Ads

Sunday, November 7, 2021

Kidung Senja Jatuh di Pajajaran 003

“Bangun! Bangun!” teriak Ki Darma.

Ginggi yang semalaman tak bisa tidur sebenarnya hanya tinggal buka pintu saja. Diapun sudah siap dengan buntalan di punggungnya.

“Ya, bagus. Sekarang cepatlah pergi!”

Ginggi masih terpaku.

“Ini sebuah perintah, anak muda. Sesuatu yang jarang aku lakukan. Namun kali ini, perintah harus kau taati,” kata Ki Darma tegas.

“Baik, Ki Guru …”

“Dan jangan sekali-kali kau berani tengok lagi ke belakang …”

“Baik, Ki Guru …”

“Kendati ada sesuatu yang aneh sekalipun …”

“Ba… baik, Ki Guru!”

Ginggi turun gunung dengan perasaan terganggu. Kepergiannya yang tergesa-gesa ini dianggapnya sebagai sesuatu misteri. Ada rahasia apakah sehingga Ki Darma harus melakukan hal seperti ini? Memang benar, kadang-kadang gurunya ini suka memaksakan kehendak tapi yang ini terasa ganjil. Dan ini misterius bagi pikiran Ginggi. Apalagi Ki Darma mengucapkan satu kalimat yang aneh, yaitu Ginggi musti berjanji untuk tidak mau menengok ke belakang walau ada sesuatu yang aneh. Akan ada kejadian apakah sebenarnya?

“Kau ikuti Sungai Citajur atau Sungai Cilanjung agar kau tak kehilangan arah. Tapi hati-hati, jangan masuk ke kiri arah Lemahsugih atau Bantarujeg. Kau harus menyusur arah kanan menuju Kampung Cae atau Sukanyiru saja. Bila kau sudah lepas kaki Gunung Cakrabuana untuk memulai perjalanan panjang, jangan sekali-kali lewat Sumedanglarang tapi kau lewatlah ke Kandangwesi,” kata Ki Darma tadi malam.

“Tapi hati-hati, di Kampung Cae kau jangan berani mengobral riwayat. Siapa dirimu, dengan siapa dan dimana kau tinggal, itu sesuatu yang harus kau tutupi,” kata Ki Darma lagi. Ki Darma bahkan tadi malam memberinya petuah agar Ginggi mau merahasiakan kepandaiannya. “Jauhi perkelahian. Kalau ada yang menantangmu, kau hindari. Bila dia mengejarmu, kau lari. Hanya saja bila sudah menghindar kau kepepet, maka lawanlah asal jangan mencederai lawan …” kata Ki Darma.

Memasuki hutan Bukit Banyukerti, sinar matahari hanya nampak dari sela-sela dedaunan saja, padahal sinar matahari itu tepat di atas ubun-ubun. Maka ucapan Ki Darma benar belaka sebab bila Ginggi tidak meninggalkan puncak pada subuh hari, maka dia akan memasuki hutan ini pada senja hari. Padahal sesudah melewati perbukitan ini, diapun masih harus melewati satu wilayah perbukitan lagi, Pasir Jami Datar namanya.

Kata Ki Darma waktu kemarin, kedua perbukitan ini jarang dijamah manusia. Penduduk di kaki bukit jarang yang berani naik kesini apalagi disaat senja hari. Ginggi mempercayainya sebab diapun tahu kalau di daerah ini masih didapat berbagai binatang buas seperti ular dan macan tutul. Namun banyaknya binatang buaspun sebenarnya merupakan tanda bahwa di daerah ini banyak binatang buruan, termasuk yang biasa dimakan manusia.

Di Bukit Banyukerti banyak didapat pohon kuray, puspa, rasamala dan juga kareumbi. Bila tiba saatnya kareumbi berbuah, maka akan banyak burung walik disana. Bulu burung ini indah kehijau-hijauan namun dagingnya pun cukup gurih untuk dibakar. Hari-hari ini kareumbi tengah berbuah ranum. Dan Ginggi amat menyesal, mengapa Ki Darma memaksa dirinya untuk pergi. Padahal bila tak begitu, hari-hari ini dia bersama gurunya bisa pesta besar memakan burung walik bakar.

“Burung walik kesenangan Ki Guru. Dia pasti tahu hari-hari ini kareumbi tengah berbuah. Tapi kenapa Ki Guru malah mengusirku?” keluh Ginggi dalam hatinya.

Dan disaat hatinya tengah berkeluh-kesah inilah dia mendadak menghentikan langkahnya. Telinga Ginggi melalui ilmu Hiliwir Sumping, yaitu semacam ilmu untuk mendengarkan suara halus telah mendeteksi desiran-desiran mencurigakan.

“Ada belasan orang berlari cepat dan menggunakan ilmu Napak Sancang …” desis mulutnya perlahan.

Napas Sancang adalah semacam ilmu meringankan tubuh. Orang yang pandai menggunakan ilmu ini bisa berlari di atas hamparan rumput tanpa telapak kaki menginjak tanah, bahkan bisa berlari dengan cepat diatas permukaan air.

Kata Ki Darma, orang-orang pandai di Pajajaran suka menggunakan ilmu ini disaat penting. Namun orang-orang dari manakah di tengah hari seperti ini berduyun-duyun menuju puncak? Untuk tidak berpapasan dengan mereka, Ginggi segera meloncat ke atas dahan sebuah pohon.

Maka tak berapa lama kemudian, belasan orang terlihat berlari kencang menuju ke atas bukit. Tampang mereka gagah-gagah. Pakaian yang mereka kenakan pun bagus-bagus dan seperti berseragam pula. Mereka mengenakan baju warna biru tua tangan panjang yang dilapis pula dengan baju rompi terbuat dari beludru hitam. Tiap sisi baju rompi ini dikelim benang perak. Celana yang mereka kenakan pun sama yaitu celana sontong dari jenis beludru dan sama diberi benang warna perak pada sisi-sisinya. Merekapun sama menggunakan ikat kepala dari kain batik jenis hihinggulan, corak batik khas Pajajaran.

“Nampaknya mereka orang-orang kota. Mungkin datang dari kalangan istana. Tapi siapakah mereka?”

Ginggi hanya sanggup bertanya dalam hatinya saja. Memang ada keinginan untuk membuntuti mereka. Namun pemuda itu teringat akan ucapan gurunya agar tak menggubris apapun yang sekiranya dianggap aneh menurut pandangannya.

“Mereka nampaknya akan menuju Puncak Gunung Cakrabuana. Apakah mereka bermaksud mengunjungi Ki Guru?” pikirnya lagi.

Kembali rasa penasaran menggoda dirinya. Namun kembali diapun menahan godaan ini karena teringat akan pesan gurunya.

Dusun Cae Menjelang senja hari, pemuda itu sudah sampai di ujung batas desa. Kata Ki Darma, bila akan masuk ke sebuah desa, tidak boleh kemalaman sebab lawang kori akan segera ditutup. Lawang kori adalah semacam pintu gerbang. Zaman dulu, biasanya sebuah kampung akan dikungkungi pagar tinggi dan memiliki sebuah gerbang terbuat dari kayu jati gelondongan. Gerbang akan ditutup menjelang senja, menghindarkan masuknya binatang buas atau para perampok. Bila ada yang memaksa masuk, akan ditanya petugas tugur yaitu peronda malam.

Kalau tak salah perkiraan, inilah Desa Cae seperti apa yang dikatakan Ki Darma. Ginggi menduga demikian sebab dusun ini terletak di kaki Gunung Cakrabuana. Lebih meyakinkan lagi, desa ini terletak di persimpangan jalan roda pedati.

Desa Cae yang terletak di sebelah barat gunung, jadi persimpangan jalan. Kearah barat akan mengarah Kerajaan Sumedanglarang, bila sedikit mengarah ke timur laut akan mengarah ke Kandagalante Limbangan (Kandagalante adalah pejabat setingkat wedana untuk ukuran masa kini).



Sebelum memasuki wilayah desa, jalan ke arah itu hanya kecil saja. Bahkan kian jauh dari desa, jalan kecil hanya berupa lorong saja, apalagi bila berada di daerah lereng bukit. Namun sepemakan sirih lamanya, bila berjalan cepat, Ginggi akan sudah menemukan jalan selebar satu depa (kurang lebih 1,698 meter) yang kian menuju lawang kori akan semakin lebar. Ginggi meneliti dari kejauhan, lawang kori sudah tutup sebab senja telah jatuh.

Ketika dia menghampiri halaman depan gerbang, terlihat dua orang penjaga berpakaian serba hitam segera mencegatnya. Dua penjaga itu masing-masing membelitkan kain sarung poleng di pinggang dan di kepala masing-masing menggunakan cotom (sebangsa topi anyaman bamboo bercaping lengkung).

“Kalau Ki Silah (Saudara) seorang pedagang, musti berbaju kampret celana gombor dan memakai ikat kepala batik jenis pupunjungan. Kalau engkau seorang petani, musti mengenakan dudukuy toroktok (topi anyaman bamboo bercaping lebar) dan memakai sontog (celana sebatas dengkul). Namun Ki Silah pun bukan seorang peladang dan bukan pula pengambil kayu. Kau pun nampaknya bukan orang sini,” kata seorang dari mereka bertubuh tinggi berkumis tipis, bertanya bertele-tele.

“Aku bukan petani, bukan pula peladang,” jawab Ginggi tanpa basa-basi, sehingga membuat penjaga satunya bertubuh gempal, mengerutkan dahinya. Nada suara Ginggi berlogat asing dan terdengar ketus bagi pendengaran mereka.

“Engkau dari mana?” tanya lagi Si Gempal dengan nada ketus pula.

Ginggi tak berkata sebab pertanyaan yang satu ini kata gurunya tak boleh dijawab.

“Kau tak mau jawab?”

“Tidak mau!”

“Kau orang jahat?”

“Kenapa lantaran tak mau jawab disebut penjahat?” tanya Ginggi menyipitkan matanya.

“Orang yang tak mau mengatakan siapa dia sebenarnya, pasti menyembunyikan sesuatu. Apalagi yang tengah disembunyikan kalau bukan kejahatan?”

Si Tubuh Gempal berkacak pinggang dengan tangan kanannya seolah menunjuk pada sebatang golok yang terselip di pinggang.

“Aku bukan orang jahat. Tapi kalau tak percaya terserah. Tak ada orang yang senang memaksakan kehendak, termasuk aku,” jawab Ginggi tetap ketus namun bergerak seperti akan memasuki gerbang lawang kori.

“Hai, jangan masuk sembarangan! Ki Ogel, cepat kunci gerbang!” kata si jangkung kurus.

Si Gempal yang disebut Ki Ogel cepat mendorong rapat pintu gerbang namun Ginggi menahan ujung gerbang.

“Kau orang jahat!” hardik Ki Ogel.

“Membiarkan orang tinggal di luar gerbang untuk diganggu binatang buas, itulah yang jahat!” jawab Ginggi tetap ketus.

Ki Ogel marah. Dia dengan cepat mencabut golok dari sarungnya. Dan kendati hari sudah senja, namun kilatan mata golok nampak jelas berkilat-kilat, sebagai tanda golok itu amat tajam.

Ginggi tak takut oleh kilatan golok. Namun kata gurunya, jangan mencoba berkelahi sembarangan. Dari pada berkelahi tanpa sebab-sebab jelas, lebih baik lari. Maka ingat pesan gurunya, Ginggi bersiap-siap memasuki gerbang. Namun kedua penjaga gerbang rupanya sudah dapat menduganya. Maka Ginggi dikepung kiri dan kanan. Dua orang itu membelakangi jalan dan tubuh mereka seolah menutupi gerbang kampung.

Ki Ogel siap dengan goloknya, kecuali temannya hanya memasang kuda-kuda saja. Namun sebelum keributan terjadi, dari arah belakang gerbang terdengar suara, menyuruh agar keributan dihentikan.

“Di saat matahari sudah tenggelam, di saat parawiku tengah memuja Hyang, mengapa kalian malah membuat onar?” kata seorang lelaki tua berumur kira-kira 70 tahunan.

Pakaiannya kain katun kasar warna putih, begitu pun tutup kepalanya, tutup kepala, warna putih.

“Rama, ada orang asing mau memasuki kampung!” kata Si Jangkung dengan suara halus dan hormat.

“Orang asing singgah di kampung kita sudah biasa, mengapa musti diributkan, Ki Banen?”

“Dia mungkin orang jahat!” maka Ki Ogellah yang menjawabnya.

“Yang namanya mungkin artinya belum tentu. Maka sebelum kejahatannya terbukti, kita jangan coba menindaknya. Jangan menilai orang dengan rasa curiga sebab hanya akan menjatuhkan martabat kita saja,” tutur lelaki tua penyabar itu.

“Namun Rama, anak muda ini tak dapat menjaga lidah dengan baik, tutur bahasanya ketus, jauh dari kesopanan,” tutur Ki Ogel penasaran.

Kini giliran orang tua itu menatap wajah Ginggi. Dan Ginggi memalingkan muka tak sanggup balik menatap lama.

“Nah coba Rama, betapa tak sopannya anak muda ini…” kata Ki Ogel.

“Orang muda, engkau nampak aneh, tak seperti orang Pajajaran pada umumnya. Tapi sepanjang tak menggangu ketentraman kampung, tak apalah. Begitu pun bila kau tak mau mengatakan siapa dirimu. Namun satu hal saja tentu aku boleh tahu, untuk apa kau kunjungi dusun kami?” tanya lelaki tua penyabar ini. Suaranya menyejukkan sehingga secara spontan hati pemuda itu pun segan juga. “Cuaca semakin kelam. Mari, singgah ke gubukku saja…” ajak lelaki tua berbaju putih-putih itu.

“Rama …” Ki Ogel masih bercuriga.

“Tak apalah …” kata lelaki yang dipanggil Rama.

“Kalau ingin diterima dengan baik, kau jangan macam-macam, anak muda!” kata Ki Ogel masih tetap mengumbar ancaman.

Maka sesudah lawang kori ditutup rapat-rapat, mereka beriringan masuk kampung. Rama di depan dan Ginggi di belakangnya. Sementara Ki Ogel dan Ki Banen seolah mengawal Ginggi paling belakang. Ginggi meneliti, kampung ini tak begitu besar. Barangkali penghuninya tak lebih dari 50 rumah saja. Bangunan rumah rata-rata dibuat dari dinding bambu, beratap daun nipah. Ada rumah besar menggunakan jenis panggung, sementara yang lainnya berlantai tanah saja. Lelaki penyabar itu membawanya ke sebuah rumah paling besar di kampung itu. Sebelum masuk rumah, Ginggi sempat menoleh ke belakang.

“Siapakah orang tua yang baik ini?” tanyanya.

“Beliau adalah Rama Dongdo,” ujar Ki Banen yang pendiam.

“Rama itu sebutan apa?”

“Orang yang dituakan disini, kami juluki Rama.”

“Oh…”

“Ki Kuwu Suntara juga harus mentaati apa ucapan Rama Dongdo.”

“Makanya kau musti hormat kepada Rama Dongdo sebab semua orangpun begitu,” kata Ki Ogel.

Rumah besar terpisah ini menghadap ke sebuah pekarangan luas. Tapi yang membuat Ginggi heran, di pekarangan banyak barang diletakkan di beberapa wadah seperti carangka dan dongdang, entah apa isinya.

“Itulah hasil bumi dari sini untuk dikirimkan ke Pakuan,” tutur Ki Banen seperti menduga pertanyaan Ginggi.

“Seba?”

“Seba adalah pajak tahunan yang dikumpulkan semua rakyat Pajajaran. Barang-barang hasil bumi ini akan dikirim bertepatan dengan upacara Kuwerabakti di dayo (ibukota) nanti,” kata Ki Banen lagi.

“Makanya kami curiga sama orang asing karena keamanan barang-barang ini,” potong Ki Ogel.

Ginggi tak sempat meneliti lebih jauh sebab dia dipersilakan duduk di bale-bale.

“Nyai, cepat bawakan air putih satu kendi lengkap dengan lumur nya (tempat minum dari buluh bambu). Lebih baik lagi bila masih ada rebus kacang atau jagung,” kata Rama Dongdo entah berbicara kepada siapa.

Sementara menunggu penganan datang, Rama Dongdo menarik sebuah baki kecil dimana di atasnya tersimpan tempat sirih. Dia menawari makan sirih namun Ginggi menolaknya. Kemudian Rama Dongdo sendirian menyusun daun sirih. Dipilihnya yang hijau tua namun masih nampak segar dan bersih. Diatas lembaran daun sirih diletakkannya beberapa jenis rempah-rempah. Ada pinang sekerat, kapolaga dua butir, daun saga sejumput dan gambir seujung kuku yang dicampurnya dengan sedikit kapur. Sirih yang sudah berisi rempah dilipatnya dan kemudian dikunyahnya. Pelan dan tenang sepertinya menikmatinya.

“Aku seorang pengembara dan memasuki kampung ini hanya karena kemalaman saja…” tutur Ginggi tanpa diminta.

Rama Dongdo mengangguk-angguk. Menatap sejenak dan kemudian mengangguk-angguk lagi. Tapi Ginggi bisa menilai, sebenarnya orang tua ini masih menginginkan keterangan lebih rinci lagi. Misalnya, dari mana dia datang dan hendak kemana dia pergi. Namun Rama Dongdo mengulum penasaran dengan kesabaran tak seperti kedua penjaga tadi misalnya.

Namun sebelum Ginggi berkata lagi, dari ruangan dalam muncul seorang gadis dengan baki di kedua tangannya. Ki Ogel segera berdiri dan membantu gadis itu mengambil-alih bawaannya.

Ginggi selama ini hanya tinggal di gunung berdua bersama gurunya. Namun demikian, paling sedikit setahun sekali suka turun gunung untuk menukarkan hasil hutan dengan berbagai keperluan sehari-hari.

Di Sukanyiru, sebuah dusun kecil lereng gunung, Ginggi pernah melihat makhluk bernama perempuan namun bila dibandingkan dengan perempuan di Sukanyiru, gadis yang ada di hadapannya kini nampak lain. Dia lebih muda, lebih elok dan lebih bersih kulitnya. Perempuan ini begitu indah. Perempuan muda ini duduk bersimpuh di samping Rama Dongdo untuk menurunkan berbagai penganan. Dengan jari-jarinya yang lentik dan putih, secara lemah-gemulai mengangkat piring terbuat dari tanah liat dan menaruhnya di atas tikar pandan.

Ginggi seperti tak bosannya melihat gerakan tangan perempuan itu. Dan begitu semua penganan selesai ditaruh, selesai pula gerakan gemulai itu, membuat Ginggi kecewa hatinya. Lebih kecewa lagi manakala gadis itu berjingkat meninggalkan beranda. Dan Ginggi tak sempat berlama-lama menatap paras gadis itu sehingga hanya selintas saja melihat wajah putih bulat telur dengan sepasang pipi agak kemerahan karena jengah ditatap pemuda asing.

Namun sebelum tubuh langsing padat itu benar-benar berlalu, ada sekilat kerling yang tajam menyapu mata Ginggi, membuat pemuda itu terkesiap. Ginggi terpana dibuatnya. Kalau saja tidak terdengar suara batuk Rama Dongdo memperingatkan, barangkali Ginggi hanya terbengong-bengong menatap ke arah dimana gadis itu berlalu.

“Ayo anak muda, nikmatilah semua yang ada disini,” tutur Rama Dongdo membuat Ginggi serasa disindir.

Dan kendati wajahnya masih terasa panas karena malu, Ginggi akhirnya mengambil tempat minum dan mengisinya dengan air kendi. Ketika diminum terasa kesegaran melingkupi tubuhnya. Dia sadar, sejak pagi mulutnya tak kemasukan makanan atau minuman. Maka ketika di hadapannya tergelar berbagai penganan, Ginggi pun tak membiarkannya berlama-lama. Makanan yang tergelar itu dia sikat tanpa basa-basi. Melihat ini, Ki Ogel dan Ki Banen terkekeh dibuatnya tapi sambil ikut pula mencicipi penganan.

“Asalkan engkau tak membuat onar, engkau boleh melepas lelah disini, anak muda,” tutur Ki Ogel mulai memberi tempat di hati Ginggi.

“Atau kau tinggal disini saja untuk beberapa lama, mengingat desa ini belakangan tengah butuh tenaga muda,” tutur Ki Banen.

Ginggi menatap keduanya.

“Betul kami butuh tenaga tugur ,” kata Ki Banen.

“Apa itu?”

“Aneh, anak muda ini sepertinya tidak memiliki pengetahuan apa-apa. sepertinya apa yang ada di dunia selalu dia tanyakan,” kata Ki Ogel masih mengunyah penganan.

“Kau pasti orang gunung atau dusun terpencil yang jauh dari keramaian, anak muda…” kata Ki Banen.

“Coba katakan, dari manasih kamu sebenarnya?” Ki Ogel kembali penasaran.

“Aku akan jadi tugur kalau kalian anggap aku mampu melakukannya …” kata Ginggi mengalihkan pertanyaan dengan jawaban lain.

“Biarlah Ogel kalau anak ini bertahan dengan keinginannya…” tutur pula Rama Dongdo memaklumi sikap Ginggi.

“Ya, sungguh aku mau jadi tugur!” kata Ginggi lagi.

“Katamu kau tidak tahu tugur itu apa?” potong Ki Ogel mulai merasa sebal kembali.

“Ya … tugur itu, apa sih?” Ginggi menggaruk-garuk kepalanya kebingungan.

“Tugur itu peronda malam, penjaga keamanan kampung.”

“Apakah kampung ini tidak aman?”

“Dikatakan aman, sih aman. Tapi dikatakan tidak, juga tidak. Ya, begitulah…” jawab Ki Ogel.

“Apakah ke kampung ini kadang-kadang ada perampok atau pembunuh?” Ginggi menatap ke arah Rama Dongdo.

Yang ditatap menghela napas panjang. “Orang jahat bertebaran dimana-mana, tidak pula musti menempel di tubuh pembunuh atau perampok. Tapi yang namanya orang jahat pasti meresahkan…” malah Ki Banen yang jawab.

“Ya… bisa juga begitu,” sambung Ki Ogel.

“Sudahlah, tak baik menyuguhi tetamu dengan hal-hal seperti itu,” potong Rama Dongdo dan menepiskan tangannya ke samping.

“Banen, sebaiknya siapkan saja tempat bermalam untuk pemuda ini. Dan kau jangan risau, setiap malam tugur selalu menjaga kampung.”

“Mari anak muda, kau kuantar kebale gede ,” kata Ki Banen sesudah Ginggi selesai makan-makan.

“Bale gede?”

“Bale gede itu tempat musyawarah seisi kampung. Namun bila ada orang yang singgah karena kemalaman, mereka tidur disana,” kata Ki Ogel berjingkat.

Ginggi sebenarnya masih ingin bersila ditepas (beranda) ini. Tapi karena Rama Dongdo pun sudah memberi tanda, maka pemuda ini akhirnya turun dari bale-bale untuk mengikuti Ki Ogel dan Ki Banen yang sudah berangkat duluan.

Untuk terakhir kalinya mata Ginggi menyapu pintu ruangan tengah, kalau-kalau gadis mungil itu masih sempat bisa dilihatnya lagi. Namun tak ada sesuatu pun di ruangan tengah itu, sebab pelita di tempat itu sudah lama dipadamkan.

“Apakah aku harus tidur di bale-gede, Ki?” tanya Ginggi sambil meneliti perkampungan.

“Ya, bale gede atau paseban adalah tempat kami berkumpul merundingkan sesuatu. Tapi kalau malam bisa juga digunakan oleh pengembara untuk menumpang tidur,” kata Ki Ogel sambil terus melangkah di depan bersama Ki Banen.

“Aku tak bisa tidur sore-sore. Kalau kalian tak keberatan, aku memilih tinggal di gardu saja. Biar ikut tugur atau meronda dengan yang lain. Bagaimana?”

Ki Ogel dan Ki Banen saling pandang. “Bagaimana kami percaya padamu? Bisa-bisa kau malah melakukan pencurian!” kata Ki Ogel.

“Mana bisa aku mencuri, kan aku sendiri diawasi tugur,” kata Ginggi menatap mereka.

Ki Ogel tersenyum geli memikirkan jalan pikirannya tadi. “Kalau kamu mau menemani tugur, baiklah. Begitukah, Ki Banen?”

“Terserah bagaimana baiknya, Ki Ogel,” kata Ki Banen yang nampak kurang gemar berbicara ini.

“Nah, kalau begitu, perkenalkan aku kepada yang menjadi tugur malam ini,” kata Ginggi.

“Yang akan menjadi tugur malam ini, ya kami sendiri. Mungkin dibantu oleh dua orang lagi,” kata Ki Ogel.

Ketiga orang itu kemudian menuju gardu. Yang disebut garduh ini sebuah bangunan mirip rumah tapi dengan ukuran amat kecil mungkin lebar dua depa dan panjang tiga depa saja. Tidak memiliki dinding tertutup. Dan yang menandakan bahwa ini tempat menjaga keamanan, karena di sampingnya terdapat kentongan, juga ada beberapa alat lainnya.

Mereka bertiga langsung duduk di bale-bale yang terdapat di gardu tersebut. Sambil duduk, Ginggi meneliti beberapa alat yang disimpan di sudut bangunan kecil ini. Ada tumbak (tombak), yaitu semacam tongkat kayu tapi ujungnya diberi logam yang amat runcing. Benda ini jelas fungsinya untuk menusuk. Ada cikrak, yaitu sebangsa brankar untuk mengangkut orang pingsan atau celaka. Ada cangkalak, seikat tambang terbuat dari bahan bambu. Mungkin fungsinya untuk mengikat tahanan.

“Dan yang ini apa namanya, Ki?” tanya Ginggi meneliti sebuah alat lain.

Sama seperti tombak hanya ujungnya yang terbuat dari logam itu melengkung seperti bulan sabit atau tanduk kerbau.

“Itu namanya cagak, Fungsinya untuk menangkap orang yang dicurigai. Supaya dia tak melarikan diri dalam pengejaran, orang itu kita pepet ke dinding dengan cagak. Pasti tidak akan lepas lagi sebab badannya terkurung lengkungan cagak ini,” kata Ki Ogel,

“Kita hanya tinggal mengikat kaki dan tangannya saja dengan cangkalak ini,” lanjutnya seraya memperlihatkan tambang bambu itu.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

No comments:

Post a Comment