Ginggi mengangguk-angguk.
“Seringkah para tugur menangkap penjahat, Ki?”
“Tidak dikatakan sering. Sebab pada umumnya penjahat selalu menghindari bentrokan dengan tugur. Kalau kita lengah mereka masuk. Tapi bila kita siaga, mereka tak ada,” kata Ki Ogel.
Ki Banen hanya batuk-batuk kecil saja sambil mengorek-ngorek kuping dengan jari kelingkingnya.
“Tapi, ya begitulah, seperti apa yang dikatakan Rama tadi, yang namanya penjahat bukan terbatas pada pencuri dan penyamun saja. Yang datang ke kampung ini dengan niat mengacaukan, memang tidak sedikit,” kata Ki Ogel setengah mengeluh.
“Heran. Kalau bukan pencuri atau penyamun, untuk apa mereka berbuat kejahatan mengacau desa?” gumam Ginggi seperti bicara pada dirinya sendiri.
Ki Ogel ikut menghela napas. “Sekarang ini jaman kacau, anak muda. Musimnya orang berambisi untuk memperoleh kesenangan, musimnya orang menganggap dirinya benar dan menuding orang lain salah serta musimnya keserakahan dan kemunafikan merajai kehidupan. Ada orang yang merasa punya kebenaran dan hal itu dipaksakan kepada orang lain agar menjadi kebenaran umum. Ada orang yang merasa punya wibawa dan kewibawaan itu dipaksakan kepada orang lain agar kebesaran tercipta pada dirinya. Dan yang menjadi korban kesemua ini adalah ambarahayat. Banyak perintah, banyak pendapat dan mereka tak tahu, apa yang harus dilakukan sebenarnya. Yang berani melakukan pilihan, akan punya risiko sebab menciptakan pertentangan satu sama lainnya,” kata Ki Banen dengan wajah kusam.
Ginggi menatap wajah Ki Banen. Orang tua ini tak gemar bicara. Tapi satu kali bersuara menimbulkan renungan yang dalam baginya.
“Apa yang sedang kalian hadapi sebenarnya, sepertinya hidup ini benar-benar sesak dan sempit buat kalian, Ki?” tanya Ginggi sambil membereskan rambutnya yang tergerai ke pundak karena tanpa ikat kepala.
“Aneh sekali. Kau memang orang aneh, anak muda. Mengaku pengembara tapi tak tahu keadaan dunia,”
Ki Ogel yang menjawab. “Sekarang ini zaman pertentangan pendapat. Sesudah kehadiran agama baru, banyak orang bersilang pendapat mempertentangkan kebenaran hakiki. Ada orang bertahan dengan kebenaran lama, ada orang berjuang melebarkan sayap kebenaran baru. Akibatnya, orang yang tak tahu apa-apa menjadi terpecah-pecah dan ada juga yang sampai berkelahi. Anak melakukan permusuhan dengan ayah dan saudara kandung menjadi renggang. Itu semua konsekuensi dari kehadiran agama baru, anak muda,” tutur Ki Ogel.
“Aku tidak tahu apa itu agama. Tapi kalau ada orang yang mempertentangkan kebenaran, kedengarannya lucu. Mengapa pula tadi Aki katakan ada kebenaran baru yang dipertentangkan dengan kebenaran lama, seolah-olah kebenaran itu bisa berubah-ubah mengikuti pergantian masa. Kalau ada orang bertindak tak adil kepada yang lain apakah akan dinilai berbeda pada masa yang beda. Apakah orang-orang masa lalu, hari ini dan masa yang akan datang akan menilai berlainan terhadap orang yang suka bohong, berkhianat dan kepada orang yang gemar menganiaya?” kata Ginggi menatap saling bergantian kepada kedua orang tua itu.
Giliran Ki Ogel dan Ki Banen yang menatap pemuda itu dengan penuh rasa heran. “Omonganmu barusan hanya akan keluar dari mulut orang yang mengenal agama. Akan tetapi, mengapa kau tadi bilang tak kenal agama, anak muda?” tanya Ki Banen mengerutkan dahi. Dibalas oleh pemuda itu dengan sama-sama mengerutkan dahi.
“Walau tidak rajin benar, tapi Ki Dar… maksudku, orang tuaku kerap mengatakan hal ini kepadaku. Tapi tak satu kalipun dia mengatakan bahwa itu agama,” gumam Ginggi merenung.
“Orang mengenal tata-nilai dan aturan hidup dan apalagi melaksanakannya, itulah orang beragama, anak muda…!” kata Ki Ogel. “Adakah orang tuamu mengatakan tentang agama yang dianutnya?” lanjut Ki Ogel lagi.
Pemuda itu termenung sejenak, lalu, “Setahuku dia tak bilang apa-apa. Kalaupun dia sering memberikan petuah, apakah itu bagian dari agama, aku tak diberi tahu,” katanya.
“Entah siapa orangtuamu. Tapi sikapnya aneh. Dan kesemuanya melahirkan perangai aneh padamu, anak muda. Kau datang ke kampung ini tanpa basa-basi sopan-santun. Dan lantas kami percaya serta memaklumimu setelah kau bilang tak kenal agama. Tapi sekarang, kau bicara panjang lebar penuh filsafat. Aneh, benar-benar aneh!” kata Ki Banen.
“Sudah berapa kali kalian bilang soal sopan-santun. Aku tak tahu, sopan-santun itu apa, Ki ?” tanya Ginggi, disambut gelak tawa kedua orang tua yang duduk bersila di hadapannya.
“Nah, sekarang kalian tertawa. Padahal tadi sore kalian berang padaku karena urusan sopan-santun itu!” omel Ginggi menampilkan mimik jengkel.
Melihat kejengkelan pemuda ini, Ki Ogel tertawa, juga Ki Banen dengan tawa tipisnya. “Benar-benar kau orang aneh anak muda,” kata Ki Ogel
“Walaupun baru sedikit-sedikit, engkau tahu akan sikap hidup yang benar, anak muda,” kata Ki Banen dengan suara rendah.
“Tapi, memang kau benar-benar tak mengenal agama. Sebab orang yang tahu akan agama akan tahu juga tradisi dalam menjaga nilai hidup. Orang yang mengenal dan menjunjung agama, di antaranya sanggup memperlihatkan perilaku baik. Berkata benar, mendengar benar, melihat benar, rengkuh (sopan dengan badan membungkuk) terhadap orang yang lebih tua dengan tutur kata halus dan suara enak didengar,” kata Ki Banen.
“Lantas…?”
“Harus sanggup menjaga wibawa dan kehormatan baik diri sendiri maupun keluarga, juga wibawa serta kehormatan raja dan kerajaan,” Ki Ogel yang melanjutkan omongan.
“Nah, kalau sudah begitu, bereslah keadaan. Tetapi, mengapa kalian tadi membingungkan hidup yang tengah berlangsung hari ini?” Ginggi menyerang dengan pertanyaan baru.
Ki Ogel dan Ki Banen menundukkan kepala dan menghela nafas. “Itulah masalahnya, anak muda…” keluh Ki Banen.
“Tidak dikatakan sering. Sebab pada umumnya penjahat selalu menghindari bentrokan dengan tugur. Kalau kita lengah mereka masuk. Tapi bila kita siaga, mereka tak ada,” kata Ki Ogel.
Ki Banen hanya batuk-batuk kecil saja sambil mengorek-ngorek kuping dengan jari kelingkingnya.
“Tapi, ya begitulah, seperti apa yang dikatakan Rama tadi, yang namanya penjahat bukan terbatas pada pencuri dan penyamun saja. Yang datang ke kampung ini dengan niat mengacaukan, memang tidak sedikit,” kata Ki Ogel setengah mengeluh.
“Heran. Kalau bukan pencuri atau penyamun, untuk apa mereka berbuat kejahatan mengacau desa?” gumam Ginggi seperti bicara pada dirinya sendiri.
Ki Ogel ikut menghela napas. “Sekarang ini jaman kacau, anak muda. Musimnya orang berambisi untuk memperoleh kesenangan, musimnya orang menganggap dirinya benar dan menuding orang lain salah serta musimnya keserakahan dan kemunafikan merajai kehidupan. Ada orang yang merasa punya kebenaran dan hal itu dipaksakan kepada orang lain agar menjadi kebenaran umum. Ada orang yang merasa punya wibawa dan kewibawaan itu dipaksakan kepada orang lain agar kebesaran tercipta pada dirinya. Dan yang menjadi korban kesemua ini adalah ambarahayat. Banyak perintah, banyak pendapat dan mereka tak tahu, apa yang harus dilakukan sebenarnya. Yang berani melakukan pilihan, akan punya risiko sebab menciptakan pertentangan satu sama lainnya,” kata Ki Banen dengan wajah kusam.
Ginggi menatap wajah Ki Banen. Orang tua ini tak gemar bicara. Tapi satu kali bersuara menimbulkan renungan yang dalam baginya.
“Apa yang sedang kalian hadapi sebenarnya, sepertinya hidup ini benar-benar sesak dan sempit buat kalian, Ki?” tanya Ginggi sambil membereskan rambutnya yang tergerai ke pundak karena tanpa ikat kepala.
“Aneh sekali. Kau memang orang aneh, anak muda. Mengaku pengembara tapi tak tahu keadaan dunia,”
Ki Ogel yang menjawab. “Sekarang ini zaman pertentangan pendapat. Sesudah kehadiran agama baru, banyak orang bersilang pendapat mempertentangkan kebenaran hakiki. Ada orang bertahan dengan kebenaran lama, ada orang berjuang melebarkan sayap kebenaran baru. Akibatnya, orang yang tak tahu apa-apa menjadi terpecah-pecah dan ada juga yang sampai berkelahi. Anak melakukan permusuhan dengan ayah dan saudara kandung menjadi renggang. Itu semua konsekuensi dari kehadiran agama baru, anak muda,” tutur Ki Ogel.
“Aku tidak tahu apa itu agama. Tapi kalau ada orang yang mempertentangkan kebenaran, kedengarannya lucu. Mengapa pula tadi Aki katakan ada kebenaran baru yang dipertentangkan dengan kebenaran lama, seolah-olah kebenaran itu bisa berubah-ubah mengikuti pergantian masa. Kalau ada orang bertindak tak adil kepada yang lain apakah akan dinilai berbeda pada masa yang beda. Apakah orang-orang masa lalu, hari ini dan masa yang akan datang akan menilai berlainan terhadap orang yang suka bohong, berkhianat dan kepada orang yang gemar menganiaya?” kata Ginggi menatap saling bergantian kepada kedua orang tua itu.
Giliran Ki Ogel dan Ki Banen yang menatap pemuda itu dengan penuh rasa heran. “Omonganmu barusan hanya akan keluar dari mulut orang yang mengenal agama. Akan tetapi, mengapa kau tadi bilang tak kenal agama, anak muda?” tanya Ki Banen mengerutkan dahi. Dibalas oleh pemuda itu dengan sama-sama mengerutkan dahi.
“Walau tidak rajin benar, tapi Ki Dar… maksudku, orang tuaku kerap mengatakan hal ini kepadaku. Tapi tak satu kalipun dia mengatakan bahwa itu agama,” gumam Ginggi merenung.
“Orang mengenal tata-nilai dan aturan hidup dan apalagi melaksanakannya, itulah orang beragama, anak muda…!” kata Ki Ogel. “Adakah orang tuamu mengatakan tentang agama yang dianutnya?” lanjut Ki Ogel lagi.
Pemuda itu termenung sejenak, lalu, “Setahuku dia tak bilang apa-apa. Kalaupun dia sering memberikan petuah, apakah itu bagian dari agama, aku tak diberi tahu,” katanya.
“Entah siapa orangtuamu. Tapi sikapnya aneh. Dan kesemuanya melahirkan perangai aneh padamu, anak muda. Kau datang ke kampung ini tanpa basa-basi sopan-santun. Dan lantas kami percaya serta memaklumimu setelah kau bilang tak kenal agama. Tapi sekarang, kau bicara panjang lebar penuh filsafat. Aneh, benar-benar aneh!” kata Ki Banen.
“Sudah berapa kali kalian bilang soal sopan-santun. Aku tak tahu, sopan-santun itu apa, Ki ?” tanya Ginggi, disambut gelak tawa kedua orang tua yang duduk bersila di hadapannya.
“Nah, sekarang kalian tertawa. Padahal tadi sore kalian berang padaku karena urusan sopan-santun itu!” omel Ginggi menampilkan mimik jengkel.
Melihat kejengkelan pemuda ini, Ki Ogel tertawa, juga Ki Banen dengan tawa tipisnya. “Benar-benar kau orang aneh anak muda,” kata Ki Ogel
“Walaupun baru sedikit-sedikit, engkau tahu akan sikap hidup yang benar, anak muda,” kata Ki Banen dengan suara rendah.
“Tapi, memang kau benar-benar tak mengenal agama. Sebab orang yang tahu akan agama akan tahu juga tradisi dalam menjaga nilai hidup. Orang yang mengenal dan menjunjung agama, di antaranya sanggup memperlihatkan perilaku baik. Berkata benar, mendengar benar, melihat benar, rengkuh (sopan dengan badan membungkuk) terhadap orang yang lebih tua dengan tutur kata halus dan suara enak didengar,” kata Ki Banen.
“Lantas…?”
“Harus sanggup menjaga wibawa dan kehormatan baik diri sendiri maupun keluarga, juga wibawa serta kehormatan raja dan kerajaan,” Ki Ogel yang melanjutkan omongan.
“Nah, kalau sudah begitu, bereslah keadaan. Tetapi, mengapa kalian tadi membingungkan hidup yang tengah berlangsung hari ini?” Ginggi menyerang dengan pertanyaan baru.
Ki Ogel dan Ki Banen menundukkan kepala dan menghela nafas. “Itulah masalahnya, anak muda…” keluh Ki Banen.
Kedua orang ini saling tatap dengan sorot lesu. Menundukkan kepala dan menghela nafas lagi. Diam membisu. Suara binatang malam mulai terdengar. Ada suara cengkerik menggerit-gerit pilu, ada suara burung malam menghardik-hardik lesu dan dikejauhan sayup-sayup burung loklok dan bungaok kian menambah sepinya malam. Padahal bulan di langit benderang.
Ginggi menghitung, ini hari ke duabelas di perjalanan bulan ke enam tahun Saka. Dan melihat bulan benderang, pemuda ini jadi ingat Ki Darma. Barangkali di puncak Cakrabuana Ki Darma masih sendirian. Kalau tak “diusir” pergi, seharusnya dia mengajak Ki Darma menikmati burung walik bakar yang diburu tadi pagi.
“Sudah kukatakan sejak tadi, ini zamannya orang berebut pengaruh. Sekarang di bumi Jawa Kulon, Pajajaran tidak sendirian. Di sebelah barat ada Kerajaan Banten dan di timur Kerajaan Cirebon. Kedua negara baru itu mengatur sendi negara dengan dasar agama baru. Mereka tengah berjuang untuk memperkenalkan dan melebarkan pengaruhnya kemana-mana. Jadi, termasuk pula ke wilayah Pajajaran,” kata Ki Banen.
Ki Ogel menambahkan, “Kini pengaruh agama baru semakin meluas. Kerajaan Talaga dan Kerajaan Sumedanglarang yang dulu benar-benar taat kepada Pajajaran karena disana merupakan pusat-pusat agama lama, sudah lama terpengaruhi keyakinan agama baru walau sebagian masih setia dengan agama lama. Namun akibatnya, timbul perpecahan. Ada Kandagalante (setingkat wedana di zaman kini-pen) yang diam-diam mempertahankan keyakinan lama, ada juga yang terang-terangan masuk kepada keyakinan baru. Di dalam lingkungan kandalante sendiri sebetulnya sudah terpecah-pecah. Beberapa desa masih mau mempertahankan keyakinan lama, tapi beberapa diantaranya melepaskan begitu saja,” kata Ki Ogel panjang lebar.
Ruwet sekali keadaan, pikir Ginggi disaat mendengar penjelasan ini.
“Kampung ini sendiri, masuk ke dalam keyakinan mana, Ki?” tanyanya.
“Disinipun sebenarnya sudah ada macam-macam gagasan. Tapi Rama Dongdo tidak bersifat memaksakan sesuatu. Beliau tetap patuh kepada amanat Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja, penguasa Pajajaran puluhan tahun silam. Dulu Sang Prabu bersabda, tidak akan melarang ambarahayat mengambil satu keyakinan agama. Yang beliau larang bila sembarangan memilih sambil tak jelas apa yang dipilih. Tak apalah ambarahayat memilih agama yang bermanfaat bagi kesentausaan negara, asalkan jangan untuk berkhianat dan membodohi, bukan untuk memupuk kekayaan dan kesenangan pribadi. Tak apalah mengganti keyakinan dengan yang baru asalkan untuk menolong sesama yang membutuhkan dan membantu orang lain tanpa pamrih apapun,” kata Ki Banen.
“Namun kebijaksanaan Kangjeng Prabu Suargi (yang sudah meninggal) tidak dimengerti benar oleh semua lapisan ambarahayat. Banyak orang bertahan karena agama lama atau berjuang karena agama baru hanya dipertalikan dengan kepentingan politik,” kata Ki Ogel.
“Aku tak mengerti, Ki !” kata Ginggi mulai menguap karena malam semakin menjelang.
“Kalau kau pandai mengamati perjalanan waktu beserta isi kehidupan ini, kau akan tahu,” kata Ki Banen turun dari bale-bale.
Dia mendekati kentongan. Diambilnya alat pemukulnya yang diselipkan di sela-sela lubang kentongan dan segera dipukulkannya ke tubuh benda yang terbuat dari kayu nangka ini.
“Trong-trong-trong-trong-trong!” Beraturan dan enak didengar.
“Matamu kuyu dan tengkukmu kian melengkung. Lehermupun tampak seperti leher kura-kura. Itu tanda kau ngantuk dan kecapaian. Ayo, tidurlah kau tak perlu cari-cari jasa ikut jaga !” kata Ki Ogel.
Ginggi tersipu. Padahal tadinya janji mau ikut tugur atau meronda. Tapi, memang baru sekarang dia rasakan, betapa lelahnya sebetulnya dia. Sejak pagi hari menuruni bukit dan lembah serta keluar masuk hutan, tidak sebentar pun dia istirahat. Makan dendeng menjanganpun, bekal dari Ki Darma, dilakukannya sambil berjalan menyusuri hutan.
Ginggi berbenah diri. Buntalan kainnya yang berisi satu dua stel pakaian sederhana dia gunakan sebagai bantal. Ginggi berbaring, telentang sebentar. Kelopak matanya dikatupkan. Tapi di kelopak matanya itu malah terbayang gadis mungil yang membawa baki dan menyodorkan penganan. Siapakah dia, pikir pemuda itu. Namun hatinya tak sempat berbincang-bincang lagi sebab matanya sudah pedih terkatup rapat. Pemuda itu terlena. Hanya saja, entah berapa lama ia tertidur. Sebab secara mendadak dia dikejutkan oleh sebuah pertanyaan yang diajukan cukup keras.
“Siapa dia?” kata si suara keras.
“Dia pengembara kemalaman, Ki Kuwu. Numpang tidur!” Ki Ogel menjawab hormat.
“Di saat suasana genting seperti ini kau jangan sembarangan menerima pendatang. Kenapa pula tidak dilaporkan padaku ?” kata orang yang dipanggil Ki Kuwu. Diam sejenak.
“Bangunkan dia !” kata Ki Kuwu lagi dengan nada jengkel.
“Jang, bangun, Jang !”
Ki Ogel menggerak-gerakkan tubuh Ginggi yang sebenarnya sudah sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka.
Pemuda itu pura-pura menggeliat, menguap dan menggisik-gisik kedua matanya. Lalu dia memutar wajah ke segala arah.
“Hei, bangun orang asing !” kata Ki Kuwu.
Ginggi menggisik kembali kedua belah matanya sebelum benar-benar menatap orang yang berdiri bertolak pinggang di sisi bale-bale. Ketika pemuda itu meneliti, ternyata yang disebut Ki Kuwu adalah seorang lelaki setengah baya berpakaian kampret hitam, bercelana komprang putih dan ada kain sarung tersandang di bahunya. Dia memakai terompah kulit dan banyak hiasan cincin batu di hampir semua jari tangannya, kanan dan kiri. Ikat kepalanya juga hitam, sedikit totol-totol coklat muda.
Tapi yang lebih menarik perhatian pemuda itu, Ki Kuwu ini matanya mencorong tajam karena bola matanya nampak besar menonjol. Hidungnya juga besar agak pesek, dengan hiasan kumis tebal hitam melengkung seperti tanduk kerbau.
“Beri hormat kepada Ki Kuwu Suntara, anak muda,” kata Ki Banen setengah memperingatkan.
Ginggi sudah punya pengalaman. Bila berlaku seenaknya maka orang yang dibawa bicara akan tersinggung. Maka untuk tidak membuat kemarahan orang, Ginggi mengikuti tata cara seperti apa yang mereka inginkan.
Melihat Ki Ogel dan Ki Banen berdiri setengah membungkuk sambil sepasang tangan bersilang di bawah pusar, pemuda itupun ikut berdiri dan berlaku seperti mereka. Membungkuk setengah menunduk dan kedua tangan bersilang di bawah pusar.
“Siapa namamu, dari mana asalmu dan apa keperluanmu datang kesini !” Ki Kuwu Suntara mengajukan pertanyaan beruntun.
“Aku kemalaman dan numpang tidur disini. Aku pengembara, hendak mencari kerja. Tadinya minta kerja jadi tugur disini, Ki Kuwu,” kata Ginggi menjawab berpanjang-panjang padahal untuk menyembunyikan beberapa jawaban yang tak mungkin diucapkannya.
“Hahaha !”
Ki Kuwu tertawa ngakak sambil melinting ujung kumis kiri dan kanan. “Tugur bukan pekerjaan yang mesti diberi imbalan, sebab merupakan kewajiban dasa (pemenuhan pajak tenaga). Dasar anak dungu !” ejek Ki Kuwu Suntara.
“Oh, aku baru tahu bahwa tugur itu suatu kewajiban,” gumam Ginggi.
“Nah, memang begitu. Tapi kalau kau hanya pengembara dan berniat mencari sesuap nasi, kau boleh memilih pekerjaan di kampung ini. Aku banyak membutuhkan tenaga muda sepertimu ini,” kata Ki Kuwu sambil matanya meneliti bentuk tubuh Ginggi yang sembada (kekar) dan sedikit berotot keras.
“Ogel, teliti latar belakang anak muda ini. Kalau memenuhi syarat kau boleh ajak dia bekerja,” kata Ki Kuwu Suntara sambil hendak berlalu. “Eh, mana tugur yang dua orang lagi ?” katanya lagi meneliti isi garduh. “Sedang berkeliling, Ki Kuwu,” kata Ki Ogel
“Bagus!”
Dan Ki Kuwu berlalu dengan tangan berlenggang gagah. Di keremangan cahaya obor, sesekali tangan kanannya mengapit ujung kain sarung, sesekali tangannya digunakan memuril ujung kumisnya.
“Itulah Ki Kuwu Suntara, anak muda…” Ki Banen berkata sedikit mengeluh.
“Diakah pemimpin di desa ini ?” tanya Ginggi.
“Benar. Tapi terkadang sering berbeda pendapat dengan orang yang dituakan, yaitu Rama Dongdo,” kata Ki Banen lagi.
Ginggi menoleh, minta penjelasan lebih jauh.
“Ya, sudah aku katakan tadi, kemelut urusan kenegaraan juga jatuh mengalir mempengaruhi orang-orang di bawah,”
Ki Ogel yang menjawab. “Kemelut karena kehadiran agama baru, juga terasa disini. Rama Dongdo tetap setia dengan agama lama. Tapi beliau tidak melarang rakyat di desa untuk memilih agama apa saja, termasuk yang baru. Sebaliknya Ki Kuwu Suntara minta ketegasan kita, apakah mau ikut kemana, sebab kalau ragu-ragu seperti Rama, diperkirakan rakyatpun jadi ragu-ragu dan akhirnya terjadi perpecahan.”
”Ki Kuwu sendiri memilih yang mana?” tanya Ginggi.
“Kami juga tak jelas, dia memilih apa. Sekali waktu dia mengatakan, karena kita hidup dibawah Kerajaan Talaga yang sudah ikut ke Cirebon, sebaiknya desa inipun ikut ke Ratu Talaga saja. Ki Kuwu mencerca Kangjeng Prabu Ratu Sakti yang dianggapnya sudah tak menjadi pemimpin negara yang baik karena menarik pajak tinggi dan suka bertindak keras terhadap rakyat. Anehnya kendati dia seperti memihak Cirebon, tapi tetap memerintahkan rakyat di desa ini untuk mengumpulkan barang-barang seba (pajak hasil bumi tahunan) yang akan dikirimkan ke Pakuan. Ini aneh. Dan kami hanya menduga, Ki Kuwu Suntara sebenarnya masih menyegani Pakuan dan tak berani menahan seba yang diminta Pakuan,” kata Ki Banen.
“Benar. Aku kira juga demikian kemungkinannya,” gumam Ki Ogel.
“Kalau begitu aku baru mengerti. Banyak carangka dan dongdang (alat pengangkut barang hasil bumi) bertebaran di pekarangan Rama untuk kepentingan seba. Ya, kan?” kata Ginggi.
Ki Ogel dan Ki Banen mengangguk. “Sekarang masa panen di ladang dan huma. Seba ke Pakuan juga dilakukan setahun sekali saat panen tiba. Barang-barang itu memang tengah dihimpun untuk kemudian menjadi iring-iringan seba ke ibukota,” kata Ki Ogel.
“Tentu jauh dan amat jauh sekali. Kalau kami harus langsung mengirimkannya kesana barangkali akan mati kelelahan. Kami hanya mengirim seba sampai ke sebuah tempat selepas Sumedanglarang saja. Dari sana ada yang melanjutkan lagi, sesudah semua desa yang masih setia kepada Pakuan sama-sama mengumpulkan seba,” kata Ki Banen.
Menurut kedua orang ini, jauh sebelum Kerajaan Talaga berpihak ke Cirebon, seba tahunan untuk Pakuan dihimpun di Talaga. Artinya, yang mengirim seba ke Pakuan dibebankan kepada kerajaan kecil yang ada di bawah Pajajaran. Sekarang sesudah ada perpecahan, bisa saja kerajaan menghentikan seba ke Pakuan, akan tetapi satu dua desa dibawah kerajaan tersebut masih setia mengirimkannya secara pribadi, atau bergabung dengan daerah lain yang masih sama-sama punya rasa setia,” kata Ki Ogel lagi.
“Salah-satu diantaranya, adalah desa kami inilah,” kata Ki Banen menyela.
Sayup-sayup dari kejauhan terdengar kentongan dipukul berirama. Kata Ki Ogel, mereka adalah dua tugur atau ronda yang tengah tugas berkeliling. Ginggi belum bertemu dengan dua tugur ini, sebab mereka baru hadir disaat Ginggi sudah tidur. Sewaktu pemuda ini terhenyak dibangunkan Ki Kuwu Suntara, dua tugur itu tengah keliling kampung.
Sekarang suara irama kentongan lebih jelas kedengaran, tanda kedua orang tugur datang mendekat. Dan ketika irama tabuhan itu kian keras, remang-remang di arah sana nampak dua orang mendekat. Tiba di pekarangan gardu wajah-wajah mereka nampak jelas kelihatan. Itu sesudah keduanya membuka kain sarung yang sejak tadi dikerudungkan ke wajah dan kepala mereka untuk menahan serangan angin malam.
Cahaya bulan yang sudah mulai bergeser ke barat disertai goyangan cahaya api obor di tangan seorang tugur menyebabkan Ginggi bisa mengenali wajah keduanya satu persatu. Dua-duanya ternyata masih amat muda. Mungkin usianya hanya berbeda satu atau dua tahun diatas usia Ginggi.
Yang membawa kentongan kulitnya agak kehitaman, giginya tonghor, menjorok ke depan. Ada kumis tipis berbulu jarang dan di dagunya berjuntai rambut jarang menyerupai jenggot. Si pembawa cahaya obor Nampak sedikit lebih tampan, kendati ada kesan angkuh lantaran bibirnya selalu nampak mencibir bagaikan orang mencemooh. Ketika melihat Ginggi duduk mendekap lutut, si pembawa kentongan berkata,
“Bagaimana, apa sudah diperiksa dengan baik anak pendatang itu, Ki Ogel ?” tanyanya.
Mereka kini hanya berjarak satu sikut saja dengan Ginggi yang masih memeluk lutut karena dinginnya malam.
“Aku yang melapor kepada Ki Kuwu akan kehadiran orang asing ini,” kata pemuda tampan pembawa obor tanpa memandang kepada Ginggi.
“Bagaimana menurut perkiraan Ki Kuwu, orang jahatkah dia itu?”
Si Tampan menunjuk wajah Ginggi dengan obor, sehingga Ginggi mendongakkan kepalanya ke belakang karena ujung obor beserta cahaya apinya hanya tinggal sejengkal ke wajahnya.
“Tidak mencurigai anak ini sejauh itu sebab Ki Ogel mengabarkan sewajarnya berdasarkan penglihatan dan penilaiannya,” kata Ki Banen.
“Apa yang Ki Ogel katakan kepada Ki Kuwu. Ki ?” tanya Si Angkuh lagi.
“Aku katakan bahwa anak muda ini kecuali lugu dan sedikit bodoh, tidak membahayakan kita semua. Dia datang entah dari mana. Kemalaman disini dan punya tujuan mengembara, atau bekerja apa saja kalau bisa,” kata Ki Ogel. Melirik ke arah Ginggi yang masih kalem-kalem saja memeluk lututnya.
“Tidak jahat tapi bodoh, ya! Huh!” dengus Si Tampan angkuh.
“Ya. Tapi Ki Kuwu sudah mengizinkan anak muda ini ikut kerja disini,” kata Ki Ogel.
“Pekerjaan apa yang bisa diberikan kepada orang macam dia ?” giliran pemuda hitam bergigi tonghor yang bicara.
“Tentu bukan jenis pekerjaan yang memeras jalan pikiran,” kata Ki Ogel.
Ki Banen hanya tertawa masam mendengar obrolan ini. Sebaliknya Ginggi acuh tak acuh saja. Secuil pun dia tak menyimak obrolan mereka. Mengapa harus menyimaknya, pikirnya. Tokh merekapun, terutama kedua pemuda tugur itu, dalam memperbincangkan dirinya tidak sedikitpun memandang padanya, apalagi langsung mengajaknya bicara.
Ginggi terpaksa mepet ke sudut ketika kedua pemuda itu akan ikut duduk di bale-bale. Ginggi memang mesti mengalah pergi, sebab dia hanya ikut numpang saja dan jangan sampai kehadirannya mengganggu kenyamanan para petugas jaga saat beristirahat melepas lelah.
Keempat orang tugur duduk bersila saling berhadapan di tengah bale-bale, saling bertutur sapa dan mengobrol. Kedengarannya mereka tengah memperbincangkan suatu persiapan.
“Jadi, tiga hari sesudah pesta panen, kita baru beranjak pergi mengirim seba, Madi ?” tanya Ki Ogel.
“Betul, Ki. Sayang, pesta panen hanya dilakukan satu malam saja…” gumam pemuda tonghor yang ternyata namanya Madi.
“Dulu, dulu sekali, pesta panen dilakukan seminggu berturut-turut. Semua jenis kesenian ditampilkan mulai rengkong hingga dogdog lojor, mulai seni dalang hingga tembang-carita Aki Pantun. Bahkan sanggup mengundang rombongan renggong gunung dari tatar Galuh. Para anak gadis yang molek-molek, bukan saja keluar dari rumah-rumah seputar kampung kita, tapi juga datang dari luar kampung. Mereka datang berombongan, bersama kakak laki-laki mereka, ataupun bersama kedua orang tuanya. Mereka menghadiri pasar malam dan saling menukarkan barang berdasarkan keperluannya masing-masing. Yang sudah memiliki uang logam dari Negri Campa, Cina, Keling, Parasi, atau dari Pasai dan Siem, mereka pergunakan untuk ditukar dengan barang keperluan lebih berharga lagi,” tutur Ki Ogel mengenang masa lampau yang penuh kebesaran.
“Sekarang bagaimana ?” tanya Si Tonghor.
“Sekarang, tidak semarak seperti dulu. Pesta panen tahun lalu hanya dilakukan dua hari saja. Tahun ini malah satu hari. Tak ada pasar malam, kecuali menggelar pantun, mencoba mengenang masa lalu. Tahun lalu banyak saudagar dari wilayah kandagalante menawarkan kain tipis buatan Campa. Tapi benda berharga seperti itu hanya bisa ditukar dengan uang logam asing, sebab tak mampu bila harus diseimbangkan dengan sepuluh kati kapas atau sepuluh dongdang padi. Penduduk sudah tak punya kekayaan lebih,” kata Ki Ogel lagi.
“Aneh, padahal ladang tak berkurang dan humapun selebar lautan. Mengapa penduduk tak sanggup memiliki kekayaan berlebih, Ki?” pemuda tampan yang Nampak angkuh dimata Ginggi mulai membuka suara.
“Itulah karena berubahnya zaman, anak muda…” kata Ki Banen yang mulai bersuara pula.
“Perubahan apa yang menyebabkan orang tak punya kekayaan berlebih, Ki?” tanya lagi si tampan angkuh.
“Kalau aku yang berbicara nanti terpeleset lidah. Mendingan tak menjadi salah pengertian yang mendengar. Bila tidak, hanya akan membahayakan diri sendiri. Sebaiknya kau pelajari sendiri Seta, simak sendiri dan saksikan sendiri. Apa yang kau nilai sendiri, itulah kebenaran, paling tidak bagi keyakinanmu secara pribadi, Seta,” kata Ki Banen.
Ginggi baru tahu kalau Si Tampan angkuh ini Seta namanya. Suasana terasa hening ketika kokok ayam mulai berbunyi. Hampir semua orang secara bersahutan menguap panjang. Ki Ogel merebahkan dirinya di bale-bale berbantalkan kedua belah tangannya, begitu pula Ki Banen, kendati hanya tidur ayam dengan jidat menempel di atas lutut. Madi masih membunyikan kentongan tapi makin lama makin pelan dan lambat, sampai akhirnya berhenti sama sekali. Ginggi bahkan sejak dari tadi tidur meringkuk di sudut.
Pagi-pagi sekali Ginggi sudah dibangunkan oleh Ki Ogel. Orang tua ini mengatakan padanya agar bila ingin mandi bisa pergi menuju pancuran.
“Pancuran umum terletak di luar lawang kori (pintu gerbang desa). Tapi bertepatan dengan cahaya merah jingga di ufuk timur, pintu lawang kori sudah dibuka petugas,” kata Ki Ogel.
Ginggi menghitung, ini hari ke duabelas di perjalanan bulan ke enam tahun Saka. Dan melihat bulan benderang, pemuda ini jadi ingat Ki Darma. Barangkali di puncak Cakrabuana Ki Darma masih sendirian. Kalau tak “diusir” pergi, seharusnya dia mengajak Ki Darma menikmati burung walik bakar yang diburu tadi pagi.
“Sudah kukatakan sejak tadi, ini zamannya orang berebut pengaruh. Sekarang di bumi Jawa Kulon, Pajajaran tidak sendirian. Di sebelah barat ada Kerajaan Banten dan di timur Kerajaan Cirebon. Kedua negara baru itu mengatur sendi negara dengan dasar agama baru. Mereka tengah berjuang untuk memperkenalkan dan melebarkan pengaruhnya kemana-mana. Jadi, termasuk pula ke wilayah Pajajaran,” kata Ki Banen.
Ki Ogel menambahkan, “Kini pengaruh agama baru semakin meluas. Kerajaan Talaga dan Kerajaan Sumedanglarang yang dulu benar-benar taat kepada Pajajaran karena disana merupakan pusat-pusat agama lama, sudah lama terpengaruhi keyakinan agama baru walau sebagian masih setia dengan agama lama. Namun akibatnya, timbul perpecahan. Ada Kandagalante (setingkat wedana di zaman kini-pen) yang diam-diam mempertahankan keyakinan lama, ada juga yang terang-terangan masuk kepada keyakinan baru. Di dalam lingkungan kandalante sendiri sebetulnya sudah terpecah-pecah. Beberapa desa masih mau mempertahankan keyakinan lama, tapi beberapa diantaranya melepaskan begitu saja,” kata Ki Ogel panjang lebar.
Ruwet sekali keadaan, pikir Ginggi disaat mendengar penjelasan ini.
“Kampung ini sendiri, masuk ke dalam keyakinan mana, Ki?” tanyanya.
“Disinipun sebenarnya sudah ada macam-macam gagasan. Tapi Rama Dongdo tidak bersifat memaksakan sesuatu. Beliau tetap patuh kepada amanat Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja, penguasa Pajajaran puluhan tahun silam. Dulu Sang Prabu bersabda, tidak akan melarang ambarahayat mengambil satu keyakinan agama. Yang beliau larang bila sembarangan memilih sambil tak jelas apa yang dipilih. Tak apalah ambarahayat memilih agama yang bermanfaat bagi kesentausaan negara, asalkan jangan untuk berkhianat dan membodohi, bukan untuk memupuk kekayaan dan kesenangan pribadi. Tak apalah mengganti keyakinan dengan yang baru asalkan untuk menolong sesama yang membutuhkan dan membantu orang lain tanpa pamrih apapun,” kata Ki Banen.
“Namun kebijaksanaan Kangjeng Prabu Suargi (yang sudah meninggal) tidak dimengerti benar oleh semua lapisan ambarahayat. Banyak orang bertahan karena agama lama atau berjuang karena agama baru hanya dipertalikan dengan kepentingan politik,” kata Ki Ogel.
“Aku tak mengerti, Ki !” kata Ginggi mulai menguap karena malam semakin menjelang.
“Kalau kau pandai mengamati perjalanan waktu beserta isi kehidupan ini, kau akan tahu,” kata Ki Banen turun dari bale-bale.
Dia mendekati kentongan. Diambilnya alat pemukulnya yang diselipkan di sela-sela lubang kentongan dan segera dipukulkannya ke tubuh benda yang terbuat dari kayu nangka ini.
“Trong-trong-trong-trong-trong!” Beraturan dan enak didengar.
“Matamu kuyu dan tengkukmu kian melengkung. Lehermupun tampak seperti leher kura-kura. Itu tanda kau ngantuk dan kecapaian. Ayo, tidurlah kau tak perlu cari-cari jasa ikut jaga !” kata Ki Ogel.
Ginggi tersipu. Padahal tadinya janji mau ikut tugur atau meronda. Tapi, memang baru sekarang dia rasakan, betapa lelahnya sebetulnya dia. Sejak pagi hari menuruni bukit dan lembah serta keluar masuk hutan, tidak sebentar pun dia istirahat. Makan dendeng menjanganpun, bekal dari Ki Darma, dilakukannya sambil berjalan menyusuri hutan.
Ginggi berbenah diri. Buntalan kainnya yang berisi satu dua stel pakaian sederhana dia gunakan sebagai bantal. Ginggi berbaring, telentang sebentar. Kelopak matanya dikatupkan. Tapi di kelopak matanya itu malah terbayang gadis mungil yang membawa baki dan menyodorkan penganan. Siapakah dia, pikir pemuda itu. Namun hatinya tak sempat berbincang-bincang lagi sebab matanya sudah pedih terkatup rapat. Pemuda itu terlena. Hanya saja, entah berapa lama ia tertidur. Sebab secara mendadak dia dikejutkan oleh sebuah pertanyaan yang diajukan cukup keras.
“Siapa dia?” kata si suara keras.
“Dia pengembara kemalaman, Ki Kuwu. Numpang tidur!” Ki Ogel menjawab hormat.
“Di saat suasana genting seperti ini kau jangan sembarangan menerima pendatang. Kenapa pula tidak dilaporkan padaku ?” kata orang yang dipanggil Ki Kuwu. Diam sejenak.
“Bangunkan dia !” kata Ki Kuwu lagi dengan nada jengkel.
“Jang, bangun, Jang !”
Ki Ogel menggerak-gerakkan tubuh Ginggi yang sebenarnya sudah sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka.
Pemuda itu pura-pura menggeliat, menguap dan menggisik-gisik kedua matanya. Lalu dia memutar wajah ke segala arah.
“Hei, bangun orang asing !” kata Ki Kuwu.
Ginggi menggisik kembali kedua belah matanya sebelum benar-benar menatap orang yang berdiri bertolak pinggang di sisi bale-bale. Ketika pemuda itu meneliti, ternyata yang disebut Ki Kuwu adalah seorang lelaki setengah baya berpakaian kampret hitam, bercelana komprang putih dan ada kain sarung tersandang di bahunya. Dia memakai terompah kulit dan banyak hiasan cincin batu di hampir semua jari tangannya, kanan dan kiri. Ikat kepalanya juga hitam, sedikit totol-totol coklat muda.
Tapi yang lebih menarik perhatian pemuda itu, Ki Kuwu ini matanya mencorong tajam karena bola matanya nampak besar menonjol. Hidungnya juga besar agak pesek, dengan hiasan kumis tebal hitam melengkung seperti tanduk kerbau.
“Beri hormat kepada Ki Kuwu Suntara, anak muda,” kata Ki Banen setengah memperingatkan.
Ginggi sudah punya pengalaman. Bila berlaku seenaknya maka orang yang dibawa bicara akan tersinggung. Maka untuk tidak membuat kemarahan orang, Ginggi mengikuti tata cara seperti apa yang mereka inginkan.
Melihat Ki Ogel dan Ki Banen berdiri setengah membungkuk sambil sepasang tangan bersilang di bawah pusar, pemuda itupun ikut berdiri dan berlaku seperti mereka. Membungkuk setengah menunduk dan kedua tangan bersilang di bawah pusar.
“Siapa namamu, dari mana asalmu dan apa keperluanmu datang kesini !” Ki Kuwu Suntara mengajukan pertanyaan beruntun.
“Aku kemalaman dan numpang tidur disini. Aku pengembara, hendak mencari kerja. Tadinya minta kerja jadi tugur disini, Ki Kuwu,” kata Ginggi menjawab berpanjang-panjang padahal untuk menyembunyikan beberapa jawaban yang tak mungkin diucapkannya.
“Hahaha !”
Ki Kuwu tertawa ngakak sambil melinting ujung kumis kiri dan kanan. “Tugur bukan pekerjaan yang mesti diberi imbalan, sebab merupakan kewajiban dasa (pemenuhan pajak tenaga). Dasar anak dungu !” ejek Ki Kuwu Suntara.
“Oh, aku baru tahu bahwa tugur itu suatu kewajiban,” gumam Ginggi.
“Nah, memang begitu. Tapi kalau kau hanya pengembara dan berniat mencari sesuap nasi, kau boleh memilih pekerjaan di kampung ini. Aku banyak membutuhkan tenaga muda sepertimu ini,” kata Ki Kuwu sambil matanya meneliti bentuk tubuh Ginggi yang sembada (kekar) dan sedikit berotot keras.
“Ogel, teliti latar belakang anak muda ini. Kalau memenuhi syarat kau boleh ajak dia bekerja,” kata Ki Kuwu Suntara sambil hendak berlalu. “Eh, mana tugur yang dua orang lagi ?” katanya lagi meneliti isi garduh. “Sedang berkeliling, Ki Kuwu,” kata Ki Ogel
“Bagus!”
Dan Ki Kuwu berlalu dengan tangan berlenggang gagah. Di keremangan cahaya obor, sesekali tangan kanannya mengapit ujung kain sarung, sesekali tangannya digunakan memuril ujung kumisnya.
“Itulah Ki Kuwu Suntara, anak muda…” Ki Banen berkata sedikit mengeluh.
“Diakah pemimpin di desa ini ?” tanya Ginggi.
“Benar. Tapi terkadang sering berbeda pendapat dengan orang yang dituakan, yaitu Rama Dongdo,” kata Ki Banen lagi.
Ginggi menoleh, minta penjelasan lebih jauh.
“Ya, sudah aku katakan tadi, kemelut urusan kenegaraan juga jatuh mengalir mempengaruhi orang-orang di bawah,”
Ki Ogel yang menjawab. “Kemelut karena kehadiran agama baru, juga terasa disini. Rama Dongdo tetap setia dengan agama lama. Tapi beliau tidak melarang rakyat di desa untuk memilih agama apa saja, termasuk yang baru. Sebaliknya Ki Kuwu Suntara minta ketegasan kita, apakah mau ikut kemana, sebab kalau ragu-ragu seperti Rama, diperkirakan rakyatpun jadi ragu-ragu dan akhirnya terjadi perpecahan.”
”Ki Kuwu sendiri memilih yang mana?” tanya Ginggi.
“Kami juga tak jelas, dia memilih apa. Sekali waktu dia mengatakan, karena kita hidup dibawah Kerajaan Talaga yang sudah ikut ke Cirebon, sebaiknya desa inipun ikut ke Ratu Talaga saja. Ki Kuwu mencerca Kangjeng Prabu Ratu Sakti yang dianggapnya sudah tak menjadi pemimpin negara yang baik karena menarik pajak tinggi dan suka bertindak keras terhadap rakyat. Anehnya kendati dia seperti memihak Cirebon, tapi tetap memerintahkan rakyat di desa ini untuk mengumpulkan barang-barang seba (pajak hasil bumi tahunan) yang akan dikirimkan ke Pakuan. Ini aneh. Dan kami hanya menduga, Ki Kuwu Suntara sebenarnya masih menyegani Pakuan dan tak berani menahan seba yang diminta Pakuan,” kata Ki Banen.
“Benar. Aku kira juga demikian kemungkinannya,” gumam Ki Ogel.
“Kalau begitu aku baru mengerti. Banyak carangka dan dongdang (alat pengangkut barang hasil bumi) bertebaran di pekarangan Rama untuk kepentingan seba. Ya, kan?” kata Ginggi.
Ki Ogel dan Ki Banen mengangguk. “Sekarang masa panen di ladang dan huma. Seba ke Pakuan juga dilakukan setahun sekali saat panen tiba. Barang-barang itu memang tengah dihimpun untuk kemudian menjadi iring-iringan seba ke ibukota,” kata Ki Ogel.
“Tentu jauh dan amat jauh sekali. Kalau kami harus langsung mengirimkannya kesana barangkali akan mati kelelahan. Kami hanya mengirim seba sampai ke sebuah tempat selepas Sumedanglarang saja. Dari sana ada yang melanjutkan lagi, sesudah semua desa yang masih setia kepada Pakuan sama-sama mengumpulkan seba,” kata Ki Banen.
Menurut kedua orang ini, jauh sebelum Kerajaan Talaga berpihak ke Cirebon, seba tahunan untuk Pakuan dihimpun di Talaga. Artinya, yang mengirim seba ke Pakuan dibebankan kepada kerajaan kecil yang ada di bawah Pajajaran. Sekarang sesudah ada perpecahan, bisa saja kerajaan menghentikan seba ke Pakuan, akan tetapi satu dua desa dibawah kerajaan tersebut masih setia mengirimkannya secara pribadi, atau bergabung dengan daerah lain yang masih sama-sama punya rasa setia,” kata Ki Ogel lagi.
“Salah-satu diantaranya, adalah desa kami inilah,” kata Ki Banen menyela.
Sayup-sayup dari kejauhan terdengar kentongan dipukul berirama. Kata Ki Ogel, mereka adalah dua tugur atau ronda yang tengah tugas berkeliling. Ginggi belum bertemu dengan dua tugur ini, sebab mereka baru hadir disaat Ginggi sudah tidur. Sewaktu pemuda ini terhenyak dibangunkan Ki Kuwu Suntara, dua tugur itu tengah keliling kampung.
Sekarang suara irama kentongan lebih jelas kedengaran, tanda kedua orang tugur datang mendekat. Dan ketika irama tabuhan itu kian keras, remang-remang di arah sana nampak dua orang mendekat. Tiba di pekarangan gardu wajah-wajah mereka nampak jelas kelihatan. Itu sesudah keduanya membuka kain sarung yang sejak tadi dikerudungkan ke wajah dan kepala mereka untuk menahan serangan angin malam.
Cahaya bulan yang sudah mulai bergeser ke barat disertai goyangan cahaya api obor di tangan seorang tugur menyebabkan Ginggi bisa mengenali wajah keduanya satu persatu. Dua-duanya ternyata masih amat muda. Mungkin usianya hanya berbeda satu atau dua tahun diatas usia Ginggi.
Yang membawa kentongan kulitnya agak kehitaman, giginya tonghor, menjorok ke depan. Ada kumis tipis berbulu jarang dan di dagunya berjuntai rambut jarang menyerupai jenggot. Si pembawa cahaya obor Nampak sedikit lebih tampan, kendati ada kesan angkuh lantaran bibirnya selalu nampak mencibir bagaikan orang mencemooh. Ketika melihat Ginggi duduk mendekap lutut, si pembawa kentongan berkata,
“Bagaimana, apa sudah diperiksa dengan baik anak pendatang itu, Ki Ogel ?” tanyanya.
Mereka kini hanya berjarak satu sikut saja dengan Ginggi yang masih memeluk lutut karena dinginnya malam.
“Aku yang melapor kepada Ki Kuwu akan kehadiran orang asing ini,” kata pemuda tampan pembawa obor tanpa memandang kepada Ginggi.
“Bagaimana menurut perkiraan Ki Kuwu, orang jahatkah dia itu?”
Si Tampan menunjuk wajah Ginggi dengan obor, sehingga Ginggi mendongakkan kepalanya ke belakang karena ujung obor beserta cahaya apinya hanya tinggal sejengkal ke wajahnya.
“Tidak mencurigai anak ini sejauh itu sebab Ki Ogel mengabarkan sewajarnya berdasarkan penglihatan dan penilaiannya,” kata Ki Banen.
“Apa yang Ki Ogel katakan kepada Ki Kuwu. Ki ?” tanya Si Angkuh lagi.
“Aku katakan bahwa anak muda ini kecuali lugu dan sedikit bodoh, tidak membahayakan kita semua. Dia datang entah dari mana. Kemalaman disini dan punya tujuan mengembara, atau bekerja apa saja kalau bisa,” kata Ki Ogel. Melirik ke arah Ginggi yang masih kalem-kalem saja memeluk lututnya.
“Tidak jahat tapi bodoh, ya! Huh!” dengus Si Tampan angkuh.
“Ya. Tapi Ki Kuwu sudah mengizinkan anak muda ini ikut kerja disini,” kata Ki Ogel.
“Pekerjaan apa yang bisa diberikan kepada orang macam dia ?” giliran pemuda hitam bergigi tonghor yang bicara.
“Tentu bukan jenis pekerjaan yang memeras jalan pikiran,” kata Ki Ogel.
Ki Banen hanya tertawa masam mendengar obrolan ini. Sebaliknya Ginggi acuh tak acuh saja. Secuil pun dia tak menyimak obrolan mereka. Mengapa harus menyimaknya, pikirnya. Tokh merekapun, terutama kedua pemuda tugur itu, dalam memperbincangkan dirinya tidak sedikitpun memandang padanya, apalagi langsung mengajaknya bicara.
Ginggi terpaksa mepet ke sudut ketika kedua pemuda itu akan ikut duduk di bale-bale. Ginggi memang mesti mengalah pergi, sebab dia hanya ikut numpang saja dan jangan sampai kehadirannya mengganggu kenyamanan para petugas jaga saat beristirahat melepas lelah.
Keempat orang tugur duduk bersila saling berhadapan di tengah bale-bale, saling bertutur sapa dan mengobrol. Kedengarannya mereka tengah memperbincangkan suatu persiapan.
“Jadi, tiga hari sesudah pesta panen, kita baru beranjak pergi mengirim seba, Madi ?” tanya Ki Ogel.
“Betul, Ki. Sayang, pesta panen hanya dilakukan satu malam saja…” gumam pemuda tonghor yang ternyata namanya Madi.
“Dulu, dulu sekali, pesta panen dilakukan seminggu berturut-turut. Semua jenis kesenian ditampilkan mulai rengkong hingga dogdog lojor, mulai seni dalang hingga tembang-carita Aki Pantun. Bahkan sanggup mengundang rombongan renggong gunung dari tatar Galuh. Para anak gadis yang molek-molek, bukan saja keluar dari rumah-rumah seputar kampung kita, tapi juga datang dari luar kampung. Mereka datang berombongan, bersama kakak laki-laki mereka, ataupun bersama kedua orang tuanya. Mereka menghadiri pasar malam dan saling menukarkan barang berdasarkan keperluannya masing-masing. Yang sudah memiliki uang logam dari Negri Campa, Cina, Keling, Parasi, atau dari Pasai dan Siem, mereka pergunakan untuk ditukar dengan barang keperluan lebih berharga lagi,” tutur Ki Ogel mengenang masa lampau yang penuh kebesaran.
“Sekarang bagaimana ?” tanya Si Tonghor.
“Sekarang, tidak semarak seperti dulu. Pesta panen tahun lalu hanya dilakukan dua hari saja. Tahun ini malah satu hari. Tak ada pasar malam, kecuali menggelar pantun, mencoba mengenang masa lalu. Tahun lalu banyak saudagar dari wilayah kandagalante menawarkan kain tipis buatan Campa. Tapi benda berharga seperti itu hanya bisa ditukar dengan uang logam asing, sebab tak mampu bila harus diseimbangkan dengan sepuluh kati kapas atau sepuluh dongdang padi. Penduduk sudah tak punya kekayaan lebih,” kata Ki Ogel lagi.
“Aneh, padahal ladang tak berkurang dan humapun selebar lautan. Mengapa penduduk tak sanggup memiliki kekayaan berlebih, Ki?” pemuda tampan yang Nampak angkuh dimata Ginggi mulai membuka suara.
“Itulah karena berubahnya zaman, anak muda…” kata Ki Banen yang mulai bersuara pula.
“Perubahan apa yang menyebabkan orang tak punya kekayaan berlebih, Ki?” tanya lagi si tampan angkuh.
“Kalau aku yang berbicara nanti terpeleset lidah. Mendingan tak menjadi salah pengertian yang mendengar. Bila tidak, hanya akan membahayakan diri sendiri. Sebaiknya kau pelajari sendiri Seta, simak sendiri dan saksikan sendiri. Apa yang kau nilai sendiri, itulah kebenaran, paling tidak bagi keyakinanmu secara pribadi, Seta,” kata Ki Banen.
Ginggi baru tahu kalau Si Tampan angkuh ini Seta namanya. Suasana terasa hening ketika kokok ayam mulai berbunyi. Hampir semua orang secara bersahutan menguap panjang. Ki Ogel merebahkan dirinya di bale-bale berbantalkan kedua belah tangannya, begitu pula Ki Banen, kendati hanya tidur ayam dengan jidat menempel di atas lutut. Madi masih membunyikan kentongan tapi makin lama makin pelan dan lambat, sampai akhirnya berhenti sama sekali. Ginggi bahkan sejak dari tadi tidur meringkuk di sudut.
Pagi-pagi sekali Ginggi sudah dibangunkan oleh Ki Ogel. Orang tua ini mengatakan padanya agar bila ingin mandi bisa pergi menuju pancuran.
“Pancuran umum terletak di luar lawang kori (pintu gerbang desa). Tapi bertepatan dengan cahaya merah jingga di ufuk timur, pintu lawang kori sudah dibuka petugas,” kata Ki Ogel.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment