saja, Ki Kuwu!” jawab Ginggi.

“Dia juga mengaku mandi di pancuran khusus wanita, Ki Kuwu,” kata Madi sambil memegangi pipinya yang tergores serangan Seta dan sedikit mengeluarkan darah.

“Kau mandi di tempat wanita?” tanya Ki Kuwu Suntara.

“Betul, tapi disaat pancuran sunyi. Aku mandi paling pagi, Ki Kuwu,” jawab Ginggi pula.

“Bohong Ki Kuwu, sebab di pancuran ada Nyai Santimi. Begundal ini pasti habis menggoda gadis itu, Ki Kuwu!” kata Seta dengan wajah merah dan bibir bengkak kena sabetan Madi.

Wajah pemuda tampan ini jadi kian tak keruan bila ditambah hiasan jendol sebesar telur ayam di jidatnya.

“Nyai, kau mandi bersama pemuda tolol itu?”

Ki Kuwu mendeleng ke bagian dada gadis yang segera Nyi Santimi halangi dengan tangan kanannya.

“Ih, siapa bilang! Dia mandi duluan sebelum saya datang ke pancuran. Saya juga katakan padanya bahwa lelaki tak diperbolehkan mandi di pancuran ini,” tutur Nyi Santimi marah.

“Dia memaksa?”

“Dia sedang mandi ketika saya katakan perihal aturan itu!” kata Nyi Santimi.

“Apa kau mendekati pemuda itu padahal dia sedang mandi, Nyai?” tanya Ki Kuwu Suntara dengan suara setengah menyelidik.

Tampak wajah Nyi Santimi merah merona. “Saya hanya bicara dari balik rimbunan pohon, Ki Kuwu!” katanya menundukkan wajah.

“Bagus !” kata Ki Kuwu bergembira.

“Anak itu belum tahu tata-aturan disini, harap maafkan saja Ki Kuwu,” kata seseorang dengan lemah lembut.

Ternyata yang datang adalah Rama Dongdo. Barangkali dia memaksa datang karena keributan ini. Ki Kuwu Suntara memandang Rama Dongdo dengan wajah dingin, tapi kemudian dia mengangguk.

“Ya, kali ini aku maafkan dia!” katanya sambil berlalu.

“Ayo, bubar semua. Bubar. Urusan selesai!” katanya kepada penduduk yang bergerombol.

Semuanya taat dan kembali mengerjakan tugas masing-masing. Yang akan pergi mencuci pergi ke pancuran dan yang akan berangkat ke ladang kembali memanggul cangkul.

Madi dan Seta yang sedianya mengambil air minum di mata air pun kembali memikul gentongnya yang masih kosong. Namun belum beranjak dari tempat itu sebab nampak Ginggi mendekati Nyi Santimi.

“Nyai, baru tahu sekarang namamu Santimi. Indah benar, pas sekali dengan semampai tubuh dan mungil wajahmu,” kata Ginggi. “Oh, ya, maafkan keributan ini. Tapi sungguh aku tak mengintipmu,” katanya lagi.

Madi dan Seta mendengus. Nyi Santimi juga rupanya agak terpengaruh oleh sangkaan kedua pemuda ini. Buktinya wajahnya agak cemberut.

“Nih pakaianmu, sudah aku cucikan, sudah bersih!” katanya menyerahkan cucian kepada Ginggi.

“Ah, jasamu tidak akan kulupakan, Nyai. Perlu aku balas. Ayo, biar semua cucian itu, aku yang bawa. Kalau kau mau menyuruhku mengambil air bersih, akan aku lakukan pula!” kata Ginggi.

“Mari Nyai, biar aku saja yang membawakan cucian itu!” kata Madi menawarkan jasa.

“Ya, cepat, kau yang bawa Madi!” kata Seta setengah memerintah.

“Biarlah, saya tiap pagi juga membawanya sendiri,” Nyi Santimi menolak. Entah kepada siapa, mungkin semuanya.

Madi dan Seta termangu. Tapi Ginggi segera menyabet ember dan tempat air dari bambu. Dia segera membawanya pergi.

“Hai, biarkan saya yang bawa! Biarkan!” seru Nyi Santimi sambil berlari kecil memburu pemuda itu.

Namun sesudah keduanya berdekatan, mereka malah berjalan sama-sama. “Nyi Santimi, kau tidak punya malu mencucikan pakaian orang asing yang dungu itu!” teriak Madi kesal.

Seta hanya menggigit bibirnya sambil meringis menahan sakit. Dia lupa bahwa bibirnya pun bengkak kena sodokan temannya. Ginggi dan Nyi Santimi melangkah cepat menyusul Rama Dongdo yang nampak sudah memasuki lawang kori.

“Kau harus percaya Nyai, aku tak mengintipmu mandi,” kata Ginggi di tengah jalan.

“Tapi mengapa kau masih di dekat-dekat situ?” Tanya Nyi Santimi masih kurang percaya.

“Ya, gimana, ya? Ah, pokoknya aku tak mengintipmu. Percayalah, aku jujur bicara!” Ginggi minta dipercaya.

“Sejujur matamu itukah?” Nyi Santimi menyindir tapi Ginggi tak mengerti. “Lelaki dimana-mana sama saja!”

“Sama apanya, Nyai?”

“Matanya itu!”

Nyi Santimi menunjuk pada mata Ginggi. Pemuda itupun serentak meraba kedua bola matanya.

“Ah, aku kira mataku hanya bulat saja. Tapi Si Tonghor itu matanya melotot besar. Dan Si Seta biarpun tampan tapi matanya cekung. Mengapa kau katakan sama, Nyai?’ Ginggi heran dibuatnya.

“Bukan ukurannya, tapi jelalatannya, tolol!” kata Nyi Santimi membentak sambil tertawa.

Untuk kesekian kalinya orang menyebut tolol padanya. Tapi yang ini rasanya lain. Ginggi merasa senang.

“Macam-macam orang menggunakan matanya itu, Nyai ada yang karena nafsu ada juga karena kagum. Bila melihat sesuatu yang indah, mata akan senang dan kagum melihatnya. Yang salah mungkin tubuhmu, mengapa begitu indah,” kata Ginggi terus terang, membuat rona merah di wajah gadis itu timbul kembali. “Tapi aku heran Nyai, kekagumanku akan sesuatu yang indah jadi membuat kemarahan orang. Buktinya kedua pemuda itu marah besar padaku hanya karena… ya, mataku yang jelalatan itulah. Padahal, merekapun sebetulnya sama saja! Engkau tak adil hanya aku saja yang engkau marahi?”

“Aku malah sering memarahi kedua orang yang menyebalkan itu. Mereka sering menggodaku dan mereka sering cemburu buta. Mereka benci padamu sejak kehadiranmu pertama kali malam tadi!” kata Nyi Santimi.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment