Sri Sultan Agung menghela napas panjang. Ia merasa lega bahwa Jarot dapat menyatakan kebersihannya dalam hal ini dan tidak bermaksud minta keris Margapati untuk kepentingan sendiri. Maka berkatalah Sultan Agung dengan ramah.
"Aku menurut nasihatmu, Jarot. Keris takkan kupakai lagi dan akan kusimpan dalam kamar pusaka dengan pusaka-pusaka yang lain. Adapun permintaanmu akan kuganti dengan sebuah hadiah lain. yaitu kuda si Nagapertala kuberikan kepadamu."
Jarot merasa girang sekali karena memang ia sangat kagum dan suka melihat kuda liar yang bagus dan kuat itu. Persidangan dibubarkan dan Jarot meninggalkan keraton dengan menuntun Nagapertala.
Di luar keraton telah menanti Ki Galur yang dengan wajah girang menyambutnya.
“Bagaimana, raden? Kau diberi pangkat apa? Senapati, bupati, atau adipati dan akan tinggal di gedung mana? Ah, kau sungguh gagah, Raden Jarot. Aku tadi lihat betapa mudah kau kalahkan mereka semua. Lihat, telapak tanganku masih merah dan pedas karena bertepuk tangan terus, dan suaraku masih parau karena bersorak-sorak!"
Orang tua itu dengan wajah berseri dan mata bersinar memandang Jarot dengan kagum. Tapi Jarot hanya tersenyum sederhana.
"Paman Galur, jangan kau kecewa, paman. Pertama, aku tidak menjadi senapati, bupati atau adipati sekalipun. Aku tetap menjadi rakyat biasa. Kedua, aku tidak akan tinggal di gedung atau istana, aku akan tinggal mondok di rumahmu, yakni jika kau sudi menerimaku. Dan ketiga, jangan paman panggil raden padaku. Aku anak gunung biasa, putera pendeta melarat, bukan ningrat, sebut saja namaku seperti biasa, yaitu Jarot tak kurang tak lebih, paman."
Sukar untuk melukiskan perasaan yang membayang di wajah tua keriputan itu. Heran, tak percaya, kecewa, girang dan menyesal silih berganti menguasai kulit mukanya.
"Tidak menjadi senapati? Tapi... tapi kau tadi menang.....!"
"Aku sengaja tidak mau menerima pangkat, paman." Lalu dengan singkat, Jarot menceritakan pengalamannya. Ki Galur mengangguk-angguk.
"Sayang, raden, .....” akhirnya ia berkata sambil menarik napas panjang.
"Jangan sebut raden padaku, paman.”
"O ya, ya..... aku kata sayang, gus Jarot. Sayang kau tidak mau menjadi senapati. Tapi aku girang bahwa kau sudi mondok di gubukku yang bobrok."
Demikianlah, sambil bercakap-cakap mereka berjalan pulang. Nagapertala dituntun oleh Ki Galur. Tadinya kuda itu hendak membangkang, tapi mendengar suara Jarot, Ia tunduk dan takut, lalu mandah saja digiring oleh Ki Galur.
Kedatangan mereka disambut oleh Sekarsari. Gadis itu baru saja pulang dari bengawan. Rambutnya yang masih basah terurai ke belakang menutup punggung, memanjang sampai ke pangkal paha, kainnya tapih pinjung sebatas dada, tak cukup rapat untuk menyembunyikan tanda kewanitaannya yang menonjol di dadanya. Tubuhnya yang sempurna lekuk lengkungnya dan yang berkulit putih kuning dan bersih itu sungguh sedap dipandang dan menimbulkan dendam berahi dan kasih.
Ketika Jarot menatap wajah gadis itu, ia merasa seakan-akan sedang berhadapan dengan seorang dewi yang baru saja turun dari kahyangan. Betari Komaratih yang disohorkan sebagai Dewi Asmara yang cantik jelita itu agaknya seperti inilah manisnya. Ah, tak mungkin, bantah hati Jarot. Tak mungkin begini ayu dan luwes, tak mungkin begini manis merak ati. Bibir gadis yang sedang cemberut itu tak mengurangi keayuannya, bahkan membuat ia lebih manis dan jelita sekali.
"Wah, gus Jarot hebat sekali, Sari! Semua pahlawan dikalahkannya!"
Datang-datang Ki Galur berkata kepada anaknya, kemudian ia mulai bercerita. Tapi wajah yang tadinya cemberut karena masih marah tak diajak nonton sayembara tadi, kini tidak menjadi gembira mendengar kemenangan Jarot, bahkan kulit dahinya yang halus licin itu dikerutkan.
"Kalau begitu, Raden Jarot sekarang tentu menjadi priyayi besar, menjadi senapati?" tanyanya sambil memandang Jarot.
"O, tidak..... tidak, gus Jarot tidak gila pangkat.” Dan Ki Galur ceritakan kepada anaknya akan segala pengalaman pemuda itu.
Mendengar bahwa Jarot masih menjadi orang biasa dan tinggal mondok di rumahnya, wajah Sekarsari berobah girang. Ia tersenyum manis dan mukanya merah. Kemudian ia lari ke belakang sambil berkata,
"Aku mau berkenalan dengan Nagapertala dan memberinya makan rumput!"
Jarot layangkan pandangnya ke arah tubuh gadis yang berlari-lari itu. Ki Galur tertawa girang melihat kenakalan dan kegembiraan puterinya yang tercinta.
"Aku terlalu memanjakan si Sari." katanya perlahan.
Pangeran Amangkurat yang tadinya merasa iri hati kepada Jarot dan khawatir kalau-kalau pemuda itu terlalu mendesak dan menjadi kesayangan ayahnya, merasa lega dan berbalik suka kepada Jarot ketika pemuda itu ternyata tidak mau menerima pangkat. Ia juga diam-diam merasa kagum akan kegagahan pemuda itu dan mendengar keterangan Jarot tentang keris pusaka Margapati, timbullah hati ingin memiliki keris ampuh itu.
Berbeda dengan ayahnya yang bijaksana dan adil. Pangeran Amangkurat adalah seorang pemuda yang bersikap berandalan dan lalim. Satu diantara sifat¬-sifatnya yang kurang baik ialah sifat mata keranjang. Semenjak masih muda ia telah mempunyai banyak selir. Pada waktu itu ia telah mempunyai lima belas orang selir, namun ia masih belum puas dan sering keluar dari keraton untuk mencari mangsa di desa-desa.
Amangkurat suka pula akan berburu di hutan. Ia memang pemuda cekatan, kuat dan gagah perwira. Telah dua kali ia membunuh harimau dengan tombaknya. Berbeda dengan pangeran-pangeran lain, ia tak suka membawa pengiring di waktu berburu maupun bermain ke desa-desa daerah kerajaan ayahnya.
Semenjak kenal kepada Jarot, beberapa kali Amangkurat mengajak Jarot menemaninya berburu di hutan. Pangeran itu makin suka kepada pemuda yang sederhana dan pandai membawa diri itu. Ketika diminta, Jarotpun dengan senang hati memberi pelajaran memanah dan mainkan tombak hingga Amangkurat makin maju dalam ilmu kedigdayaannya.
Pada suatu senja ketika mereka berdua sedang berkuda di dalam hutan, Jarot duduk di atas punggung Nagapertala, dan Amangkurat di atas punggung kuda putihnya, tiba-tiba terdengar geraman harimau dari dalam alang-alang yang tinggi di dekat jurang. Jarot siap dengan tombaknya, tapi Amangkurat mencegah dan berbisik,
"Biarkan dia keluar, aku hendak mencoba lawan dia dengan tangan kosong."
"Tapi itu berbahaya sekali," cegah Jarot yang merasa khawatir akan kesembronoan pangeran yang jumawa itu.
"Tidak sama sekali, kau lihat saja."
Amangkurat lalu turun dari kuda dan memberikan kendali kudanya kepada Jarot yang ikut turun dari punggung Nagapertala yang meringkik keras sambil gerak-gerakan ujung hidungnya dan perlihatkan giginya, tapi Jarot membentaknya,
"Sstt Diam, Naga!"
Kuda itu lalu diam dengan tenang dan Jarot bawa kedua kuda itu ke bawah pohon jati lalu menambatkan kendalinya disitu. Sementara itu Amangkurat telah mempererat ikatan kainnya dan menanggalkan baju pangerannya.
Pangeran muda dan pemberani itu telah berdiri memasang kuda-kuda dengan sikap gagah dan mata tajam menentang tengah alang-¬alang yang mulai bergerak perlahan.
Melihat sikap Amangkurat ini, mau tak mau Jarot tersenyum. Ia cukup tahu akan kedigdayaan pangeran itu, dan ia percaya bahwa jika Amangkurat tidak menjadi lalai karena kejumawaannya, pasti ia akan dapat mengalahkan harimau itu.
Terdengar geraman keras dan tiba-tiba kepala seekor harimau yang besar tersembul keluar dari alang-alang, sepasang matanya yang bundar memandang pemuda yang berdiri tenang menghadapinya.
"Hati-hati, gusti pangeran. Berlakulah tenang tapi cepat!" Jarot memberi nasihat.
Pada saat itu tubuh harimau telah keluar semua dari alang-alang dan mulai mengambil sikap untuk menyerang. Kemudian, tiba-tiba binatang buas itu menggereng dan loncat menerkam. Loncatannya tinggi dan kedua kaki depannya terulur dengan kuku mencakar ke arah kepala Amangkurat!
Tapi pangeran muda itu dengan sigapnya meloncat ke samping dan mengirim sebuah tendangan ke arah lambung tubuh harimau yang meluncur lewat di dekatnya.
Harimau itu menggereng keras karena tendangan itu tiba dengan kerasnya di lambung hingga la terpental hampir setombak jauhnya. Cepat binatang itu berbalik dan menubruk kembali, kini langsung ke depan, sambil perlihatkan cakar dan caling yang menyeramkan.
Amangkurat meloncat ke atas melampaui tubuh harimau dan ketika kakinya turun di belakang harimau, secepat kilat tangan kanannya menyambar ekor harimau yang panjang itu. Maka terjadilah pergulatan seru. Binatang itu sambil menggereng-gereng berusaha melepaskan ekor yang dipegang oleh tangan yang sangat kuat itu, tapi Amangkurat mempertahankannya dengan keras sambil tertawa-tawa.
"Awas, gusti pangeran! Tendang pantatnya sebelum ia berbalik!"
Jarot memperingatkan dengan khawatir melihat betapa pangeran itu dengan sembrono mempermainkan harimau.
Tapi Amangkurat ternyata terlalu jumawa dan tetap membetot-betot ekor harimau seakan-akan harimau itu hanya seekor kambing belaka! Binatang itu yang merasa betapa sukar dan sia-sianya untuk membetot dan melepaskan ekornya dari pegangan lawan, tiba-tiba gulingkan tubuhnya ke tanah. Karena bergulingan itu, maka ekornya seperti dipuntir dan cepat sekali ia bisa balikkan tubuh dan kaki depannya berhasil mencakar lengan Amangkurat!
Pangeran itu berteriak kesakitan dan terpaksa melepaskan ekor harimau. Dari lengan tangan kanannya mengucur darah. Sedangkan harimau itu sudah siap untuk menubruknya pula!
Jarot melihat keadaan berbahaya ini cepat pungut sebutir batu yang tajam ujungnya dan ayun tangannya. Batu meluncur cepat dan tepat mengenai mata kanan harimau itu yang menggerung-gerung sambil gunakan kaki depan menggaruk-garuk mata kanan yang berlumuran darah!
Amangkurat maju dan ayun kakinya menendang ke arah perut harimau sekuat tenaga. Harimau mengerang lalu lari terbirit-birit memasuki alang-alang. Suara aumannya masih terdengar jauh, bergema di dalam hutan.
Jarot cepat lari menghampiri pangeran itu. Baiknya luka itu tidak sangat parah, tapi darah terus keluar. Jarot melepaskan ikat kepalanya dan menggunakan kain itu untuk mengikat lengan yang terluka dalam balutan yang kuat hingga darah berhenti mengalir.
Amangkurat sedikitpun tidak memperlihatkan rasa sakit, bahkan ia masih dapat tertawa sambil berkata,
"Sayang aku tidak keburu membantingnya hancur! Lain kali aku takkan buang-buang waktu dengan betot-betot ekornya, begitu ekor terpegang ia akan segera kuangkat dan kubanting di atas batu!"
Jarot kagum melihat ketabahan pangeran itu.
"Kau sungguh tangkas dan kuat, gusti pangeran," pujinya dengan jujur.
"Dan lemparanmu tadi jitu benar, tepat menghancurkan mata kanannya."
Amangkurat balas memuji. Keduanya lalu pungut tombak masing-masing dan naik kuda menuju ke kota raja.
"Jarot, mari kita singgah di pondokmu. Aku ingin sekali melihat tempat tinggalmu."
”Ah, tempat tinggal hamba kotor dan buruk, gusti. Paduka membuat hamba merasa malu saja," jawab Jarot.
"Jangan berkata demikian. Bukankah kita sudah menjadi kawan baik? Hayo, tunjukkan jalan ke pondokmu."
Terpaksa Jarot membawa pangeran itu menuju ke rumah Ki Galur dengan hati tak sedap, sungguhpun ia tak mengerti mengapa ia harus merasa tak enak hati membawa Amangkurat ke pondoknya. Ia seperti mendapat firasat tidak baik.
"Aku menurut nasihatmu, Jarot. Keris takkan kupakai lagi dan akan kusimpan dalam kamar pusaka dengan pusaka-pusaka yang lain. Adapun permintaanmu akan kuganti dengan sebuah hadiah lain. yaitu kuda si Nagapertala kuberikan kepadamu."
Jarot merasa girang sekali karena memang ia sangat kagum dan suka melihat kuda liar yang bagus dan kuat itu. Persidangan dibubarkan dan Jarot meninggalkan keraton dengan menuntun Nagapertala.
Di luar keraton telah menanti Ki Galur yang dengan wajah girang menyambutnya.
“Bagaimana, raden? Kau diberi pangkat apa? Senapati, bupati, atau adipati dan akan tinggal di gedung mana? Ah, kau sungguh gagah, Raden Jarot. Aku tadi lihat betapa mudah kau kalahkan mereka semua. Lihat, telapak tanganku masih merah dan pedas karena bertepuk tangan terus, dan suaraku masih parau karena bersorak-sorak!"
Orang tua itu dengan wajah berseri dan mata bersinar memandang Jarot dengan kagum. Tapi Jarot hanya tersenyum sederhana.
"Paman Galur, jangan kau kecewa, paman. Pertama, aku tidak menjadi senapati, bupati atau adipati sekalipun. Aku tetap menjadi rakyat biasa. Kedua, aku tidak akan tinggal di gedung atau istana, aku akan tinggal mondok di rumahmu, yakni jika kau sudi menerimaku. Dan ketiga, jangan paman panggil raden padaku. Aku anak gunung biasa, putera pendeta melarat, bukan ningrat, sebut saja namaku seperti biasa, yaitu Jarot tak kurang tak lebih, paman."
Sukar untuk melukiskan perasaan yang membayang di wajah tua keriputan itu. Heran, tak percaya, kecewa, girang dan menyesal silih berganti menguasai kulit mukanya.
"Tidak menjadi senapati? Tapi... tapi kau tadi menang.....!"
"Aku sengaja tidak mau menerima pangkat, paman." Lalu dengan singkat, Jarot menceritakan pengalamannya. Ki Galur mengangguk-angguk.
"Sayang, raden, .....” akhirnya ia berkata sambil menarik napas panjang.
"Jangan sebut raden padaku, paman.”
"O ya, ya..... aku kata sayang, gus Jarot. Sayang kau tidak mau menjadi senapati. Tapi aku girang bahwa kau sudi mondok di gubukku yang bobrok."
Demikianlah, sambil bercakap-cakap mereka berjalan pulang. Nagapertala dituntun oleh Ki Galur. Tadinya kuda itu hendak membangkang, tapi mendengar suara Jarot, Ia tunduk dan takut, lalu mandah saja digiring oleh Ki Galur.
Kedatangan mereka disambut oleh Sekarsari. Gadis itu baru saja pulang dari bengawan. Rambutnya yang masih basah terurai ke belakang menutup punggung, memanjang sampai ke pangkal paha, kainnya tapih pinjung sebatas dada, tak cukup rapat untuk menyembunyikan tanda kewanitaannya yang menonjol di dadanya. Tubuhnya yang sempurna lekuk lengkungnya dan yang berkulit putih kuning dan bersih itu sungguh sedap dipandang dan menimbulkan dendam berahi dan kasih.
Ketika Jarot menatap wajah gadis itu, ia merasa seakan-akan sedang berhadapan dengan seorang dewi yang baru saja turun dari kahyangan. Betari Komaratih yang disohorkan sebagai Dewi Asmara yang cantik jelita itu agaknya seperti inilah manisnya. Ah, tak mungkin, bantah hati Jarot. Tak mungkin begini ayu dan luwes, tak mungkin begini manis merak ati. Bibir gadis yang sedang cemberut itu tak mengurangi keayuannya, bahkan membuat ia lebih manis dan jelita sekali.
"Wah, gus Jarot hebat sekali, Sari! Semua pahlawan dikalahkannya!"
Datang-datang Ki Galur berkata kepada anaknya, kemudian ia mulai bercerita. Tapi wajah yang tadinya cemberut karena masih marah tak diajak nonton sayembara tadi, kini tidak menjadi gembira mendengar kemenangan Jarot, bahkan kulit dahinya yang halus licin itu dikerutkan.
"Kalau begitu, Raden Jarot sekarang tentu menjadi priyayi besar, menjadi senapati?" tanyanya sambil memandang Jarot.
"O, tidak..... tidak, gus Jarot tidak gila pangkat.” Dan Ki Galur ceritakan kepada anaknya akan segala pengalaman pemuda itu.
Mendengar bahwa Jarot masih menjadi orang biasa dan tinggal mondok di rumahnya, wajah Sekarsari berobah girang. Ia tersenyum manis dan mukanya merah. Kemudian ia lari ke belakang sambil berkata,
"Aku mau berkenalan dengan Nagapertala dan memberinya makan rumput!"
Jarot layangkan pandangnya ke arah tubuh gadis yang berlari-lari itu. Ki Galur tertawa girang melihat kenakalan dan kegembiraan puterinya yang tercinta.
"Aku terlalu memanjakan si Sari." katanya perlahan.
Pangeran Amangkurat yang tadinya merasa iri hati kepada Jarot dan khawatir kalau-kalau pemuda itu terlalu mendesak dan menjadi kesayangan ayahnya, merasa lega dan berbalik suka kepada Jarot ketika pemuda itu ternyata tidak mau menerima pangkat. Ia juga diam-diam merasa kagum akan kegagahan pemuda itu dan mendengar keterangan Jarot tentang keris pusaka Margapati, timbullah hati ingin memiliki keris ampuh itu.
Berbeda dengan ayahnya yang bijaksana dan adil. Pangeran Amangkurat adalah seorang pemuda yang bersikap berandalan dan lalim. Satu diantara sifat¬-sifatnya yang kurang baik ialah sifat mata keranjang. Semenjak masih muda ia telah mempunyai banyak selir. Pada waktu itu ia telah mempunyai lima belas orang selir, namun ia masih belum puas dan sering keluar dari keraton untuk mencari mangsa di desa-desa.
Amangkurat suka pula akan berburu di hutan. Ia memang pemuda cekatan, kuat dan gagah perwira. Telah dua kali ia membunuh harimau dengan tombaknya. Berbeda dengan pangeran-pangeran lain, ia tak suka membawa pengiring di waktu berburu maupun bermain ke desa-desa daerah kerajaan ayahnya.
Semenjak kenal kepada Jarot, beberapa kali Amangkurat mengajak Jarot menemaninya berburu di hutan. Pangeran itu makin suka kepada pemuda yang sederhana dan pandai membawa diri itu. Ketika diminta, Jarotpun dengan senang hati memberi pelajaran memanah dan mainkan tombak hingga Amangkurat makin maju dalam ilmu kedigdayaannya.
Pada suatu senja ketika mereka berdua sedang berkuda di dalam hutan, Jarot duduk di atas punggung Nagapertala, dan Amangkurat di atas punggung kuda putihnya, tiba-tiba terdengar geraman harimau dari dalam alang-alang yang tinggi di dekat jurang. Jarot siap dengan tombaknya, tapi Amangkurat mencegah dan berbisik,
"Biarkan dia keluar, aku hendak mencoba lawan dia dengan tangan kosong."
"Tapi itu berbahaya sekali," cegah Jarot yang merasa khawatir akan kesembronoan pangeran yang jumawa itu.
"Tidak sama sekali, kau lihat saja."
Amangkurat lalu turun dari kuda dan memberikan kendali kudanya kepada Jarot yang ikut turun dari punggung Nagapertala yang meringkik keras sambil gerak-gerakan ujung hidungnya dan perlihatkan giginya, tapi Jarot membentaknya,
"Sstt Diam, Naga!"
Kuda itu lalu diam dengan tenang dan Jarot bawa kedua kuda itu ke bawah pohon jati lalu menambatkan kendalinya disitu. Sementara itu Amangkurat telah mempererat ikatan kainnya dan menanggalkan baju pangerannya.
Pangeran muda dan pemberani itu telah berdiri memasang kuda-kuda dengan sikap gagah dan mata tajam menentang tengah alang-¬alang yang mulai bergerak perlahan.
Melihat sikap Amangkurat ini, mau tak mau Jarot tersenyum. Ia cukup tahu akan kedigdayaan pangeran itu, dan ia percaya bahwa jika Amangkurat tidak menjadi lalai karena kejumawaannya, pasti ia akan dapat mengalahkan harimau itu.
Terdengar geraman keras dan tiba-tiba kepala seekor harimau yang besar tersembul keluar dari alang-alang, sepasang matanya yang bundar memandang pemuda yang berdiri tenang menghadapinya.
"Hati-hati, gusti pangeran. Berlakulah tenang tapi cepat!" Jarot memberi nasihat.
Pada saat itu tubuh harimau telah keluar semua dari alang-alang dan mulai mengambil sikap untuk menyerang. Kemudian, tiba-tiba binatang buas itu menggereng dan loncat menerkam. Loncatannya tinggi dan kedua kaki depannya terulur dengan kuku mencakar ke arah kepala Amangkurat!
Tapi pangeran muda itu dengan sigapnya meloncat ke samping dan mengirim sebuah tendangan ke arah lambung tubuh harimau yang meluncur lewat di dekatnya.
Harimau itu menggereng keras karena tendangan itu tiba dengan kerasnya di lambung hingga la terpental hampir setombak jauhnya. Cepat binatang itu berbalik dan menubruk kembali, kini langsung ke depan, sambil perlihatkan cakar dan caling yang menyeramkan.
Amangkurat meloncat ke atas melampaui tubuh harimau dan ketika kakinya turun di belakang harimau, secepat kilat tangan kanannya menyambar ekor harimau yang panjang itu. Maka terjadilah pergulatan seru. Binatang itu sambil menggereng-gereng berusaha melepaskan ekor yang dipegang oleh tangan yang sangat kuat itu, tapi Amangkurat mempertahankannya dengan keras sambil tertawa-tawa.
"Awas, gusti pangeran! Tendang pantatnya sebelum ia berbalik!"
Jarot memperingatkan dengan khawatir melihat betapa pangeran itu dengan sembrono mempermainkan harimau.
Tapi Amangkurat ternyata terlalu jumawa dan tetap membetot-betot ekor harimau seakan-akan harimau itu hanya seekor kambing belaka! Binatang itu yang merasa betapa sukar dan sia-sianya untuk membetot dan melepaskan ekornya dari pegangan lawan, tiba-tiba gulingkan tubuhnya ke tanah. Karena bergulingan itu, maka ekornya seperti dipuntir dan cepat sekali ia bisa balikkan tubuh dan kaki depannya berhasil mencakar lengan Amangkurat!
Pangeran itu berteriak kesakitan dan terpaksa melepaskan ekor harimau. Dari lengan tangan kanannya mengucur darah. Sedangkan harimau itu sudah siap untuk menubruknya pula!
Jarot melihat keadaan berbahaya ini cepat pungut sebutir batu yang tajam ujungnya dan ayun tangannya. Batu meluncur cepat dan tepat mengenai mata kanan harimau itu yang menggerung-gerung sambil gunakan kaki depan menggaruk-garuk mata kanan yang berlumuran darah!
Amangkurat maju dan ayun kakinya menendang ke arah perut harimau sekuat tenaga. Harimau mengerang lalu lari terbirit-birit memasuki alang-alang. Suara aumannya masih terdengar jauh, bergema di dalam hutan.
Jarot cepat lari menghampiri pangeran itu. Baiknya luka itu tidak sangat parah, tapi darah terus keluar. Jarot melepaskan ikat kepalanya dan menggunakan kain itu untuk mengikat lengan yang terluka dalam balutan yang kuat hingga darah berhenti mengalir.
Amangkurat sedikitpun tidak memperlihatkan rasa sakit, bahkan ia masih dapat tertawa sambil berkata,
"Sayang aku tidak keburu membantingnya hancur! Lain kali aku takkan buang-buang waktu dengan betot-betot ekornya, begitu ekor terpegang ia akan segera kuangkat dan kubanting di atas batu!"
Jarot kagum melihat ketabahan pangeran itu.
"Kau sungguh tangkas dan kuat, gusti pangeran," pujinya dengan jujur.
"Dan lemparanmu tadi jitu benar, tepat menghancurkan mata kanannya."
Amangkurat balas memuji. Keduanya lalu pungut tombak masing-masing dan naik kuda menuju ke kota raja.
"Jarot, mari kita singgah di pondokmu. Aku ingin sekali melihat tempat tinggalmu."
”Ah, tempat tinggal hamba kotor dan buruk, gusti. Paduka membuat hamba merasa malu saja," jawab Jarot.
"Jangan berkata demikian. Bukankah kita sudah menjadi kawan baik? Hayo, tunjukkan jalan ke pondokmu."
Terpaksa Jarot membawa pangeran itu menuju ke rumah Ki Galur dengan hati tak sedap, sungguhpun ia tak mengerti mengapa ia harus merasa tak enak hati membawa Amangkurat ke pondoknya. Ia seperti mendapat firasat tidak baik.
No comments:
Post a Comment