Suara tepukan itu iramanya beraturan. Dan yang lebih khas dari itu, keras menyakitkan karena dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat. Suaranya terus menggema ke segala arah. Dan untuk yang kesekian kalinya, terlihat burung-burung beterbangan dari dahan-dahan pohon pinus karena kaget. Namun manakala ribuan kelelawar melintas di goresan-goresan merah lembayung di ufuk barat, suara tepukan segera berhenti.
“Lanjutkan, Ginggi!” teriak satu suara yang berat.
“Tapi, kelelawar mulai meninggalkan sarang, Aki,” jawab suara lainnya agak tinggi melengking.
“Aku katakan, lanjutkan tugasmu, Ginggi!” yang bersuara berat terdengar membentak dan suaranya seperti memukul gendang telinga. Namun suara tepukan belum terdengar juga.
“Aki, lihatlah! Kedua tanganku sudah pecah kulitnya dan darah keluar dari lubang pori-pori. Pedih dan menyakitkan. Tidakkah ini menyiksa diriku?” keluh si suara kecil melengking dengan nada jengkel.
Namun dijawab suara berat tadi tak lebih jengkelnya, “Penderitaanmu dalam latihan ini tidak separah rakyat Pajajaran, Ginggi. Hancur kulit telapak tangan tak seberapa sebab dalam sehari dua hari akan sembuh dengan sendirinya. Tapi hancur hati dan perasaan tak mungkin terobati sampai akhir hayat,” kata si suara berat.
Hening sejenak. Kecuali bunyi serangga yang terdengar di kejauhan. Mungkin di gundukan hutan pinus yang kini mulai dipeluk kabut tipis. Udara semakin dingin manakala kabut senja jatuh semakin menebal. Namun dua orang aneh yang asyik berdebat itu tak beranjak. Keduanya bahkan melakukan gerakan-gerakan aneh di bawah lembah memanjang, tempat yang paling dingin di puncak gunung, karena tempat itu jadi pusat perjalanan angin.
Kedua orang itu mengambil tempat disela-sela beberapa pohon loa yang besar dan berjanggut. Yang satu duduk bersila dengan punggung tegak serta dada membusung. Usianya sekitar 60 tahunan. Kumis tebal dan jenggot menggapuy hingga sebatas dada dan semuanya berwarna putih keperak-perakan. Kepalanya diikat kain berwarna nila namun tak sanggup menyembunyikan rambutnya yang lebat riap-riapan.
Kalau lembayung tak begitu tipis, mungkin akan merupakan paduan indah serasi bila warna emas lembayung itu sanggup menerpa warna perak rambut si orang tua. Sebuah pemandangan aneh. Di senja bercuaca dingin seperti itu, dimana kabut mulai menggayut, tapi dada bidang lelaki itu penuh bersimbah keringat.
Dan yang tak kalah anehnya adalah pelaku satunya lagi. Lelaki ini usianya jauh lebih muda, sekitar 15 atau 16 tahunan. Kendati rambutnya sama panjang dan sama tergerai, namun rambut pemuda ini nampak hitam legam dan tebal. Ada sedikit keriting di ujung-ujungnya. Diapun sama tak berbaju, kecuali celana pangsi, celana panjang sebatas betis berwarna nila. Karena tak berbaju, maka nampak dadanya yang bidang pula. Ada tonjolan otot di sepasang lengannya.
Pemuda itu nampak lugu. Wajahnya hampir bulat telur, hidungnya sedikit mancung, mulutnya selalu menyungging senyum. Dan yang paling menonjol dari semuanya, sepasang matanya berbinar bulat. Rambutnya yang subur hitam nampak tergerai menyapu tanah. Begitu panjangkah hingga sanggup menyapu tanah? Ouw, ternyata bukan rambut itu yang terlalu panjang. Bisa tergerai menyapu tanah lantaran tubuh pemuda itu posisinya dalam keadaan tak normal. Anak muda ini tengah melakukan atraksi.
Seraya sepasang telapak tangannya masih bertepuk-tepuk lambat dengan pengerahan tenaga dalam, kaki-kakinya nampak tengah bergayut di dahan pohon loa. Bertapa dengan kedudukan tubuh terbalik, orang Pajajaran bilang tapa sungsang, Tapi anak muda itu sebetulnya bukan tapa sungsang, melainkan tengah berlatih ilmu kedigjayaan.
“Aku tidak bilang kesengsaraanku lebih tinggi dari rakyat Pajajaran. Yang aku perbincangkan adalah soal janji Ki Darma sendiri,” gumam anak muda itu masih bergayut.
“Aku memang senang berjanji tapi rasa-rasanya tak ada janji yang tak aku tepati,” jawab si lelaki tua. “Coba, janji apa yang aku langgar, Ginggi?”
“Tadi dinihari Aki bilang bahwa latihanku hanya akan berlangsung dari mulai kelelawar pulang sarang hingga kembali ke luar sarang. Nah, sekarang lihatlah diatas awan lembayung, bukankah kelelawar mulai keluar sarang?” tanya anak muda yang bernama Ginggi itu.
Lelaki tua yang disebut Ki Darma itu tertawa terkekeh-kekeh. “Memang itu yang aku katakan sejak tiga hari yang lalu,” jawabnya.
“Jadi, apanya yang salah?”
“Sekarang, kelelawar mulai keluar sarang!” Ginggi menatap gurunya dengan wajah terbalik.
“Memang mulai keluar sarang.”
“Ya, tapi mengapa aku disuruh latihan terus!”
“Ya harus, sebab kelelawar mulai keluar sarang!”
“Aki licik!”
“Kugampar mulutmu bila sekali lagi kau bilang aku licik!” Ki Darma nampak mengangkat tangan seolah mau menampar mulut muridnya.
“Coba kau sebutkan, omonganku yang mana yang kau anggap licik!” tanya Ki Darma lagi. Tangannya tetap mau menggampar mulut Ginggi. “Baru mulai, tolol! Kan aku bilang, latihan berhenti kalau kelelawar baru keluar dari sarang.”
“Sekarang memang baru mulai!” Ki Darma membentak marah.
“Maksudmu, semua kelelawar mesti keluar dulu?”
“Begitulah!”
“Waduh, mati aku! Jadi sampai kapan latihan ini bisa selesai? Lihatlah Aki, bukan lagi ribuan, bahkan puluhan ribu kelelawar sudah keluar dari sarang. Bila harus menunggu kelelawar paling akhir, kapan selesainya?” Ginggi garuk-garuk kepala.
“Tidak musti menunggu semua habis keluar. Satu kelelawar yang datang di rombongan paling belakang, itulah sasaranmu.”
“Apa yang harus aku lakukan ?”
“Timpuklah dengan buah loa.”
“Dan musti kena?”
“Dan musti kena!”
“Celaka!”
“Lanjutkan, Ginggi!” teriak satu suara yang berat.
“Tapi, kelelawar mulai meninggalkan sarang, Aki,” jawab suara lainnya agak tinggi melengking.
“Aku katakan, lanjutkan tugasmu, Ginggi!” yang bersuara berat terdengar membentak dan suaranya seperti memukul gendang telinga. Namun suara tepukan belum terdengar juga.
“Aki, lihatlah! Kedua tanganku sudah pecah kulitnya dan darah keluar dari lubang pori-pori. Pedih dan menyakitkan. Tidakkah ini menyiksa diriku?” keluh si suara kecil melengking dengan nada jengkel.
Namun dijawab suara berat tadi tak lebih jengkelnya, “Penderitaanmu dalam latihan ini tidak separah rakyat Pajajaran, Ginggi. Hancur kulit telapak tangan tak seberapa sebab dalam sehari dua hari akan sembuh dengan sendirinya. Tapi hancur hati dan perasaan tak mungkin terobati sampai akhir hayat,” kata si suara berat.
Hening sejenak. Kecuali bunyi serangga yang terdengar di kejauhan. Mungkin di gundukan hutan pinus yang kini mulai dipeluk kabut tipis. Udara semakin dingin manakala kabut senja jatuh semakin menebal. Namun dua orang aneh yang asyik berdebat itu tak beranjak. Keduanya bahkan melakukan gerakan-gerakan aneh di bawah lembah memanjang, tempat yang paling dingin di puncak gunung, karena tempat itu jadi pusat perjalanan angin.
Kedua orang itu mengambil tempat disela-sela beberapa pohon loa yang besar dan berjanggut. Yang satu duduk bersila dengan punggung tegak serta dada membusung. Usianya sekitar 60 tahunan. Kumis tebal dan jenggot menggapuy hingga sebatas dada dan semuanya berwarna putih keperak-perakan. Kepalanya diikat kain berwarna nila namun tak sanggup menyembunyikan rambutnya yang lebat riap-riapan.
Kalau lembayung tak begitu tipis, mungkin akan merupakan paduan indah serasi bila warna emas lembayung itu sanggup menerpa warna perak rambut si orang tua. Sebuah pemandangan aneh. Di senja bercuaca dingin seperti itu, dimana kabut mulai menggayut, tapi dada bidang lelaki itu penuh bersimbah keringat.
Dan yang tak kalah anehnya adalah pelaku satunya lagi. Lelaki ini usianya jauh lebih muda, sekitar 15 atau 16 tahunan. Kendati rambutnya sama panjang dan sama tergerai, namun rambut pemuda ini nampak hitam legam dan tebal. Ada sedikit keriting di ujung-ujungnya. Diapun sama tak berbaju, kecuali celana pangsi, celana panjang sebatas betis berwarna nila. Karena tak berbaju, maka nampak dadanya yang bidang pula. Ada tonjolan otot di sepasang lengannya.
Pemuda itu nampak lugu. Wajahnya hampir bulat telur, hidungnya sedikit mancung, mulutnya selalu menyungging senyum. Dan yang paling menonjol dari semuanya, sepasang matanya berbinar bulat. Rambutnya yang subur hitam nampak tergerai menyapu tanah. Begitu panjangkah hingga sanggup menyapu tanah? Ouw, ternyata bukan rambut itu yang terlalu panjang. Bisa tergerai menyapu tanah lantaran tubuh pemuda itu posisinya dalam keadaan tak normal. Anak muda ini tengah melakukan atraksi.
Seraya sepasang telapak tangannya masih bertepuk-tepuk lambat dengan pengerahan tenaga dalam, kaki-kakinya nampak tengah bergayut di dahan pohon loa. Bertapa dengan kedudukan tubuh terbalik, orang Pajajaran bilang tapa sungsang, Tapi anak muda itu sebetulnya bukan tapa sungsang, melainkan tengah berlatih ilmu kedigjayaan.
“Aku tidak bilang kesengsaraanku lebih tinggi dari rakyat Pajajaran. Yang aku perbincangkan adalah soal janji Ki Darma sendiri,” gumam anak muda itu masih bergayut.
“Aku memang senang berjanji tapi rasa-rasanya tak ada janji yang tak aku tepati,” jawab si lelaki tua. “Coba, janji apa yang aku langgar, Ginggi?”
“Tadi dinihari Aki bilang bahwa latihanku hanya akan berlangsung dari mulai kelelawar pulang sarang hingga kembali ke luar sarang. Nah, sekarang lihatlah diatas awan lembayung, bukankah kelelawar mulai keluar sarang?” tanya anak muda yang bernama Ginggi itu.
Lelaki tua yang disebut Ki Darma itu tertawa terkekeh-kekeh. “Memang itu yang aku katakan sejak tiga hari yang lalu,” jawabnya.
“Jadi, apanya yang salah?”
“Sekarang, kelelawar mulai keluar sarang!” Ginggi menatap gurunya dengan wajah terbalik.
“Memang mulai keluar sarang.”
“Ya, tapi mengapa aku disuruh latihan terus!”
“Ya harus, sebab kelelawar mulai keluar sarang!”
“Aki licik!”
“Kugampar mulutmu bila sekali lagi kau bilang aku licik!” Ki Darma nampak mengangkat tangan seolah mau menampar mulut muridnya.
“Coba kau sebutkan, omonganku yang mana yang kau anggap licik!” tanya Ki Darma lagi. Tangannya tetap mau menggampar mulut Ginggi. “Baru mulai, tolol! Kan aku bilang, latihan berhenti kalau kelelawar baru keluar dari sarang.”
“Sekarang memang baru mulai!” Ki Darma membentak marah.
“Maksudmu, semua kelelawar mesti keluar dulu?”
“Begitulah!”
“Waduh, mati aku! Jadi sampai kapan latihan ini bisa selesai? Lihatlah Aki, bukan lagi ribuan, bahkan puluhan ribu kelelawar sudah keluar dari sarang. Bila harus menunggu kelelawar paling akhir, kapan selesainya?” Ginggi garuk-garuk kepala.
“Tidak musti menunggu semua habis keluar. Satu kelelawar yang datang di rombongan paling belakang, itulah sasaranmu.”
“Apa yang harus aku lakukan ?”
“Timpuklah dengan buah loa.”
“Dan musti kena?”
“Dan musti kena!”
“Celaka!”
“Dasar anak malas! Tolol kamu!” lagi-lagi Ki Darma membentak.
Untuk kesekian kalinya, Ginggi menepuk-nepuk sepasang telapak tangannya, seolah tak mau mentaati apa perintah gurunya. Namun manakala datang lagi serombongan kelelawar di angkasa, sepasang kakinya yang menggayut di dahan pohon loa segera dilepas. Serentak dia jumpalitan. Ketika sepasang kakinya menjejak tanah, ujungnya dihentakan pada tonjolan batu. Maka tubuhnya mumbul lagi ke udara. Dia jumpalitan lagi. Pas tangannya berada di dahan pohon, dia petik satu buah loa. Dan serentak ditimpukkan ke udara. Siuuuut! Plass! Terdengar suara elahan napas kecewa Ki Darma. Ginggi pun menoleh pada gurunya dengan kecewa.
“Tapi sedikit lagi hampir kena, Ki…” gumam Ginggi seperti ingin menghibur, entah menghibur siapa.
Yang jelas, Ki Darma sudah melengos pergi dan berlari-lari kecil meninggalkan Ginggi dengan berloncatan pada tonjolan-tonjolan batu. Ki Darma menaiki lembah dengan cara itu.
Ginggi pun segera mengikutinya namun dengan cara merayap biasa saja. Dan dengan susah payah, baru bisa menaiki tebing meninggalkan lembah.
“Kalau senja tak semakin meremang, aku yakin, kelelawar itu bisa aku timpuk…” gumam Ginggi seorang diri ketika sudah berada di belakang tubuh Ki Darma.
“Tapi mataku tak pernah terpengaruh siang dan malam. Yang menentukan kemana harus menyerang adalah kepastian dimana sasaran berada,” kata Ki Darma.
“Tapi, Aki…”
“Ya, karena kau tolol tak sanggup menangkap gerakan kelelawar itu!” potong Ki Darma tak mau memberi peluang Ginggi untuk mengemukakan alasan.
“Aku akan sungguh-sungguh berlatih, Ki …”
“Bukan berlatih tapi bertugas. Latihan itu hanya bagian penting dari tugas besarmu!”
“Baik, Ki.”
“Nanti lewat tengah malam, aku akan bunyikan kentongan selama sepemakan sirih. Sesudah itu aku akan ciptakan suasana sunyi sepemakan sirih pula. Kau musti bisa menulikan telinga disaat ada suara namun juga musti bisa menemukan suara sekecil dan sehalus apapun disaat sunyi.”
“Baik, Ki…”
“Latihan itu akan berlangsung empat-puluh malam lamanya.”
“Ba…baik, Aki…” kata Ginggi kembali melangkah.
“Diam dulu.”
“Ya. Aki…”
“Setamat latihan ini kau akan merangkak ke tahap selanjutnya.”
“Apakah itu, Aki?”
“Kau musti bersila di ruangan tertutup tak ada cahaya, kecuali cahaya lantera.”
“Baik, Aki.”
“Dan latihan empat puluh malam empat puluh hari!”
“Ba…baik, Aki…” Ginggi menghela napas pelan namun tertangkap oleh telinga gurunya.
“Kau mengeluh?”
“Tidak, Aki…”
“Bohong bukan sikapmu. Kalau kau mengeluh, mengeluh kalau kau tidak, tidak.”
“Aku mengeluh, Aki.”
“Lantas, bagaimana latihan ini?” Ki Darma menoleh ke belakang.
“Mengeluh bukan berarti tak akan melaksanakan tugas, Ki…” sahut Ginggi.
“Tapi akan lebih baik melakukan tugas tanpa keluhan,” potong gurunya. Ginggi mengangguk.
Hari semakin kelam. Dan ketika kedua guru dan murid memasuki hutan pinus, suasana sudah benar-benar gelap. Tapi tubuh Ki Darma dengan lincah berjalan menyusuri jalan setapak sepertinya di tempat itu diterangi cahaya. Padahal jangankan melihat sekeliling, hanya untuk melihat jari sendiri saja didepan mata, tak terlihat.
Walau gelap begini, Ginggipun bisa mengimbangi langkah gurunya. Hanya saja, diapun bisa melangkah bukan karena punya kemampuan melihat dalam gelap seperti gurunya, melainkan karena naluri saja. Setiap malam dia diajak menyusuri jalan setapak ini digelap malam dan Ginggi akhirnya jadi hafal betul. Bahwa kendati gelap, dia bisa menduga, sebentar lagi jalan setapak ini akan berkelok dan naik menuju puncak gunung.
Tiba di punggung puncak, dimana ada bayangan bangunan gubuk, Ginggi mendahului gurunya dan meloncat kebale-bale. Tiba disana langsung menjatuhkan tubuhnya.
“Ambil air!” dengus gurunya.
Ginggi masuk ke dalam gubuk. Keluar lagi sudah menenteng tempat air dari buah kukuk kering. Tanpa lirik kiri-kanan menotor lubang kukuk. Glek, glek, glek bunyinya.
“Sialan!” gerutu gurunya.
Mendengar gerutu gurunya ini, Ginggi menyadari kekeliruannya. “Minumlah, Ki, airnya masih sisa…”
Ginggi menyodorkan kukuk. Tapi gurunya melengos marah. Namun ketika Ginggi hendak menegak lagi, Ki Darma segera merebutnya.
“Sini!”
Dan Ki Darma mencoba menenteng kukuk ke atas mulutnya. Namun baru beberapa saat, air dalam kukuk sudah kering. Digoyang-goyang beberapa kali, air tak mau keluar.
“Biar aku ambilkan di tempayan…” Ginggi mencoba bergegas.
“Tak perlu.”
“Kalau begitu, apa yang mesti aku kerjakan untuk Aki?” Ginggi berusaha menghibur.
“Bertugas kembali!”
“Walah aku musti latihan lagi”
Ki Darma mengangguk. Dia segera duduk dibale-bale. Tegak, mematung. Ginggi berdiri juga tegak mematung. Hanya sepasang tangannya bersilang di dada. Diterpa angin malam, rambutnya riap-riapan.
“Aku capek sekali, Ki…” katanya dingin.
“Tidak akan secapek rakyat Pajajaran menyimak tindakan rajanya …” gumam Ki Darma.
Ginggi akhirnya menghela napas. Diapun ikut duduk bersila, berhadap-hadapan dengan gurunya.
“Setiap Aki menugasiku latihan, selalu saja bicara perihal Raja Pajajaran. Apa yang sebetulnya tengah terjadi, Ki?”
Ginggi menyeka keringat di wajahnya dengan punggung tangannya. Berbareng dengan hembusan angin malam, Ki Darma menghela napas panjang.
“Coba kau nyalakan pelita di tengah ruangan,” gumam Ki Darma dengan nada datar.
Ginggi berjingkat menyalakan pelita yang minyaknya diambil dari gajih kelelawar serta sumbunya dari serat nenas hutan. Terlihat percikan api manakala sepasang batu sekepalan tangan saling dibenturkan. Percikan api itu ditampung rambut-ramput pohon enau. Remang-remang api pelita itu namun cukup untuk menerangi ruangan tengah gubuk. Kedua orang kembali duduk bersila saling berhadapan.
“Usiamu sudah dewasa. Sejak kau kupungut di jalanan Wilayah Caringin belasan tahun silam, waktu sudah terpaut 10 tahun lamanya. Itu cukup pantas untuk mengukir sejarah hidupmu,” tutur Ki Darma.
Ginggi mengerutkan dahi. Bagian dari latihankah penuturan ini? “Kerapkali Aki selalu mengatakan hal ini. Apakah benar-benar terjadi? Yang aku ingin percayai, bahwa Aki ini adalah orang tuaku sendiri,” tutur Ginggi.
“Dasar anak gendeng. Tapi itu juga bagus. Hanya percaya kepada sesuatu yang sudah terbukti kebenarannya memang wajar,” tutur Ki Darma tersenyum.
Ginggi masih tetap bersila.
“Nanti kau akan tahu, siapa dirimu sebenarnya bila kelak kau datangi jalan berlumpur diwilayah Caringin. Carilah tempat dimana dulu pernah terjadi pertempuran kecil tapi sempat memakan korban jiwa,” kata Ki Darma kemudian.
Ada kerutan di dahi, menandakan Ginggi tertegun mendengar berita ini. Melihat roman wajah Ginggi, Ki Darma terkekeh-kekeh. Ginggi menatap gurunya.
“Tapi kalau aku hanya seorang anak kecil yang ditemukan di kubangan lumpur dan Aki tak tahu siapa kedua orang tuaku, bagaimana mungkin Aki tahu namaku. Siapa yang memberiku nama Ginggi?” tanya anak muda itu kemudian.
“Aku yang memberimu nama.”
“Aku pernah berbincang dengan penduduk dikaki gunung. Katanya Ginggi artinya jin atau iblis, yah sebangsa duruwiksa pembuat kejahatan. mengapa Aki tega memberiku nama jelek seperti itu?”
“Hahaha…! Betul sekali, Ginggi adalah siluman yang akrab dengan berbagai kejahatan!”
“Senangkah aku berbuat jahat?”
“Kau tanyakan sendiri pada dirimu. Sebab pada dasarnya, manusia itu hidup dibekali berbagai pilihan. Apakah kau memilih yang baik atau sebaliknya, bergantung pada pilihanmu. Aku pilih Ginggi sebab dunia ini tengah dipenuhi duruwiksa jahat. Manusia makan manusia lainnya. Ginggi lahir disaat iri dan dengki, aniaya serta fitnah merajalela di bumi Pajajaran. Nama Ginggi akan selalu mengingatkanmu kelak, apakah akan sekalian kau ikut pula terperosok ke dalamnya ataukah akan menjadi pemberantasnya,” kata Ki Darma panjang lebar.
“Duruwiksa? Begitu kelamkah bumi Pajajaran sehingga disenangi kaum duruwiksa?” gumam Ginggi.
Ki Darma hanya tersenyum kecut. “Hidup memang bagaikan berputarnya roda pedati. Ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Pajajaran sekarang sedang berada pada bagian paling bawah. Sejak Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja tidak lagi memerintah Pajajaran, hampir tak ada kebanggaan yang kita miliki. Ginggi, hanya Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja yang kebesarannya bisa disejajarkan dengan eyang-buyutnya, Prabu Wangi yang gugur di Bubat. Hanya Sri Baduga yang bisa memimpin negara dengan penuh kebijaksanaan. Selama 39 tahun memimpin negri, beliau sanggup mensejahterakan rakyat, juga mensejahterakan negri-negri lain. Beliau sanggup memantapkan kehidupan keagamaan padahal di tanah negara ini tengah berlangsung pergeseran kepercayaan. Hanya beliau yang sanggup membangun angkatan perang padahal tak pernah berlangsung peperangan. Kendati hubungan dengan Cirebon telah retak, namun dengan mereka tak pernah berlangsung pertempuran. Prabu Sri Baduga Maharaja adalah raja dari semua raja, harum namanya sehingga beliaupun dijuluki Prabu Siliwangi,” kata Ki Darma, matanya menerawang ke kejauhan.
“Menurunkah keelokan Kerajaan Pajajaran sesudah Sri Baduga tak berkuasa lagi?” tanya Ginggi penasaran.
“Tidak benar-benar tergelincir. Tapi penggantinya tak mampu mensejajarkan diri dengan pendahulunya.”
“Siapakah penggantinya, Aki?”
“Dialah Surawisesa, putra Sri Baduga Maharaja.”
“Bagaimana cara dia memerintah?”
“Sebenarnya dia baik, hanya sayang ambisinya tak tertahan. Dia penuh ambisi, selalu mempertahankan kehormatan dengan jalan kekerasan. Kau bayangkan Ginggi, selama 14 tahun memerintah, dia memimpin peperangan sebanyak 15 kali. Pertikaian dengan Demak, Banten dan Cirebon tak terelakan. Peperangan pun berlangsung.”
“Unggulkah Pajajaran?”
Ditanya seperti ini, Ki Darma nampak mengeluh. Tapi keluhnya tertahan di kerongkongan. Menyakitkan.
“Permusuhan dengan Banten, Demak dan Cirebon, membuat kesedihan semua orang Pajajaran. Pelabuhan penting tempat perniagaan orang Pajajaran lepas sesudah Banten memisahkan diri. Pajajaran kehilangan Pelabuhan Penting dan Cibanten. Setahun kemudian Pelabuhan Sunda Kalapapun jatuh direbutnya. Semua wilayah pesisir utara bahkan dikuasai Cirebon, sehingga mulai saat itu, Pajajaran tak lagi menguasai lautan. Sunda bukan negara lautan lagi. Rakyat mencari penghidupan jauh di pedalaman dan hanya menjadi pehuma dan peladang,” tutur Ki Darma.
“Apakah kemudian Pajajaran menjadi hancur?”
“Tidak benar-benar hancur. Meski ada kelompok pengkhianat ditubuh Pajajaran, namun masih lebih banyak lagi para ksatria Pajajaran yang berani bertahan demi keutuhan negri. Sang Surawisesa yang putus asa diganti putranya, Prabu Ratu Dewata.”
“Bagaimana dengan yang lain?”
Ki Darma terkekeh masam. “Entahlah. Aku sendiri bingung menyimak kehidupan ini. Usiaku 15 tahun ketika Sang Prabu Sri Baduga Maharaja diwastu (dilantik) diatas batu keramat Sriman Sriwacana Palangka Raja, Akupun menyaksikan sendiri berbagai perubahan di bumi Pajajaran, sejalan dengan berbagai macam perubahan kebijaksanaan dari para pemimpinnya.
Surawisesa pandai berperang, digjaya dan penuh semangat. Namun di bawah kepemimpinannya rakyat menderita karena perang amat berkepanjangan. Limabelas kali peperangan, mengakibatkan banyak anak kehilangan ayah, istri kehilangan suami dan pehuma melepaskan pekerjaannya. Dan penggantinya, Sang Ratu Dewata, malah kebalikannya. Dia tak menyukai bentuk-bentuk kewiraan. Hanya agama dan filsapat yang diurusnya. Dia senang tapabrata dan membesarkan kehidupan keagamaan. Sarana agama berdiri dimana-mana tapi kesejahteraan lahiriah rakyatnya sendiri tak diperhatikan.
Dia membutakan diri terhadap kehidupan lahiriah termasuk membutakan diri terhadap kehidupan bernegara. Karena kehidupan negara tak tersentuh, maka rakyat jadi terlantar. Pergeseran kehidupan karena hadirnya agama baru bernama Islam, jadi sumber malapetaka di Pajajaran. Dalam upaya menahan kehadiran agama baru, Sang Prabu malah memperkuat agama Karuhun (nenek moyang). Dan kebijakan ini malah menimbulkan berbagai pertikaian.
Negara-negara kecil yang semula ada di bawah payung Pajajaran semakin banyak yang melepaskan diri dan bergabung dengan Banten atau Cirebon sebab mereka tertarik agama baru. Malah lebih parah dari itu, negara-negara kecil itu berani menyerbu Pajajaran. Maka pada zaman Sang Prabu Dewatalah pusat-pusat keagaman seperti di Sumedanglarang, Jayagiri atau Ciranjang diserbu mereka. Sang Prabu yang katanya punya cita-cita mempertahankan agama lama yang dianutnya, dalam kenyataanya sama sekali bahkan tidak sanggup mengobarkan perlawanan. Hanya para perwira tua yang sanggup bertahan.”
“Tak ada pemimpin baru yang sempurna?”
Ditanya seperti ini, wajah Ki Darma makin muram. “Dari semua keadaan dan peristiwa, maka pada hari-hari belakangan inilah Pajajaran semakin muram …” kata Ki Darma masih menunduk.
“Apakah semakin menyedihkan?”
“Benar-benar amat menyedihkan, Ginggi …”
“Apakah bumi Pajajaran semakin porak-poranda oleh musuh? Apakah semakin banyak anak kehilangan ayah dan kemudian banyak istri kehilangan suami?” Ginggi semakin penasaran mencecar dengan banyak pertanyaan.
Berlatih Melawan Harimau. Dua orang guru dan murid ini masih tetap mengobrol saling berhadapan.
“Tidak ada serbuan musuh. Tidak ada orang kehilangan pekerjaan. Bahkan hari ini, disaat rakyat dipimpin Sang Prabu Ratu Sakti, rakyat begitu giat bekerja,” kata Ki Darma.
“Giat bekerja?”
“Betul. Kaum peladang seperti tak punya waktu pulang ke rumah sebab waktunya habis di ladang. Begitupun pehuma hampir-hampir lupa kalau dirinya punya rumah sebab seluruh waktunya dihabiskan di huma. Kemudian nelayan lebih memilih mati di tepi sungai ketimbang pulang tak membawa hasil,” kata Ki Darma lagi dengan nada berat dan sumbang.
“Kalau begitu, itulah masa-masa kemakmuran bagi Pajajaran,” potong Ginggi memperlihatkan wajah ceria.
“Brak!”
Ki Darma malah menggebrak permukaan bale-bale sehingga kulit buah kukuk terlontar keudara. Sebelum kulit kukuk itu jatuh, Ginggi menangkapnya selagi benda itu berada di udara. Sambil memeluk kulit kukuk di haribaan, Ginggi menatap gurunya dengan heran.
“Tidak makmurkah negri Pajajaran di bawah kepemimpinan Sang Prabu Ratu Sakti?” tanya Ginggi kemudian.
“Pajajaran memang makmur.”
“Nah? Jadi mengapa Aki musti marah?”
“Sebab, kemakmuran nyatanya tidak menghasilkan keadilan bagi rakyat. Rakyat tak sejahtera sebab seluruh kekayaan negara diboyong ke istana!” kata Ki Darma.
Untuk kesekian kalinya, Ginggi menepuk-nepuk sepasang telapak tangannya, seolah tak mau mentaati apa perintah gurunya. Namun manakala datang lagi serombongan kelelawar di angkasa, sepasang kakinya yang menggayut di dahan pohon loa segera dilepas. Serentak dia jumpalitan. Ketika sepasang kakinya menjejak tanah, ujungnya dihentakan pada tonjolan batu. Maka tubuhnya mumbul lagi ke udara. Dia jumpalitan lagi. Pas tangannya berada di dahan pohon, dia petik satu buah loa. Dan serentak ditimpukkan ke udara. Siuuuut! Plass! Terdengar suara elahan napas kecewa Ki Darma. Ginggi pun menoleh pada gurunya dengan kecewa.
“Tapi sedikit lagi hampir kena, Ki…” gumam Ginggi seperti ingin menghibur, entah menghibur siapa.
Yang jelas, Ki Darma sudah melengos pergi dan berlari-lari kecil meninggalkan Ginggi dengan berloncatan pada tonjolan-tonjolan batu. Ki Darma menaiki lembah dengan cara itu.
Ginggi pun segera mengikutinya namun dengan cara merayap biasa saja. Dan dengan susah payah, baru bisa menaiki tebing meninggalkan lembah.
“Kalau senja tak semakin meremang, aku yakin, kelelawar itu bisa aku timpuk…” gumam Ginggi seorang diri ketika sudah berada di belakang tubuh Ki Darma.
“Tapi mataku tak pernah terpengaruh siang dan malam. Yang menentukan kemana harus menyerang adalah kepastian dimana sasaran berada,” kata Ki Darma.
“Tapi, Aki…”
“Ya, karena kau tolol tak sanggup menangkap gerakan kelelawar itu!” potong Ki Darma tak mau memberi peluang Ginggi untuk mengemukakan alasan.
“Aku akan sungguh-sungguh berlatih, Ki …”
“Bukan berlatih tapi bertugas. Latihan itu hanya bagian penting dari tugas besarmu!”
“Baik, Ki.”
“Nanti lewat tengah malam, aku akan bunyikan kentongan selama sepemakan sirih. Sesudah itu aku akan ciptakan suasana sunyi sepemakan sirih pula. Kau musti bisa menulikan telinga disaat ada suara namun juga musti bisa menemukan suara sekecil dan sehalus apapun disaat sunyi.”
“Baik, Ki…”
“Latihan itu akan berlangsung empat-puluh malam lamanya.”
“Ba…baik, Aki…” kata Ginggi kembali melangkah.
“Diam dulu.”
“Ya. Aki…”
“Setamat latihan ini kau akan merangkak ke tahap selanjutnya.”
“Apakah itu, Aki?”
“Kau musti bersila di ruangan tertutup tak ada cahaya, kecuali cahaya lantera.”
“Baik, Aki.”
“Dan latihan empat puluh malam empat puluh hari!”
“Ba…baik, Aki…” Ginggi menghela napas pelan namun tertangkap oleh telinga gurunya.
“Kau mengeluh?”
“Tidak, Aki…”
“Bohong bukan sikapmu. Kalau kau mengeluh, mengeluh kalau kau tidak, tidak.”
“Aku mengeluh, Aki.”
“Lantas, bagaimana latihan ini?” Ki Darma menoleh ke belakang.
“Mengeluh bukan berarti tak akan melaksanakan tugas, Ki…” sahut Ginggi.
“Tapi akan lebih baik melakukan tugas tanpa keluhan,” potong gurunya. Ginggi mengangguk.
Hari semakin kelam. Dan ketika kedua guru dan murid memasuki hutan pinus, suasana sudah benar-benar gelap. Tapi tubuh Ki Darma dengan lincah berjalan menyusuri jalan setapak sepertinya di tempat itu diterangi cahaya. Padahal jangankan melihat sekeliling, hanya untuk melihat jari sendiri saja didepan mata, tak terlihat.
Walau gelap begini, Ginggipun bisa mengimbangi langkah gurunya. Hanya saja, diapun bisa melangkah bukan karena punya kemampuan melihat dalam gelap seperti gurunya, melainkan karena naluri saja. Setiap malam dia diajak menyusuri jalan setapak ini digelap malam dan Ginggi akhirnya jadi hafal betul. Bahwa kendati gelap, dia bisa menduga, sebentar lagi jalan setapak ini akan berkelok dan naik menuju puncak gunung.
Tiba di punggung puncak, dimana ada bayangan bangunan gubuk, Ginggi mendahului gurunya dan meloncat kebale-bale. Tiba disana langsung menjatuhkan tubuhnya.
“Ambil air!” dengus gurunya.
Ginggi masuk ke dalam gubuk. Keluar lagi sudah menenteng tempat air dari buah kukuk kering. Tanpa lirik kiri-kanan menotor lubang kukuk. Glek, glek, glek bunyinya.
“Sialan!” gerutu gurunya.
Mendengar gerutu gurunya ini, Ginggi menyadari kekeliruannya. “Minumlah, Ki, airnya masih sisa…”
Ginggi menyodorkan kukuk. Tapi gurunya melengos marah. Namun ketika Ginggi hendak menegak lagi, Ki Darma segera merebutnya.
“Sini!”
Dan Ki Darma mencoba menenteng kukuk ke atas mulutnya. Namun baru beberapa saat, air dalam kukuk sudah kering. Digoyang-goyang beberapa kali, air tak mau keluar.
“Biar aku ambilkan di tempayan…” Ginggi mencoba bergegas.
“Tak perlu.”
“Kalau begitu, apa yang mesti aku kerjakan untuk Aki?” Ginggi berusaha menghibur.
“Bertugas kembali!”
“Walah aku musti latihan lagi”
Ki Darma mengangguk. Dia segera duduk dibale-bale. Tegak, mematung. Ginggi berdiri juga tegak mematung. Hanya sepasang tangannya bersilang di dada. Diterpa angin malam, rambutnya riap-riapan.
“Aku capek sekali, Ki…” katanya dingin.
“Tidak akan secapek rakyat Pajajaran menyimak tindakan rajanya …” gumam Ki Darma.
Ginggi akhirnya menghela napas. Diapun ikut duduk bersila, berhadap-hadapan dengan gurunya.
“Setiap Aki menugasiku latihan, selalu saja bicara perihal Raja Pajajaran. Apa yang sebetulnya tengah terjadi, Ki?”
Ginggi menyeka keringat di wajahnya dengan punggung tangannya. Berbareng dengan hembusan angin malam, Ki Darma menghela napas panjang.
“Coba kau nyalakan pelita di tengah ruangan,” gumam Ki Darma dengan nada datar.
Ginggi berjingkat menyalakan pelita yang minyaknya diambil dari gajih kelelawar serta sumbunya dari serat nenas hutan. Terlihat percikan api manakala sepasang batu sekepalan tangan saling dibenturkan. Percikan api itu ditampung rambut-ramput pohon enau. Remang-remang api pelita itu namun cukup untuk menerangi ruangan tengah gubuk. Kedua orang kembali duduk bersila saling berhadapan.
“Usiamu sudah dewasa. Sejak kau kupungut di jalanan Wilayah Caringin belasan tahun silam, waktu sudah terpaut 10 tahun lamanya. Itu cukup pantas untuk mengukir sejarah hidupmu,” tutur Ki Darma.
Ginggi mengerutkan dahi. Bagian dari latihankah penuturan ini? “Kerapkali Aki selalu mengatakan hal ini. Apakah benar-benar terjadi? Yang aku ingin percayai, bahwa Aki ini adalah orang tuaku sendiri,” tutur Ginggi.
“Dasar anak gendeng. Tapi itu juga bagus. Hanya percaya kepada sesuatu yang sudah terbukti kebenarannya memang wajar,” tutur Ki Darma tersenyum.
Ginggi masih tetap bersila.
“Nanti kau akan tahu, siapa dirimu sebenarnya bila kelak kau datangi jalan berlumpur diwilayah Caringin. Carilah tempat dimana dulu pernah terjadi pertempuran kecil tapi sempat memakan korban jiwa,” kata Ki Darma kemudian.
Ada kerutan di dahi, menandakan Ginggi tertegun mendengar berita ini. Melihat roman wajah Ginggi, Ki Darma terkekeh-kekeh. Ginggi menatap gurunya.
“Tapi kalau aku hanya seorang anak kecil yang ditemukan di kubangan lumpur dan Aki tak tahu siapa kedua orang tuaku, bagaimana mungkin Aki tahu namaku. Siapa yang memberiku nama Ginggi?” tanya anak muda itu kemudian.
“Aku yang memberimu nama.”
“Aku pernah berbincang dengan penduduk dikaki gunung. Katanya Ginggi artinya jin atau iblis, yah sebangsa duruwiksa pembuat kejahatan. mengapa Aki tega memberiku nama jelek seperti itu?”
“Hahaha…! Betul sekali, Ginggi adalah siluman yang akrab dengan berbagai kejahatan!”
“Senangkah aku berbuat jahat?”
“Kau tanyakan sendiri pada dirimu. Sebab pada dasarnya, manusia itu hidup dibekali berbagai pilihan. Apakah kau memilih yang baik atau sebaliknya, bergantung pada pilihanmu. Aku pilih Ginggi sebab dunia ini tengah dipenuhi duruwiksa jahat. Manusia makan manusia lainnya. Ginggi lahir disaat iri dan dengki, aniaya serta fitnah merajalela di bumi Pajajaran. Nama Ginggi akan selalu mengingatkanmu kelak, apakah akan sekalian kau ikut pula terperosok ke dalamnya ataukah akan menjadi pemberantasnya,” kata Ki Darma panjang lebar.
“Duruwiksa? Begitu kelamkah bumi Pajajaran sehingga disenangi kaum duruwiksa?” gumam Ginggi.
Ki Darma hanya tersenyum kecut. “Hidup memang bagaikan berputarnya roda pedati. Ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Pajajaran sekarang sedang berada pada bagian paling bawah. Sejak Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja tidak lagi memerintah Pajajaran, hampir tak ada kebanggaan yang kita miliki. Ginggi, hanya Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja yang kebesarannya bisa disejajarkan dengan eyang-buyutnya, Prabu Wangi yang gugur di Bubat. Hanya Sri Baduga yang bisa memimpin negara dengan penuh kebijaksanaan. Selama 39 tahun memimpin negri, beliau sanggup mensejahterakan rakyat, juga mensejahterakan negri-negri lain. Beliau sanggup memantapkan kehidupan keagamaan padahal di tanah negara ini tengah berlangsung pergeseran kepercayaan. Hanya beliau yang sanggup membangun angkatan perang padahal tak pernah berlangsung peperangan. Kendati hubungan dengan Cirebon telah retak, namun dengan mereka tak pernah berlangsung pertempuran. Prabu Sri Baduga Maharaja adalah raja dari semua raja, harum namanya sehingga beliaupun dijuluki Prabu Siliwangi,” kata Ki Darma, matanya menerawang ke kejauhan.
“Menurunkah keelokan Kerajaan Pajajaran sesudah Sri Baduga tak berkuasa lagi?” tanya Ginggi penasaran.
“Tidak benar-benar tergelincir. Tapi penggantinya tak mampu mensejajarkan diri dengan pendahulunya.”
“Siapakah penggantinya, Aki?”
“Dialah Surawisesa, putra Sri Baduga Maharaja.”
“Bagaimana cara dia memerintah?”
“Sebenarnya dia baik, hanya sayang ambisinya tak tertahan. Dia penuh ambisi, selalu mempertahankan kehormatan dengan jalan kekerasan. Kau bayangkan Ginggi, selama 14 tahun memerintah, dia memimpin peperangan sebanyak 15 kali. Pertikaian dengan Demak, Banten dan Cirebon tak terelakan. Peperangan pun berlangsung.”
“Unggulkah Pajajaran?”
Ditanya seperti ini, Ki Darma nampak mengeluh. Tapi keluhnya tertahan di kerongkongan. Menyakitkan.
“Permusuhan dengan Banten, Demak dan Cirebon, membuat kesedihan semua orang Pajajaran. Pelabuhan penting tempat perniagaan orang Pajajaran lepas sesudah Banten memisahkan diri. Pajajaran kehilangan Pelabuhan Penting dan Cibanten. Setahun kemudian Pelabuhan Sunda Kalapapun jatuh direbutnya. Semua wilayah pesisir utara bahkan dikuasai Cirebon, sehingga mulai saat itu, Pajajaran tak lagi menguasai lautan. Sunda bukan negara lautan lagi. Rakyat mencari penghidupan jauh di pedalaman dan hanya menjadi pehuma dan peladang,” tutur Ki Darma.
“Apakah kemudian Pajajaran menjadi hancur?”
“Tidak benar-benar hancur. Meski ada kelompok pengkhianat ditubuh Pajajaran, namun masih lebih banyak lagi para ksatria Pajajaran yang berani bertahan demi keutuhan negri. Sang Surawisesa yang putus asa diganti putranya, Prabu Ratu Dewata.”
“Bagaimana dengan yang lain?”
Ki Darma terkekeh masam. “Entahlah. Aku sendiri bingung menyimak kehidupan ini. Usiaku 15 tahun ketika Sang Prabu Sri Baduga Maharaja diwastu (dilantik) diatas batu keramat Sriman Sriwacana Palangka Raja, Akupun menyaksikan sendiri berbagai perubahan di bumi Pajajaran, sejalan dengan berbagai macam perubahan kebijaksanaan dari para pemimpinnya.
Surawisesa pandai berperang, digjaya dan penuh semangat. Namun di bawah kepemimpinannya rakyat menderita karena perang amat berkepanjangan. Limabelas kali peperangan, mengakibatkan banyak anak kehilangan ayah, istri kehilangan suami dan pehuma melepaskan pekerjaannya. Dan penggantinya, Sang Ratu Dewata, malah kebalikannya. Dia tak menyukai bentuk-bentuk kewiraan. Hanya agama dan filsapat yang diurusnya. Dia senang tapabrata dan membesarkan kehidupan keagamaan. Sarana agama berdiri dimana-mana tapi kesejahteraan lahiriah rakyatnya sendiri tak diperhatikan.
Dia membutakan diri terhadap kehidupan lahiriah termasuk membutakan diri terhadap kehidupan bernegara. Karena kehidupan negara tak tersentuh, maka rakyat jadi terlantar. Pergeseran kehidupan karena hadirnya agama baru bernama Islam, jadi sumber malapetaka di Pajajaran. Dalam upaya menahan kehadiran agama baru, Sang Prabu malah memperkuat agama Karuhun (nenek moyang). Dan kebijakan ini malah menimbulkan berbagai pertikaian.
Negara-negara kecil yang semula ada di bawah payung Pajajaran semakin banyak yang melepaskan diri dan bergabung dengan Banten atau Cirebon sebab mereka tertarik agama baru. Malah lebih parah dari itu, negara-negara kecil itu berani menyerbu Pajajaran. Maka pada zaman Sang Prabu Dewatalah pusat-pusat keagaman seperti di Sumedanglarang, Jayagiri atau Ciranjang diserbu mereka. Sang Prabu yang katanya punya cita-cita mempertahankan agama lama yang dianutnya, dalam kenyataanya sama sekali bahkan tidak sanggup mengobarkan perlawanan. Hanya para perwira tua yang sanggup bertahan.”
“Tak ada pemimpin baru yang sempurna?”
Ditanya seperti ini, wajah Ki Darma makin muram. “Dari semua keadaan dan peristiwa, maka pada hari-hari belakangan inilah Pajajaran semakin muram …” kata Ki Darma masih menunduk.
“Apakah semakin menyedihkan?”
“Benar-benar amat menyedihkan, Ginggi …”
“Apakah bumi Pajajaran semakin porak-poranda oleh musuh? Apakah semakin banyak anak kehilangan ayah dan kemudian banyak istri kehilangan suami?” Ginggi semakin penasaran mencecar dengan banyak pertanyaan.
Berlatih Melawan Harimau. Dua orang guru dan murid ini masih tetap mengobrol saling berhadapan.
“Tidak ada serbuan musuh. Tidak ada orang kehilangan pekerjaan. Bahkan hari ini, disaat rakyat dipimpin Sang Prabu Ratu Sakti, rakyat begitu giat bekerja,” kata Ki Darma.
“Giat bekerja?”
“Betul. Kaum peladang seperti tak punya waktu pulang ke rumah sebab waktunya habis di ladang. Begitupun pehuma hampir-hampir lupa kalau dirinya punya rumah sebab seluruh waktunya dihabiskan di huma. Kemudian nelayan lebih memilih mati di tepi sungai ketimbang pulang tak membawa hasil,” kata Ki Darma lagi dengan nada berat dan sumbang.
“Kalau begitu, itulah masa-masa kemakmuran bagi Pajajaran,” potong Ginggi memperlihatkan wajah ceria.
“Brak!”
Ki Darma malah menggebrak permukaan bale-bale sehingga kulit buah kukuk terlontar keudara. Sebelum kulit kukuk itu jatuh, Ginggi menangkapnya selagi benda itu berada di udara. Sambil memeluk kulit kukuk di haribaan, Ginggi menatap gurunya dengan heran.
“Tidak makmurkah negri Pajajaran di bawah kepemimpinan Sang Prabu Ratu Sakti?” tanya Ginggi kemudian.
“Pajajaran memang makmur.”
“Nah? Jadi mengapa Aki musti marah?”
“Sebab, kemakmuran nyatanya tidak menghasilkan keadilan bagi rakyat. Rakyat tak sejahtera sebab seluruh kekayaan negara diboyong ke istana!” kata Ki Darma.
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment