"Terima kasih, jangan kau khawatir. Keras bunyi tak berisi. Laki-laki ceriwis ini hanya gayanya saja hebat, tapi ia tak berbahaya sama sekali. Kau lihatlah saja dari sana."
Dengan perlahan ia dorong bahu gadis itu, tapi sungguhpun hanya perlahan saja, cukup membuat Sekarsari merasa terdorong oleh tenaga yang kuat sekali hingga terpaksa ia lari kembali kepada ayahnya. Jarot bertolak pinggang dan memandang lawannya dengan tenang.
"Bahar, kau betul-betul hendak berkelahi? Aku bernama Jarot dan sebelum terlambat, kunasihatkan kau lebih baik pulang saja agar takkan menderita lebih hebat lagi!"
"Sombong, rasakan tajamnya kerisku!"
Bahar membentak keras dan ia meloncat menerjang dengan kerisnya yang besar dan hebat.
Sekarsari menjerit lirih dan menggunakan kedua tangan menutupi matanya, tapi Jarot dengan cekatan dapat dikelit serangan itu mudah sekali. Lebih lima kali Bahar menerjang, tapi selalu dapat dikelit oleh Jarot. Serangan berikutnya dilakukan dengan gerakan nekat. Kerisnya menusuk ke kanan kiri, ke atas bawah, hingga tak dapat diduga sebelumnya hendak menyerang bagian mana. Kalau lawannya bukan Jarot, tentu ia akan gugup dan bingung karenanya.
Tapi dengan masih tenang Jarot gerakkan tangan kanannya mendahului dan menangkap pergelangan tangan Bahar yang memegang keris. Sekali ia kerahkan tenaga, genggaman tangan Bahar terbuka dan kerisnya jatuh ke tanah. Pada saat itu, dengan jari terbuka tangan kiri Jarot melayang dan sebuah tamparan keras sekali tiba di pangkal telinga Bahar!
"Aduh!!"
Bahar menjerit dan merasa semrepet, matanya berkunang-kunang, kepalanya berdenyut¬-denyut dan ketika ia buka matanya segala apa di kelilingnya berputar dan bergelombang, tubuhnya terhuyung-huyung dan ia tak dapat menahan diri lagi ketika tubuhnya terguling dengan lemas!
Inilah tamparan tangan Bayusakti yang hebat dan luar biasa! Jangankan sampai tertampar, baru terkena angin tamparan itu saja, kulit terasa pedas dan sakit. Masih untung bagi Bahar bahwa ia telah mempelajari ilmu kekuatan tubuh, dan Jarot tidak menggunakan seluruh tenaganya, kalau tidak demikian halnya, pasti Bahar akan rebah untuk tak bangun kembali!
Setelah mengeluh kesakitan, Bahar merayap bangun lalu menjumput kerisnya, tapi sebelum ia sempat berdiri, Jarot ulur tangannya memegang bahunya. Bahar merasa seakan-akan bahunya terjepit dua batu karang yang kuat hingga kerisnya terlepas lagi. Ia masih membungkuk dan tubuhnya menggigil menahan sakit karena tulang bahunya seakan-akan terasa remuk.
"Hayo kau minta maaf kepada paman ini dan puterinya." Jarot memerintah sambil mendorong Bahar ke tempat Ki Galur.
Karena tak tertahan sakitnya, Bahar terpaksa berkata gemetar,
"Paman........ Sari..... maafkan aku....."
"Dan berjanjilah bahwa kau tak akan mengganggu mereka lagi."
"Aku.... aku berjanji takkan...... mengganggu mereka."
Jarot melepaskan pegangannya dan dengan terhuyung-huyung Bahar meninggalkan tempat itu.
Ki Galur dan anak gadisnya memandang Jarot dengan kagum dan berterima kasih.
"Raden, terima kasih atas pertolonganmu. Tapi saya harap Raden lekas-lekas pergi dari sini, kalau tidak, saya khawatir Raden akan menemui bencana. Saya yakin Den-mas Bahar tentu akan menuntut balas."
"Biarlah, paman. Biar aku yang akan bertanggung jawab. Apapun yang akan menimpaku, akan kuhadapi sendiri."
"Kau..... kau gagah sekali, Raden. Apakah yang harus kami lakukan sebagai.... pembalas budi?" kata Sekarsari dengan kerling kagum.
Jarot pandang wajah yang ayu jelita itu dengan senyum gembira, lalu ia menjawab,
"Pembalas budi? Aku..... aku tak ingin dibalas..... tapi....." ia teringat akan perutnya yang lapar, "aku..... lapar.....!" wajahnya memerah malu.
Ki Galur tertawa dan mulut yang tak bergigi lagi itu terbuka, lekas-lekas ia tutup mulut dengan tangannya. Sebaliknya Sekarsari tertawa memperlihatkan dua deret gigi yang indah bagaikan mutiara tersusun rapi.
"Lapar? Kau suka akan ketan, Raden?" tanya Sekarsari.
"Ketan......?"
"Ya, ketan putih, dan kelapa, dan juruh.."
"Ketan kelapa dengan juruh?" Mulut Jarot membasah. "Ah, enak sekali."
"Kalau kau suka, mari kita pulang...."
"Pulang.....?"
Ulangan kata-kata ini diucapkan demikian mesra hingga si gadis bermerah durja. Ia telah lupa sama sekali bahwa orang yang diajak pulang adalah seorang pemuda yang sama sekali asing baginya! Maka teringat akan hal ini, ia tertawa perlahan dan mengambil cuciannya terus lari!
"Mari, raden." ajak Ki Galur.
"Tunggu sebentar, paman, aku hendak mandi dulu."
Tanpa malu-malu di depan orang tua itu, Jarot menanggalkan pakaiannya dan terjun ke air. Ia berenang kesana kemari, diikuti pandangan mata Ki Galur yang kagum sekali melihat kebagusan tubuh yang bersih halus dan membayangkan tenaga hebat itu.
Kemudian, bersama-sama mereka menuju ke sebuah rumah bilik dekat sungai. Sebuah sampan terikat di pinggir bengawan dan selembar jala ikan terjemur di depan rumah.
Sekarsari telah bersalin baju dan wajahnya berseri ketika ia mengeluarkan hidangan ketan dengan kelapa dan juruh yang terbuat dari gula kelapa. Sambil makan ketan Jarot tuturkan dengan singkat kepada Ki Galur bahwa ia adalah seorang perantau yang menjalankan darma brata dan mencari pengalaman di kota praja. Ia memberi tahu bahwa tempat tinggalnya adalah jauh di timur.
Dari kakek ini ia mendengar bahwa Ki Galur hanya hidup berdua dengan anaknya, Sekarsari, dan bahwa sumber hasilnya ialah mencari ikan di sepanjang bengawan dan hidup sebagai nelayan.
Tiba-tiba terdengar bunyi gong dipukul nyaring berkali¬-kali. Ki Galur meloncat bangun.
“Aduh, hampir aku lupa. Hari ini di alun-alun ada sayembara perang tanding, ramai sekali! Hayo, Raden, kita nonton yuda lumba! Lihat betapa satria-satria dan pahlawan-pahlawan gagah perkasa berlaga di alun-alun!"
Dan Jarotpun teringat akan pesan Empu Madrim, maka iapun menjawab,
"Baik, paman."
"Ayah, aku ikut!" tiba-tiba Sekarsari berkata.
"Huss! Tidak boleh. Masak seorang gadis ikut nonton sayembara perang!"
Sekarsari cemberut, tapi ia tak berani membantah ayahnya.
"Sayang aku tidak dilahirkan sebagai laki-laki." Terdengar gerutunya yang membuat Ki Galur dan Jarot tersenyum geli.
Alun-alun yang lebar terpajang indah. Janur kuning dan kembang dipasang orang di pintu gerbang. Tanah telah disiram air hingga tidak ada debu dan tanah yang basah menghitam itu menimbulkan hawa sejuk menyenangkan. Orang-orang telah berkumpul mengelilingi tempat yang khusus disediakan untuk mengadu kegagahan, yakni di tengah-tengah.
Penjaga-¬penjaga dengan tombak panjang menjaga di sekeliling tempat itu dan bambu-bambu panjang dipasang melintang sebagai pencegah penonton mendesak ke depan. Sebuah setinggil yang dihias indah didirikan orang dekat tempat perlombaan dan sebuah kursi terbuat dari kayu cendana yang harum dan terukir halus berdiri disitu. Ini adalah tempat yang disediakan untuk Sri Sultan.
Tak lama kemudian. Sri Sultan keluar dari keraton menuju ke alun-alun dengan diiring para hulubalang. Lagu Kebogiro dimainkan oleh para yogo untuk menyambut rajanya.
Para penonton jongkok menyembah di kala Sri Sultan lewat dengan tindakan agung. Tiada suara orang berbisik ketika Sri Sultan menuju ke setinggil, kecuali suara gamelan yang riang gembira itu. Setelah Sri Sultan duduk di atas kursi cendana, maka ramailah kembali suara para penonton.
Di sudut alun-alun berkumpul para muda dan satria yang berpakaian indah. Mereka inilah yang hendak memasuki sayembara. Kurang lebih ada tiga puluh orang yang hendak ikut dan mereka semua tampak gagah dan kuat.
Menurut acara, pertandingan itu diadakan dalam lima babak. Pertama : tiap pengikut sayembara harus dapat mengangkat sebuah besi yang terdapat di bawah pohon waringin di alun-alun itu. Besi itu adalah sebuah jangkar kapal yang besar dan berat, hingga untuk membawanya ke tempat itu dibutuhkan tenaga empat orang laki-laki kuat yang menggotongnya!
Besi jangkar itu harus diangkat di atas kepala dan dibawa berjalan mengelilingi pohon waringin yang besar itu. Inilah syarat pertama bagi yang hendak mengikuti sayembara. Siapa yang tidak dapat memenuhi syarat pertama ini berarti gagal dan harus mengundurkan diri.
Syarat kedua tidak kalah sukarnya, yakni : para pengikut sayembara, sesudah dapat memenuhi syarat pertama, harus dapat menaiki kuda liar Nagapertala dan bertahan duduk di punggung kuda itu sampai lagu Kebogiro selesai dimainkan oleh para pemain gamelan yang sudah siap. Syarat ini bukannya mudah, karena kalau untuk menempuh syarat pertama orang hanya membutuhkan tenaga besar, syarat kedua ini membutuhkan kekuatan, kesigapan, keuletan, dan kepandaian menunggang kuda.
Sedangkan kuda liar yang diberi nama Nagapertala ini sudah terkenal sebagai kuda iblis berbulu hitam yang ganas dan liar hingga belum pernah ada pahlawan yang sanggup bertahan lama duduk di atasnya, kecuali Senapati Ki Ageng Baurekso dan beberapa senapati lain yang terkenal akan kesaktian mereka. Babak sayembara selanjutnya ialah berlomba memanah, bermain tombak, dan bermain keris dan tameng.
Orang-orang yang datang menonton telah mengelilingi pohon waringin sejauh sepuluh tombak lebih. Mereka berjongkok untuk menyatakan hormat mereka kepada SriSultan Agung. Wajah semua orang tampak gembira.
Tiba-tiba gong berbunyi dan kurang lebih tiga puluh orang muda yang gagah-gagah itu memasuki kalangan, lalu berjalan jongkok dan duduk bersila dalam tiga jajar di depan Sri Sultan Agung, setelah menyembah tanda hormat.
Sri Sultan Agung menggerakkan tangan kanan ke atas sebagai tanda bahwa sayembara dapat segera dimulai. Maka bertalu-talu bunyi gong tiga kali, disambut pekik sorak dan tepuk tangan penonton.
Ksatria yang duduk terdepan menyembah kepada Sri Sultan, lalu pergi menuju ke bawah waringin dimana telah menanti besi jangkar pengukur tenaganya. Dengan lagak gagah ksatria muda itu membungkuk, pegang-pegang dan timang-timang gagang jangkar dengan kedua tangannya, lalu kerahkan tenaga mengangkatnya. Besi jangkar yang berat itu terangkat ke atas, diikuti sorak-sorai penonton, tapi ternyata hanya sampai di atas pundak pemuda itu!
Karena tidak kuasa mengangkatnya lebih tinggi, ia lepaskan besi sambil meloncat mundur hingga jangkar itu jatuh berdebuk ke atas tanah! Pemuda pertama telah gagal. Dengan kecewa ia menyembah ke arah Sri Sultan Agung yang memandangnya dengan senyum menghibur dan pemuda itu lalu keluar dari kalangan, kini bercampur dengan orang-orang, menjadi penonton.
Pengikut kedua adalah seorang yang brewok dan bertubuh tinggi besar. Ia membuka bajunya hingga tampak urat-urat seperti tambang membelit tubuhnya yang besar. Kemudian dengan berseru keras ia angkat besi itu dengan kedua tangan, terus diangkat ke atas kepala!
Penonton berteriak-teriak memuji dan si brewok melangkah maju untuk mengelilingi waringin. Tapi baru saja bertindak lima langkah, kedua kakinya gemetar dan terpaksa ia lepaskan besi itu yang jatuh di atas tanah dengan suara keras. Penonton berseru kecewa dan si brewok setelah menyembah raja lalu cepat-cepat pergi menghilang di antara ribuan penonton.
Demikianlah, berganti-ganti mereka menempuh syarat pertama, dan setelah semua calon mencoba tenaga mereka, ternyata bahwa yang lulus dalam syarat pertama ini hanya lima belas orang saja. Penonton menyambut kelima belas pemuda kuat itu dengan tempik-sorak gemuruh; termasuk Jarot yang merasa gembira sekali hingga timbul keinginan hatinya untuk mencoba berat besi yang menggagalkan banyak pemuda gagah itu.
Dengan perlahan ia dorong bahu gadis itu, tapi sungguhpun hanya perlahan saja, cukup membuat Sekarsari merasa terdorong oleh tenaga yang kuat sekali hingga terpaksa ia lari kembali kepada ayahnya. Jarot bertolak pinggang dan memandang lawannya dengan tenang.
"Bahar, kau betul-betul hendak berkelahi? Aku bernama Jarot dan sebelum terlambat, kunasihatkan kau lebih baik pulang saja agar takkan menderita lebih hebat lagi!"
"Sombong, rasakan tajamnya kerisku!"
Bahar membentak keras dan ia meloncat menerjang dengan kerisnya yang besar dan hebat.
Sekarsari menjerit lirih dan menggunakan kedua tangan menutupi matanya, tapi Jarot dengan cekatan dapat dikelit serangan itu mudah sekali. Lebih lima kali Bahar menerjang, tapi selalu dapat dikelit oleh Jarot. Serangan berikutnya dilakukan dengan gerakan nekat. Kerisnya menusuk ke kanan kiri, ke atas bawah, hingga tak dapat diduga sebelumnya hendak menyerang bagian mana. Kalau lawannya bukan Jarot, tentu ia akan gugup dan bingung karenanya.
Tapi dengan masih tenang Jarot gerakkan tangan kanannya mendahului dan menangkap pergelangan tangan Bahar yang memegang keris. Sekali ia kerahkan tenaga, genggaman tangan Bahar terbuka dan kerisnya jatuh ke tanah. Pada saat itu, dengan jari terbuka tangan kiri Jarot melayang dan sebuah tamparan keras sekali tiba di pangkal telinga Bahar!
"Aduh!!"
Bahar menjerit dan merasa semrepet, matanya berkunang-kunang, kepalanya berdenyut¬-denyut dan ketika ia buka matanya segala apa di kelilingnya berputar dan bergelombang, tubuhnya terhuyung-huyung dan ia tak dapat menahan diri lagi ketika tubuhnya terguling dengan lemas!
Inilah tamparan tangan Bayusakti yang hebat dan luar biasa! Jangankan sampai tertampar, baru terkena angin tamparan itu saja, kulit terasa pedas dan sakit. Masih untung bagi Bahar bahwa ia telah mempelajari ilmu kekuatan tubuh, dan Jarot tidak menggunakan seluruh tenaganya, kalau tidak demikian halnya, pasti Bahar akan rebah untuk tak bangun kembali!
Setelah mengeluh kesakitan, Bahar merayap bangun lalu menjumput kerisnya, tapi sebelum ia sempat berdiri, Jarot ulur tangannya memegang bahunya. Bahar merasa seakan-akan bahunya terjepit dua batu karang yang kuat hingga kerisnya terlepas lagi. Ia masih membungkuk dan tubuhnya menggigil menahan sakit karena tulang bahunya seakan-akan terasa remuk.
"Hayo kau minta maaf kepada paman ini dan puterinya." Jarot memerintah sambil mendorong Bahar ke tempat Ki Galur.
Karena tak tertahan sakitnya, Bahar terpaksa berkata gemetar,
"Paman........ Sari..... maafkan aku....."
"Dan berjanjilah bahwa kau tak akan mengganggu mereka lagi."
"Aku.... aku berjanji takkan...... mengganggu mereka."
Jarot melepaskan pegangannya dan dengan terhuyung-huyung Bahar meninggalkan tempat itu.
Ki Galur dan anak gadisnya memandang Jarot dengan kagum dan berterima kasih.
"Raden, terima kasih atas pertolonganmu. Tapi saya harap Raden lekas-lekas pergi dari sini, kalau tidak, saya khawatir Raden akan menemui bencana. Saya yakin Den-mas Bahar tentu akan menuntut balas."
"Biarlah, paman. Biar aku yang akan bertanggung jawab. Apapun yang akan menimpaku, akan kuhadapi sendiri."
"Kau..... kau gagah sekali, Raden. Apakah yang harus kami lakukan sebagai.... pembalas budi?" kata Sekarsari dengan kerling kagum.
Jarot pandang wajah yang ayu jelita itu dengan senyum gembira, lalu ia menjawab,
"Pembalas budi? Aku..... aku tak ingin dibalas..... tapi....." ia teringat akan perutnya yang lapar, "aku..... lapar.....!" wajahnya memerah malu.
Ki Galur tertawa dan mulut yang tak bergigi lagi itu terbuka, lekas-lekas ia tutup mulut dengan tangannya. Sebaliknya Sekarsari tertawa memperlihatkan dua deret gigi yang indah bagaikan mutiara tersusun rapi.
"Lapar? Kau suka akan ketan, Raden?" tanya Sekarsari.
"Ketan......?"
"Ya, ketan putih, dan kelapa, dan juruh.."
"Ketan kelapa dengan juruh?" Mulut Jarot membasah. "Ah, enak sekali."
"Kalau kau suka, mari kita pulang...."
"Pulang.....?"
Ulangan kata-kata ini diucapkan demikian mesra hingga si gadis bermerah durja. Ia telah lupa sama sekali bahwa orang yang diajak pulang adalah seorang pemuda yang sama sekali asing baginya! Maka teringat akan hal ini, ia tertawa perlahan dan mengambil cuciannya terus lari!
"Mari, raden." ajak Ki Galur.
"Tunggu sebentar, paman, aku hendak mandi dulu."
Tanpa malu-malu di depan orang tua itu, Jarot menanggalkan pakaiannya dan terjun ke air. Ia berenang kesana kemari, diikuti pandangan mata Ki Galur yang kagum sekali melihat kebagusan tubuh yang bersih halus dan membayangkan tenaga hebat itu.
Kemudian, bersama-sama mereka menuju ke sebuah rumah bilik dekat sungai. Sebuah sampan terikat di pinggir bengawan dan selembar jala ikan terjemur di depan rumah.
Sekarsari telah bersalin baju dan wajahnya berseri ketika ia mengeluarkan hidangan ketan dengan kelapa dan juruh yang terbuat dari gula kelapa. Sambil makan ketan Jarot tuturkan dengan singkat kepada Ki Galur bahwa ia adalah seorang perantau yang menjalankan darma brata dan mencari pengalaman di kota praja. Ia memberi tahu bahwa tempat tinggalnya adalah jauh di timur.
Dari kakek ini ia mendengar bahwa Ki Galur hanya hidup berdua dengan anaknya, Sekarsari, dan bahwa sumber hasilnya ialah mencari ikan di sepanjang bengawan dan hidup sebagai nelayan.
Tiba-tiba terdengar bunyi gong dipukul nyaring berkali¬-kali. Ki Galur meloncat bangun.
“Aduh, hampir aku lupa. Hari ini di alun-alun ada sayembara perang tanding, ramai sekali! Hayo, Raden, kita nonton yuda lumba! Lihat betapa satria-satria dan pahlawan-pahlawan gagah perkasa berlaga di alun-alun!"
Dan Jarotpun teringat akan pesan Empu Madrim, maka iapun menjawab,
"Baik, paman."
"Ayah, aku ikut!" tiba-tiba Sekarsari berkata.
"Huss! Tidak boleh. Masak seorang gadis ikut nonton sayembara perang!"
Sekarsari cemberut, tapi ia tak berani membantah ayahnya.
"Sayang aku tidak dilahirkan sebagai laki-laki." Terdengar gerutunya yang membuat Ki Galur dan Jarot tersenyum geli.
Alun-alun yang lebar terpajang indah. Janur kuning dan kembang dipasang orang di pintu gerbang. Tanah telah disiram air hingga tidak ada debu dan tanah yang basah menghitam itu menimbulkan hawa sejuk menyenangkan. Orang-orang telah berkumpul mengelilingi tempat yang khusus disediakan untuk mengadu kegagahan, yakni di tengah-tengah.
Penjaga-¬penjaga dengan tombak panjang menjaga di sekeliling tempat itu dan bambu-bambu panjang dipasang melintang sebagai pencegah penonton mendesak ke depan. Sebuah setinggil yang dihias indah didirikan orang dekat tempat perlombaan dan sebuah kursi terbuat dari kayu cendana yang harum dan terukir halus berdiri disitu. Ini adalah tempat yang disediakan untuk Sri Sultan.
Tak lama kemudian. Sri Sultan keluar dari keraton menuju ke alun-alun dengan diiring para hulubalang. Lagu Kebogiro dimainkan oleh para yogo untuk menyambut rajanya.
Para penonton jongkok menyembah di kala Sri Sultan lewat dengan tindakan agung. Tiada suara orang berbisik ketika Sri Sultan menuju ke setinggil, kecuali suara gamelan yang riang gembira itu. Setelah Sri Sultan duduk di atas kursi cendana, maka ramailah kembali suara para penonton.
Di sudut alun-alun berkumpul para muda dan satria yang berpakaian indah. Mereka inilah yang hendak memasuki sayembara. Kurang lebih ada tiga puluh orang yang hendak ikut dan mereka semua tampak gagah dan kuat.
Menurut acara, pertandingan itu diadakan dalam lima babak. Pertama : tiap pengikut sayembara harus dapat mengangkat sebuah besi yang terdapat di bawah pohon waringin di alun-alun itu. Besi itu adalah sebuah jangkar kapal yang besar dan berat, hingga untuk membawanya ke tempat itu dibutuhkan tenaga empat orang laki-laki kuat yang menggotongnya!
Besi jangkar itu harus diangkat di atas kepala dan dibawa berjalan mengelilingi pohon waringin yang besar itu. Inilah syarat pertama bagi yang hendak mengikuti sayembara. Siapa yang tidak dapat memenuhi syarat pertama ini berarti gagal dan harus mengundurkan diri.
Syarat kedua tidak kalah sukarnya, yakni : para pengikut sayembara, sesudah dapat memenuhi syarat pertama, harus dapat menaiki kuda liar Nagapertala dan bertahan duduk di punggung kuda itu sampai lagu Kebogiro selesai dimainkan oleh para pemain gamelan yang sudah siap. Syarat ini bukannya mudah, karena kalau untuk menempuh syarat pertama orang hanya membutuhkan tenaga besar, syarat kedua ini membutuhkan kekuatan, kesigapan, keuletan, dan kepandaian menunggang kuda.
Sedangkan kuda liar yang diberi nama Nagapertala ini sudah terkenal sebagai kuda iblis berbulu hitam yang ganas dan liar hingga belum pernah ada pahlawan yang sanggup bertahan lama duduk di atasnya, kecuali Senapati Ki Ageng Baurekso dan beberapa senapati lain yang terkenal akan kesaktian mereka. Babak sayembara selanjutnya ialah berlomba memanah, bermain tombak, dan bermain keris dan tameng.
Orang-orang yang datang menonton telah mengelilingi pohon waringin sejauh sepuluh tombak lebih. Mereka berjongkok untuk menyatakan hormat mereka kepada SriSultan Agung. Wajah semua orang tampak gembira.
Tiba-tiba gong berbunyi dan kurang lebih tiga puluh orang muda yang gagah-gagah itu memasuki kalangan, lalu berjalan jongkok dan duduk bersila dalam tiga jajar di depan Sri Sultan Agung, setelah menyembah tanda hormat.
Sri Sultan Agung menggerakkan tangan kanan ke atas sebagai tanda bahwa sayembara dapat segera dimulai. Maka bertalu-talu bunyi gong tiga kali, disambut pekik sorak dan tepuk tangan penonton.
Ksatria yang duduk terdepan menyembah kepada Sri Sultan, lalu pergi menuju ke bawah waringin dimana telah menanti besi jangkar pengukur tenaganya. Dengan lagak gagah ksatria muda itu membungkuk, pegang-pegang dan timang-timang gagang jangkar dengan kedua tangannya, lalu kerahkan tenaga mengangkatnya. Besi jangkar yang berat itu terangkat ke atas, diikuti sorak-sorai penonton, tapi ternyata hanya sampai di atas pundak pemuda itu!
Karena tidak kuasa mengangkatnya lebih tinggi, ia lepaskan besi sambil meloncat mundur hingga jangkar itu jatuh berdebuk ke atas tanah! Pemuda pertama telah gagal. Dengan kecewa ia menyembah ke arah Sri Sultan Agung yang memandangnya dengan senyum menghibur dan pemuda itu lalu keluar dari kalangan, kini bercampur dengan orang-orang, menjadi penonton.
Pengikut kedua adalah seorang yang brewok dan bertubuh tinggi besar. Ia membuka bajunya hingga tampak urat-urat seperti tambang membelit tubuhnya yang besar. Kemudian dengan berseru keras ia angkat besi itu dengan kedua tangan, terus diangkat ke atas kepala!
Penonton berteriak-teriak memuji dan si brewok melangkah maju untuk mengelilingi waringin. Tapi baru saja bertindak lima langkah, kedua kakinya gemetar dan terpaksa ia lepaskan besi itu yang jatuh di atas tanah dengan suara keras. Penonton berseru kecewa dan si brewok setelah menyembah raja lalu cepat-cepat pergi menghilang di antara ribuan penonton.
Demikianlah, berganti-ganti mereka menempuh syarat pertama, dan setelah semua calon mencoba tenaga mereka, ternyata bahwa yang lulus dalam syarat pertama ini hanya lima belas orang saja. Penonton menyambut kelima belas pemuda kuat itu dengan tempik-sorak gemuruh; termasuk Jarot yang merasa gembira sekali hingga timbul keinginan hatinya untuk mencoba berat besi yang menggagalkan banyak pemuda gagah itu.
No comments:
Post a Comment