“Lho?”
“Semua buah-buahan yang enak-enak ada di kebun istana Tajur Agung. Buah durian dibiarkan jatuh sendiri dan buah semangka dibiarkan membusuk dimana-mana. Petugas dapur istana setiap hari dimarahi karena hampir setiap hari pula bulir-bulir padi dibiarkan membusuk. Itulah saking melimpahnya kekayaan diistana,” tutur Ki Darma lagi.
“Hanya melimpah-ruah di seputar istana saja?”
“Ya. Dan semua hanya untuk kepentingan orang-orang istana saja. Untuk kemakmuran para bangsawan, kerabat raja dan kaum santana saja.”
“Kaum santana?”
“Ya, kaum santana adalah kelompok pedagang kaya atau petugas negara termasuk kalangan perwira kerajaan…” sahut Ki Darma.
“Jadi, rakyat sendiri dapat bagian apa?”
“Rakyat hanya dapat kewajiban saja dan sangat sedikit bagiannya yang bernama hak.”
“Kok bisa-bisanya begitu, ya …” Ginggi berdecak. Bukan decak kagum tapi karena tak habis mengerti.
Ki Darma nampak menghela napas panjang. “Prabu Ratu Sakti yang memimpin negri hari-hari terakhir sebenarnya punya tujuan baik. Dia ingin mengembalikan Pajajaran ke zaman keemasan seperti dialami Sri Baduga Maharaja, kakek-buyutnya. Tapi untuk mengembalikan kejayaan negri butuh daya dan tenaga. Harta kekayaan yang melimpah amat dibutuhkan. Hanya bedanya, bila dulu kekayaan negri melimpah dihasilkan melalui perdagangan antar negri, kini kekayaan kas negara harus dihasilkan dari keringat rakyat sendiri. Kemampuan rakyat dipompa habis, seba ditarik setinggi-tingginya.”
“Seba?”
“Seba adalah semacam pajak. Setiap penghasilan rakyat dipotong, diberikan kepada pemerintah. Pajak dasa dan calagara dilipat gandakan.”
“Apakah itu?”
“Dasa adalah pajak tenaga perorangan dan calagara merupakan pajak tenaga secara gotong-royong. Seluruh hamba rahayat Pajajaran sejak dahulu memang dikenakan pajak-pajak seperti ini. Mereka diwajibkan mengerjakan huma dan ladang milik negara atau tanah-tanah milik para bangsawan. Bisa juga mereka dikenakan pajak negara untuk bertugas mencari ikan di muara dan di laut. Bedanya, dasa dan calagara yang dikerjakan di masa-masa silam, selalu dilakukan dengan hati senang. Rakyat bekerja penuh pengabdian. Mengolah ladang dan huma sambil bersenandung, kendati keringat basah mengucur. Anak-anakpun riang-gembira ikut marak atau munday bersama orang tuanya …”
“Apakah marak dan muday itu, Ki”
“Keduanya sama-sama bekerja di muara sungai mencari ikan. Bila hasil ikan memenuhi buleng, yaitu tempat ikan dari anyaman bambu, maka mereka saling berebutan memanggulnya riang-gembira. Ikan yang banyak itu, semua diserahkan kepada wadha, yaitu petugas Negara dalam urusan itu. Ya, rakyat senang mengabdi kepada negara. Itu terjadi di zaman Pajajaran diperintah Sang Prabu Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi …” kata Ki Darma matanya menatap nanar ke taburan bintang di langit.
Ginggi ikut merenung ketika Ki Darma seperti mengumbar lamunan. “Itulah sebabnya, aku selalu rewel kalau kau malas melakukan latihan…” gumam Ki Darma kemudian.
Ginggi menatap tajam ke arah gurunya. “Tugasku apa, Ki?” tanyanya kemudian.
Ki Darma kembali mengeluh pendek. Wajahnya muram semuram cahaya pelita. “Terlalu besar dan amat mustahil bila kau seorang diri bisa mengubah keadaan. Namun dengan punya niat suci ikut meringankan beban rakyat, hidupmu lebih baik ketimbang duduk berpangku tangan…”
“Ya, apa tugasku?”
“Banyak cutak (camat) atau pemimpin kandagalante (wedana) di wilayah ini yang kerjanya memeras rakyat hanya karena mereka ingin dipuji atasan. Mereka menyiksa dan memaksa, menghentak mencari jasa. Mereka tertawa bila wilayahnya dipuji sebagai penghasil seba paling baik tapi sama-sekali tak menggubris rakyat yang menjerit karena tercekik. Itulah tugasmu, Ginggi. Tidak akan seluruhnya bisa kau selesaikan. Tapi cobalah sebab mencoba jauh lebih baik ketimbang diam sama-sekali,” kata Ki Darma lagi.
Ginggi terpekur mendengar uraian gurunya ini. “Aku tak tahu apa yang musti dikerjakan. Akupun bahkan tak tahu dari mana musti mulai …” kata Ginggi berdesah.
“Kau akan mengalami perjalanan amat panjang. Dan sebelum tiba pada perjalanan sesungguhnya, kau akan bersusah-susah di tempat ini dulu. Masih banyak yang harus kau sempurnakan disini…”
“Urusan kewiraan?”
“Benar, sebab di zaman seperti ini, hanya ilmu kewiraan yang bisa digunakan dalam mempertahankan hidup,” tutur Ki Darma.
Seperti apa yang diisyaratkan Ki Darma, Ginggi harus menjalani sesuatu yang jadi persyaratan.Tidak siang tidak malam, setiap hari Ginggi memperdalam ilmu kewiraan. Tapi selama hidupnya, sebenarnya Ginggi belum pernah bertemu musuh. Namun, kian mendalami ilmu yang diberikan Ki Darma, kian jelas pada dirinya, betapa sebenarnya ilmu-ilmu itu hanya diperuntukkan dalam menghadapi musuh. Ilmu perkelahian. Di beberapa bagian, jurus-jurus dan gerakan yang diberikan Ki Darma membuat hati Ginggi bergidik, sebab jurus-jurus itu disiapkan untuk membunuh lawan.
Pada suatu hari Ginggi diawasi Ki Darma untuk memainkan satu dua jurus perkelahian. Di puncak Gunung Cakrabuana, suasana masih dipenuhi embun karena matahari belum memancarkan sinarnya. Namun di tengah tanah lapang berumput hijau, Ginggi dan Ki Darma sudah berdiri tegak.
Puncak Gunung Cakrabuana bila dilihat dari kakinya seperti kecil tak berarti. Namun bila berdiri di puncak, tempat tertinggi dari gunung itu sebetulnya merupakan sebuah lapangan yang cukup luas. Kalau disini diselenggarakan latihan perang-perangan, maka dua pasukan besar dengan masing-masing kekuatan seratus prajurit dan saling berhadapan masih mampu ditampung.
Sekarang, di pagi hari yang sunyi, lapangan begitu luas hanya dipakai dua orang saja. Malah yang melakukan gerakan berlatih hanya Ginggi seorang, sementara Ki Darma sendiri hanya bertindak sebagai pengamat belaka. Kalaupun ada “orang” ketiga, itupun hanyalah bebegig saja, bentuk orang-orangan terbuat dari susunan jerami padi huma dan kepalanya terbuat dari buah kukuk.
Ginggi berdiri di atas tanah berumput dengan kuda-kuda yang amat aneh, berdiri hanya menggunakan satu kaki kanan saja. Agak doyong ke depan sementara lutut sedikit melipat dan ujung telapak kakinya berjingkat. Kedua tangannya bersilang depan dada. Tangan kanan terkepal keras dan tangan kiri meluruskan dua jari. Sepasang jari-jari ini tepat membelah muka di bagian hidung.
Ginggi menahan napas, memusatkan pikiran dan mengalirkan tenaga dalamnya ke kaki kanan. Manakala terdengar bentakan keras dari mulut Ki Darma, Ginggipun meniru membentak keras. Suaranya melengking tapi akan menyakitkan telinga bila disana kebetulan ada yang mendengar. Namun belum juga usai suara bentakannya, Ginggi menjejak panggung dengan kerasnya. Kaki kanan yang tadi agak doyong serentak bergerak bagaikan per dan badannya melontar ke depan.
Secara kilat tubuh pemuda itu meluncur bagaikan anak panah hendak menancap di tubuh orang-orangan. Dan manakala tubuh Ginggi tepat berada di atas orang-orangan, kedudukannya nampak terbalik, kepala di bawah kaki di atas. Ginggi melakukan gerakan salto. Namun itulah gerakan serangan paling utuh. Tangan kanan yang tadi terkepal serentak dibuka lebar-lebar dan didorong ke depan mengarah wajah orang-orangan.
Itu adalah gerakan serangan tamparan. Tapi tangan mengembang itu tidak dilanjutkan untuk melakukan tamparan namun untuk menghalangi batas pandangan mata musuh. Serangan sebenarnya yang akan dilakukan adalah melalui tangan kiri. Dua jari tangan yang tajam dan lurus, secara ganas “menerobos” ubun-ubun orang-orangan itu.
“Crap!”
“Semua buah-buahan yang enak-enak ada di kebun istana Tajur Agung. Buah durian dibiarkan jatuh sendiri dan buah semangka dibiarkan membusuk dimana-mana. Petugas dapur istana setiap hari dimarahi karena hampir setiap hari pula bulir-bulir padi dibiarkan membusuk. Itulah saking melimpahnya kekayaan diistana,” tutur Ki Darma lagi.
“Hanya melimpah-ruah di seputar istana saja?”
“Ya. Dan semua hanya untuk kepentingan orang-orang istana saja. Untuk kemakmuran para bangsawan, kerabat raja dan kaum santana saja.”
“Kaum santana?”
“Ya, kaum santana adalah kelompok pedagang kaya atau petugas negara termasuk kalangan perwira kerajaan…” sahut Ki Darma.
“Jadi, rakyat sendiri dapat bagian apa?”
“Rakyat hanya dapat kewajiban saja dan sangat sedikit bagiannya yang bernama hak.”
“Kok bisa-bisanya begitu, ya …” Ginggi berdecak. Bukan decak kagum tapi karena tak habis mengerti.
Ki Darma nampak menghela napas panjang. “Prabu Ratu Sakti yang memimpin negri hari-hari terakhir sebenarnya punya tujuan baik. Dia ingin mengembalikan Pajajaran ke zaman keemasan seperti dialami Sri Baduga Maharaja, kakek-buyutnya. Tapi untuk mengembalikan kejayaan negri butuh daya dan tenaga. Harta kekayaan yang melimpah amat dibutuhkan. Hanya bedanya, bila dulu kekayaan negri melimpah dihasilkan melalui perdagangan antar negri, kini kekayaan kas negara harus dihasilkan dari keringat rakyat sendiri. Kemampuan rakyat dipompa habis, seba ditarik setinggi-tingginya.”
“Seba?”
“Seba adalah semacam pajak. Setiap penghasilan rakyat dipotong, diberikan kepada pemerintah. Pajak dasa dan calagara dilipat gandakan.”
“Apakah itu?”
“Dasa adalah pajak tenaga perorangan dan calagara merupakan pajak tenaga secara gotong-royong. Seluruh hamba rahayat Pajajaran sejak dahulu memang dikenakan pajak-pajak seperti ini. Mereka diwajibkan mengerjakan huma dan ladang milik negara atau tanah-tanah milik para bangsawan. Bisa juga mereka dikenakan pajak negara untuk bertugas mencari ikan di muara dan di laut. Bedanya, dasa dan calagara yang dikerjakan di masa-masa silam, selalu dilakukan dengan hati senang. Rakyat bekerja penuh pengabdian. Mengolah ladang dan huma sambil bersenandung, kendati keringat basah mengucur. Anak-anakpun riang-gembira ikut marak atau munday bersama orang tuanya …”
“Apakah marak dan muday itu, Ki”
“Keduanya sama-sama bekerja di muara sungai mencari ikan. Bila hasil ikan memenuhi buleng, yaitu tempat ikan dari anyaman bambu, maka mereka saling berebutan memanggulnya riang-gembira. Ikan yang banyak itu, semua diserahkan kepada wadha, yaitu petugas Negara dalam urusan itu. Ya, rakyat senang mengabdi kepada negara. Itu terjadi di zaman Pajajaran diperintah Sang Prabu Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi …” kata Ki Darma matanya menatap nanar ke taburan bintang di langit.
Ginggi ikut merenung ketika Ki Darma seperti mengumbar lamunan. “Itulah sebabnya, aku selalu rewel kalau kau malas melakukan latihan…” gumam Ki Darma kemudian.
Ginggi menatap tajam ke arah gurunya. “Tugasku apa, Ki?” tanyanya kemudian.
Ki Darma kembali mengeluh pendek. Wajahnya muram semuram cahaya pelita. “Terlalu besar dan amat mustahil bila kau seorang diri bisa mengubah keadaan. Namun dengan punya niat suci ikut meringankan beban rakyat, hidupmu lebih baik ketimbang duduk berpangku tangan…”
“Ya, apa tugasku?”
“Banyak cutak (camat) atau pemimpin kandagalante (wedana) di wilayah ini yang kerjanya memeras rakyat hanya karena mereka ingin dipuji atasan. Mereka menyiksa dan memaksa, menghentak mencari jasa. Mereka tertawa bila wilayahnya dipuji sebagai penghasil seba paling baik tapi sama-sekali tak menggubris rakyat yang menjerit karena tercekik. Itulah tugasmu, Ginggi. Tidak akan seluruhnya bisa kau selesaikan. Tapi cobalah sebab mencoba jauh lebih baik ketimbang diam sama-sekali,” kata Ki Darma lagi.
Ginggi terpekur mendengar uraian gurunya ini. “Aku tak tahu apa yang musti dikerjakan. Akupun bahkan tak tahu dari mana musti mulai …” kata Ginggi berdesah.
“Kau akan mengalami perjalanan amat panjang. Dan sebelum tiba pada perjalanan sesungguhnya, kau akan bersusah-susah di tempat ini dulu. Masih banyak yang harus kau sempurnakan disini…”
“Urusan kewiraan?”
“Benar, sebab di zaman seperti ini, hanya ilmu kewiraan yang bisa digunakan dalam mempertahankan hidup,” tutur Ki Darma.
Seperti apa yang diisyaratkan Ki Darma, Ginggi harus menjalani sesuatu yang jadi persyaratan.Tidak siang tidak malam, setiap hari Ginggi memperdalam ilmu kewiraan. Tapi selama hidupnya, sebenarnya Ginggi belum pernah bertemu musuh. Namun, kian mendalami ilmu yang diberikan Ki Darma, kian jelas pada dirinya, betapa sebenarnya ilmu-ilmu itu hanya diperuntukkan dalam menghadapi musuh. Ilmu perkelahian. Di beberapa bagian, jurus-jurus dan gerakan yang diberikan Ki Darma membuat hati Ginggi bergidik, sebab jurus-jurus itu disiapkan untuk membunuh lawan.
Pada suatu hari Ginggi diawasi Ki Darma untuk memainkan satu dua jurus perkelahian. Di puncak Gunung Cakrabuana, suasana masih dipenuhi embun karena matahari belum memancarkan sinarnya. Namun di tengah tanah lapang berumput hijau, Ginggi dan Ki Darma sudah berdiri tegak.
Puncak Gunung Cakrabuana bila dilihat dari kakinya seperti kecil tak berarti. Namun bila berdiri di puncak, tempat tertinggi dari gunung itu sebetulnya merupakan sebuah lapangan yang cukup luas. Kalau disini diselenggarakan latihan perang-perangan, maka dua pasukan besar dengan masing-masing kekuatan seratus prajurit dan saling berhadapan masih mampu ditampung.
Sekarang, di pagi hari yang sunyi, lapangan begitu luas hanya dipakai dua orang saja. Malah yang melakukan gerakan berlatih hanya Ginggi seorang, sementara Ki Darma sendiri hanya bertindak sebagai pengamat belaka. Kalaupun ada “orang” ketiga, itupun hanyalah bebegig saja, bentuk orang-orangan terbuat dari susunan jerami padi huma dan kepalanya terbuat dari buah kukuk.
Ginggi berdiri di atas tanah berumput dengan kuda-kuda yang amat aneh, berdiri hanya menggunakan satu kaki kanan saja. Agak doyong ke depan sementara lutut sedikit melipat dan ujung telapak kakinya berjingkat. Kedua tangannya bersilang depan dada. Tangan kanan terkepal keras dan tangan kiri meluruskan dua jari. Sepasang jari-jari ini tepat membelah muka di bagian hidung.
Ginggi menahan napas, memusatkan pikiran dan mengalirkan tenaga dalamnya ke kaki kanan. Manakala terdengar bentakan keras dari mulut Ki Darma, Ginggipun meniru membentak keras. Suaranya melengking tapi akan menyakitkan telinga bila disana kebetulan ada yang mendengar. Namun belum juga usai suara bentakannya, Ginggi menjejak panggung dengan kerasnya. Kaki kanan yang tadi agak doyong serentak bergerak bagaikan per dan badannya melontar ke depan.
Secara kilat tubuh pemuda itu meluncur bagaikan anak panah hendak menancap di tubuh orang-orangan. Dan manakala tubuh Ginggi tepat berada di atas orang-orangan, kedudukannya nampak terbalik, kepala di bawah kaki di atas. Ginggi melakukan gerakan salto. Namun itulah gerakan serangan paling utuh. Tangan kanan yang tadi terkepal serentak dibuka lebar-lebar dan didorong ke depan mengarah wajah orang-orangan.
Itu adalah gerakan serangan tamparan. Tapi tangan mengembang itu tidak dilanjutkan untuk melakukan tamparan namun untuk menghalangi batas pandangan mata musuh. Serangan sebenarnya yang akan dilakukan adalah melalui tangan kiri. Dua jari tangan yang tajam dan lurus, secara ganas “menerobos” ubun-ubun orang-orangan itu.
“Crap!”
Buah kukuk tertembus jari. Secara cepat, jari tangan kiri segera ditarik dan kini giliran tangan kanan ganti menyerang. Telapak tangan itu terbuka lebar dan “menepuk” jidat buah kukuk.
“Prak,”
“kepala musuh” pecah berantakan. Tubuh Ginggi jumpalitan beberapa kali untuk kemudian berdiri tegak tiga depa jauhnya. Namun begitu kaki menjejak tanah, tubuh Ginggi menggigil seperti terserang demam.
“Ada apa?” Ki Darma kaget.
“Ganas! Ganas!” pekik Ginggi.
“Apanya yang ganas?”
“Serangan itu. Gerakan itu amat mematikan. Ganas dan tak manusiawi!” kutuk Ginggi lagi.
Ki Darma menghela napas dibuatnya. “Memang begitulah …”
“Tapi mengapa, Aki bilang orang Pajajaran terkenal berbudi halus. Kok sanggup menciptakan ilmu ganas untuk membunuh orang?”
Lagi-lagi Ki Darma menghela napas panjang. “Yang penting bagaimana kita memperlakukannya. Ilmu bela diri di manapun memang ganas sebab dibuat untuk membunuh lawan. Ilmu bela diri Pajajaran selalu mencari urat kematian dari mulai ubun-ubun hingga ujung kaki. Namun apakah mentang-mentang punya ilmu, maka setiap saat kita akan membunuhi orang? Kitapun punya pisau pangot tidak selalu digunakan untuk menoreh kayu. Ilmu kedigjayaan musti engkau miliki bukan untuk mencari-cari lawan namun untuk menjauhi lawan. Kalau engkau diserang, cepatlah berkelit. Kalau tak bisa berkelit, menghindarlah. Kalau tak bisa menghindar, larilah dengan cepat. Tapi kalau masih dikejar dan terpepet, lawanlah dia. Maka di sanalah ilmumu kau gunakan…” tutur Ki Darma panjang-lebar.
Namun Ginggi masih tetap terpengaruhi oleh hasil serangannya tadi.
“Itulah kelemahanmu, Ginggi. Satu saat kelemahan ini akan membahayakan dirimu,” kata Ki Darma.
Ginggi tercenung. Ucapan gurunya ini telah beberapa kali dikemukakan. Dan kebenaran kata-kata itu pernah terjadi. Satu saat Ginggi ditugaskan berburu menjangan untuk persediaan makanan. Di lereng Gunung Cakrabuana yang berhutan lebat banyak didapat bermacam-macam binatang seperti kelinci, menjangan namun juga ada meong congkok, macan tutul dan harimau.
Ketika anak muda itu hendak menangkap seekor menjangan, banyak hambatan menahan dirinya, perasaannya selalu tak enak. Menjangan itu tak berdosa, mengapa harus dibunuh. Menjangan adalah binatang yang lugu. Dia tak merugikan makhluk lainnya. Tidak pula sanggup membunuh binatang sekecil apapun. Jadi, mengapa sekarang harus dibunuh?
“Tak selamanya membunuh disebut jahat,” ujar gurunya suatu ketika. “Harimau membunuh bukanlah sebuah kejahatan sebab dia perlu makan. Diapun tidak serakah sebab bilamana rasa laparnya hilang dia tak membunuh lagi,” tutur gurunya lagi. “Lagi pula, harimau bukanlah binatang usil. Kalau dia tak diganggu maka dia tak akan mengganggu. Setiap bertemu manusia, harimau selalu menghindar, kecuali kalau kepentingannya diganggu dan dirinya merasa dalam bahaya. Berburu menjangan bukan kejahatan sebab kita butuh makan. Karena di hutan ada menjangan dan dagingnya menyehatkan, maka menjangan diburu,” lanjut Ki Darma lagi.
Ginggi mengintip seekor menjangan. Menjangan itu masih muda. Kalaulah dia manusia, mungkin seusia dirinya. Atau barangkali belum pantas untuk dilepas sendiri oleh induknya. Tapi Ginggi tak tahu mengapa menjangan itu malah berkeliaran sendiri, sebab dengan begitu bakal ada ancaman terhadap nyawanya. Semula Ginggi akan menimpuk kepala menjangan muda itu dengan batu. Namun karena rasa kasihan, niat itu diurungkannya.
“Dia akan kutangkap hidup-hidup saja menggunakan ilmu Salimpet Haseup,” pikir Ginggi.
Ini adalah sebuah ilmu untuk menyeruak di tengah-tengah belukar namun tanpa menimbulkan bunyi keresekan. Namun belum lagi bertindak, dari arah sana ada bunyi keresekan amat halus. Hanya karena pemuda itu pandai menggunakan ilmu Hiliwir Sumping, sejenis ilmu mendengar suara jarak jauh, maka keresekan itu terdengar nyata. Hati Ginggi berdebar.
“Harimau …” bisiknya perlahan.
Dan benar saja, ada tubuh besar berbulu kuning dengan polet garis-garis hitam menerjang ke arah tubuh menjangan bagaikan kilat. Ginggi harus berani adu cepat, sebab bila terlambat sedikit saja, maka tubuh menjangan muda itu akan jadi santapan koyakan kuku dan taring-taring tajam.
Ginggi menotolkan ujung jari kakinya kemudian tubuhnya melesat mengarah tubuh Si Raja Hutan itu. Harimau itu perhatiannya tengah tercurah kepada buruannya, sehingga manakala terjangan kaki Ginggi menyerang, dia tak bisa menghindar.
“Dukk!”
Terdengar suara gerengan keras membelah dada. Harimau itu pasti kesakitan. Namun Ginggi sadar, sebenarnya kalaulah serangan kakinya tak dikurangi sampai dua pertiganya, maka binatang besar itu pasti akan terluka amat hebat dan barangkali akan tewas. Tapi Ginggi tak mau membunuh binatang itu. Hanya saja akibat dari rasa kasihan inilah maka sebagai imbalannya ada serbuan amat ganas dari Si Raja Hutan.
Sang Harimau kini meninggalkan buruannya dan segera mengalihkan serangannya kepada pemuda itu. Dengan serta-merta tubuh sebesar kerbau itu melesat terbang mengarah tubuh Ginggi. Pemuda itu menghindar ke bawah perut harimau. Maka seandainya akan menamatkan riwayat binatang itu, Ginggi hanya perlu menusuknya dengan ujung jarinya ke arah perut harimau dan binatang itu niscaya akan tersobek perutnya. Namun Ginggi tak melakukan hal itu. Yang dia lakukan hanyalah merapatkan tubuhnya di atas tanah dan perut binatang buas itu bergelisir ke punggung pemuda itu.
Untuk kedua kalinya harimau menerjang keras dengan cakarnya yang tajam. Kembali Ginggi melengos mundur. Namun tak dinyana, binatang itu menotolkan sebelah kakinya ke atas tanah sehingga tubuhnya bisa “terbang” kembali menghampiri pemuda itu. Ginggi tak menyangka akan hal ini. Hanya saja secara tiba-tiba jari beruncing dari kaki depan harimau sudah bergerak cepat hendak mencarut wajahnya.
“Auuuppp!!!” tubuh Ginggi jumpalitan ke belakang.
Cakar itu hanya seujung kuku saja jaraknya dari pipi pemuda itu. Ketika Ginggi masih jumpalitan, harimau kembali menerjang dengan cakarnya. Kali ini Ginggi tak tinggal diam. Ketika kaki depan hendak menampar kepalanya, secepat kilat tangan Ginggi mendahului menampar.
“Plak!”
Tubuh sang harimau terlontar beberapa depa ke belakang dan jatuh bergulingan. Untuk sejenak harimau itu duduk terpana melihat Ginggi dengan corong matanya yang tajam. Kemudian terdengar suara gerengan tajam memekakkan telinga. Ginggi telah mempersiapkan kuda-kudanya untuk menunggu serangan susulan dari binatang itu. Namun setelah ditunggu agak lama, ternyata harimau berbalik arah dan melarikan diri dengan kaki agak pincang.
Tinggallah Ginggi berdiri mematung. Menjangan telah pergi, demikianpun sang harimau. Apakah ini sebuah kesuksesan atau keteledoran, Ginggi tak bisa memastikannya. Hanya saja ketika kembali pulang dan melaporkan kejadian ini kepada gurunya, Ki Darma hanya tersenyum-simpul saja.
“Saya ternyata tak berhasil menangkap menjangan. Ki Guru,” tutur Ginggi.
“Yang engkau tak pernah berhasil adalah melawan kelemahan batinmu, anak muda …” jawab gurunya.
Dan Ginggi diam tak menjawab. Terkadang ada kebiasaan orang yang susah untuk dihilangkan. Tapi Ginggi tak pernah tahu, apakah yang ada pada dirinya ini kebiasaan buruk atau bukan? Menerima Tugas Masa terus berjalan, tak terasa satu tahun telah lewat dari peristiwa itu. Namun selama itu, Ginggi tetap dilatih ilmu kewiraan oleh gurunya. Semakin hari semakin keras dan semakin hari semakin berlatih taktik-taktik ganas. Hingga tiba pada suatu saat Ki Darma memanggil dirinya.
“Sudah tiba saatnya engkau melaksanakan tugas,” kata Ki Darma sambil bersila di hamparan lumut tebal di bawah pohon carik angin.
Berdegup jantung anak muda itu. Tugas apakah? Gurunya pernah bilang kalau latihan kewiraan bagian dari tugas. Apakah tugas sebenar-benarnya adalah kali ini?
“Tugas apakah, Aki?” tanyanya.
“Kau harus turun gunung!”
“Turun gunung?”
“Sudah saatnya kau bergaul dengan orang banyak. Kau lihat, kau alami dan kau rasakan. Maka sesudah semuanya kau pelajari, kau pasti akan tergerak untuk menjalankan tugas yang aku maksud,” kata Ki Darma, suaranya datar tanpa menatap wajah muridnya.
Namun Ginggi masih duduk di hadapan gurunya dengan tatapan tajam.
“Satu atau dua tahun silam sudah aku utarakan perihal ini. Bahwa hari-hari kelabu tengah menggayuti langit Pajajaran rakyat tengah digoncang penderitaan karena kebijakan rajanya yang keliru. Rakyat mengeluh karena kewajiban seba yang tinggi…”
“Apakah seba itu?”
“Seba adalah semacam pajak tahunan. Setiap tahun pemerintah mengutip pajak dari rakyatnya. Namun setiap tahun pula, pajak selalu naik tinggi, sementara kehidupan rakyat tak beranjak naik,” jawab Ki Darma menghela napas panjang. Ginggi masih tetap menatap tajam. “Kendati Negri Pajajaran masih tetap subur, namun kesejahteraan ternyata bukan untuk rakyat, melainkan untuk pemuas nafsu pejabat semata,” tutur Ki Darma lagi. Ginggi mengerutkan dahinya. “Berkelanalah carilah saudara-saudaramu,” kata Ki Darma lagi sehingga mencengangkan Ginggi.
“Apakah saya punya saudara?”
“Bukan pertalian darah. Mereka adalah saudara seperguruan,” kata Ki Darma pula sambil melanjutkan penjelasannya, bahwa dulu lebih sepuluh tahun silam, sebelum dirinya menemukan seorang anak telantar di kubangan lumpur Kampung Caringin, Ki Darma pernah punya empat orang murid. “Pertama aku punya murid dua orang, Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta. Mulanya aku latih mereka ilmu kewiraan dengan harapan mereka kelak bisa mengabdi kepada negara. Namun belakangan manakala kulihat negara dalam keadaan bobrok, maka kucegah mereka. Mereka hanya kusuruh mempertahankan negri tanpa mereka harus ikut campur urusan kenegaraan. Dengan dua orang muridku, aku berpisah ketika perang melawan Kerajaan Cirebon berkecamuk,” tutur Ki Darma panjang-lebar. Ginggi mengangguk-angguk.
“Dari Pakuan aku mengembara kemana-mana. Sampai akhirnya tiba di Wilayah Karatuan Talaga. Disini aku punya murid dua saudara kembar, Ki Rangga Guna dan Ki Rangga Wisesa. Seperti yang kini aku perintahkan kepadamu, maka kepada keempat muridkupun aku perintahkan hal yang sama, yaitu berdirilah di pihak rakyat yang lagi menderita. Kini belasan tahun berlalu, aku tak tahu khabar berita dari mereka. Kalau hidup mesti terdengar beritanya dan kalau mati mesti terlihat kuburnya. Kau carilah mereka dan kau gabunglah dengan mereka kalau selama itu mereka tetap mentaati perintahku. Tapi kalau yang terjadi adalah sebaliknya, kau harus tentang mereka.”
Ginggi mengangguk-angguk kembali, bahkan kini anggukannya nampak bersemangat sekali. Mengapa tak begitu, sebab sebenarnya Ginggi sudah merasa bosan belasan tahun berada di Puncak Cakrabuana dan jarang bertemu manusia lainnya. Saat-saat tertentu Ki Darma suka menyuruhnya untuk turun ke kampung di kaki gunung namun Ki Darma melarang Ginggi banyak berhubungan dengan penduduk. Sekarang Ki Darma malah menyuruhnya untuk turun gunung dan bergabung dengan khalayak ramai. Sudah barang tentu ini amat menggembirakan hatinya.
“Kau tentu akan banyak menerima tantangan hidup bahkan derita. Tapi tak apa. Untuk membantu sesama maka penderitaan adalah mulia,” kata Ki Darma.
“Kapan saya harus mulai turun gunung, Aki?” Tanya Ginggi tak sabar.
“Esok subuh sebelum pagi benar-benar lewat!”
“Esok subuh?” Ginggi terkejut. “Mengapa begitu mendadak?”
“Tidak mendadak sebab telah aku perhitungkan jauh hari…”
“Tapi saya harus diberitahu jauh sebelumnya juga, Aki!”
Ki Darma hanya terkekeh saja. “Ayo masuk kamarmu. Kau siapkan apa yang mesti kau bawa.”
Ki Darma berdiri duluan dan berjalan menuju rumah gubuknya. Namun karena Ginggi masih terdiam, Ki Darmapun berbalik lagi.
“Apakah engkau tak mau melihat kediamanmu untuk penghabisan kalinya?” tanya Ki Darma.
“Sepertinya saya tak boleh kembali kesini, Aki?”
“Hidup penuh misteri. Apa yang akan terjadi besok tak akan ada yang tahu persis.”
“Jangan samakan dengan saudara seperguruan saya lainnya yang hingga kini tak pernah pulang, Aki,” kata Ginggi.
Hanya dijawab dengan senyuman tipis gurunya. Karena Ki Darma tetap memaksa, akhirnya Ginggi berjingkat menuju kamar rumah panggungnya. Namun kegairahan melihat dunia luar serasa tersendat oleh hal-hal mendadak seperti ini. Ya, perintah gurunya terasa mendadak dan seperti terkesan ada sesuatu yang dipaksakan. Keganjilan ini semakin jelas ketika di kamarnya sudah tergolek pula sebuah buntalan kain. Ternyata benar, gurunya sudah mempersiapkan segalanya sejak dini.
“Aki, benar-benarkah saya harus pergi secepat ini?”
“Ya …”
“Subuh hari?”
“Ya, supaya engkau tidak kemalaman di Hutan Bukit Banyukerta …”
“Aki …”
“Apa?”
“Tak sebaiknyakah kita berkelana berdua?”
“Hahaha!” Ki Darma tertawa keras.
“Kau beritahu, kapan saya harus kembali?”
“Nanti bila benar harapanku sudah terkabul. Tapi akupun sebenarnya tak peduli kapan kau akan kembali. Kau harus tahu, perjuanganmu amatlah berat. Membela rakyat bukanlah pekerjaan enteng.”
“Ki Guru, saya akan berusaha melaksanakan tugasmu dengan baik sebab saya ingin segera kembali kesini …” kata Ginggi yang hanya disambut oleh gelak tawa gurunya.
Namun Ginggi tak tersinggung gurunya hanya tertawa saja. Yang dia sedihkan adalah mengapa perpisahan dengan gurunya harus secepat ini. Ginggi memang rasakan, selama bersama gurunya tak ada perhatian berlebih. Tak ada kesejahteraan baik makanan ataupun pakaian. Kalau Ki Darma berburu mencari makanan di hutan, hasilnya terkadang dimakan sendiri. Kalau ada sisa, Ginggi makan sisanya, kalau tak ada, Ginggi cari sendiri, sekalian bawa hasil lebih untuk persediaan gurunya.
Namun demikian, Ginggi tidak pernah tersiksa dengan ini. Perbuatan gurunya yang seenaknya bahkan dipakai alasan agar dirinyapun bisa merdeka pula seperti gurunya. Di antaranya bisa menolak perintah gurunya. Inilah pertautan batin yang erat antara dirinya dengan gurunya, yaitu sama-sama memberikan kebebasan.
Tapi kini ada perasaan tak enak mendera dirinya. Kini pemuda ini merasa khawatir, khawatir tak bisa bertemu lagi dengan gurunya. Ginggi juga merasa khawatir, khawatir akan kesendirian Ki Darma. Puncak Gunung Cakrabuana ini begitu sunyi dan begitu sepi. Tidakkah Ki Darma kelak akan merasa kesunyian sebab telah kehilangan dirinya?
Kalau Ginggi sudah pergi turun gunung, tentu Ki Darma sudah tak bisa marah-marah lagi seperti biasa. Bila dirinya sudah pergi, Ki Darma pasti sudah tak punya lagi teman untuk bersilang pendapat. Dan kalau dirinya sudah mengembara, pasti Ki Darma sudah tak bisa memaksakan pendapatnya lagi. Ya, kepada siapa Ki Darma akan berhubungan untuk melepaskan segala macam unek-unek di hatinya?
“Aki, izinkan saya untuk berkumpul denganmu, dalam satu dua hari ini saja…” pinta Ginggi mengiba.
“Kau harus berangkat sekarang juga, Ginggi!”
“Tidakkah Aki menginginkan saya berburu kelinci dulu, berburu menjangan dulu atau sekadar berburu burung walik saja dulu? Kita kan perlu makan bersama untuk sekadar Mengucapkan selamat berpisah?”
“Tidak”
“Aki …”
“Tidak. Besok subuh kau harus pergi. Sekarang cepatlah tidur!” bentak Ki Darma.
Wajah Ginggi meredup. Maka dengan serta-merta diapun segera beranjak ke biliknya. Begitu hingga subuh tiba. Ketika kokok ayam pertama berbunyi dari hutan dikejauhan, Ki Darma sudah mengetuk-ngetuk daun pintu.
“Prak,”
“kepala musuh” pecah berantakan. Tubuh Ginggi jumpalitan beberapa kali untuk kemudian berdiri tegak tiga depa jauhnya. Namun begitu kaki menjejak tanah, tubuh Ginggi menggigil seperti terserang demam.
“Ada apa?” Ki Darma kaget.
“Ganas! Ganas!” pekik Ginggi.
“Apanya yang ganas?”
“Serangan itu. Gerakan itu amat mematikan. Ganas dan tak manusiawi!” kutuk Ginggi lagi.
Ki Darma menghela napas dibuatnya. “Memang begitulah …”
“Tapi mengapa, Aki bilang orang Pajajaran terkenal berbudi halus. Kok sanggup menciptakan ilmu ganas untuk membunuh orang?”
Lagi-lagi Ki Darma menghela napas panjang. “Yang penting bagaimana kita memperlakukannya. Ilmu bela diri di manapun memang ganas sebab dibuat untuk membunuh lawan. Ilmu bela diri Pajajaran selalu mencari urat kematian dari mulai ubun-ubun hingga ujung kaki. Namun apakah mentang-mentang punya ilmu, maka setiap saat kita akan membunuhi orang? Kitapun punya pisau pangot tidak selalu digunakan untuk menoreh kayu. Ilmu kedigjayaan musti engkau miliki bukan untuk mencari-cari lawan namun untuk menjauhi lawan. Kalau engkau diserang, cepatlah berkelit. Kalau tak bisa berkelit, menghindarlah. Kalau tak bisa menghindar, larilah dengan cepat. Tapi kalau masih dikejar dan terpepet, lawanlah dia. Maka di sanalah ilmumu kau gunakan…” tutur Ki Darma panjang-lebar.
Namun Ginggi masih tetap terpengaruhi oleh hasil serangannya tadi.
“Itulah kelemahanmu, Ginggi. Satu saat kelemahan ini akan membahayakan dirimu,” kata Ki Darma.
Ginggi tercenung. Ucapan gurunya ini telah beberapa kali dikemukakan. Dan kebenaran kata-kata itu pernah terjadi. Satu saat Ginggi ditugaskan berburu menjangan untuk persediaan makanan. Di lereng Gunung Cakrabuana yang berhutan lebat banyak didapat bermacam-macam binatang seperti kelinci, menjangan namun juga ada meong congkok, macan tutul dan harimau.
Ketika anak muda itu hendak menangkap seekor menjangan, banyak hambatan menahan dirinya, perasaannya selalu tak enak. Menjangan itu tak berdosa, mengapa harus dibunuh. Menjangan adalah binatang yang lugu. Dia tak merugikan makhluk lainnya. Tidak pula sanggup membunuh binatang sekecil apapun. Jadi, mengapa sekarang harus dibunuh?
“Tak selamanya membunuh disebut jahat,” ujar gurunya suatu ketika. “Harimau membunuh bukanlah sebuah kejahatan sebab dia perlu makan. Diapun tidak serakah sebab bilamana rasa laparnya hilang dia tak membunuh lagi,” tutur gurunya lagi. “Lagi pula, harimau bukanlah binatang usil. Kalau dia tak diganggu maka dia tak akan mengganggu. Setiap bertemu manusia, harimau selalu menghindar, kecuali kalau kepentingannya diganggu dan dirinya merasa dalam bahaya. Berburu menjangan bukan kejahatan sebab kita butuh makan. Karena di hutan ada menjangan dan dagingnya menyehatkan, maka menjangan diburu,” lanjut Ki Darma lagi.
Ginggi mengintip seekor menjangan. Menjangan itu masih muda. Kalaulah dia manusia, mungkin seusia dirinya. Atau barangkali belum pantas untuk dilepas sendiri oleh induknya. Tapi Ginggi tak tahu mengapa menjangan itu malah berkeliaran sendiri, sebab dengan begitu bakal ada ancaman terhadap nyawanya. Semula Ginggi akan menimpuk kepala menjangan muda itu dengan batu. Namun karena rasa kasihan, niat itu diurungkannya.
“Dia akan kutangkap hidup-hidup saja menggunakan ilmu Salimpet Haseup,” pikir Ginggi.
Ini adalah sebuah ilmu untuk menyeruak di tengah-tengah belukar namun tanpa menimbulkan bunyi keresekan. Namun belum lagi bertindak, dari arah sana ada bunyi keresekan amat halus. Hanya karena pemuda itu pandai menggunakan ilmu Hiliwir Sumping, sejenis ilmu mendengar suara jarak jauh, maka keresekan itu terdengar nyata. Hati Ginggi berdebar.
“Harimau …” bisiknya perlahan.
Dan benar saja, ada tubuh besar berbulu kuning dengan polet garis-garis hitam menerjang ke arah tubuh menjangan bagaikan kilat. Ginggi harus berani adu cepat, sebab bila terlambat sedikit saja, maka tubuh menjangan muda itu akan jadi santapan koyakan kuku dan taring-taring tajam.
Ginggi menotolkan ujung jari kakinya kemudian tubuhnya melesat mengarah tubuh Si Raja Hutan itu. Harimau itu perhatiannya tengah tercurah kepada buruannya, sehingga manakala terjangan kaki Ginggi menyerang, dia tak bisa menghindar.
“Dukk!”
Terdengar suara gerengan keras membelah dada. Harimau itu pasti kesakitan. Namun Ginggi sadar, sebenarnya kalaulah serangan kakinya tak dikurangi sampai dua pertiganya, maka binatang besar itu pasti akan terluka amat hebat dan barangkali akan tewas. Tapi Ginggi tak mau membunuh binatang itu. Hanya saja akibat dari rasa kasihan inilah maka sebagai imbalannya ada serbuan amat ganas dari Si Raja Hutan.
Sang Harimau kini meninggalkan buruannya dan segera mengalihkan serangannya kepada pemuda itu. Dengan serta-merta tubuh sebesar kerbau itu melesat terbang mengarah tubuh Ginggi. Pemuda itu menghindar ke bawah perut harimau. Maka seandainya akan menamatkan riwayat binatang itu, Ginggi hanya perlu menusuknya dengan ujung jarinya ke arah perut harimau dan binatang itu niscaya akan tersobek perutnya. Namun Ginggi tak melakukan hal itu. Yang dia lakukan hanyalah merapatkan tubuhnya di atas tanah dan perut binatang buas itu bergelisir ke punggung pemuda itu.
Untuk kedua kalinya harimau menerjang keras dengan cakarnya yang tajam. Kembali Ginggi melengos mundur. Namun tak dinyana, binatang itu menotolkan sebelah kakinya ke atas tanah sehingga tubuhnya bisa “terbang” kembali menghampiri pemuda itu. Ginggi tak menyangka akan hal ini. Hanya saja secara tiba-tiba jari beruncing dari kaki depan harimau sudah bergerak cepat hendak mencarut wajahnya.
“Auuuppp!!!” tubuh Ginggi jumpalitan ke belakang.
Cakar itu hanya seujung kuku saja jaraknya dari pipi pemuda itu. Ketika Ginggi masih jumpalitan, harimau kembali menerjang dengan cakarnya. Kali ini Ginggi tak tinggal diam. Ketika kaki depan hendak menampar kepalanya, secepat kilat tangan Ginggi mendahului menampar.
“Plak!”
Tubuh sang harimau terlontar beberapa depa ke belakang dan jatuh bergulingan. Untuk sejenak harimau itu duduk terpana melihat Ginggi dengan corong matanya yang tajam. Kemudian terdengar suara gerengan tajam memekakkan telinga. Ginggi telah mempersiapkan kuda-kudanya untuk menunggu serangan susulan dari binatang itu. Namun setelah ditunggu agak lama, ternyata harimau berbalik arah dan melarikan diri dengan kaki agak pincang.
Tinggallah Ginggi berdiri mematung. Menjangan telah pergi, demikianpun sang harimau. Apakah ini sebuah kesuksesan atau keteledoran, Ginggi tak bisa memastikannya. Hanya saja ketika kembali pulang dan melaporkan kejadian ini kepada gurunya, Ki Darma hanya tersenyum-simpul saja.
“Saya ternyata tak berhasil menangkap menjangan. Ki Guru,” tutur Ginggi.
“Yang engkau tak pernah berhasil adalah melawan kelemahan batinmu, anak muda …” jawab gurunya.
Dan Ginggi diam tak menjawab. Terkadang ada kebiasaan orang yang susah untuk dihilangkan. Tapi Ginggi tak pernah tahu, apakah yang ada pada dirinya ini kebiasaan buruk atau bukan? Menerima Tugas Masa terus berjalan, tak terasa satu tahun telah lewat dari peristiwa itu. Namun selama itu, Ginggi tetap dilatih ilmu kewiraan oleh gurunya. Semakin hari semakin keras dan semakin hari semakin berlatih taktik-taktik ganas. Hingga tiba pada suatu saat Ki Darma memanggil dirinya.
“Sudah tiba saatnya engkau melaksanakan tugas,” kata Ki Darma sambil bersila di hamparan lumut tebal di bawah pohon carik angin.
Berdegup jantung anak muda itu. Tugas apakah? Gurunya pernah bilang kalau latihan kewiraan bagian dari tugas. Apakah tugas sebenar-benarnya adalah kali ini?
“Tugas apakah, Aki?” tanyanya.
“Kau harus turun gunung!”
“Turun gunung?”
“Sudah saatnya kau bergaul dengan orang banyak. Kau lihat, kau alami dan kau rasakan. Maka sesudah semuanya kau pelajari, kau pasti akan tergerak untuk menjalankan tugas yang aku maksud,” kata Ki Darma, suaranya datar tanpa menatap wajah muridnya.
Namun Ginggi masih duduk di hadapan gurunya dengan tatapan tajam.
“Satu atau dua tahun silam sudah aku utarakan perihal ini. Bahwa hari-hari kelabu tengah menggayuti langit Pajajaran rakyat tengah digoncang penderitaan karena kebijakan rajanya yang keliru. Rakyat mengeluh karena kewajiban seba yang tinggi…”
“Apakah seba itu?”
“Seba adalah semacam pajak tahunan. Setiap tahun pemerintah mengutip pajak dari rakyatnya. Namun setiap tahun pula, pajak selalu naik tinggi, sementara kehidupan rakyat tak beranjak naik,” jawab Ki Darma menghela napas panjang. Ginggi masih tetap menatap tajam. “Kendati Negri Pajajaran masih tetap subur, namun kesejahteraan ternyata bukan untuk rakyat, melainkan untuk pemuas nafsu pejabat semata,” tutur Ki Darma lagi. Ginggi mengerutkan dahinya. “Berkelanalah carilah saudara-saudaramu,” kata Ki Darma lagi sehingga mencengangkan Ginggi.
“Apakah saya punya saudara?”
“Bukan pertalian darah. Mereka adalah saudara seperguruan,” kata Ki Darma pula sambil melanjutkan penjelasannya, bahwa dulu lebih sepuluh tahun silam, sebelum dirinya menemukan seorang anak telantar di kubangan lumpur Kampung Caringin, Ki Darma pernah punya empat orang murid. “Pertama aku punya murid dua orang, Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta. Mulanya aku latih mereka ilmu kewiraan dengan harapan mereka kelak bisa mengabdi kepada negara. Namun belakangan manakala kulihat negara dalam keadaan bobrok, maka kucegah mereka. Mereka hanya kusuruh mempertahankan negri tanpa mereka harus ikut campur urusan kenegaraan. Dengan dua orang muridku, aku berpisah ketika perang melawan Kerajaan Cirebon berkecamuk,” tutur Ki Darma panjang-lebar. Ginggi mengangguk-angguk.
“Dari Pakuan aku mengembara kemana-mana. Sampai akhirnya tiba di Wilayah Karatuan Talaga. Disini aku punya murid dua saudara kembar, Ki Rangga Guna dan Ki Rangga Wisesa. Seperti yang kini aku perintahkan kepadamu, maka kepada keempat muridkupun aku perintahkan hal yang sama, yaitu berdirilah di pihak rakyat yang lagi menderita. Kini belasan tahun berlalu, aku tak tahu khabar berita dari mereka. Kalau hidup mesti terdengar beritanya dan kalau mati mesti terlihat kuburnya. Kau carilah mereka dan kau gabunglah dengan mereka kalau selama itu mereka tetap mentaati perintahku. Tapi kalau yang terjadi adalah sebaliknya, kau harus tentang mereka.”
Ginggi mengangguk-angguk kembali, bahkan kini anggukannya nampak bersemangat sekali. Mengapa tak begitu, sebab sebenarnya Ginggi sudah merasa bosan belasan tahun berada di Puncak Cakrabuana dan jarang bertemu manusia lainnya. Saat-saat tertentu Ki Darma suka menyuruhnya untuk turun ke kampung di kaki gunung namun Ki Darma melarang Ginggi banyak berhubungan dengan penduduk. Sekarang Ki Darma malah menyuruhnya untuk turun gunung dan bergabung dengan khalayak ramai. Sudah barang tentu ini amat menggembirakan hatinya.
“Kau tentu akan banyak menerima tantangan hidup bahkan derita. Tapi tak apa. Untuk membantu sesama maka penderitaan adalah mulia,” kata Ki Darma.
“Kapan saya harus mulai turun gunung, Aki?” Tanya Ginggi tak sabar.
“Esok subuh sebelum pagi benar-benar lewat!”
“Esok subuh?” Ginggi terkejut. “Mengapa begitu mendadak?”
“Tidak mendadak sebab telah aku perhitungkan jauh hari…”
“Tapi saya harus diberitahu jauh sebelumnya juga, Aki!”
Ki Darma hanya terkekeh saja. “Ayo masuk kamarmu. Kau siapkan apa yang mesti kau bawa.”
Ki Darma berdiri duluan dan berjalan menuju rumah gubuknya. Namun karena Ginggi masih terdiam, Ki Darmapun berbalik lagi.
“Apakah engkau tak mau melihat kediamanmu untuk penghabisan kalinya?” tanya Ki Darma.
“Sepertinya saya tak boleh kembali kesini, Aki?”
“Hidup penuh misteri. Apa yang akan terjadi besok tak akan ada yang tahu persis.”
“Jangan samakan dengan saudara seperguruan saya lainnya yang hingga kini tak pernah pulang, Aki,” kata Ginggi.
Hanya dijawab dengan senyuman tipis gurunya. Karena Ki Darma tetap memaksa, akhirnya Ginggi berjingkat menuju kamar rumah panggungnya. Namun kegairahan melihat dunia luar serasa tersendat oleh hal-hal mendadak seperti ini. Ya, perintah gurunya terasa mendadak dan seperti terkesan ada sesuatu yang dipaksakan. Keganjilan ini semakin jelas ketika di kamarnya sudah tergolek pula sebuah buntalan kain. Ternyata benar, gurunya sudah mempersiapkan segalanya sejak dini.
“Aki, benar-benarkah saya harus pergi secepat ini?”
“Ya …”
“Subuh hari?”
“Ya, supaya engkau tidak kemalaman di Hutan Bukit Banyukerta …”
“Aki …”
“Apa?”
“Tak sebaiknyakah kita berkelana berdua?”
“Hahaha!” Ki Darma tertawa keras.
“Kau beritahu, kapan saya harus kembali?”
“Nanti bila benar harapanku sudah terkabul. Tapi akupun sebenarnya tak peduli kapan kau akan kembali. Kau harus tahu, perjuanganmu amatlah berat. Membela rakyat bukanlah pekerjaan enteng.”
“Ki Guru, saya akan berusaha melaksanakan tugasmu dengan baik sebab saya ingin segera kembali kesini …” kata Ginggi yang hanya disambut oleh gelak tawa gurunya.
Namun Ginggi tak tersinggung gurunya hanya tertawa saja. Yang dia sedihkan adalah mengapa perpisahan dengan gurunya harus secepat ini. Ginggi memang rasakan, selama bersama gurunya tak ada perhatian berlebih. Tak ada kesejahteraan baik makanan ataupun pakaian. Kalau Ki Darma berburu mencari makanan di hutan, hasilnya terkadang dimakan sendiri. Kalau ada sisa, Ginggi makan sisanya, kalau tak ada, Ginggi cari sendiri, sekalian bawa hasil lebih untuk persediaan gurunya.
Namun demikian, Ginggi tidak pernah tersiksa dengan ini. Perbuatan gurunya yang seenaknya bahkan dipakai alasan agar dirinyapun bisa merdeka pula seperti gurunya. Di antaranya bisa menolak perintah gurunya. Inilah pertautan batin yang erat antara dirinya dengan gurunya, yaitu sama-sama memberikan kebebasan.
Tapi kini ada perasaan tak enak mendera dirinya. Kini pemuda ini merasa khawatir, khawatir tak bisa bertemu lagi dengan gurunya. Ginggi juga merasa khawatir, khawatir akan kesendirian Ki Darma. Puncak Gunung Cakrabuana ini begitu sunyi dan begitu sepi. Tidakkah Ki Darma kelak akan merasa kesunyian sebab telah kehilangan dirinya?
Kalau Ginggi sudah pergi turun gunung, tentu Ki Darma sudah tak bisa marah-marah lagi seperti biasa. Bila dirinya sudah pergi, Ki Darma pasti sudah tak punya lagi teman untuk bersilang pendapat. Dan kalau dirinya sudah mengembara, pasti Ki Darma sudah tak bisa memaksakan pendapatnya lagi. Ya, kepada siapa Ki Darma akan berhubungan untuk melepaskan segala macam unek-unek di hatinya?
“Aki, izinkan saya untuk berkumpul denganmu, dalam satu dua hari ini saja…” pinta Ginggi mengiba.
“Kau harus berangkat sekarang juga, Ginggi!”
“Tidakkah Aki menginginkan saya berburu kelinci dulu, berburu menjangan dulu atau sekadar berburu burung walik saja dulu? Kita kan perlu makan bersama untuk sekadar Mengucapkan selamat berpisah?”
“Tidak”
“Aki …”
“Tidak. Besok subuh kau harus pergi. Sekarang cepatlah tidur!” bentak Ki Darma.
Wajah Ginggi meredup. Maka dengan serta-merta diapun segera beranjak ke biliknya. Begitu hingga subuh tiba. Ketika kokok ayam pertama berbunyi dari hutan dikejauhan, Ki Darma sudah mengetuk-ngetuk daun pintu.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment