Ketika mereka berdua memasuki kampung Ki Galur, dari jauh mereka mendengar suara orang menumbuk padi. Sudah menjadi kebiasaan para wanita disitu, apabila mereka sedang menumbuk padi, mereka menumbuk dengan berirama hingga suara alu yang memukul lesung terdengar bagaikan iringan gamelan yang berirama riang gembira.
Diantara semua penduduk kampung, Sekarsari dan kawan-kawannya terkenal ahli dan pandai sekali menciptakan irama-irama gembira yang mengiring nyanyian mereka.
Pada saat Jarot dan Amangkurat tiba di depan rumah Ki Galur yang menyambut pangeran itu dengan sembah sujud penuh hormat, terdengar penyanyi tunggal yang diiringi irama Kodok Ngorek.
Jarot segera kenal suara itu, dan Amangkurat memandang Jarot dengan penuh pertanyaan, karena pangeran itupun merasa kagum sekali mendengar suara yang merdu dan sedap itu.
"Bagus benar irama mereka, hayo kita nonton," ajak Amangkurat kepada Jarot.
Jarot merasa ragu-ragu tapi tak berani membantah, maka mereka lalu pergi ke belakang rumah dimana Sekarsari dan empat orang kawannya sedang menumbuk padi yang baru saja dikeluarkan dari lumbung.
Melihat kedatangan Jarot, kelima gadis itu tertawa-¬tawa karena mereka sudah mengenalnya, tapi ketika melihat seorang pemuda asing yang berwajah tampan dan berpakaian indah, mereka merasa heran lalu menunda pekerjaan mereka, siap untuk lari. Tapi tiba-tiba Sekarsari berbisik,
"Ah, dia adalah Gusti Pangeran Pati!" Tergopoh-gopoh kelima orang gadis itu berjongkok dan menyembah.
Amangkurat mengangkat tangannya dengan tersenyum ramah.
"Jangan merasa terganggu, lanjutkanlah permainan kalian. Siapakah yang bernyanyi tadi?"
"Hamba, gusti," jawab Sekarsarl tanpa berani mengangkat muka.
Amangkurat merasa betapa jantungnya berdenyut ketika ia melihat wajah gadis jelita itu. Matanya bersinar-¬sinar dan bibirnya tersenyum, hatinya tertarik sekali.
"Kau? Siapakah namamu dan kau anak siapa?"
Terkejut hati Sekarsari mendengar suara yang manis dibuat-buat ini. Hatinya tercekat karena ia teringat akan suara Bahar yang selalu berkata manis kepadanya. la merasa tak senang dan ketakutan, maka hatinya berdebar-debar dan ia menjadi gagap ketika menjawab,
"Hamba... hamba..." Ia lalu diam dan tundukkan kepala!
Terdengar suara ketawa di belakang Sekarsari. Amangkurat layangkan pandangannya ke arah gadis yang tertawa itu dan melihat seorang gadis hitam manis yang tak kalah menariknya. Gadis itu adalah sahabat baik Sekarsari dan bernama Sulastri, anak Mbok Rondo Gendingan, seorang janda yang keadaannya cukup karena mempunyai sawah beberapa bau.
"Eh, kau, hitam manis. Coba katakan siapa nama dewi ini dan siapa namamu sendiri," Amangkurat bertanya genit.
Sulastri memang berwatak gembira dan pemberani. Ia tersenyum dengan manis dan berkata dengan lagak kenes,
"Dia ini bernama Sekarsari dan terkenal sebagai sekar kampung ini, gusti pangeran. Sedangkan hamba, nama hamba Sulastri. Sari adalah puteri tunggal Ki Galur, sedangkan hamba adalah puteri tunggal Mbok Rondo Gendingan, jadi sebenarnya dia dan hamba ada persamaan."
Amangkurat merasa gembira mendengar dan melihat gadis yang jenaka itu.
"Apa persamaannya?" tanyanya.
"Persamaannya ialah bahwa Sari puteri seorang duda sedangkan hamba puteri seorang janda!"
Amangkurat tertawa dan Jarotpun ikut tersenyum walaupun hatinya tetap merasa tak sedap melihat lagak pangeran mata keranjang ini.
"Sekarsari, cobalah kau bernyanyi lagi,” Amangkurat berkata.
"Hamba tak dapat bernyanyi, gusti,” Sekarsari menjawab.
"Bukankah tadi kau yang bernyanyi? Hayo, nyanyikanlah sebuah lagu saja untuk kudengar, yang lain mengiringi dengan klotekan." Suara Amangkurat mengandung perintah.
Sekarsari mengerling ke arah Jarot dan pemuda itu mengangguk sebagai tanda bahwa gadis itu lebih baik menurut saja. Maka segera terdengar suara klotekan yang riang dan Sekarsari sambil duduk menyanyikan sebuah lagu dengan muka tunduk.
Amangkurat mendengarkan sambil duduk diatas sebuah bangku kayu, sedangkan Jarot berdiri di sebelahnya dan Ki Galur duduk bersila diatas tanah di belakang pangeran itu.
Sambil bernyanyi, beberapa kali Sekarsari melirik ke arah Pangeran Amangkurat dan ia makin bingung dan takut melihat betapa pangeran itu memandangnya dengan kagum dan mesra. Maka, setelah lagu yang dinyanyikan selesai, ia cepat menyembah, berdiri dan lari meninggalkan tempat itu! Jarot melihat betapa Sekarsari berlari sambil menangis, segera lari mengejar sambil memanggil-manggil namanya.
Amangkurat tak senang melihat hal ini, lalu katanya kepada Ki Galur,
"Hei pak Galur, anakmukah Sekarsari itu?"
Ki Galur menyembah hormat.
"Betul, gusti. Sekarsari adalah anak hamba."
"Berapa usianya sekarang?"
"Usianya enam belas tahun, gusti pangeran."
Amangkurat mengangguk-angguk sambil menanti orang tua itu membuka mulut menawarkan anak perempuannya seperti yang sering dilakukan oleh banyak orang-orang tua yang menginginkan puterinya jadi selir pangeran. Tapi Ki Galur tak bergerak dan diam saja.
"Adakah ia sudah dijodohkan dengan orang lain, pak?"
"Belum, gusti."
"Tapi kulihat hubungannya dengan Jarot baik sekali."
"Benar, gusti. Agaknya mereka saling mengasihi."
"Apa?" Amangkurat memandang marah, tapi segera ia menahan gelora hatinya.
Sementara itu, Jarot yang tahu kemana Sekarsari pergi, telah dapat menyusul gadis itu dan mereka berdua duduk di tepi bengawan. Sekarsari masih terisak dan Jarot menghiburnya.
"Mas Jarot, aku takut kepadanya."
"Mengapa mesti takut, Sari?"
"Matanya, mas..... ia mengingatkan daku akan Den-mas Bahar yang kurang ajar itu."
"Jangan pikir yang bukan-bukan, Sari. Bukankah aku berada disini dan aku selalu akan membelamu."
Sekarsari memandang wajah pemuda itu dengan penuh pernyataan terima kasih.
"Mas, bagaimana kalau aku.... aku diboyong ke keraton untuk dipaksa menjadi selirnya? Banyak orang bilang bahwa Pangeran Amangkurat suka memaksa gadis menjadi selirnya."
Hati Jarot terkejut, karena sebelum mendengar ucapan ini ia sama sekali tidak mempunyai sangkaan demikian. Kini ia merasa curiga dan khawatir juga namun dengan tenang ia berkata,
"Jangan khawatir. Aku kenal baik padanya dan aku akan mencegahnya."
"Kau berani, mas? Berani kepada Pangeran Amangkurat?"
"Kalau terpaksa, mengapa tidak berani? Jangankan Pangeran Amangkurat, biarpun siapa juga jika berani mengganggu kau, tentu akan kulawan dan kuhajar!"
Mereka saling pandang dan warna merah menjalar di wajah Sekarsari yang tundukkan pelupuk mata dan tersenyum malu.
"Ah, kau..... kau baik sekali, mas Jarot."
Jarot sentuh tangan Sekarsari dengan mesra dan tiba-¬tiba berkata,
"Hayo kita kembali, Sari. Mungkin pangeran telah menanti-nanti aku. Jangan takut, ia bukan harimau yang makan orang, Sari." Gadis itu tersenyum dan lenyaplah rasa takutnya.
Wajah Amangkurat menjadi masam melihat betapa Jarot datang berdua dengan gadis jelita itu. Tanpa banyak kata ia memberi tanda kepada Jarot untuk naik kuda dan mengantar ia pulang ke keraton seperti biasa.
Sambil jalankan kuda perlahan Amangkurat bertanya kepada Jarot yang jalankan kudanya di sebelahnya,
"Apamukah Sekarsari tadi, Jarot?"
Jarot mengangkat pundak perlahan.
"Dia anak paman Galur dan hamba mondok di rumah mereka. Kami hanya sahabat, gusti."
"Dia cantik benar, ya?" kata Amangkurat lagi.
Jarot hanya mengangguk.
"Dan suaranya merdu pula, bukan?"
Sekali lagi Jarot mengangguk, kini wajahnya agak merah.
"Sayang gadis secantik itu tinggal di gubuk."
"Habis, memang rumah ayahnya gubuk, gusti!"
"Kan bisa dipindahkan?" kata Amangkurat sambil mencambuk kudanya yang lalu jalan congklang dan Jarotpun menyusul.
"Dipindahkan? Kemana; gusti?"
"Misalnya..... ke istanaku, yakni kalau tidak ada orang yang akan menghalangi."
Kata-kata ini dibarengi kerlingan tajam menyambar wajah Jarot yang tiba-tiba membungkuk dan mencambuk Nagapertala hingga kuda itu lari cepat dan Pangeran Amangkuratpun cepat mengejar. Mereka berendeng lagi.
"Hamba rasa..... hal itu tergantung...." kata Jarot.
"Tergantung apa, Jarot?"
"Tergantung keadaan."
"Apa maksudmu?"
“Orang bukan benda mati, gusti, ia mempunyai akal budi dan pertimbangan. Maka, untuk dipindahkan harus ada persetujuan yang bersangkutan. Kalau yang akan dipindahkan mau, siapakah pula yang berani menghalangi kehendak paduka?"
Amangkurat mengangguk-angguk.
"Kalau.... kalau misalnya ia tidak mau?"
“Tidak baik untuk memaksakan sesuatu yang tidak disetujui kepada seseorang, gusti, biarpun orang itu hanya orang kecil dan perempuan pula. Lebih-lebih tidak baik kalau yang dipaksa itu seorang yang dekat dengan hamba."
Bukan main marah hati Amangkurat mendengar sindiran ini, tapi ia cukup cerdik untuk menutupi napsu marah, terutama kepada seorang muda gagah perkasa seperti Jarot ini. Maka ia hanya tersenyum dan berkata perlahan, namun cukup tajam dan mengiris perasaan Jarot.
"Hm, sama-sama kita lihat saja nanti."
Pangeran Amangkurat segera balapkan kudanya dan masuk ke gapura keraton tanpa menoleh kepada Jarot lagi, dan pemuda inipun lalu putar kudanya dan membalap menuju ke rumah Ki Galur.
Diantara semua penduduk kampung, Sekarsari dan kawan-kawannya terkenal ahli dan pandai sekali menciptakan irama-irama gembira yang mengiring nyanyian mereka.
Pada saat Jarot dan Amangkurat tiba di depan rumah Ki Galur yang menyambut pangeran itu dengan sembah sujud penuh hormat, terdengar penyanyi tunggal yang diiringi irama Kodok Ngorek.
Jarot segera kenal suara itu, dan Amangkurat memandang Jarot dengan penuh pertanyaan, karena pangeran itupun merasa kagum sekali mendengar suara yang merdu dan sedap itu.
"Bagus benar irama mereka, hayo kita nonton," ajak Amangkurat kepada Jarot.
Jarot merasa ragu-ragu tapi tak berani membantah, maka mereka lalu pergi ke belakang rumah dimana Sekarsari dan empat orang kawannya sedang menumbuk padi yang baru saja dikeluarkan dari lumbung.
Melihat kedatangan Jarot, kelima gadis itu tertawa-¬tawa karena mereka sudah mengenalnya, tapi ketika melihat seorang pemuda asing yang berwajah tampan dan berpakaian indah, mereka merasa heran lalu menunda pekerjaan mereka, siap untuk lari. Tapi tiba-tiba Sekarsari berbisik,
"Ah, dia adalah Gusti Pangeran Pati!" Tergopoh-gopoh kelima orang gadis itu berjongkok dan menyembah.
Amangkurat mengangkat tangannya dengan tersenyum ramah.
"Jangan merasa terganggu, lanjutkanlah permainan kalian. Siapakah yang bernyanyi tadi?"
"Hamba, gusti," jawab Sekarsarl tanpa berani mengangkat muka.
Amangkurat merasa betapa jantungnya berdenyut ketika ia melihat wajah gadis jelita itu. Matanya bersinar-¬sinar dan bibirnya tersenyum, hatinya tertarik sekali.
"Kau? Siapakah namamu dan kau anak siapa?"
Terkejut hati Sekarsari mendengar suara yang manis dibuat-buat ini. Hatinya tercekat karena ia teringat akan suara Bahar yang selalu berkata manis kepadanya. la merasa tak senang dan ketakutan, maka hatinya berdebar-debar dan ia menjadi gagap ketika menjawab,
"Hamba... hamba..." Ia lalu diam dan tundukkan kepala!
Terdengar suara ketawa di belakang Sekarsari. Amangkurat layangkan pandangannya ke arah gadis yang tertawa itu dan melihat seorang gadis hitam manis yang tak kalah menariknya. Gadis itu adalah sahabat baik Sekarsari dan bernama Sulastri, anak Mbok Rondo Gendingan, seorang janda yang keadaannya cukup karena mempunyai sawah beberapa bau.
"Eh, kau, hitam manis. Coba katakan siapa nama dewi ini dan siapa namamu sendiri," Amangkurat bertanya genit.
Sulastri memang berwatak gembira dan pemberani. Ia tersenyum dengan manis dan berkata dengan lagak kenes,
"Dia ini bernama Sekarsari dan terkenal sebagai sekar kampung ini, gusti pangeran. Sedangkan hamba, nama hamba Sulastri. Sari adalah puteri tunggal Ki Galur, sedangkan hamba adalah puteri tunggal Mbok Rondo Gendingan, jadi sebenarnya dia dan hamba ada persamaan."
Amangkurat merasa gembira mendengar dan melihat gadis yang jenaka itu.
"Apa persamaannya?" tanyanya.
"Persamaannya ialah bahwa Sari puteri seorang duda sedangkan hamba puteri seorang janda!"
Amangkurat tertawa dan Jarotpun ikut tersenyum walaupun hatinya tetap merasa tak sedap melihat lagak pangeran mata keranjang ini.
"Sekarsari, cobalah kau bernyanyi lagi,” Amangkurat berkata.
"Hamba tak dapat bernyanyi, gusti,” Sekarsari menjawab.
"Bukankah tadi kau yang bernyanyi? Hayo, nyanyikanlah sebuah lagu saja untuk kudengar, yang lain mengiringi dengan klotekan." Suara Amangkurat mengandung perintah.
Sekarsari mengerling ke arah Jarot dan pemuda itu mengangguk sebagai tanda bahwa gadis itu lebih baik menurut saja. Maka segera terdengar suara klotekan yang riang dan Sekarsari sambil duduk menyanyikan sebuah lagu dengan muka tunduk.
Amangkurat mendengarkan sambil duduk diatas sebuah bangku kayu, sedangkan Jarot berdiri di sebelahnya dan Ki Galur duduk bersila diatas tanah di belakang pangeran itu.
Sambil bernyanyi, beberapa kali Sekarsari melirik ke arah Pangeran Amangkurat dan ia makin bingung dan takut melihat betapa pangeran itu memandangnya dengan kagum dan mesra. Maka, setelah lagu yang dinyanyikan selesai, ia cepat menyembah, berdiri dan lari meninggalkan tempat itu! Jarot melihat betapa Sekarsari berlari sambil menangis, segera lari mengejar sambil memanggil-manggil namanya.
Amangkurat tak senang melihat hal ini, lalu katanya kepada Ki Galur,
"Hei pak Galur, anakmukah Sekarsari itu?"
Ki Galur menyembah hormat.
"Betul, gusti. Sekarsari adalah anak hamba."
"Berapa usianya sekarang?"
"Usianya enam belas tahun, gusti pangeran."
Amangkurat mengangguk-angguk sambil menanti orang tua itu membuka mulut menawarkan anak perempuannya seperti yang sering dilakukan oleh banyak orang-orang tua yang menginginkan puterinya jadi selir pangeran. Tapi Ki Galur tak bergerak dan diam saja.
"Adakah ia sudah dijodohkan dengan orang lain, pak?"
"Belum, gusti."
"Tapi kulihat hubungannya dengan Jarot baik sekali."
"Benar, gusti. Agaknya mereka saling mengasihi."
"Apa?" Amangkurat memandang marah, tapi segera ia menahan gelora hatinya.
Sementara itu, Jarot yang tahu kemana Sekarsari pergi, telah dapat menyusul gadis itu dan mereka berdua duduk di tepi bengawan. Sekarsari masih terisak dan Jarot menghiburnya.
"Mas Jarot, aku takut kepadanya."
"Mengapa mesti takut, Sari?"
"Matanya, mas..... ia mengingatkan daku akan Den-mas Bahar yang kurang ajar itu."
"Jangan pikir yang bukan-bukan, Sari. Bukankah aku berada disini dan aku selalu akan membelamu."
Sekarsari memandang wajah pemuda itu dengan penuh pernyataan terima kasih.
"Mas, bagaimana kalau aku.... aku diboyong ke keraton untuk dipaksa menjadi selirnya? Banyak orang bilang bahwa Pangeran Amangkurat suka memaksa gadis menjadi selirnya."
Hati Jarot terkejut, karena sebelum mendengar ucapan ini ia sama sekali tidak mempunyai sangkaan demikian. Kini ia merasa curiga dan khawatir juga namun dengan tenang ia berkata,
"Jangan khawatir. Aku kenal baik padanya dan aku akan mencegahnya."
"Kau berani, mas? Berani kepada Pangeran Amangkurat?"
"Kalau terpaksa, mengapa tidak berani? Jangankan Pangeran Amangkurat, biarpun siapa juga jika berani mengganggu kau, tentu akan kulawan dan kuhajar!"
Mereka saling pandang dan warna merah menjalar di wajah Sekarsari yang tundukkan pelupuk mata dan tersenyum malu.
"Ah, kau..... kau baik sekali, mas Jarot."
Jarot sentuh tangan Sekarsari dengan mesra dan tiba-¬tiba berkata,
"Hayo kita kembali, Sari. Mungkin pangeran telah menanti-nanti aku. Jangan takut, ia bukan harimau yang makan orang, Sari." Gadis itu tersenyum dan lenyaplah rasa takutnya.
Wajah Amangkurat menjadi masam melihat betapa Jarot datang berdua dengan gadis jelita itu. Tanpa banyak kata ia memberi tanda kepada Jarot untuk naik kuda dan mengantar ia pulang ke keraton seperti biasa.
Sambil jalankan kuda perlahan Amangkurat bertanya kepada Jarot yang jalankan kudanya di sebelahnya,
"Apamukah Sekarsari tadi, Jarot?"
Jarot mengangkat pundak perlahan.
"Dia anak paman Galur dan hamba mondok di rumah mereka. Kami hanya sahabat, gusti."
"Dia cantik benar, ya?" kata Amangkurat lagi.
Jarot hanya mengangguk.
"Dan suaranya merdu pula, bukan?"
Sekali lagi Jarot mengangguk, kini wajahnya agak merah.
"Sayang gadis secantik itu tinggal di gubuk."
"Habis, memang rumah ayahnya gubuk, gusti!"
"Kan bisa dipindahkan?" kata Amangkurat sambil mencambuk kudanya yang lalu jalan congklang dan Jarotpun menyusul.
"Dipindahkan? Kemana; gusti?"
"Misalnya..... ke istanaku, yakni kalau tidak ada orang yang akan menghalangi."
Kata-kata ini dibarengi kerlingan tajam menyambar wajah Jarot yang tiba-tiba membungkuk dan mencambuk Nagapertala hingga kuda itu lari cepat dan Pangeran Amangkuratpun cepat mengejar. Mereka berendeng lagi.
"Hamba rasa..... hal itu tergantung...." kata Jarot.
"Tergantung apa, Jarot?"
"Tergantung keadaan."
"Apa maksudmu?"
“Orang bukan benda mati, gusti, ia mempunyai akal budi dan pertimbangan. Maka, untuk dipindahkan harus ada persetujuan yang bersangkutan. Kalau yang akan dipindahkan mau, siapakah pula yang berani menghalangi kehendak paduka?"
Amangkurat mengangguk-angguk.
"Kalau.... kalau misalnya ia tidak mau?"
“Tidak baik untuk memaksakan sesuatu yang tidak disetujui kepada seseorang, gusti, biarpun orang itu hanya orang kecil dan perempuan pula. Lebih-lebih tidak baik kalau yang dipaksa itu seorang yang dekat dengan hamba."
Bukan main marah hati Amangkurat mendengar sindiran ini, tapi ia cukup cerdik untuk menutupi napsu marah, terutama kepada seorang muda gagah perkasa seperti Jarot ini. Maka ia hanya tersenyum dan berkata perlahan, namun cukup tajam dan mengiris perasaan Jarot.
"Hm, sama-sama kita lihat saja nanti."
Pangeran Amangkurat segera balapkan kudanya dan masuk ke gapura keraton tanpa menoleh kepada Jarot lagi, dan pemuda inipun lalu putar kudanya dan membalap menuju ke rumah Ki Galur.
**** 08 ****
No comments:
Post a Comment