PERTEMPURAN ramai sekali dan Jarot terpaksa gunakan kelincahannya. Ia meloncat kesana kemari seakan-akan seekor tupai meloncat-loncat dan bermain¬-main diantara daun-daun kelapa.
Tombak ketiga lawannya sedikitpun tak dapat melukainya, bahkan tak lama kemudian, sontekan tombaknya membuat tameng Madurorejo terlepas dari pegangan tangan kiri dan sebuah tendangan ke arah pergelangan tangan kanan membuat tombak di tangan Uposonto terlempar pula! Pada saat itu ujung tombak Suro Agul-agul menusuk cepat. Jarot putar tombak dan gunakan gagang tombak menangkis keras hingga terdengar suara
"krak!" dan tombak Suro Agul-agul patah di tengah-tengah!
Tentu saja para penonton heran dan Kagum melihat betapa dalam beberapa gebrakan saja Jarot telah membuat tak berdaya ketiga lawannya! Juga Ki Ageng Baurekso terkejut dan kagum.
Bukan kagum karena Jarot dapat mengalahkan ketiga lawan yang belum tinggi ilmu kepandaiannya itu, tapi kagum betapa Jarot dapat mengalahkan mereka tanpa melukai sedikitpun! Diam¬-diam ia puji sifat welas asih pemuda itu. Tapi Pangeran Amangkurat merasa marah sekali. Ia berteriak kepada ketiga orang itu,
"Minggir!" dan ia sendiri maju menerjang dengan tombak dan perisai di tangan ilmu tombak pangeran Ini memang cukup tinggi dan tenaganya juga besar, tapi menghadapi Jarot la bertemu dengan tandingan yang kuat.
Jarot juga merasa betapa tangguh pangeran ini, maka ia putar tombaknya dalam gerakan "Payung Waja” hingga tubuhnya terlindung kuat oleh ujung tombak yang berputar cepat!
Pangeran Amangkurat merasa betapa tangannya tergetar dan panas kulit telapak tangan-nya pada tiap kali ujung tombaknya kena tertangkis. Jarot memang telah mengalah padanya, karena kalau ia mau, Jarot dapat menggunakan serangan mematikan. Cuma saja, pemuda ini tidak begitu bodoh untuk melukai Pangeran Amangkurat di depan Sri Sultan, maka ia hanya berdaya untuk membuat pangeran itu tak berdaya tanpa melukainya.
Tapi untuk dapat berbuat demikian, sungguh tidak mudah. Pangeran yang berdarah panas itu berkelahi dengan nekat, walaupun ia telah lelah sekali dan napasnya sudah terengah-engah.
Melihat keadaan itu, Sri Sultan Agung berseru keras,
"Berhenti!"
Suaranya keras dan berpengaruh sekali hingga Jarot menjadi kaget dan meloncat mundur dengan gerakan Kidang Melompat,
Sri Sultan Agung memerintahkan puteranya mundur dan minta supaya Priolelono maju melawan Jarot, Pendekar setengah tua itu memandang Jarot dengan tersenyum kagum, lalu ia lempar pula tamengnya ke tanah sambil berkata,
"Anak muda, mari kita main-main sebentar dengan tombak" Maka setelah berkata demikian, menyeranglah ia dengan hebatnya.
Para penonton sampai lupa bersorak melihat pertandingan kali ini. Mereka sama¬-sama kuat, sama-sama lincah dan cekatan, dan sama¬-sama pandai mainkan tombak! Jarot merasa terkejut melihat betapa ilmu permainan tombak lawannya ini sama gerakannya dengan ilmu tombaknya sendiri!
Ia merasa heran sekali dan putar tombaknya lebih cepat, tapi lawannyapun dapat mengimbangi permainannya. Diam-diam Jarot mengakui kegagahan lawannya dan ia mengandalkan kekuatannya yang ternyata leblh besar daripada lawannya. Demikianlah tiap serangan dan tangkisan dilakukan dengan tenaga kuat hingga beberapa kail ujung tombak lawannya terpental dan Priolelono berseru memuji,
“Sungguh digdaya kau!"
Pada saat mereka sedang bertempur ramai tiba-tiba Senapati Ki Ageng Baurekso meloncat dan gunakan tombaknya memisah mereka. Gerakannya kuat dan cepat hingga mendatangkan angin dan memaksa kedua orang yang sedang bertempur itu mundur.
Ki Ageng Baurekso memandang Priolelono dengan mata terbelalak marah dan mukanya merah padam.
"Bukankah kau Pangeran Pekik? Apa maksudmu datang ke Mataram?"
Terkejutlah semua orang mendengar bahwa lawan Jarot yang tangguh itu bukan lain adalah Pangeran Pekik, putera Adipati Surabaya yang menjadi musuh besar Sultan Agung! Mendengar seruan Ki Ageng Baurekso, semua pahlawan datang dengan sikap mengancam.
"Dia musuh besar, dia bermaksud jahat! Bunuh...... bunuh!!" demikian beberapa orang berteriak dan berbareng mereka maju mengeroyok.
Demikian pula Pangeran Amangkurat, Suro Agul-agul, Uposonto dan Madurorejo juga ikut mengeroyok, karena sebagai orang-orang Mataram, mereka benci sekali kepada Adipati Surabaya yang memang telah lama menjadi musuh besar Mataram.
Melihat lawannya yang dikagumi dan yang ilmu tombaknya secabang dengan ilmunya sendiri itu kini dikeroyok oleh para pahlawan Mataram, Jarot merasa kasihan dan penasaran sekali. Ia putar tombaknya menangkis serangan-serangan itu dan berseru,
"Biarpun kau Pangeran Pekik atau siapa saja, jangan takut, aku Jarot membantumu!"
Dan kedua orang yang baru saja saling serang itu kini berkelahi bahu-membahu melawan puluhan pahlawan yang menyerang dengan marah!
Tiba-tiba terdengar teriakan Sri Sultan Agung,
"Berhenti semua!"
Dan memang suara Sri Sultan berpengaruh besar dan berprabawa luar biasa. Serentak orang-orang yang berkelahi menahan tombak masing¬-masing dan berlutut menyembah.
"Para pahlawanku, tidak malukah kalian? Coba pikir, para pahlawan Mataram yang terkenal jagoan dan gagah perwira sakti mandraguna ternyata kini mengandalkan jumlah besar untuk menghina dan mengeroyok seorang musuh! Coba tengok anak muda desa ini. Dia lebih gagah dari pada kalian. Dia tidak tahu-menahu duduknya perkara, tapi dia serta merta membela yang pantas dibela. Memang, sekiranya aku menjadi dia, akupun akan membela Pangeran Pekik! Jadikanlah perbuatannya itu sebagai contoh, hai para pahlawanku!"
Mendengar sabda raja bijaksana ini, semua pahlawan menundukkan kepala dengan wajah merah. Tapi Tumenggung Suryawidura dan Pangeran Amangkurat merasa penasaran dan diam-diam mereka menaruh dendam kepada Jarot anak gunung yang dipuji-puji oleh Sultan itu, namun mereka tidak berani membantah. Sultan Agung lalu berkata kepada para hulubalang,
"Bubarkan semua penonton dan umumkan bahwa sayembara sudah berakhir dengan terpilihnya empat orang calon pahlawan baru. Kemudian adakan perjamuan untuk menghormat empat orang gagah ini didalam keraton. Dan engkau, hai Pangeran Pekik, aku hargai keberanianmu dan kegagahanmu. Biarpun ayahmu berkeras kepala dan membangkang padaku, namun belum tentu engkau sekhilaf dia. Aku bebaskan kau, pulanglah kau dan ceritakan pada ayah dan rakyatmu betapa gagah perkasa para pahlawan Mataram dan betapa kuat pertahanan Mataram!"
Pangeran Pekik menyembah hormat dan pamit undur. Perlombaan dibubarkan karena pahlawan-pahlawan telah terpilih dan Sultan Agung memasuki keraton, diiringkan para hulubalang.
Keempat pahlawan yang terpilih, yakni: Jarot, Suro Agul-agul, Uposonto, dan Madurorejo, dijamu oleh para dayang keraton atas perintah Sri Sultan. Hidangan¬-hidangan lezat belaka yang disuguhkan untuk dinikmati oleh keempat orang gagah itu.
Setelah makan dan beristirahat, pada sore harinya Sri Sultan bersiniwaka, membuka persidangan dan panggil menghadap keempat calon pahlawan yang terpilih itu. Juga Pangeran Amangkurat yang tadi mengikuti sayembara hanya untuk berlatih dan mencoba kesaktian saja, kini hadir pula disitu. Para hulubalang dan senapati pun sudah lengkap duduk bersila di hadapan yang dipertuan.
Kemudian dengan resmi Sri Sultan mengangkat keempat orang gagah itu sebagai pahlawan dan diperbantukan kepada Ki Ageng Baurekso. Tapi dengan sangat hormat Jarot menyembah dan berkata,
"Mohon beribu ampun, gusti junjungan hamba. Bukan sekali-kali hamba berani membantah dan bukan sekali-kali hamba tidak berterima kasih atas kurnia paduka yang mulia ini, tapi perkenankanlah kiranya hamba mengajukan sebuah permohonan dan sebuah hadiah."
Semua orang terheran mendengar keberanian anak muda ini. Dan Sultan Agung yang juga merasa heran menahan perasaannya lalu tersenyum ramah. Ia angkat tangan kanannya dan bersabda,
"Boleh sekali. Coba engkau katakan dua macam permintaanmu itu untuk kami pertimbangkan."
Jarot menyembah lagi.
"Ampunkan hamba yang lancang, gusti. Sebenarnya bukanlah hamba tak suka menerima kurnia paduka dengan pemberian pangkat sebagai pahlawan keraton, hanya karena hamba telah berjanji tak akan memegang jabatan maka hati hamba menjadi bingung. Hamba menyediakan jiwa raga untuk mengabdi dan membela paduka dan Kerajaan Mataram, tapi tidak sebagai seorang berpangkat, hanya sebagai rakyat biasa, gusti. Maka perkenankanlah hamba menghaturkan permohonan hamba pertama, yaitu: Hamba tidak menjadi pahlawan keraton tapi sebagai penduduk biasa dan tinggal di kampung, namun setiap saat hamba bersedia untuk menjalankan segala titah tuanku."
Sultan Agung memandangnya tajam lalu tiba-tiba bertanya,
"Engkau putera pendeta?"
Jarot menyembah.
"Tidak salah, gusti. Ayah hamba ialah Panembahan Cakrawala di bukit Tengger."
Sultan Agung mengangguk-angguk.
"Boleh, kuterima permintaanmu ini, tapi janganlah engkau tinggalkan Mataram tanpa memberi tahu, hingga jika sewaktu-waktu engkau dibutuhkan, engkau tak berada jauh dari keraton."
"Hamba akan tinggal di rumah Ki Galur yang berada dekat, gusti."
Semua orang yang mendengar permintaan ini merasa heran. Gilakah pemuda ini? Mengapa ia menolak pangkat dan menolak tinggal dalam sebuah istana tersendiri, tapi sebaliknya memilih tinggal di pondok seorang miskin? Tapi Sultan Agung tidak merasa heran, hanya berkata ramah,
"Baiklah kalau demikian. Dan apakah adanya permintaanmu kedua?"
Jarot melirik ke arah gagang keris yang menonjol dari ikat pinggang Sultan Agung. Lalu dengan tenang ia berkata,
“Tak lain hamba mohon sudilah kiranya gusti memberikan keris Margapati sebagai hadiah untuk hamba."
Semua hadirin memandangnya dengan terkejut dan khawatir. Ini adalah permintaan yang gila dan mustahil! Juga Sultan Agung merasa curiga dan agak tak senang, tapi wajahnya tetap sabar, tenang dan ramah.
"Beritahukanlah dulu padaku mengapa engkau minta hadiah keris pusaka baru ini?" tanyanya halus.
"Hamba tak bermaksud buruk, gusti. Semata-mata demi keselamatan padukalah maka hamba berani mengajukan permintaan ganjil dan kurang ajar ini. Keris Margapati tidak cocok untuk paduka, keris itu mengandung hawa maut dan dapat menimbulkan malapetaka. Maka hamba mohon supaya diberikan kepada hamba agar hamba dapat mengekang pengaruh jahat yang keluar darinya."
Diam-diam Sultan Agung menggunakan jari tangannya meraba-raba gagang Margapati dan jari-jarinya agak gemetar. Melihat bahwa Sultan Agung agaknya hendak memenuhi pula permintaan Jarot, Tumenggung Suryawidura segera memperingatkan junjungannya.
"Maaf, gusti. Hamba rasa tidak semestinya kalau Kyai Margapati diberikan kepada Jarot. Hal ini seakan-akan menyatakan bahwa paduka takut akan keris pusaka itu. Kalau kiranya memang betul bahwa paduka tidak suka dan tidak cocok memakai Margapati, lebih baik pusaka itu disimpan saja dalam kamar pusaka. Hamba rasa, keangkeran Mataram akan berkurang bila pusaka Mataram ada yang terjatuh ke dalam tangan orang lain."
Jarot mengerling ke arah tumenggung tua yang tinggi kurus itu. Ia melihat betapa Sultan Agung menjadi ragu-¬ragu, maka segera ia berkata,
"Hamba rasa usul tumenggung sepuh ini baik juga, karena memang sedikitpun hamba tak bermaksud hendak memiliki keris itu dan semata-mata hamba tujukan semua ini guna kepentingan dan keselamatan paduka, gusti."
Tombak ketiga lawannya sedikitpun tak dapat melukainya, bahkan tak lama kemudian, sontekan tombaknya membuat tameng Madurorejo terlepas dari pegangan tangan kiri dan sebuah tendangan ke arah pergelangan tangan kanan membuat tombak di tangan Uposonto terlempar pula! Pada saat itu ujung tombak Suro Agul-agul menusuk cepat. Jarot putar tombak dan gunakan gagang tombak menangkis keras hingga terdengar suara
"krak!" dan tombak Suro Agul-agul patah di tengah-tengah!
Tentu saja para penonton heran dan Kagum melihat betapa dalam beberapa gebrakan saja Jarot telah membuat tak berdaya ketiga lawannya! Juga Ki Ageng Baurekso terkejut dan kagum.
Bukan kagum karena Jarot dapat mengalahkan ketiga lawan yang belum tinggi ilmu kepandaiannya itu, tapi kagum betapa Jarot dapat mengalahkan mereka tanpa melukai sedikitpun! Diam¬-diam ia puji sifat welas asih pemuda itu. Tapi Pangeran Amangkurat merasa marah sekali. Ia berteriak kepada ketiga orang itu,
"Minggir!" dan ia sendiri maju menerjang dengan tombak dan perisai di tangan ilmu tombak pangeran Ini memang cukup tinggi dan tenaganya juga besar, tapi menghadapi Jarot la bertemu dengan tandingan yang kuat.
Jarot juga merasa betapa tangguh pangeran ini, maka ia putar tombaknya dalam gerakan "Payung Waja” hingga tubuhnya terlindung kuat oleh ujung tombak yang berputar cepat!
Pangeran Amangkurat merasa betapa tangannya tergetar dan panas kulit telapak tangan-nya pada tiap kali ujung tombaknya kena tertangkis. Jarot memang telah mengalah padanya, karena kalau ia mau, Jarot dapat menggunakan serangan mematikan. Cuma saja, pemuda ini tidak begitu bodoh untuk melukai Pangeran Amangkurat di depan Sri Sultan, maka ia hanya berdaya untuk membuat pangeran itu tak berdaya tanpa melukainya.
Tapi untuk dapat berbuat demikian, sungguh tidak mudah. Pangeran yang berdarah panas itu berkelahi dengan nekat, walaupun ia telah lelah sekali dan napasnya sudah terengah-engah.
Melihat keadaan itu, Sri Sultan Agung berseru keras,
"Berhenti!"
Suaranya keras dan berpengaruh sekali hingga Jarot menjadi kaget dan meloncat mundur dengan gerakan Kidang Melompat,
Sri Sultan Agung memerintahkan puteranya mundur dan minta supaya Priolelono maju melawan Jarot, Pendekar setengah tua itu memandang Jarot dengan tersenyum kagum, lalu ia lempar pula tamengnya ke tanah sambil berkata,
"Anak muda, mari kita main-main sebentar dengan tombak" Maka setelah berkata demikian, menyeranglah ia dengan hebatnya.
Para penonton sampai lupa bersorak melihat pertandingan kali ini. Mereka sama¬-sama kuat, sama-sama lincah dan cekatan, dan sama¬-sama pandai mainkan tombak! Jarot merasa terkejut melihat betapa ilmu permainan tombak lawannya ini sama gerakannya dengan ilmu tombaknya sendiri!
Ia merasa heran sekali dan putar tombaknya lebih cepat, tapi lawannyapun dapat mengimbangi permainannya. Diam-diam Jarot mengakui kegagahan lawannya dan ia mengandalkan kekuatannya yang ternyata leblh besar daripada lawannya. Demikianlah tiap serangan dan tangkisan dilakukan dengan tenaga kuat hingga beberapa kail ujung tombak lawannya terpental dan Priolelono berseru memuji,
“Sungguh digdaya kau!"
Pada saat mereka sedang bertempur ramai tiba-tiba Senapati Ki Ageng Baurekso meloncat dan gunakan tombaknya memisah mereka. Gerakannya kuat dan cepat hingga mendatangkan angin dan memaksa kedua orang yang sedang bertempur itu mundur.
Ki Ageng Baurekso memandang Priolelono dengan mata terbelalak marah dan mukanya merah padam.
"Bukankah kau Pangeran Pekik? Apa maksudmu datang ke Mataram?"
Terkejutlah semua orang mendengar bahwa lawan Jarot yang tangguh itu bukan lain adalah Pangeran Pekik, putera Adipati Surabaya yang menjadi musuh besar Sultan Agung! Mendengar seruan Ki Ageng Baurekso, semua pahlawan datang dengan sikap mengancam.
"Dia musuh besar, dia bermaksud jahat! Bunuh...... bunuh!!" demikian beberapa orang berteriak dan berbareng mereka maju mengeroyok.
Demikian pula Pangeran Amangkurat, Suro Agul-agul, Uposonto dan Madurorejo juga ikut mengeroyok, karena sebagai orang-orang Mataram, mereka benci sekali kepada Adipati Surabaya yang memang telah lama menjadi musuh besar Mataram.
Melihat lawannya yang dikagumi dan yang ilmu tombaknya secabang dengan ilmunya sendiri itu kini dikeroyok oleh para pahlawan Mataram, Jarot merasa kasihan dan penasaran sekali. Ia putar tombaknya menangkis serangan-serangan itu dan berseru,
"Biarpun kau Pangeran Pekik atau siapa saja, jangan takut, aku Jarot membantumu!"
Dan kedua orang yang baru saja saling serang itu kini berkelahi bahu-membahu melawan puluhan pahlawan yang menyerang dengan marah!
Tiba-tiba terdengar teriakan Sri Sultan Agung,
"Berhenti semua!"
Dan memang suara Sri Sultan berpengaruh besar dan berprabawa luar biasa. Serentak orang-orang yang berkelahi menahan tombak masing¬-masing dan berlutut menyembah.
"Para pahlawanku, tidak malukah kalian? Coba pikir, para pahlawan Mataram yang terkenal jagoan dan gagah perwira sakti mandraguna ternyata kini mengandalkan jumlah besar untuk menghina dan mengeroyok seorang musuh! Coba tengok anak muda desa ini. Dia lebih gagah dari pada kalian. Dia tidak tahu-menahu duduknya perkara, tapi dia serta merta membela yang pantas dibela. Memang, sekiranya aku menjadi dia, akupun akan membela Pangeran Pekik! Jadikanlah perbuatannya itu sebagai contoh, hai para pahlawanku!"
Mendengar sabda raja bijaksana ini, semua pahlawan menundukkan kepala dengan wajah merah. Tapi Tumenggung Suryawidura dan Pangeran Amangkurat merasa penasaran dan diam-diam mereka menaruh dendam kepada Jarot anak gunung yang dipuji-puji oleh Sultan itu, namun mereka tidak berani membantah. Sultan Agung lalu berkata kepada para hulubalang,
"Bubarkan semua penonton dan umumkan bahwa sayembara sudah berakhir dengan terpilihnya empat orang calon pahlawan baru. Kemudian adakan perjamuan untuk menghormat empat orang gagah ini didalam keraton. Dan engkau, hai Pangeran Pekik, aku hargai keberanianmu dan kegagahanmu. Biarpun ayahmu berkeras kepala dan membangkang padaku, namun belum tentu engkau sekhilaf dia. Aku bebaskan kau, pulanglah kau dan ceritakan pada ayah dan rakyatmu betapa gagah perkasa para pahlawan Mataram dan betapa kuat pertahanan Mataram!"
Pangeran Pekik menyembah hormat dan pamit undur. Perlombaan dibubarkan karena pahlawan-pahlawan telah terpilih dan Sultan Agung memasuki keraton, diiringkan para hulubalang.
Keempat pahlawan yang terpilih, yakni: Jarot, Suro Agul-agul, Uposonto, dan Madurorejo, dijamu oleh para dayang keraton atas perintah Sri Sultan. Hidangan¬-hidangan lezat belaka yang disuguhkan untuk dinikmati oleh keempat orang gagah itu.
Setelah makan dan beristirahat, pada sore harinya Sri Sultan bersiniwaka, membuka persidangan dan panggil menghadap keempat calon pahlawan yang terpilih itu. Juga Pangeran Amangkurat yang tadi mengikuti sayembara hanya untuk berlatih dan mencoba kesaktian saja, kini hadir pula disitu. Para hulubalang dan senapati pun sudah lengkap duduk bersila di hadapan yang dipertuan.
Kemudian dengan resmi Sri Sultan mengangkat keempat orang gagah itu sebagai pahlawan dan diperbantukan kepada Ki Ageng Baurekso. Tapi dengan sangat hormat Jarot menyembah dan berkata,
"Mohon beribu ampun, gusti junjungan hamba. Bukan sekali-kali hamba berani membantah dan bukan sekali-kali hamba tidak berterima kasih atas kurnia paduka yang mulia ini, tapi perkenankanlah kiranya hamba mengajukan sebuah permohonan dan sebuah hadiah."
Semua orang terheran mendengar keberanian anak muda ini. Dan Sultan Agung yang juga merasa heran menahan perasaannya lalu tersenyum ramah. Ia angkat tangan kanannya dan bersabda,
"Boleh sekali. Coba engkau katakan dua macam permintaanmu itu untuk kami pertimbangkan."
Jarot menyembah lagi.
"Ampunkan hamba yang lancang, gusti. Sebenarnya bukanlah hamba tak suka menerima kurnia paduka dengan pemberian pangkat sebagai pahlawan keraton, hanya karena hamba telah berjanji tak akan memegang jabatan maka hati hamba menjadi bingung. Hamba menyediakan jiwa raga untuk mengabdi dan membela paduka dan Kerajaan Mataram, tapi tidak sebagai seorang berpangkat, hanya sebagai rakyat biasa, gusti. Maka perkenankanlah hamba menghaturkan permohonan hamba pertama, yaitu: Hamba tidak menjadi pahlawan keraton tapi sebagai penduduk biasa dan tinggal di kampung, namun setiap saat hamba bersedia untuk menjalankan segala titah tuanku."
Sultan Agung memandangnya tajam lalu tiba-tiba bertanya,
"Engkau putera pendeta?"
Jarot menyembah.
"Tidak salah, gusti. Ayah hamba ialah Panembahan Cakrawala di bukit Tengger."
Sultan Agung mengangguk-angguk.
"Boleh, kuterima permintaanmu ini, tapi janganlah engkau tinggalkan Mataram tanpa memberi tahu, hingga jika sewaktu-waktu engkau dibutuhkan, engkau tak berada jauh dari keraton."
"Hamba akan tinggal di rumah Ki Galur yang berada dekat, gusti."
Semua orang yang mendengar permintaan ini merasa heran. Gilakah pemuda ini? Mengapa ia menolak pangkat dan menolak tinggal dalam sebuah istana tersendiri, tapi sebaliknya memilih tinggal di pondok seorang miskin? Tapi Sultan Agung tidak merasa heran, hanya berkata ramah,
"Baiklah kalau demikian. Dan apakah adanya permintaanmu kedua?"
Jarot melirik ke arah gagang keris yang menonjol dari ikat pinggang Sultan Agung. Lalu dengan tenang ia berkata,
“Tak lain hamba mohon sudilah kiranya gusti memberikan keris Margapati sebagai hadiah untuk hamba."
Semua hadirin memandangnya dengan terkejut dan khawatir. Ini adalah permintaan yang gila dan mustahil! Juga Sultan Agung merasa curiga dan agak tak senang, tapi wajahnya tetap sabar, tenang dan ramah.
"Beritahukanlah dulu padaku mengapa engkau minta hadiah keris pusaka baru ini?" tanyanya halus.
"Hamba tak bermaksud buruk, gusti. Semata-mata demi keselamatan padukalah maka hamba berani mengajukan permintaan ganjil dan kurang ajar ini. Keris Margapati tidak cocok untuk paduka, keris itu mengandung hawa maut dan dapat menimbulkan malapetaka. Maka hamba mohon supaya diberikan kepada hamba agar hamba dapat mengekang pengaruh jahat yang keluar darinya."
Diam-diam Sultan Agung menggunakan jari tangannya meraba-raba gagang Margapati dan jari-jarinya agak gemetar. Melihat bahwa Sultan Agung agaknya hendak memenuhi pula permintaan Jarot, Tumenggung Suryawidura segera memperingatkan junjungannya.
"Maaf, gusti. Hamba rasa tidak semestinya kalau Kyai Margapati diberikan kepada Jarot. Hal ini seakan-akan menyatakan bahwa paduka takut akan keris pusaka itu. Kalau kiranya memang betul bahwa paduka tidak suka dan tidak cocok memakai Margapati, lebih baik pusaka itu disimpan saja dalam kamar pusaka. Hamba rasa, keangkeran Mataram akan berkurang bila pusaka Mataram ada yang terjatuh ke dalam tangan orang lain."
Jarot mengerling ke arah tumenggung tua yang tinggi kurus itu. Ia melihat betapa Sultan Agung menjadi ragu-¬ragu, maka segera ia berkata,
"Hamba rasa usul tumenggung sepuh ini baik juga, karena memang sedikitpun hamba tak bermaksud hendak memiliki keris itu dan semata-mata hamba tujukan semua ini guna kepentingan dan keselamatan paduka, gusti."
No comments:
Post a Comment