Karena tempat berdirinya tidak jauh dari pohon itu, maka dengan beberapa kali loncat ia sudah tiba di bawah pohon. Ia tadi melihat betapa sukar mereka mengangkat besi itu dan hanya dua orang saja kuat mengangkat dengan tangan kanan, sedangkan yang lain mengangkatnya dengan kedua tangan.
Ia membungkuk dan menggunakan tangan kanan memegang gagang jangkar dan terus mengangkatnya ke atas. Ia merasa bahwa besi Itu ternyata tak berapa berat, maka ia pindahkan besi itu di tangan kirinya lalu diangkat pula ke atas kepala.
Tentu saja gerakan ini menimbulkan sambutan yang hebat. Tadinya orang-orang melihat seorang pemuda sederhana mendekati besi itu, menjadi heran dan khawatir bahwa Sri Sultan akan menjadi marah kepada pemuda sembrono itu.
Tapi setelah melihat betapa Jarot permainkan besi di tangan kiri dengan ringannya, mereka merasa kagum sekali karena sepanjang pengetahuan mereka, yang dapat mengangkat besi itu dengan tangan kiri seringan itu hanya Sri Sultan Agung sendiri dan Senapati Ki Ageng Baurekso saja. Dari mana datangnya pemuda tampan sederhana yang luar biasa ini?
Juga Sri Sultan Agung bertanya kepada para hulubalang yang berada di situ,
"Dari mana datangnya pemuda itu?"
Beberapa orang pahlawan menyangka raja marah dan bersiap menangkap pemuda lancang itu, tapi Sultan Agung bersabda,
"Jangan ganggu dia, biarkan dia ikut dalam sayembara ini."
Sementara itu, seperti seorang anak kecil, Jarot bawa lari besi itu memutari waringin, tidak sekali, tapi tiga kali! Tampik-sorak ramai menyambutnya. Setelah menaruh besi itu ke tanah kembali tanpa memperlihatkan sedikitpun kelelahan Jarot menengok ke kanan kiri dengan bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Baiknya seorang hulubalang menghampirinya dan berbisik,
"Raden, kau diperkenankan mengikuti sayembara, maka lekas-¬lekaslah duduk berkumpul dengan lima belas orang yang lulus dan menyembah menghaturkan terima kasih kepada Gusti Sultan.”
Jarot menurut nasihat ini. Gong dipukul lagi dan seekor kuda bulu hitam dituntun masuk ke dalam kalangan. Melihat kuda yang besar itu meronta-ronta, maka penonton mundur setombak lebih dengan takut kalau-kalau kuda iblis itu mengamuk.
Benar saja, mendengar suara orang banyak, kuda Nagapertala memberontak dan berhasil melepaskan diri dengan merenggut kendali dari tangan penjaganya yang tak berdaya. Kuda itu lari mengitari kalangan dengan mendengus-dengus dan meringkik-ringkik marah.
Sultan Agung melihat lagak kuda itu tersenyum geli lalu berbisik memerintah kepada Ki Ageng Baurekso yang berdiri didekatnya. Ki Ageng Baurekso yang bertubuh tinggi besar dan bermata bundar berkulit hitam itu meloncat ke dalam kalangan.
Ketika kuda Nagapertala lari lewat dekatnya, ia bergerak menyambar kendali dan sekali sentak saja leher Nagapertala tertahan ke belakang hingga kuda itu berdiri di kedua kaki belakangnya! Kuda itu meronta-¬ronta sebentar tapi ia tidak berdaya melawan tenaga tangan Ki Ageng Baurekso yang kuat. Nagapertala maklum akan tangguhnya lawan, maka ia-pun tunduk tak melawan lagi. Semua penonton kagum akan kehebatan senapati tua ini.
Setelah Sri Sultan Agung memberi tanda, maka mulailah diuji ketangkasan para muda yang lulus dalam syarat pertama tadi. Karena Jarot duduk terbelakang, maka gilirannyapun terakhir pula.
Dari lima belas orang calon, hanya lima orang yang lulus, sedangkan yang sepuluh terpaksa keluar dari kalangan dan dinyatakan gagal. Ketika tiba giliran Jarot, pemuda ini menghampiri Nagapertala dengan khawatir karena sesungguhnya ia belum pernah belajar ilmu naik kuda.
Nagapertala yang sudah lelah menjadi pemarah sekali. Begitu ia merasa ada orang mendekatinya dari belakang, ia angkat kedua kaki belakang dan menyepak ke arah dada Jarot! Baiknya pemuda itu selalu waspada dan gesit sekali, maka dengan mudah ia loncat berkelit. Namun kejadian ini membuat hatinya makin khawatir.
"Aduh galaknya!" diam-diam ia mengeluh.
Nagapertala menoleh dan membuka mulutnya hendak menggigit! Tapi Jarot tak membuang waktu lagi, cepat dan sigap ia meloncat ke atas punggung Nagapertala tanpa memegang kendali yang masih tergantung dan berada di atas tanah! Orang-orang terkejut melihat hal ini juga Sri Sultan dan Senapati Baurekso cemas juga. Tak mungkin orang dapat tetap duduk di atas punggung Nagapertala tanpa pegang kendali untuk menguasai kuda liar itu!
Seperti yang sudah-sudah, begitu merasa punggungnya diduduki orang. Nagapertala segera meringkik marah dan berdiri di atas kaki belakang. Hampir saja Jarot terlempar ke belakang kalau ia tidak cepat-cepat peluk leher kuda yang kuat itu. Tapi Nagapertala goyang-goyang tubuhnya dan geleng-¬gelengkan kepala. Para penonton, termasuk raja dan hulu-balang semua, melihat perjuangan hebat itu dengan hati berdebar dan perasaan tegang.
Sementara itu gamelan mainkan lagu Kebogiro yang gagah dan bersemangat. Jarot mengeluh dan merasa bahwa tak mungkin ia dapat bertahan. Maka diam-diam ia kerahkan ilmunya Gelap Seyuto dan tiba-tiba para penonton merasa bulu tengkuknya berdiri ketika terdengar Jarot menggeram keras dan menyeramkan.
Geram ini lebih hebat daripada auman harimau dan mengatasi ringkik si Nagapertala. Mendengar geraman itu dan merasa betapa kedua tangan yang memeluk lehernya menekan dengan tenaga yang luar biasa hebatnya, Nagapertala gemetar seluruh tubuhnya dan kuda liar itu berdiri diam dengan keempat kaki menggigil, seakan-akan ia sedang menahan muatan yang berat sekali!
Jarot duduk dengan tenang di atas punggung Nagapertala yang berdiri tak bergerak, sedangkan lagu Kebogiro terus dimainkan sampai habis. Setelah lagu habis dimainkan, Jarot meloncat turun, sedangkan Nagapertala tampak lemas tak bertenaga lagi hingga mudah saja dituntun keluar, lebih jinak dari pada kuda-kuda biasa!
Melihat kesaktian pemuda itu, diam-diam Sri Sultan merasa kagum, sedangkan Ki Ageng Baurekso terkejut dan menduga-duga siapakah gerangan pemuda aneh itu dan siapa gurunya?
Kelima orang lain yang lulus menghadapi syarat kedua ini ialah : Pangeran Pati Amangkurat, putera Sri Sultan sendiri, Suro Agul-agul, Uposonto, Madurorejo, dan yang kelima adalah seorang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan mengaku berasal dari Jawa Timur dan bernama Priolelono.
Kemudian perlombaan memanah dimulai. Pangeran Amangkurat memanah lebih dulu dan bidikannya tepat mengenai sasaran dan tertancap di tengah-tengah. Juga keempat calon lain dapat menancapkan anak panah mereka di sekitar anak panah Pangeran Amangkurat, tapi tidak di luar garis sasaran!
Ketika tiba giliran Jarot, pemuda ini merasa tenang sekali, berbeda dengan tadi ketika menghadapi Nagapertala. Ini disebabkan karena ia memang telah terlatih dan digembleng dalam hal ilmu memanah oleh guru dan ayahnya.
Ia melihat betapa tempat sasaran itu telah penuh oleh lima batang anak panah hingga tiada tempat lagi agaknya bagi anak panah yang akan dilepasnya. Ia berpikir sebentar, lalu ia ambil lima batang anak panah.
Beruntun-runtun lima batang anak panah terlepas dari gendewa yang dipegangnya dengan cepat sekali. Demikian cepat lajunya anak-anak panah ini hingga orang-orang hanya melihat lima kali sinar berkelebat dan tahu-tahu kelima batang anak panah itu telah menancap di belakang kelima anak panah yang sudah tertancap lebih dulu di atas sasaran!
Kejadian ini membuat semua penonton bengong terheran hingga untuk sesaat keadaan menjadi sunyi seakan-akan di tempat itu tak terdapat seorangpun. Kemudian riuh-rendah dan bergemuruhlah sorak-sorai yang memuji kepandaian Jarot.
Sri Sultan Agung bertukar pandang dengan Ki Ageng Baurekso dan Jarot segera dipanggil menghadap. Pangeran Amangkurat dan lain-lain calon merasa tak senang sekali. Sri Sultan Agung bertanya dengan suara halus,
"Hai anak muda! Apa maksudmu melepas anak panah di belakang anak-anak panah yang telah menancap disasaran?"
Jarot menyembah khidmat.
"Ampunkan hamba, gusti. Karena hamba lihat bahwa semua anak panah mengenai sasaran dengan tepat, maka adalah kewajiban hamba untuk mendorong mereka itu dari belakang agar semua anak panah tidak menancap di luar garis sasaran. Andaikata ada anak panah yang menancap di luar garis yang ditentukan, tentu anak panah hamba takkan mengenainya, gusti."
Kembali Sri Sultan mengerling dan bertukar pandang dengan Ki Ageng Baurekso. Raja yang arif bijaksana ini maklum akan maksud Jarot yang hendak menyatakan bahwa sebagai seorang calon senapati dalam perlombaan itu, ia berjanji hendak setia dan mengerahkan tenaga membantu tindakan yang tepat dan benar, seperti tepatnya ujung anak panah mengenai sasaran, dan bahwa ia takkan membantu usaha-usaha yang keliru dan salah.
Tapi Amangkurat tetap merasa penasaran karena pangeran ini tidak mengerti maksud Jarot. Ia menganggap pemuda itu sombong dan menghinanya. Sementara itu, Tumenggung Suryawidura yang sudah diberitahu oleh anaknya betapa Jarot telah menghinanya, segera menyembah dan berkata,
"Gusti, betapapun juga, pemuda ini ternyata terlalu memandang rendah para calon lain, terutama kepada gusti pangeran.! Maka, untuk mencoba apakah benar¬-benar ia sakti, hamba usulkan agar dalam perlombaan main tombak dan keris, ia dihadapkan dengan kelima calon lain. Hamba rasa ia tentu berani seperti halnya dengan anak panah tadi. Kecuali kalau ia tidak berani, boleh digunakan cara lain."
Sambil berkata demikian, Tumenggung yang tua ini mengerling kepada Jarot. Pemuda ini heran sekali mengapa priyayi tua ini seperti membencinya! Mendengar usul hulubalang tua yang juga menjadi mertuanya ini, Sultan Agung tersenyum. Ia merasa tidak setuju, tapi ingin pula ia mendengar jawaban dan pendapat Jarot. lalu tanyanya.
"Bagaimana pendapatmu dengan usul paman Suryawidura tadi?"
Mendengar nama ini, tahulah Jarot bahwa Raden Mas Bahar telah menggunakan tangan ayahnya untuk membalas dendam. Maka ia merasa malu kalau mundur terhadap usul ini. Sembahnya.
"Kalau memang demikian yang dikehendaki, tentu hamba akan mentaati semua, gusti."
Diam-diam Sultan Agung juga merasa betapa sombong pemuda ini. Akan melawan kelima pahlawan gagah perkasa itu? Ah, tak mungkin ia menang. Juga Pangeran Amangkurat merasa panas sekali, teriaknya,
"Kalau begitu, mari kita keluar dan mulai bertanding!"
Sultan Agung melepas kerling tajam kepada puteranya untuk menegur dan persiapan lalu diadakan. Orang-orang yang mendengar bahwa pemuda aneh tadi hendak bertanding dikeroyok lima menjadi berdebar-debar dan perasaan mereka tegang sekali.
Sementara itu, ketika bertanya dan dijawab bahwa pemuda itu bernama Jarot dan datang dari Gunung Tengger, Sultan Agung dan Ki Ageng Baurekso mengangguk-angguk dan menduga-¬duga.
Biarpun Jarot sudah sanggup untuk menghadapi mereka berlima, namun Pangeran Amangkurat tidak sudi untuk mengeroyoknya. Pangeran yang masih muda dan berdarah panas ini merasa terlalu rendah untuk mengeroyok. Ia hanya berdiri di pinggir dengan tombak di tangan kanan dan tameng di tangan kiri. Demikianpun Priolelono, orang gagah ini merasa malu untuk mengeroyok seorang pemuda yang jauh lebih muda darinya. Maka mereka berlima bermufakat untuk maju seorang demi seorang.
Jarot dengan tombak di tangan kanan berdiri menanti tenang. Ia sengaja melepas tamengnya di atas tanah dan berdiri tanpa .tameng! Orang-orang perdengarkan seruan tertahan dan menganggap dia benar-benar sombong dan bodoh.
Sebenarnya tidak sekali-kali Jarot hendak menyombong. Kalau dia melempar tamengnya adalah karena.dia tidak biasa menggunakan perisai dan dilatih bermain tombak dengan kedua tangan tanpa tameng.
Madurorejo mendapat giliran pertama. Dengan berseru keras ia menyerang Jarot. Tombaknya meluncur ke arah dada Jarot yang telanjang. Jarot hanya miringkan tubuh dan tiba-tiba tombak di tangan Jarot bergerak demikian cepat hingga Madurorejo terkejut sekali lalu menangkis dengan tamengnya. Tapi Jarot putar-putar tombak di kedua tangannya hingga lawannya sama sekali tiada kesempatan untuk balas menyerang, hanya repot menangkis saja sambil mundur.
Riuh-rendah suara orang memuji-muji Jarot. Uposonto melihat kawannya terdesak demikian rupa, segera maju membantu. Ia tidak merasa malu untuk melakukan pengeroyokan, karena memang Jarot telah menyetujuinya, pula ia tahu bahwa Madurorejo bukanlah lawan pemuda yang hebat itu.
Jarot berlaku tenang dan kedua tangannya seakan-akan memegang dua tombak yang dapat melayani kedua lawan itu. Suro Agul-agul marah sekali melihat kedua kawannya tetap tak berdaya terhadap Jarot, maka sambil berseru keras ia loncat menerjang.
Ia membungkuk dan menggunakan tangan kanan memegang gagang jangkar dan terus mengangkatnya ke atas. Ia merasa bahwa besi Itu ternyata tak berapa berat, maka ia pindahkan besi itu di tangan kirinya lalu diangkat pula ke atas kepala.
Tentu saja gerakan ini menimbulkan sambutan yang hebat. Tadinya orang-orang melihat seorang pemuda sederhana mendekati besi itu, menjadi heran dan khawatir bahwa Sri Sultan akan menjadi marah kepada pemuda sembrono itu.
Tapi setelah melihat betapa Jarot permainkan besi di tangan kiri dengan ringannya, mereka merasa kagum sekali karena sepanjang pengetahuan mereka, yang dapat mengangkat besi itu dengan tangan kiri seringan itu hanya Sri Sultan Agung sendiri dan Senapati Ki Ageng Baurekso saja. Dari mana datangnya pemuda tampan sederhana yang luar biasa ini?
Juga Sri Sultan Agung bertanya kepada para hulubalang yang berada di situ,
"Dari mana datangnya pemuda itu?"
Beberapa orang pahlawan menyangka raja marah dan bersiap menangkap pemuda lancang itu, tapi Sultan Agung bersabda,
"Jangan ganggu dia, biarkan dia ikut dalam sayembara ini."
Sementara itu, seperti seorang anak kecil, Jarot bawa lari besi itu memutari waringin, tidak sekali, tapi tiga kali! Tampik-sorak ramai menyambutnya. Setelah menaruh besi itu ke tanah kembali tanpa memperlihatkan sedikitpun kelelahan Jarot menengok ke kanan kiri dengan bingung, tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Baiknya seorang hulubalang menghampirinya dan berbisik,
"Raden, kau diperkenankan mengikuti sayembara, maka lekas-¬lekaslah duduk berkumpul dengan lima belas orang yang lulus dan menyembah menghaturkan terima kasih kepada Gusti Sultan.”
Jarot menurut nasihat ini. Gong dipukul lagi dan seekor kuda bulu hitam dituntun masuk ke dalam kalangan. Melihat kuda yang besar itu meronta-ronta, maka penonton mundur setombak lebih dengan takut kalau-kalau kuda iblis itu mengamuk.
Benar saja, mendengar suara orang banyak, kuda Nagapertala memberontak dan berhasil melepaskan diri dengan merenggut kendali dari tangan penjaganya yang tak berdaya. Kuda itu lari mengitari kalangan dengan mendengus-dengus dan meringkik-ringkik marah.
Sultan Agung melihat lagak kuda itu tersenyum geli lalu berbisik memerintah kepada Ki Ageng Baurekso yang berdiri didekatnya. Ki Ageng Baurekso yang bertubuh tinggi besar dan bermata bundar berkulit hitam itu meloncat ke dalam kalangan.
Ketika kuda Nagapertala lari lewat dekatnya, ia bergerak menyambar kendali dan sekali sentak saja leher Nagapertala tertahan ke belakang hingga kuda itu berdiri di kedua kaki belakangnya! Kuda itu meronta-¬ronta sebentar tapi ia tidak berdaya melawan tenaga tangan Ki Ageng Baurekso yang kuat. Nagapertala maklum akan tangguhnya lawan, maka ia-pun tunduk tak melawan lagi. Semua penonton kagum akan kehebatan senapati tua ini.
Setelah Sri Sultan Agung memberi tanda, maka mulailah diuji ketangkasan para muda yang lulus dalam syarat pertama tadi. Karena Jarot duduk terbelakang, maka gilirannyapun terakhir pula.
Dari lima belas orang calon, hanya lima orang yang lulus, sedangkan yang sepuluh terpaksa keluar dari kalangan dan dinyatakan gagal. Ketika tiba giliran Jarot, pemuda ini menghampiri Nagapertala dengan khawatir karena sesungguhnya ia belum pernah belajar ilmu naik kuda.
Nagapertala yang sudah lelah menjadi pemarah sekali. Begitu ia merasa ada orang mendekatinya dari belakang, ia angkat kedua kaki belakang dan menyepak ke arah dada Jarot! Baiknya pemuda itu selalu waspada dan gesit sekali, maka dengan mudah ia loncat berkelit. Namun kejadian ini membuat hatinya makin khawatir.
"Aduh galaknya!" diam-diam ia mengeluh.
Nagapertala menoleh dan membuka mulutnya hendak menggigit! Tapi Jarot tak membuang waktu lagi, cepat dan sigap ia meloncat ke atas punggung Nagapertala tanpa memegang kendali yang masih tergantung dan berada di atas tanah! Orang-orang terkejut melihat hal ini juga Sri Sultan dan Senapati Baurekso cemas juga. Tak mungkin orang dapat tetap duduk di atas punggung Nagapertala tanpa pegang kendali untuk menguasai kuda liar itu!
Seperti yang sudah-sudah, begitu merasa punggungnya diduduki orang. Nagapertala segera meringkik marah dan berdiri di atas kaki belakang. Hampir saja Jarot terlempar ke belakang kalau ia tidak cepat-cepat peluk leher kuda yang kuat itu. Tapi Nagapertala goyang-goyang tubuhnya dan geleng-¬gelengkan kepala. Para penonton, termasuk raja dan hulu-balang semua, melihat perjuangan hebat itu dengan hati berdebar dan perasaan tegang.
Sementara itu gamelan mainkan lagu Kebogiro yang gagah dan bersemangat. Jarot mengeluh dan merasa bahwa tak mungkin ia dapat bertahan. Maka diam-diam ia kerahkan ilmunya Gelap Seyuto dan tiba-tiba para penonton merasa bulu tengkuknya berdiri ketika terdengar Jarot menggeram keras dan menyeramkan.
Geram ini lebih hebat daripada auman harimau dan mengatasi ringkik si Nagapertala. Mendengar geraman itu dan merasa betapa kedua tangan yang memeluk lehernya menekan dengan tenaga yang luar biasa hebatnya, Nagapertala gemetar seluruh tubuhnya dan kuda liar itu berdiri diam dengan keempat kaki menggigil, seakan-akan ia sedang menahan muatan yang berat sekali!
Jarot duduk dengan tenang di atas punggung Nagapertala yang berdiri tak bergerak, sedangkan lagu Kebogiro terus dimainkan sampai habis. Setelah lagu habis dimainkan, Jarot meloncat turun, sedangkan Nagapertala tampak lemas tak bertenaga lagi hingga mudah saja dituntun keluar, lebih jinak dari pada kuda-kuda biasa!
Melihat kesaktian pemuda itu, diam-diam Sri Sultan merasa kagum, sedangkan Ki Ageng Baurekso terkejut dan menduga-duga siapakah gerangan pemuda aneh itu dan siapa gurunya?
Kelima orang lain yang lulus menghadapi syarat kedua ini ialah : Pangeran Pati Amangkurat, putera Sri Sultan sendiri, Suro Agul-agul, Uposonto, Madurorejo, dan yang kelima adalah seorang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan mengaku berasal dari Jawa Timur dan bernama Priolelono.
Kemudian perlombaan memanah dimulai. Pangeran Amangkurat memanah lebih dulu dan bidikannya tepat mengenai sasaran dan tertancap di tengah-tengah. Juga keempat calon lain dapat menancapkan anak panah mereka di sekitar anak panah Pangeran Amangkurat, tapi tidak di luar garis sasaran!
Ketika tiba giliran Jarot, pemuda ini merasa tenang sekali, berbeda dengan tadi ketika menghadapi Nagapertala. Ini disebabkan karena ia memang telah terlatih dan digembleng dalam hal ilmu memanah oleh guru dan ayahnya.
Ia melihat betapa tempat sasaran itu telah penuh oleh lima batang anak panah hingga tiada tempat lagi agaknya bagi anak panah yang akan dilepasnya. Ia berpikir sebentar, lalu ia ambil lima batang anak panah.
Beruntun-runtun lima batang anak panah terlepas dari gendewa yang dipegangnya dengan cepat sekali. Demikian cepat lajunya anak-anak panah ini hingga orang-orang hanya melihat lima kali sinar berkelebat dan tahu-tahu kelima batang anak panah itu telah menancap di belakang kelima anak panah yang sudah tertancap lebih dulu di atas sasaran!
Kejadian ini membuat semua penonton bengong terheran hingga untuk sesaat keadaan menjadi sunyi seakan-akan di tempat itu tak terdapat seorangpun. Kemudian riuh-rendah dan bergemuruhlah sorak-sorai yang memuji kepandaian Jarot.
Sri Sultan Agung bertukar pandang dengan Ki Ageng Baurekso dan Jarot segera dipanggil menghadap. Pangeran Amangkurat dan lain-lain calon merasa tak senang sekali. Sri Sultan Agung bertanya dengan suara halus,
"Hai anak muda! Apa maksudmu melepas anak panah di belakang anak-anak panah yang telah menancap disasaran?"
Jarot menyembah khidmat.
"Ampunkan hamba, gusti. Karena hamba lihat bahwa semua anak panah mengenai sasaran dengan tepat, maka adalah kewajiban hamba untuk mendorong mereka itu dari belakang agar semua anak panah tidak menancap di luar garis sasaran. Andaikata ada anak panah yang menancap di luar garis yang ditentukan, tentu anak panah hamba takkan mengenainya, gusti."
Kembali Sri Sultan mengerling dan bertukar pandang dengan Ki Ageng Baurekso. Raja yang arif bijaksana ini maklum akan maksud Jarot yang hendak menyatakan bahwa sebagai seorang calon senapati dalam perlombaan itu, ia berjanji hendak setia dan mengerahkan tenaga membantu tindakan yang tepat dan benar, seperti tepatnya ujung anak panah mengenai sasaran, dan bahwa ia takkan membantu usaha-usaha yang keliru dan salah.
Tapi Amangkurat tetap merasa penasaran karena pangeran ini tidak mengerti maksud Jarot. Ia menganggap pemuda itu sombong dan menghinanya. Sementara itu, Tumenggung Suryawidura yang sudah diberitahu oleh anaknya betapa Jarot telah menghinanya, segera menyembah dan berkata,
"Gusti, betapapun juga, pemuda ini ternyata terlalu memandang rendah para calon lain, terutama kepada gusti pangeran.! Maka, untuk mencoba apakah benar¬-benar ia sakti, hamba usulkan agar dalam perlombaan main tombak dan keris, ia dihadapkan dengan kelima calon lain. Hamba rasa ia tentu berani seperti halnya dengan anak panah tadi. Kecuali kalau ia tidak berani, boleh digunakan cara lain."
Sambil berkata demikian, Tumenggung yang tua ini mengerling kepada Jarot. Pemuda ini heran sekali mengapa priyayi tua ini seperti membencinya! Mendengar usul hulubalang tua yang juga menjadi mertuanya ini, Sultan Agung tersenyum. Ia merasa tidak setuju, tapi ingin pula ia mendengar jawaban dan pendapat Jarot. lalu tanyanya.
"Bagaimana pendapatmu dengan usul paman Suryawidura tadi?"
Mendengar nama ini, tahulah Jarot bahwa Raden Mas Bahar telah menggunakan tangan ayahnya untuk membalas dendam. Maka ia merasa malu kalau mundur terhadap usul ini. Sembahnya.
"Kalau memang demikian yang dikehendaki, tentu hamba akan mentaati semua, gusti."
Diam-diam Sultan Agung juga merasa betapa sombong pemuda ini. Akan melawan kelima pahlawan gagah perkasa itu? Ah, tak mungkin ia menang. Juga Pangeran Amangkurat merasa panas sekali, teriaknya,
"Kalau begitu, mari kita keluar dan mulai bertanding!"
Sultan Agung melepas kerling tajam kepada puteranya untuk menegur dan persiapan lalu diadakan. Orang-orang yang mendengar bahwa pemuda aneh tadi hendak bertanding dikeroyok lima menjadi berdebar-debar dan perasaan mereka tegang sekali.
Sementara itu, ketika bertanya dan dijawab bahwa pemuda itu bernama Jarot dan datang dari Gunung Tengger, Sultan Agung dan Ki Ageng Baurekso mengangguk-angguk dan menduga-¬duga.
Biarpun Jarot sudah sanggup untuk menghadapi mereka berlima, namun Pangeran Amangkurat tidak sudi untuk mengeroyoknya. Pangeran yang masih muda dan berdarah panas ini merasa terlalu rendah untuk mengeroyok. Ia hanya berdiri di pinggir dengan tombak di tangan kanan dan tameng di tangan kiri. Demikianpun Priolelono, orang gagah ini merasa malu untuk mengeroyok seorang pemuda yang jauh lebih muda darinya. Maka mereka berlima bermufakat untuk maju seorang demi seorang.
Jarot dengan tombak di tangan kanan berdiri menanti tenang. Ia sengaja melepas tamengnya di atas tanah dan berdiri tanpa .tameng! Orang-orang perdengarkan seruan tertahan dan menganggap dia benar-benar sombong dan bodoh.
Sebenarnya tidak sekali-kali Jarot hendak menyombong. Kalau dia melempar tamengnya adalah karena.dia tidak biasa menggunakan perisai dan dilatih bermain tombak dengan kedua tangan tanpa tameng.
Madurorejo mendapat giliran pertama. Dengan berseru keras ia menyerang Jarot. Tombaknya meluncur ke arah dada Jarot yang telanjang. Jarot hanya miringkan tubuh dan tiba-tiba tombak di tangan Jarot bergerak demikian cepat hingga Madurorejo terkejut sekali lalu menangkis dengan tamengnya. Tapi Jarot putar-putar tombak di kedua tangannya hingga lawannya sama sekali tiada kesempatan untuk balas menyerang, hanya repot menangkis saja sambil mundur.
Riuh-rendah suara orang memuji-muji Jarot. Uposonto melihat kawannya terdesak demikian rupa, segera maju membantu. Ia tidak merasa malu untuk melakukan pengeroyokan, karena memang Jarot telah menyetujuinya, pula ia tahu bahwa Madurorejo bukanlah lawan pemuda yang hebat itu.
Jarot berlaku tenang dan kedua tangannya seakan-akan memegang dua tombak yang dapat melayani kedua lawan itu. Suro Agul-agul marah sekali melihat kedua kawannya tetap tak berdaya terhadap Jarot, maka sambil berseru keras ia loncat menerjang.
No comments:
Post a Comment