Banyak Angga bergidik memikirkannya. Bisa saja dia hendak dibunuh oleh Pangeran Yudakara. Dan kalau benar jalan pikirannya ini, maka bulu kuduknya semakin bergidik juga sebab dia harus lebih jauh lagi meraba-raba kemungkinannya. Kemungkinan paling buruk, Pragola pun ikut terlibat. Paling tidak, anak muda itu tahu bahwa dirinya jadi sasaran pembunuhan Pangeran Yudakara, bekas majikan pemuda itu. Bekas majikan? Ow, barangkali selama ini yang jadi majikan Pragola buka keluarga Yogascitra, melainkan Pangeran Yudakara. Ya, Pragola pasti sengaja diselundupkan oleh pangeran itu untuk memata-matai dan juga membantu melenyapkannya.
Banyak Angga bergidik menduganya. Betapa tak menduga begitu. Kendati Pragola tidak berani langsung membunuhnya tapi paling tidak pemuda itu mencoba membiarkan orang lain membunuhnya. Banyak Angga teringat pada pertempuran terakhir di hutan jati di tengah perjalanan antara karatuan Sumedanglarang dan Karatuan Talaga.
Waktu itu rombongannya dikepung pasukan misterius. Banyak Angga sudah payah dikepung banyak orang. Karena melihat kedudukan Pragola agak longgar, Banyak Angga memohon bantuan. Namun pemuda itu seperti mengulur-ngukur waktu untuk membantunya kalau pun tak disebut sebagai membiarkannya. Sambil sempoyongan karena kepala pusing banyak mengeluarkan darah, Banyak Angga ketika itu sempat mengetahui, betapa Pragola memilih diam tak bergerak manakala beberapa golok musuh hendak mencehcarnya. Padahal kalau mau, waktu itu Pragola masih sempat mengulurkan bantuan.
Karena Pragola masih tetap diam, akhirnya Banyak Angga memejamkan mata dan pasrah akan nasibnya manakala belasan golok hendak mencecarnya. Banyak Angga sudah tak tahu apa-apa lagi karena pingsan, untuk selanjutnya kembali sadar sesudah berada di Puncak Cakrabuana.
Banyak Angga duduk di atas batang pohon yang tumbang di tengah hutan. Banyak pikiran menggayutinya. Dia pun ingat kepada teman-temannya yang lain. Di manakah Paman Angsajaya kini berada? Di mana pula Paman Manggala? Pertemuan terakhir kali adalah di tengah kepungan pasukan misterius itu. Semuanya terkepung dan semuanya kepayahan. Sesudah itu, semuanya tak diketahui.
Ketika Banyak Angga sudah selamat berada di puncak, dia pun teringat mereka dan ingin sekali bertanya perihal teman-temannya yang lain. Tapi kelihatannya, baik Ki Darma mau pun Ki Jayaratu tidak mengetahuinya. Buktinya, mereka tak pernah menyebut-nyebut pertempuran di hutan jati secara rinci. Barangkali Ginggi yang menolongnya, tak mengabarkan kejadian pertempuran secara lengkap karena terlalu tergesa-gesa untuk segera pergi ke Pakuan. Atau bisa juga sebetulnya kedua orang tua itu sudah dilapori Ginggi perihal pertempuran di sana, hanya saja mereka tak mau mengabarkannya kepada Banyak Angga.
Maka Banyak Angga pun kembali melanjutkan perjalanannya. Perlu dua hari untuk sampai ke wilayah Karatuan Sumedanglarang itu. Itu terjadi karena Banyak Angga harus melakukan perjalanan dengan hati-hati. Dia tahu, Sumedanglarang sudah merupakan negri yang memihak Cirebon. Dan barangkali mereka tak menyukai melihat orang Pakuan keluyuran di wilayahnya. Itulah sebabnya, perjalanan berjalan lambat.
Namun ketika tiba di hutan jati bekas pertempuran, Banyak Angga hanya menemukan kesunyian. Di sana tak ada kehidupan apa pun kecuali gundukan-gundukan tanah. Banyak Angga menduga, gundukan tanah itu tentu kuburan. Pemuda ini percaya kalau seusai pertempuran banyak orang menjadi korban. Namun, kuburan siapakah itu, jumlahnya cukup banyak. Hanya saja, dari sekian gundukan tanah, ada dua kuburan terpisah.
Banyak Angga berpikir sejenak. Dia mencoba menduga-duga jalan pikiran penguburnya. Mungkin dia tahu, yang tewas ada dua belah pihak, makanya mayat mereka dikuburkan secara terpisah. Beberapa buah di sebelah sana dan hanya dua buah di tempat lainnya.
Banyak Angga terkejut mengikuti jalan pikirannya ini. Kalau dua kuburan terpisah itu ternyata anak buahnya, siapa lagi kalau bukan Paman Angsajaya dan Paman Manggala? Ya, bukankah dia tahu Pragola selamat? Siapa lagi yang tak bisa tiba ke Puncak Cakrabuana kalau bukan Paman Angsajaya dan Paman Manggala?
Banyak angga terduduk lesu. Ada burung gagak beterbangan di angkasa, seolah-olah memberi tahu bahwa kuburan yang dia renungi adalah benar kuburan dua anak buahnya. Satu kuburan Paman Angsajaya dan satunya lagi kuburan Paman Manggala. Sungguh bingung memikirkannya. Kalau mau bercuriga, sebenarnya Paman Manggala tak perlu mati. Bukankah dia tadinya anak buah Pangeran Yudakara juga? Kalau benar begitu, Paman Manggala pun berkomplot sama dengan Pragola.
Namun herannya, Paman Manggala pun ketika itu dikepung ramai-ramai dengan darah bersimbah di sana-sini. Banyak Angga pun mengeryitkan dahi, kendati waktu itu Pragola terbebas dari luka-luka, namun Banyak Angga melihat bahwa serangan musuh terhadap pemuda itu sungguh-sungguh dan berniat hendak mengambil nyawanya. Hanya karena Pragola lebih kosen saja maka tak ada musuh yang sanggup melukainya.
Banyak Angga semakin bingung memikirkan hal ini. Siapakah pasukan penyerang di hutan jati itu? Mereka memang memperlihatkan ciri sebagai perampok, begitu menghadang minta harta. Namun mengaku perampok dan minta harta, belum tentu perampok beneran. Bisa saja mereka utusan tertentu untuk melakukan pembunuhan. Utusan siapa mereka, inilah yang membingungkan sebab semuanya serba gelap.
Namun, terbukti atau tidak mereka bertindak sebagai utusan, yang jelas di Pakuan kini bersarang tokoh yang membahayakan. Betapa tidak, Pangeran Yudakara begitu dipercaya oleh Sang Prabu Nilakendra. Dia adalah kerabat dekat Sumba Sembawa, tokoh pemberontak dari Sagaraherang di masa pemerintahan Sang Prabu Ratu Sakti. Barangkali agar hubungan dengan wilayah Sagaraherang membaik kembali, maka tampuk pemerintahan di kandagalante itu diserahkan kepada Pangeran Yudakara.
Banyak alasan mengapa Sang Prabu Nilakendra menyerahkan Sagaraherang kepada pangeran itu. Sang Prabu selalu ingin mengurangi permusuhan dengan berbagai pihak. Sang Prabu rupanya ingin menghapus jejak ayahandanya yang gemar menanam permusuhan. Maka Pangeran Yudakara yang diketahui pernah berkiblat ke negri Carbon dan bahkan kerabat dekat Kandagalante Sunda Sembawa yang memberontak, tokh diberinya kepercayaan untuk menguasai Sagaraherang.
Sang Prabu barangkali bermaksud menghilangkan rasa dendam atas kematian kerabatnya, yaitu Sunda Sembawa. Maka dianugrahilah Pangeran Yudakara dengan jabatan tinggi. Banyak Angga bahkan menerima khabar bahwa wilayah Sagaraherang akan semakin diperluas ke arah timur yang berbatasan dengan wilayah Carbon dan Pangeran Yudakara akan dinaikkan pangkatnya tidak sekadar sebagai kandagalante (setingkat wedana kini) namun akan menjadi mangkubumi yang menguasai wilayah tanah setingkat gubernur untuk ukuran sekarang.
Selama berada di Pakuan, Pangeran Yudakara memang tidak menampakkan gerakan yang mencurigakan. Bahkan dia banyak berpikir perihal kemajuan Pakuan. Sebagai contoh, Pangeran Yudakaralah yang mengirim Pragola ke Pakuan untuk memberikan laporan mengenai adanya belasan pasukan balamati yang katanya terkepung di Puncak Cakrabuana itu.
Tentu saja, Banyak Angga sebelumnya terkecoh kalau saja tidak mendapat khabar dari Puncak Cakrabuana. Ki Jayaratu malah mengabarkan bahwa Pangeran Yudakara sebetulnya tak lebih dari sekadar petualang politik saja. Ki Jayaratu mengabarkan, betapa semasa berada di Carbon, Pangeran Yudakara selalu mempengaruhi para pimpinan di sana agar menghancurkan Pajajaran dengan alasan untuk memperluas sendi-sendi agama baru di Jawa Kulon. Kata Ki Jayaratu, begitu uletnya Pangeran Yudakara dalam upaya membelokkan perjuangan Carbon. Buktinya, Purbajaya, murid terkasih Ki Jayaratu yang berangakat ke Pakuan dengan tugas ikut menyebarkan agama baru, pada akhirnya terjerumus ke kancah politik yang salah.
Banyak Angga bergidik menduganya. Betapa tak menduga begitu. Kendati Pragola tidak berani langsung membunuhnya tapi paling tidak pemuda itu mencoba membiarkan orang lain membunuhnya. Banyak Angga teringat pada pertempuran terakhir di hutan jati di tengah perjalanan antara karatuan Sumedanglarang dan Karatuan Talaga.
Waktu itu rombongannya dikepung pasukan misterius. Banyak Angga sudah payah dikepung banyak orang. Karena melihat kedudukan Pragola agak longgar, Banyak Angga memohon bantuan. Namun pemuda itu seperti mengulur-ngukur waktu untuk membantunya kalau pun tak disebut sebagai membiarkannya. Sambil sempoyongan karena kepala pusing banyak mengeluarkan darah, Banyak Angga ketika itu sempat mengetahui, betapa Pragola memilih diam tak bergerak manakala beberapa golok musuh hendak mencehcarnya. Padahal kalau mau, waktu itu Pragola masih sempat mengulurkan bantuan.
Karena Pragola masih tetap diam, akhirnya Banyak Angga memejamkan mata dan pasrah akan nasibnya manakala belasan golok hendak mencecarnya. Banyak Angga sudah tak tahu apa-apa lagi karena pingsan, untuk selanjutnya kembali sadar sesudah berada di Puncak Cakrabuana.
Banyak Angga duduk di atas batang pohon yang tumbang di tengah hutan. Banyak pikiran menggayutinya. Dia pun ingat kepada teman-temannya yang lain. Di manakah Paman Angsajaya kini berada? Di mana pula Paman Manggala? Pertemuan terakhir kali adalah di tengah kepungan pasukan misterius itu. Semuanya terkepung dan semuanya kepayahan. Sesudah itu, semuanya tak diketahui.
Ketika Banyak Angga sudah selamat berada di puncak, dia pun teringat mereka dan ingin sekali bertanya perihal teman-temannya yang lain. Tapi kelihatannya, baik Ki Darma mau pun Ki Jayaratu tidak mengetahuinya. Buktinya, mereka tak pernah menyebut-nyebut pertempuran di hutan jati secara rinci. Barangkali Ginggi yang menolongnya, tak mengabarkan kejadian pertempuran secara lengkap karena terlalu tergesa-gesa untuk segera pergi ke Pakuan. Atau bisa juga sebetulnya kedua orang tua itu sudah dilapori Ginggi perihal pertempuran di sana, hanya saja mereka tak mau mengabarkannya kepada Banyak Angga.
Maka Banyak Angga pun kembali melanjutkan perjalanannya. Perlu dua hari untuk sampai ke wilayah Karatuan Sumedanglarang itu. Itu terjadi karena Banyak Angga harus melakukan perjalanan dengan hati-hati. Dia tahu, Sumedanglarang sudah merupakan negri yang memihak Cirebon. Dan barangkali mereka tak menyukai melihat orang Pakuan keluyuran di wilayahnya. Itulah sebabnya, perjalanan berjalan lambat.
Namun ketika tiba di hutan jati bekas pertempuran, Banyak Angga hanya menemukan kesunyian. Di sana tak ada kehidupan apa pun kecuali gundukan-gundukan tanah. Banyak Angga menduga, gundukan tanah itu tentu kuburan. Pemuda ini percaya kalau seusai pertempuran banyak orang menjadi korban. Namun, kuburan siapakah itu, jumlahnya cukup banyak. Hanya saja, dari sekian gundukan tanah, ada dua kuburan terpisah.
Banyak Angga berpikir sejenak. Dia mencoba menduga-duga jalan pikiran penguburnya. Mungkin dia tahu, yang tewas ada dua belah pihak, makanya mayat mereka dikuburkan secara terpisah. Beberapa buah di sebelah sana dan hanya dua buah di tempat lainnya.
Banyak Angga terkejut mengikuti jalan pikirannya ini. Kalau dua kuburan terpisah itu ternyata anak buahnya, siapa lagi kalau bukan Paman Angsajaya dan Paman Manggala? Ya, bukankah dia tahu Pragola selamat? Siapa lagi yang tak bisa tiba ke Puncak Cakrabuana kalau bukan Paman Angsajaya dan Paman Manggala?
Banyak angga terduduk lesu. Ada burung gagak beterbangan di angkasa, seolah-olah memberi tahu bahwa kuburan yang dia renungi adalah benar kuburan dua anak buahnya. Satu kuburan Paman Angsajaya dan satunya lagi kuburan Paman Manggala. Sungguh bingung memikirkannya. Kalau mau bercuriga, sebenarnya Paman Manggala tak perlu mati. Bukankah dia tadinya anak buah Pangeran Yudakara juga? Kalau benar begitu, Paman Manggala pun berkomplot sama dengan Pragola.
Namun herannya, Paman Manggala pun ketika itu dikepung ramai-ramai dengan darah bersimbah di sana-sini. Banyak Angga pun mengeryitkan dahi, kendati waktu itu Pragola terbebas dari luka-luka, namun Banyak Angga melihat bahwa serangan musuh terhadap pemuda itu sungguh-sungguh dan berniat hendak mengambil nyawanya. Hanya karena Pragola lebih kosen saja maka tak ada musuh yang sanggup melukainya.
Banyak Angga semakin bingung memikirkan hal ini. Siapakah pasukan penyerang di hutan jati itu? Mereka memang memperlihatkan ciri sebagai perampok, begitu menghadang minta harta. Namun mengaku perampok dan minta harta, belum tentu perampok beneran. Bisa saja mereka utusan tertentu untuk melakukan pembunuhan. Utusan siapa mereka, inilah yang membingungkan sebab semuanya serba gelap.
Namun, terbukti atau tidak mereka bertindak sebagai utusan, yang jelas di Pakuan kini bersarang tokoh yang membahayakan. Betapa tidak, Pangeran Yudakara begitu dipercaya oleh Sang Prabu Nilakendra. Dia adalah kerabat dekat Sumba Sembawa, tokoh pemberontak dari Sagaraherang di masa pemerintahan Sang Prabu Ratu Sakti. Barangkali agar hubungan dengan wilayah Sagaraherang membaik kembali, maka tampuk pemerintahan di kandagalante itu diserahkan kepada Pangeran Yudakara.
Banyak alasan mengapa Sang Prabu Nilakendra menyerahkan Sagaraherang kepada pangeran itu. Sang Prabu selalu ingin mengurangi permusuhan dengan berbagai pihak. Sang Prabu rupanya ingin menghapus jejak ayahandanya yang gemar menanam permusuhan. Maka Pangeran Yudakara yang diketahui pernah berkiblat ke negri Carbon dan bahkan kerabat dekat Kandagalante Sunda Sembawa yang memberontak, tokh diberinya kepercayaan untuk menguasai Sagaraherang.
Sang Prabu barangkali bermaksud menghilangkan rasa dendam atas kematian kerabatnya, yaitu Sunda Sembawa. Maka dianugrahilah Pangeran Yudakara dengan jabatan tinggi. Banyak Angga bahkan menerima khabar bahwa wilayah Sagaraherang akan semakin diperluas ke arah timur yang berbatasan dengan wilayah Carbon dan Pangeran Yudakara akan dinaikkan pangkatnya tidak sekadar sebagai kandagalante (setingkat wedana kini) namun akan menjadi mangkubumi yang menguasai wilayah tanah setingkat gubernur untuk ukuran sekarang.
Selama berada di Pakuan, Pangeran Yudakara memang tidak menampakkan gerakan yang mencurigakan. Bahkan dia banyak berpikir perihal kemajuan Pakuan. Sebagai contoh, Pangeran Yudakaralah yang mengirim Pragola ke Pakuan untuk memberikan laporan mengenai adanya belasan pasukan balamati yang katanya terkepung di Puncak Cakrabuana itu.
Tentu saja, Banyak Angga sebelumnya terkecoh kalau saja tidak mendapat khabar dari Puncak Cakrabuana. Ki Jayaratu malah mengabarkan bahwa Pangeran Yudakara sebetulnya tak lebih dari sekadar petualang politik saja. Ki Jayaratu mengabarkan, betapa semasa berada di Carbon, Pangeran Yudakara selalu mempengaruhi para pimpinan di sana agar menghancurkan Pajajaran dengan alasan untuk memperluas sendi-sendi agama baru di Jawa Kulon. Kata Ki Jayaratu, begitu uletnya Pangeran Yudakara dalam upaya membelokkan perjuangan Carbon. Buktinya, Purbajaya, murid terkasih Ki Jayaratu yang berangakat ke Pakuan dengan tugas ikut menyebarkan agama baru, pada akhirnya terjerumus ke kancah politik yang salah.
Tentu saja Banyak Angga tak bisa menuduh begitu saja. Ucapan Ki Jayaratu hanya akan dianggap sebagai panduan saja. Sedangkan untuk membuktikan gerakan apa yang sebenarnya tengah dilakukan Pangeran Yudakara, haruslah melakukan penyelidikan dengan seksama. Sesudah merenung cukup lama, akhirnya Banyak Angga bergegas meninggalkan hutan jati itu. Hari sudah mulai gelap dan dia tak mau kemalaman di sini.
Dia harus cepat melakukan perjalanan, sesulit apa pun yang terjadi. Kali ini benar-benar diburu waktu. Di samping untuk memikirkan bahaya yang ditimbulkan Pangeran Yudakara, Banyak Angga pun harus memikirkan nasib Ginggi dan Pragola. Pemuda ini khawatir sekali bahwa bila Pragola berhasil menemui Ginggi, maka akan terjadi peristiwa yangh tak diinginkan. Jangan sampai dua kakak-beradik mengadu nyawa oleh sesuatu sebab yang tak berarti. Pragola diketahui menyimpan dendam kepada Ginggi. Pragola harus dicegah jangan sampai melampiaskan rasa dendamnya itu.
Banyak Angga terus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Pada siang hari dia melakukannya seperti orang kebanyakan. Tapi pada malam hari atau bila menempuh perjalanan yang bersuasana sepi, dia berjalan secara napak sancang. Napak sancang adalah sejenis ilmu meringankan tubuh. Semakin tinggi memiliki ilmu ini, akan semakin ringan tubuhnya. Banyak Angga menerima pelajaran napak sancang dari Ginggi manakala pemuda itu masih bekerja padanya belasan tahun silam.
Dan kalau ingat Ginggi, Banyak Angga suka tersenyum sendiri memikirkannya. Ginggi itu manusia aneh. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi tapi selalu acuh tak acuh dan masa bodoh terhadap kemampuannya ini. Kalau pemuda lain, sedikit punya kepandaian saja sudah berbondong-bondong melamar untuk jadi prajurit Pakuan. Sebaliknya dengan Ginggi. Dia tak pernah menganggap bahwa dirinya berharga. Ketika ayahanda Banyak Angga, yaitu Pangeran Yogascitra ingin memasukannya menjadi anggota pasukan balamati (pengawal Raja), Ginggi menolaknya, padahal orang lain harus menempuh ujian-ujian berat. Ginggi pandai menggunakan ilmu napak sancang sehingga Banyak Angga ketika itu tertarik dan ingin menganggap pemuda Ginggi sebagai gurunya.
“Ah, tak perlu berguru. Kalau engkau mau, akan saya kasih contoh,” tutur Ginggi ketika itu.
Maka Ginggi mendemontrasikan kepandaiannya. Dia mengajak Banyak Angga bermain di Telaga Rena Mahawijaya, sebuah telaga buatan di Pakuan yang pada waktu-waktu tertentu digunakan raja dan kerabatnya untuk melakukan upacara suci.
Banyak Angga begitu terkagum-kagum ketika melihat Ginggi memperlihatkan kepandaiannya. Ginggi begitu hebatnya berlari dan meloncat-loncat di atas permukaan air. Kalau tak menyaksikan sendiri, maka siapa pun tidak akan percaya, mana mungkin orang bisa berlari di atas permukaan air. Atau kalau pun bisa menyaksikan, maka orang akan menganggapnya sebagai perbuatan sihir.
“Bukan sihir atau pun ilmu gaib sebab ini hanyalah peristiwa alamiah belaka,” tutur Ginggi ketika.
Kemudian pemuda lugu itu memberikan contoh sederhana. Diambilnya sebuah batu berbentuk pipih tipis. Benda itu dia celupkan ke air.
“Lihat, benda ini tenggelam,” kata Ginggi.
Sesudah Banyak Angga mengiyakan, batu pipih itu diambil lagi. Kemudian Ginggi melemparkannya keras-keras mengarah ke tengah telaga. Cara melemparkan, diusahakannya agar bagian yang pipih mendatar sejajar permukaan air. Batu itu melesat sejajar permukaan air. Ketika turun dan menempel ke permukaan air, batu itu tidak tenggelam, melainkan masih tetap meluncur meloncat-loncat dan baru benar-benar tenggelam ketika tenaganya habis.
“Begitulah cara telapak kaki kita pun dalam menginjak permukaan air,” tutur Ginggi. “Diusahakan telapak kaki kita memijak datar ke atas permukaan air tapi dengan gerakan cepat dan jangan biarkan gaya berat tubuh kita punya kesempatan menekan lama kepada permukaan air,” lanjutnya.
Banyak Angga mengerti teori ini. Namun untuk mempraktekaknya sungguh sulit. Dia tak pernah berhasil meniru apa yang pernah dilakukan Ginggi. Tenaga dalamnya kurang kuat sehingga tak mampu menggerakkan sepasang kakinya dengan kecepatan penuh seperti apa yang jadi persyaratan. Sampai tiba saatnya berpisah dengan Ginggi, Banyak Angga tak pernah berhasil melatih ilmu napak sancang dengan baik. Artinya, Banyak Angga tak pernah bisa meniru apa yang pernah diajarkan Ginggi, yaitu berlari di atas permukaan air.
Namun kendati demikian, seburuk apa pun kemampuannya, tokh apa yang dipelajari Banyak Angga terasa manfaatnya. Walau pun dia tak bisa napak sancang di atas permukaan air, namun ketika dia menggunakan ilmu itu di tempat datar, hasilnya sungguh mencengangkan. Banyak Angga bisa berlari amat cepat seperti panah melesat dari busurnya. Kalau orang biasa menyaksikannya, mereka pasti akan terbengong-bengong, atau barangkali akan bergidik ketakutan karena yang terlihat hanya sesuatu benda berkelebat saja. Itulah sebabnya, untuk tidak membuat perhatian orang, maka Banyak Angga hanya melakukan kepandaiannya di tempat-tempat sepi saja.
Di tempat ramai menjelang ketibaannya di wilayah Sagaraherang, Banyak Angga tidak berani melakukan hal-hal aneh menurut perkiraan orang biasa. Bahkan dia pun tak mau diketahui oleh siapa pun bahwa dirinya memiliki sedikit kepandaian. Bahkan di wilayah Sagaherang ini, dia ingin melakukan penyelidikan secara diam-diam.
Beberapa hari lalu ketika dia akan berangkat menuju Cakrabuana dan singgah di wilayah ini tak punya kecurigaan apa-apa. namun setelah menerima khabar dari Ki Jayaratu, persoalan lain lagi. Dia harus berusaha membuktikan benar tidaknya sepak-terjang Pangeran Yudakara.
Jauh di luar kota, Banyak Angga sudah mendapatkan berita bahwa kali ini Pangeran Yudakara tengah berada di purinya. Pemuda ini bersyukur dalam hatinya sebab dengan demikian dia bisa mulai melakukan penyelidikan. Banyak Angga menunggu hari malam. Kemudian sesudah waktu ditunggu tiba, dia segera bergerak. Tujuannya adalah puri Yudakara.
Wilayah kandagalante Sagaraherang ini cukup besar. Pusat kota dilindungi benteng tanah yang disusun kokoh setinggi lebih dari empat depa ( 1 depa kurang lebih 1,698 meter). Lawang Saketeng (pintu gerbang) menghadap ke sebelah timur, ke arah di mana dalam perjalanan kuda dua hari sudah merupakan wilayah Nagri carbon (Cirebon).
Persinggahan beberapa hari lalu di wilayah ini tidak begitu menarik perhatian dirinya. Dia yang beberapa hari lalu masih memimpin rombongan menuju Cakrabuana hanya singgah sebentar saja. Pertama karena waktu itu hari masih siang dan keduanya karena tuan rumah yaitu Pangeran Yudakara sedang tak berada di tempat.
Amat kebalikan dengan hari ini. Sekarang Banyak Angga datang dengan segudang rasa penasaran. Namun sudah barang tentu, kehadirannya kali ini harus dilakukan diam-diam. Dia ingin menyelidik. Dan untuk itu, tak boleh ada orang tahu. Itulah sebabnya, Banyak Angga menunggu malam jauh di luar benteng. Dia bermaksud ingin menyelundup ke puri Yudakara secara diam-diam.
Dan waktu yang ditunggu telah tiba. Manakala senja jatuh di ufuk barat, maka terdengar lenguhan terompet tiram. Tidak lama kemudian terdengar pula derit pintu kayu jati ditutup jagabaya (prajurit penjaga). Ini merupakan aba-aba bagi Banyak Angga agar segera bersiap-siap untuk melakukan penyelundupan. Banyak Angga harus menunggu lagi untuk beberapa lama agar malam benar-benar gelap.
Amat beruntung langit malam tidak dihiasi bulan. Dengan demikian dia akan bisa bergerak dengan sedikit leluasa. Kini yang harus diperhatikan adalah gerakan tugur (peronda) yang setiap saat datang menyusuri benteng. Tugur bergerak tiap empat orang. Dua orang di depan membawa oncor (obor) yang apinya menyala cukup besar dan menerangi seputarnya. Sedangkan dua orang di belakang selalu siap dengan gobang (pedang) terhunus.
Banyak Angga perlu menyimak gerakan mereka untuk beberapa saat. Dia ingin tahu setiap kapan tugur akan lewat, sehingga pada akhirnya dia akan bisa mencuri kesempatan untuk menerobos masuk.
Namun sungguh mengherankan, interval gerakan tugur sungguh amat ketat. Keheranan ini sekaligus mengundang perasaan curiga, mengapa penjagaan seketat ini? Semakin tebal rasa curiga Banyak Angga, seolah-olah benar, Pangeran Yudakara akan melakukan gerakan yang membahayakan Pakuan. Banyak Angga semakin tertarik untuk menyelidiki puri ini. Kalau benar terdapat hal-hal yang mencurigakan, dia harus segera kembali ke dayo (ibukota) untuk melapor.
Banyak Angga sudah mendekam di atas benteng. Namun demikian, dia masih belum punya kesempatan untuk menyelundup masuk. Meloncat turun begitu saja, merupakan sebuah tindakan riskan sebab di dalam benteng merupakan lapangan rumput yang cukup terbuka. Bisa saja dia berlari kencang menuju paseban (bangunan tempat melakukan pertemuan). Namun bangunan terkecil di tengah hamparan rumput beratap sirap itu terbuka di keempat sudutnya. Artinya, bangunan itu berdiri tak berdinding. Banyak Angga akan bisa ketahuan tugur bila sembunyi di sana.
Pemuda itu memperhatikan ke sekelilingnya. Di depan paseban terdapat tiga bangunan berjejer. Namun dari ketiganya, hanya satu yang besar dan indah. Banyak Angga tahu, itulah bangunan di mana Pangeran Yudakara tinggal.
Bagaimana dia bisa ke sana tanpa diketahui penjaga? Banyak angga tengadah ke atas. Di sana terlihat dahan pohon kihujan. Pohon jenis ini ada berjejer tiga buah dan yang palin ujung terletak di sisi bangunan samping. Pohon-pohon itu seolah memberitahu bahwa dia harus bergerak lewat dahan untuk bisa mendekat bangunan inti.
Maka ketika rombongan tugur pembawa obor sudah lewat, Banyak Angga segera meloncat ke atas dan sepasang tangannya bergayut ke ujung dahan pohon. Ada sedikit suara berkeresekan karena dahan pohon bergoyang. Pemuda itu menahan napas dan hatinya berdoa agar suara keresekan tak didengar kaum peronda.
Beruntung tak ada petugas yang kembali. Ini pertanda suara keresekan tak didengar mereka. Namun kendati begitu, Banyak Angga mengeluh. Segala sesuatu yang menyelamatkannya selalu berbau keberutungan dan bukan atas kebolehannya. Bila ingat ini, pemuda itu selalu iri kepada Ginggi. Ginggi hidupnya acuh tak acuh dan sedikit ugal-ugalan. Pemuda itu terkadang tak peduli terhadap keberadaan dirinya.
Ginggi pernah berkata, Ki Darma sebagai gurunya suka memaksa agar dia selalu berlatih kedigjayaan. Namun Ginggi kerapkali menolak dan bersikap ogah-ogahan. Anehnya, kendati begitu tokh punya kepandaian hebat. Dia amat digjaya dan amat disegani di mana-mana. Seorang diri dia pernah melumpuhkan puluhan prajurit tangguh anak Buah Sunda Sembawa tanpa membuat luka apalagi tewas. Ini adalah kepandaian maha hebat sebab orang baru bisa meloloskan diri dari kepungan banyak orang kalau sudah melumpuhkan atau menewaskannya.
Banyak Angga mengeluh. Bila dibandingkan dengan Ginggi, dia tak ada apa-apanya. Padahal kini tengah menangani pekerjaan berat, barangkali berbahaya. Kalau saja kepandaiannya setingkat Ginggi dia lebih leluasa dan lebih punya keyakinan. Bukan karena takut. Tapi pekerjaan ini tak boleh gagal. Kematian baginya bukan suatu hal yang perlu dirisaukan. Tapi mara-bahaya untuk negara harus dihindarkan. Itulah yang dirisaukannya. Dia takut penyelidikannya gagal sehingga berakibat fatal bagi negrinya. Tak ada bantuan yang bisa dicari. Penghuni puri ini, barangkali semuanya orang-orang Yudakara. Artinya, malam ini dia kerja sendirian.
Maka Banyak Angga segera merayap menuju dahan lebih besar. Dia merangkak dengan hati-hati. Meloncat ke dahan lain dan segera berhenti karena ada tugur lain yang lewat membawa obor dengan cahayanya yang menggelebur terang. Sesudah rombongan peronda lewat jauh, kembali Banyak Angga bergerak. Kali ini menggapai dahan pohon di sebrang. Sayang ujung dahan itu terlalu kecil, sehingga ketika dia bergayut dahan melenting karena tak kuat menahan berat badannya.
Pemuda itu terpaksa menjatuhkan diri ke atas tanah berumput sebab kalau tetap memaksakan diri terus bergayut, akan menimbulkan perhatian penjaga kalau dahan kecil itu patah dan mengeluarkan bunyi. Begitu jatuh ke atas tanah, Banyak Angga segera meloncat dan berlindung di balik pohon itu.
Kini tinggal terhalang satu pohon lagi untuk sampai ke jajaran bangunan yang dia tuju itu. Dan Banyak Angga kembali meloncat-loncat agar bisa tiba di sana sebelum kehadiran peronda baru. Tadinya yang ingin dia tuju adalah bangunan besar di tengah. Namun niat itu dia arahkan ke tempat lain. Dari dalam bangunan pertama sayup-sayup terdengar suara lecutan cambuk disusul oleh suara orang menahan rasa sakit.
Banyak Angga segera menduga, di dalam bangunan itu ada orang yang tengah disiksa. Siapa yang siksa dan siapa pula yang menyiksa, itu pula yang jadi pusat perhatian Banyak Angga. Pemuda itu ingin mengetahuinya.
Maka dengan sangat hati-hati pemuda itu berusaha menaiki dinding bangunan yang terbuat dari serpihan papan jati. Hati-hati sekali sebab dia tak ingin ada suara keresekan biar sedikit pun. Banyak Angga sadar, di puri ini banyak orang pandai. Pangeran Yudakara dikenal punya kepandaian tinggi dan Banyak Angga tidak ingin bertindak gegabah.
Pemuda itu merayap ke atas dan menuju atap genting sirap. dengan amat hati-hati dia mencoba mencongkel serpihan daun sirap dengan harapan bisa membuat celah untuk mengintip ke bawah. Sudah dilakukan. Sorot matanya bisa melihat ke bawah. Pertama-tama yang dilihatnya adalah seorang prajurit bertubuh tinggi besar dengan muka penuh cambang bauk. Dia bertolak pinggang sambil tangannya memegangi cemeti (cambuk) terbuat dari kulit hitam yang dilinting.
Banyak Angga menggerak-gerakkan kepalanya, mencoba mengarahkan pandangannya ke tempat lain. Dia ingin sekali tahu, siapa yang tengah disiksa prajurit itu. Ada sepasang tangan yang diikat tambang ijuk ke atas balok kayu dan sepertinya sepasang tangan itu sengaja dikerek ke atas.
Banyak Angga ingin sekali melihat wajah orang yang terikat itu. Namun apa daya, tepat di hadapan orang yang terikat itu berdiri seorang laki-laki yang tubuhnya cukup tinggi sehingga menghalangi pandangan. Siapa orang bertubuh tinggi itu, Banyak Angga pun tak bisa memastikan sebab orang itu berdiri berkacak pinggang sambil menghadap ke arah tawanan, artinya pas membelakangi Banyak Angga. Namun ketika orang itu berbicara, Banyak Angga serasa kenal dengannya.
“Pengkhianat harus dibunuh!” desis orang itu.
Kemudian dijawab oleh tawanan, ”Aku bukan pengkhianat sebab tak pernah bersetia kepada siapa pun sebelumnya,”
Banyak Angga terkejut. Kedua orang yang bertanya-jawab itu tak lain Pangeran Yudakara dan Pragola. Pragola kini yang jadi tawanan Pangeran Yudakara. Karena apa?
“Dasar anak dungu! Bertahun-tahun kau berada di bawah pengawasanku, berarti kau anak buahku. Berarti pula kau harus bersetia kepadaku,” desis Pangeran Yudakara.
“Saya datang dan bergabung denganmu karena punya tujuan yang sama yaitu melawan musuh yang sama,” jawab Pragola.
“Nah, kau bilang begitu. Tapi mengapa kau abaikan perintahku?”
“Soal apa?”
“Berminggu-minggu kau dekat dengan Banyak Angga dan banyak kesempatan untuk melenyapkan pemuda itu, nyatanya tidak kau lakukan,” tutur Pangeran Yudakara. Diam sejenak. “Kau kini bersetia kepada Banyak Angga?”
“Sudah aku katakan, aku tak bersetia kepada siapa pun juga, kecuali kepada rasa benciku terhadap orang Pajajaran,”
“Bukankha Banyak Angga orang Pajajaran?”
“Ya, tapi aku hanya mau mencari si Ginggi yang kuanggap telah menjadi gara-gara kematian Ki Guru Sudireja,” kata Pragola lagi.
“Dungu. Kau hanya berkutat pada kepentingan pribadi belaka,” dengus Pangeran Yudakara.
“Pada akhirnya semua orang bekerja untuk kepentingan pribadi, tidak juga engkau Pangeran!” sergah Pragola.
Pangeran Yudakara memungut cambuk yang tengah dipegang prajurit brewok itu. Lantas cambuk itu dilecutkannya ke tubuh Pragola. Melalui celah genting sirap, Banyak Angga menyaksikan ada darah mengucur dari dada kiri Pragola yang tersayat ujung cambuk.
“Bunuhlah kalau aku tak menguntungkanmu!” teriak Pragola.
“Sudah barang tentu engkau harus kubunuh sebab hanya akan mengacaukan gerakan kami belaka,” cetus Pangeran Yudakara berkerot giginya. ”Engkau hanya berfikir tentang dendam pribadi belaka. Hai orang dungu dengarkan, membunuh mungkin saja bagian dari perjuangan tapi itu bukan tujuan satu-satunya, dan bukan karena dendam. Kau hanya ingin bunuh Ginggi dan menolak perintah bunuh Banyak Angga. Itulah mengacaukan. Tindak-tandukmu yang liar tak terpimpin itu hanya akan membahayakan gerakan kami saja,” tutur lagi Pangeran Yudakara. ”Bunuh bedebah ini!” teriaknya memerintahkan prajurit brewok. Yang diperintah segera mencabut kelewang.
Banyak Angga yang mengintip dari atas wuwungan amat terkejut. Dia akan segera mendobrak genting sirap untuk memberikan pertolongan. Pragola boleh menjadi penyelundup yang membahayakan Pakuan. Namun Banyak Angga berfikir bahwa Pragola adalah pemuda baik. Apalagi dia tahu bahwa Pragola adik kandung Ginggi. Dia harus berusaha menyelamatkan pemuda itu.
Namun belum juga niatnya terlaksana, terdengar suara dentangan dari bawah. Banyak Angga kembali mengintip, ternyata kelewang yang tadi diayunkan prajurit sudah menancap di tiang kayu jati dan bergoyang-goyang mantap. Banyak Angga semakin terkejut. Entah dengan cara apa, namun kelewang yang sedianya diayunkan ke tubuh Pragola tentu ditepis oleh orang yang baru datang. Inilah yang membuat dirinya terkejut sebab pendatang itu dia hafal betul siapa.
“Ki Banaspati…” bisiknya bergetar.
Mengapa tak terkejut sebab Ki Banaspati adalah tokoh yang dicari-cari pihak Pakuan selama ini. Secara diam-diam, ayahandanya tengah menyelidiki tokoh ini yang secara misterius menghilang dari Pakuan belasan tahun silam.
Seperti sudah diterangakan di bagian awal, belasan tahun silam semasa Pakuan dirajai Prabu Ratu Sakti (1543-1551 M), terjadi pemberontakan dari wilayah sagaraherang yang ketika itu dipimpin Kandagalante Sunda Sembawa. Sunda Sembawa dapat dibunuh waktu itu juga oleh pasukan Pakuan, begitu pun pengikut-pengikutnya bisa dilumpuhkan.
Namun dari hasil penyelidikan pemerintah, ternyata gerakan Sunda Sembawa tak berdiri sendiri. Para pejabat di Pakuan yang bersetia kepada raja bahkan mencurigai bahwa Sunda Sembawa sebetulnya hanya dipakai sebagai anak panah belaka. Artinya, ada kekuatan lain yang bertindak sebagai penarik busur. Namun siapakah gerangan, pihak Pakuan belum bisa membuktikannya.
Selentingan mengatakan, Ki Bagus Seta berambisi menguasai Pakuan. Untuk itu serta-merta “meberikan: putrinya Nyi Mas Layang Kingkin sebagai selir Raja, dengan maksud agar bisa lebih leluasa masuk ke istana. Ki Banaspati malah dianggap lebih berbahaya lagi sebab tindak-tanduknya tak kentara dan amat misterius.
Sewaktu Prabu Ratu Sakti berkuasa, Ki Banaspati menjabat sebagai Muhara (petugas penarik pajak). Dia banyak mempengaruhi Raja agar menaikkan seba (pajak) sebab kejayaan negara harus dikembalikan ke masa silam seperti masanya pemerintaha Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M). Musuh-musuh harus dihancurkan dan angkatan perang harus diperkuat.
Sang Prabu Ratu Sakti terpengaruh sehingga rakyat menjerit karena beban pajak yang tinggi. Akibatnya banyak wilayah yang mencoba memberontak dan memilih memisahkan diri atau ikut bergabung dengan negara agama baru yaitu Carbon (Cirebon).
Dia harus cepat melakukan perjalanan, sesulit apa pun yang terjadi. Kali ini benar-benar diburu waktu. Di samping untuk memikirkan bahaya yang ditimbulkan Pangeran Yudakara, Banyak Angga pun harus memikirkan nasib Ginggi dan Pragola. Pemuda ini khawatir sekali bahwa bila Pragola berhasil menemui Ginggi, maka akan terjadi peristiwa yangh tak diinginkan. Jangan sampai dua kakak-beradik mengadu nyawa oleh sesuatu sebab yang tak berarti. Pragola diketahui menyimpan dendam kepada Ginggi. Pragola harus dicegah jangan sampai melampiaskan rasa dendamnya itu.
Banyak Angga terus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Pada siang hari dia melakukannya seperti orang kebanyakan. Tapi pada malam hari atau bila menempuh perjalanan yang bersuasana sepi, dia berjalan secara napak sancang. Napak sancang adalah sejenis ilmu meringankan tubuh. Semakin tinggi memiliki ilmu ini, akan semakin ringan tubuhnya. Banyak Angga menerima pelajaran napak sancang dari Ginggi manakala pemuda itu masih bekerja padanya belasan tahun silam.
Dan kalau ingat Ginggi, Banyak Angga suka tersenyum sendiri memikirkannya. Ginggi itu manusia aneh. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi tapi selalu acuh tak acuh dan masa bodoh terhadap kemampuannya ini. Kalau pemuda lain, sedikit punya kepandaian saja sudah berbondong-bondong melamar untuk jadi prajurit Pakuan. Sebaliknya dengan Ginggi. Dia tak pernah menganggap bahwa dirinya berharga. Ketika ayahanda Banyak Angga, yaitu Pangeran Yogascitra ingin memasukannya menjadi anggota pasukan balamati (pengawal Raja), Ginggi menolaknya, padahal orang lain harus menempuh ujian-ujian berat. Ginggi pandai menggunakan ilmu napak sancang sehingga Banyak Angga ketika itu tertarik dan ingin menganggap pemuda Ginggi sebagai gurunya.
“Ah, tak perlu berguru. Kalau engkau mau, akan saya kasih contoh,” tutur Ginggi ketika itu.
Maka Ginggi mendemontrasikan kepandaiannya. Dia mengajak Banyak Angga bermain di Telaga Rena Mahawijaya, sebuah telaga buatan di Pakuan yang pada waktu-waktu tertentu digunakan raja dan kerabatnya untuk melakukan upacara suci.
Banyak Angga begitu terkagum-kagum ketika melihat Ginggi memperlihatkan kepandaiannya. Ginggi begitu hebatnya berlari dan meloncat-loncat di atas permukaan air. Kalau tak menyaksikan sendiri, maka siapa pun tidak akan percaya, mana mungkin orang bisa berlari di atas permukaan air. Atau kalau pun bisa menyaksikan, maka orang akan menganggapnya sebagai perbuatan sihir.
“Bukan sihir atau pun ilmu gaib sebab ini hanyalah peristiwa alamiah belaka,” tutur Ginggi ketika.
Kemudian pemuda lugu itu memberikan contoh sederhana. Diambilnya sebuah batu berbentuk pipih tipis. Benda itu dia celupkan ke air.
“Lihat, benda ini tenggelam,” kata Ginggi.
Sesudah Banyak Angga mengiyakan, batu pipih itu diambil lagi. Kemudian Ginggi melemparkannya keras-keras mengarah ke tengah telaga. Cara melemparkan, diusahakannya agar bagian yang pipih mendatar sejajar permukaan air. Batu itu melesat sejajar permukaan air. Ketika turun dan menempel ke permukaan air, batu itu tidak tenggelam, melainkan masih tetap meluncur meloncat-loncat dan baru benar-benar tenggelam ketika tenaganya habis.
“Begitulah cara telapak kaki kita pun dalam menginjak permukaan air,” tutur Ginggi. “Diusahakan telapak kaki kita memijak datar ke atas permukaan air tapi dengan gerakan cepat dan jangan biarkan gaya berat tubuh kita punya kesempatan menekan lama kepada permukaan air,” lanjutnya.
Banyak Angga mengerti teori ini. Namun untuk mempraktekaknya sungguh sulit. Dia tak pernah berhasil meniru apa yang pernah dilakukan Ginggi. Tenaga dalamnya kurang kuat sehingga tak mampu menggerakkan sepasang kakinya dengan kecepatan penuh seperti apa yang jadi persyaratan. Sampai tiba saatnya berpisah dengan Ginggi, Banyak Angga tak pernah berhasil melatih ilmu napak sancang dengan baik. Artinya, Banyak Angga tak pernah bisa meniru apa yang pernah diajarkan Ginggi, yaitu berlari di atas permukaan air.
Namun kendati demikian, seburuk apa pun kemampuannya, tokh apa yang dipelajari Banyak Angga terasa manfaatnya. Walau pun dia tak bisa napak sancang di atas permukaan air, namun ketika dia menggunakan ilmu itu di tempat datar, hasilnya sungguh mencengangkan. Banyak Angga bisa berlari amat cepat seperti panah melesat dari busurnya. Kalau orang biasa menyaksikannya, mereka pasti akan terbengong-bengong, atau barangkali akan bergidik ketakutan karena yang terlihat hanya sesuatu benda berkelebat saja. Itulah sebabnya, untuk tidak membuat perhatian orang, maka Banyak Angga hanya melakukan kepandaiannya di tempat-tempat sepi saja.
Di tempat ramai menjelang ketibaannya di wilayah Sagaraherang, Banyak Angga tidak berani melakukan hal-hal aneh menurut perkiraan orang biasa. Bahkan dia pun tak mau diketahui oleh siapa pun bahwa dirinya memiliki sedikit kepandaian. Bahkan di wilayah Sagaherang ini, dia ingin melakukan penyelidikan secara diam-diam.
Beberapa hari lalu ketika dia akan berangkat menuju Cakrabuana dan singgah di wilayah ini tak punya kecurigaan apa-apa. namun setelah menerima khabar dari Ki Jayaratu, persoalan lain lagi. Dia harus berusaha membuktikan benar tidaknya sepak-terjang Pangeran Yudakara.
Jauh di luar kota, Banyak Angga sudah mendapatkan berita bahwa kali ini Pangeran Yudakara tengah berada di purinya. Pemuda ini bersyukur dalam hatinya sebab dengan demikian dia bisa mulai melakukan penyelidikan. Banyak Angga menunggu hari malam. Kemudian sesudah waktu ditunggu tiba, dia segera bergerak. Tujuannya adalah puri Yudakara.
Wilayah kandagalante Sagaraherang ini cukup besar. Pusat kota dilindungi benteng tanah yang disusun kokoh setinggi lebih dari empat depa ( 1 depa kurang lebih 1,698 meter). Lawang Saketeng (pintu gerbang) menghadap ke sebelah timur, ke arah di mana dalam perjalanan kuda dua hari sudah merupakan wilayah Nagri carbon (Cirebon).
Persinggahan beberapa hari lalu di wilayah ini tidak begitu menarik perhatian dirinya. Dia yang beberapa hari lalu masih memimpin rombongan menuju Cakrabuana hanya singgah sebentar saja. Pertama karena waktu itu hari masih siang dan keduanya karena tuan rumah yaitu Pangeran Yudakara sedang tak berada di tempat.
Amat kebalikan dengan hari ini. Sekarang Banyak Angga datang dengan segudang rasa penasaran. Namun sudah barang tentu, kehadirannya kali ini harus dilakukan diam-diam. Dia ingin menyelidik. Dan untuk itu, tak boleh ada orang tahu. Itulah sebabnya, Banyak Angga menunggu malam jauh di luar benteng. Dia bermaksud ingin menyelundup ke puri Yudakara secara diam-diam.
Dan waktu yang ditunggu telah tiba. Manakala senja jatuh di ufuk barat, maka terdengar lenguhan terompet tiram. Tidak lama kemudian terdengar pula derit pintu kayu jati ditutup jagabaya (prajurit penjaga). Ini merupakan aba-aba bagi Banyak Angga agar segera bersiap-siap untuk melakukan penyelundupan. Banyak Angga harus menunggu lagi untuk beberapa lama agar malam benar-benar gelap.
Amat beruntung langit malam tidak dihiasi bulan. Dengan demikian dia akan bisa bergerak dengan sedikit leluasa. Kini yang harus diperhatikan adalah gerakan tugur (peronda) yang setiap saat datang menyusuri benteng. Tugur bergerak tiap empat orang. Dua orang di depan membawa oncor (obor) yang apinya menyala cukup besar dan menerangi seputarnya. Sedangkan dua orang di belakang selalu siap dengan gobang (pedang) terhunus.
Banyak Angga perlu menyimak gerakan mereka untuk beberapa saat. Dia ingin tahu setiap kapan tugur akan lewat, sehingga pada akhirnya dia akan bisa mencuri kesempatan untuk menerobos masuk.
Namun sungguh mengherankan, interval gerakan tugur sungguh amat ketat. Keheranan ini sekaligus mengundang perasaan curiga, mengapa penjagaan seketat ini? Semakin tebal rasa curiga Banyak Angga, seolah-olah benar, Pangeran Yudakara akan melakukan gerakan yang membahayakan Pakuan. Banyak Angga semakin tertarik untuk menyelidiki puri ini. Kalau benar terdapat hal-hal yang mencurigakan, dia harus segera kembali ke dayo (ibukota) untuk melapor.
Banyak Angga sudah mendekam di atas benteng. Namun demikian, dia masih belum punya kesempatan untuk menyelundup masuk. Meloncat turun begitu saja, merupakan sebuah tindakan riskan sebab di dalam benteng merupakan lapangan rumput yang cukup terbuka. Bisa saja dia berlari kencang menuju paseban (bangunan tempat melakukan pertemuan). Namun bangunan terkecil di tengah hamparan rumput beratap sirap itu terbuka di keempat sudutnya. Artinya, bangunan itu berdiri tak berdinding. Banyak Angga akan bisa ketahuan tugur bila sembunyi di sana.
Pemuda itu memperhatikan ke sekelilingnya. Di depan paseban terdapat tiga bangunan berjejer. Namun dari ketiganya, hanya satu yang besar dan indah. Banyak Angga tahu, itulah bangunan di mana Pangeran Yudakara tinggal.
Bagaimana dia bisa ke sana tanpa diketahui penjaga? Banyak angga tengadah ke atas. Di sana terlihat dahan pohon kihujan. Pohon jenis ini ada berjejer tiga buah dan yang palin ujung terletak di sisi bangunan samping. Pohon-pohon itu seolah memberitahu bahwa dia harus bergerak lewat dahan untuk bisa mendekat bangunan inti.
Maka ketika rombongan tugur pembawa obor sudah lewat, Banyak Angga segera meloncat ke atas dan sepasang tangannya bergayut ke ujung dahan pohon. Ada sedikit suara berkeresekan karena dahan pohon bergoyang. Pemuda itu menahan napas dan hatinya berdoa agar suara keresekan tak didengar kaum peronda.
Beruntung tak ada petugas yang kembali. Ini pertanda suara keresekan tak didengar mereka. Namun kendati begitu, Banyak Angga mengeluh. Segala sesuatu yang menyelamatkannya selalu berbau keberutungan dan bukan atas kebolehannya. Bila ingat ini, pemuda itu selalu iri kepada Ginggi. Ginggi hidupnya acuh tak acuh dan sedikit ugal-ugalan. Pemuda itu terkadang tak peduli terhadap keberadaan dirinya.
Ginggi pernah berkata, Ki Darma sebagai gurunya suka memaksa agar dia selalu berlatih kedigjayaan. Namun Ginggi kerapkali menolak dan bersikap ogah-ogahan. Anehnya, kendati begitu tokh punya kepandaian hebat. Dia amat digjaya dan amat disegani di mana-mana. Seorang diri dia pernah melumpuhkan puluhan prajurit tangguh anak Buah Sunda Sembawa tanpa membuat luka apalagi tewas. Ini adalah kepandaian maha hebat sebab orang baru bisa meloloskan diri dari kepungan banyak orang kalau sudah melumpuhkan atau menewaskannya.
Banyak Angga mengeluh. Bila dibandingkan dengan Ginggi, dia tak ada apa-apanya. Padahal kini tengah menangani pekerjaan berat, barangkali berbahaya. Kalau saja kepandaiannya setingkat Ginggi dia lebih leluasa dan lebih punya keyakinan. Bukan karena takut. Tapi pekerjaan ini tak boleh gagal. Kematian baginya bukan suatu hal yang perlu dirisaukan. Tapi mara-bahaya untuk negara harus dihindarkan. Itulah yang dirisaukannya. Dia takut penyelidikannya gagal sehingga berakibat fatal bagi negrinya. Tak ada bantuan yang bisa dicari. Penghuni puri ini, barangkali semuanya orang-orang Yudakara. Artinya, malam ini dia kerja sendirian.
Maka Banyak Angga segera merayap menuju dahan lebih besar. Dia merangkak dengan hati-hati. Meloncat ke dahan lain dan segera berhenti karena ada tugur lain yang lewat membawa obor dengan cahayanya yang menggelebur terang. Sesudah rombongan peronda lewat jauh, kembali Banyak Angga bergerak. Kali ini menggapai dahan pohon di sebrang. Sayang ujung dahan itu terlalu kecil, sehingga ketika dia bergayut dahan melenting karena tak kuat menahan berat badannya.
Pemuda itu terpaksa menjatuhkan diri ke atas tanah berumput sebab kalau tetap memaksakan diri terus bergayut, akan menimbulkan perhatian penjaga kalau dahan kecil itu patah dan mengeluarkan bunyi. Begitu jatuh ke atas tanah, Banyak Angga segera meloncat dan berlindung di balik pohon itu.
Kini tinggal terhalang satu pohon lagi untuk sampai ke jajaran bangunan yang dia tuju itu. Dan Banyak Angga kembali meloncat-loncat agar bisa tiba di sana sebelum kehadiran peronda baru. Tadinya yang ingin dia tuju adalah bangunan besar di tengah. Namun niat itu dia arahkan ke tempat lain. Dari dalam bangunan pertama sayup-sayup terdengar suara lecutan cambuk disusul oleh suara orang menahan rasa sakit.
Banyak Angga segera menduga, di dalam bangunan itu ada orang yang tengah disiksa. Siapa yang siksa dan siapa pula yang menyiksa, itu pula yang jadi pusat perhatian Banyak Angga. Pemuda itu ingin mengetahuinya.
Maka dengan sangat hati-hati pemuda itu berusaha menaiki dinding bangunan yang terbuat dari serpihan papan jati. Hati-hati sekali sebab dia tak ingin ada suara keresekan biar sedikit pun. Banyak Angga sadar, di puri ini banyak orang pandai. Pangeran Yudakara dikenal punya kepandaian tinggi dan Banyak Angga tidak ingin bertindak gegabah.
Pemuda itu merayap ke atas dan menuju atap genting sirap. dengan amat hati-hati dia mencoba mencongkel serpihan daun sirap dengan harapan bisa membuat celah untuk mengintip ke bawah. Sudah dilakukan. Sorot matanya bisa melihat ke bawah. Pertama-tama yang dilihatnya adalah seorang prajurit bertubuh tinggi besar dengan muka penuh cambang bauk. Dia bertolak pinggang sambil tangannya memegangi cemeti (cambuk) terbuat dari kulit hitam yang dilinting.
Banyak Angga menggerak-gerakkan kepalanya, mencoba mengarahkan pandangannya ke tempat lain. Dia ingin sekali tahu, siapa yang tengah disiksa prajurit itu. Ada sepasang tangan yang diikat tambang ijuk ke atas balok kayu dan sepertinya sepasang tangan itu sengaja dikerek ke atas.
Banyak Angga ingin sekali melihat wajah orang yang terikat itu. Namun apa daya, tepat di hadapan orang yang terikat itu berdiri seorang laki-laki yang tubuhnya cukup tinggi sehingga menghalangi pandangan. Siapa orang bertubuh tinggi itu, Banyak Angga pun tak bisa memastikan sebab orang itu berdiri berkacak pinggang sambil menghadap ke arah tawanan, artinya pas membelakangi Banyak Angga. Namun ketika orang itu berbicara, Banyak Angga serasa kenal dengannya.
“Pengkhianat harus dibunuh!” desis orang itu.
Kemudian dijawab oleh tawanan, ”Aku bukan pengkhianat sebab tak pernah bersetia kepada siapa pun sebelumnya,”
Banyak Angga terkejut. Kedua orang yang bertanya-jawab itu tak lain Pangeran Yudakara dan Pragola. Pragola kini yang jadi tawanan Pangeran Yudakara. Karena apa?
“Dasar anak dungu! Bertahun-tahun kau berada di bawah pengawasanku, berarti kau anak buahku. Berarti pula kau harus bersetia kepadaku,” desis Pangeran Yudakara.
“Saya datang dan bergabung denganmu karena punya tujuan yang sama yaitu melawan musuh yang sama,” jawab Pragola.
“Nah, kau bilang begitu. Tapi mengapa kau abaikan perintahku?”
“Soal apa?”
“Berminggu-minggu kau dekat dengan Banyak Angga dan banyak kesempatan untuk melenyapkan pemuda itu, nyatanya tidak kau lakukan,” tutur Pangeran Yudakara. Diam sejenak. “Kau kini bersetia kepada Banyak Angga?”
“Sudah aku katakan, aku tak bersetia kepada siapa pun juga, kecuali kepada rasa benciku terhadap orang Pajajaran,”
“Bukankha Banyak Angga orang Pajajaran?”
“Ya, tapi aku hanya mau mencari si Ginggi yang kuanggap telah menjadi gara-gara kematian Ki Guru Sudireja,” kata Pragola lagi.
“Dungu. Kau hanya berkutat pada kepentingan pribadi belaka,” dengus Pangeran Yudakara.
“Pada akhirnya semua orang bekerja untuk kepentingan pribadi, tidak juga engkau Pangeran!” sergah Pragola.
Pangeran Yudakara memungut cambuk yang tengah dipegang prajurit brewok itu. Lantas cambuk itu dilecutkannya ke tubuh Pragola. Melalui celah genting sirap, Banyak Angga menyaksikan ada darah mengucur dari dada kiri Pragola yang tersayat ujung cambuk.
“Bunuhlah kalau aku tak menguntungkanmu!” teriak Pragola.
“Sudah barang tentu engkau harus kubunuh sebab hanya akan mengacaukan gerakan kami belaka,” cetus Pangeran Yudakara berkerot giginya. ”Engkau hanya berfikir tentang dendam pribadi belaka. Hai orang dungu dengarkan, membunuh mungkin saja bagian dari perjuangan tapi itu bukan tujuan satu-satunya, dan bukan karena dendam. Kau hanya ingin bunuh Ginggi dan menolak perintah bunuh Banyak Angga. Itulah mengacaukan. Tindak-tandukmu yang liar tak terpimpin itu hanya akan membahayakan gerakan kami saja,” tutur lagi Pangeran Yudakara. ”Bunuh bedebah ini!” teriaknya memerintahkan prajurit brewok. Yang diperintah segera mencabut kelewang.
Banyak Angga yang mengintip dari atas wuwungan amat terkejut. Dia akan segera mendobrak genting sirap untuk memberikan pertolongan. Pragola boleh menjadi penyelundup yang membahayakan Pakuan. Namun Banyak Angga berfikir bahwa Pragola adalah pemuda baik. Apalagi dia tahu bahwa Pragola adik kandung Ginggi. Dia harus berusaha menyelamatkan pemuda itu.
Namun belum juga niatnya terlaksana, terdengar suara dentangan dari bawah. Banyak Angga kembali mengintip, ternyata kelewang yang tadi diayunkan prajurit sudah menancap di tiang kayu jati dan bergoyang-goyang mantap. Banyak Angga semakin terkejut. Entah dengan cara apa, namun kelewang yang sedianya diayunkan ke tubuh Pragola tentu ditepis oleh orang yang baru datang. Inilah yang membuat dirinya terkejut sebab pendatang itu dia hafal betul siapa.
“Ki Banaspati…” bisiknya bergetar.
Mengapa tak terkejut sebab Ki Banaspati adalah tokoh yang dicari-cari pihak Pakuan selama ini. Secara diam-diam, ayahandanya tengah menyelidiki tokoh ini yang secara misterius menghilang dari Pakuan belasan tahun silam.
Seperti sudah diterangakan di bagian awal, belasan tahun silam semasa Pakuan dirajai Prabu Ratu Sakti (1543-1551 M), terjadi pemberontakan dari wilayah sagaraherang yang ketika itu dipimpin Kandagalante Sunda Sembawa. Sunda Sembawa dapat dibunuh waktu itu juga oleh pasukan Pakuan, begitu pun pengikut-pengikutnya bisa dilumpuhkan.
Namun dari hasil penyelidikan pemerintah, ternyata gerakan Sunda Sembawa tak berdiri sendiri. Para pejabat di Pakuan yang bersetia kepada raja bahkan mencurigai bahwa Sunda Sembawa sebetulnya hanya dipakai sebagai anak panah belaka. Artinya, ada kekuatan lain yang bertindak sebagai penarik busur. Namun siapakah gerangan, pihak Pakuan belum bisa membuktikannya.
Selentingan mengatakan, Ki Bagus Seta berambisi menguasai Pakuan. Untuk itu serta-merta “meberikan: putrinya Nyi Mas Layang Kingkin sebagai selir Raja, dengan maksud agar bisa lebih leluasa masuk ke istana. Ki Banaspati malah dianggap lebih berbahaya lagi sebab tindak-tanduknya tak kentara dan amat misterius.
Sewaktu Prabu Ratu Sakti berkuasa, Ki Banaspati menjabat sebagai Muhara (petugas penarik pajak). Dia banyak mempengaruhi Raja agar menaikkan seba (pajak) sebab kejayaan negara harus dikembalikan ke masa silam seperti masanya pemerintaha Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M). Musuh-musuh harus dihancurkan dan angkatan perang harus diperkuat.
Sang Prabu Ratu Sakti terpengaruh sehingga rakyat menjerit karena beban pajak yang tinggi. Akibatnya banyak wilayah yang mencoba memberontak dan memilih memisahkan diri atau ikut bergabung dengan negara agama baru yaitu Carbon (Cirebon).
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================
No comments:
Post a Comment