SEMENJAK dunia berkembang, segala mahluk dan benda baik yang dapat bergerak maupun yang tidak, harus mengakui keunggulan tenaga alam, harus mengakui bahwa mereka tak kuasa melawannya, tak kuasa menolaknya, hanya kuasa lari menjauhinya atau pergi sembunyi mencari tempat perlindungan, jika sewaktu-waktu tenaga alam memperlihatkan keunggulannya, jika tenaga alam bangkit dan mempermainkan segala apa yang ada di muka bumi ini.
Demikian pula penduduk ibu kota Karta, ibu kota Kerajaan Mataram dengan daerahnya yang terkenal subur makmur gemah ripah loh Jinawi itu, dimana rakyat hidup penuh kebahagiaan karena murah sandang pangan, tata tenteram reja raharja, karena kendali pemerintah berada dalam sepasang lengan yang kuat dari Sultan Agung, Mas Rangsang yang bergelar Panembahan Agung Senapati Ing AlagaNgabdurrahman, seorang penata praja yang arif bijaksana, sakti mandraguna dan luhur budi pekertinya.
Namun demikian, sewaktu-waktu, penduduk ibu kota Karta terpaksa menyerah kepada kekuasaan alam yang maha besar, hingga Sri Sultan sendiri yang terkenal sakti dan perkasa, tak kuasa menentang dan menghentikan kemurkaan alam berupa hujan badai, banjir, gunung meletus, dan lain-lain.
Suatu senja yang basah. Air hujan turun dari angkasa bagaikan sengaja dituang atau seakan-akan megamendung yang tebal menghitam itu merupakan kantung air yang banyak berlubang dan membocor.
Hujan mengamuk dari siang tadi. Baiknya, berkat pengalaman musim hujan tahun lalu, atas perintah raja yang bijaksana, rakyat telah beramai-ramai memperdalam sungai dan membuat tanggul untuk membendung Bengawan Solo yang mudah mengamuk di musim hujan.
Pada senja itu tak seorangpun berani keluar dari rumah. Mereka berlindung dalam rumah sambil memandang keluar jendela atau pintu dengan hati risau, mengkhawatirkan sawah ladang mereka.
Tapi pada saat itu, dari jurusan timur, seorang pemuda berjalan memasuki pintu gerbang ibu kota dengan langkah tenang. Hujan telah agak reda tapi masih cukup besar untuk membuat pemuda itu menjadi basah kuyup. Pengikat kepala warna putih itu basah dan air telah menembusinya, membuat rambut yang panjang hitam itu basah pula.
Butir-butiran air saling udak di sepanjang hidungnya yang mancung, terus ke bibir dan dagu yang berbentuk tampan dan keras. Dari pinggang ke atas ia telanjang. Bidangnya lebar, pinggang kecil dan buah dadanya membusung, tanda bahwa tubuh itu didiami tenaga yang kuat sekali. Ia memakai celana hitam sebatas betis dan sehelai kain keabu-abuan diikatkan di pinggang.
Perhatian anak muda itu seluruhnya tertarik oleh pemandangan di sebelah dalam pintu gerbang hingga ia tidak melihat betapa dua orang penjaga yang berlindung dari hujan di bawah gapura sedang memandang padanya dengan mata curiga.
"Hordah! Siapa disitu?"
Tiba-tiba seorang penjaga menegurnya dengan suara keras dan ujung sebuah tombak yang runcing mengkilap muncul dari balik dinding gapura.
Biarpun pakaiannya menunjukkan bahwa ia adalah seorang kampung, namun pemuda itu ternyata tabah dan sikapnya tenang sekali. Bentakan suara keras dan tajamnya mata tombak tak membuatnya gentar atau gugup. Dengan senyum di bibir ia menengok ke arah penegurnya lalu berkata tenang,
"Maaf, kawan-kawan, aku tidak melihat kalian tadi hingga tidak memberi salam. Aku seorang pengembara dari tempat jauh yang telah lama mengagumi nama dan kebesaran Gusti Sultan dan yang sekarang datang hendak menyaksikan keindahan dan keagungan ibu kota Mataram yang jaya ini."
"Bohong kamu! Masak seorang pelancong datang pada waktu hujan besar begini? Kamu tentu mempunyai maksud Jahat. Hayo kesini, kami akan geledah dulu."
Pemuda itu tersenyum manis.
"Mau geledah sih boleh saja, tapi kalian harus kesini, bukan aku yang harus kesitu."
"Eh-eh, banyak tingkah! Hayo kesini kamu!" teriak penjaga sambil mengamang-amangkan tinjunya.
"Kau saja kesini!" pemuda itu tetap berkeras tapi mulutnya selalu tersenyum.
"Tidak kau lihat air hujan masih turun? Kami tak sudi kehujanan," jawab penjaga.
"Akupun kehujanan dari tadi. Lagi pula, siapakah yang butuh akan penggeledahan ini? Kalian atau aku? Kalau aku yang butuh digeledah, tentu aku akan kesitu. Tapi sekarang kalianlah yang butuh menggeledahku, maka kalianlah yang harus kesini."
"Jangan banyak cakap. Lekas kau kesini, kalau bandel, jangan menyesal nanti jika kami gunakan kekerasan." Penjaga kedua yang lebih tua dan sabar memberi peringatan.
"Aha, kalian berani gunakan kekerasan? Aku tidak percaya, sedangkan terhadap air hujan saja kalian sudah takut,"
Pemuda itu terus saja berjenaka, tapi suaranya sekali-kali tidak mengandung maksud menghina, bahkan ia seakan-akan ingin bersendau-gurau dengan kedua penjaga itu.
"Bangsat kecil jangan lari!"
Penjaga pertama berseru marah dan meloncat keluar dari tempat meneduhnya dan mengulur tangannya untuk menjambak rambut pemuda itu. Tapi dengan tenang pemuda itu miringkan kepala hingga si penjaga menjambak angin!
Penjaga yang bertubuh tinggi besar itu marah sekali. Kini ia menyerang dengan pukulan ke arah dada lawannya yang kembali berkelit tenang. Demikianlah, penjaga itu dipermainkan dengan kelitan dan gerakan lincah hingga ia menjadi pusing. Ketika ia ayun kepalan tangannya untuk kesekian kalinya dengan sepenuh tenaga, pemuda itu berkelit sambil menyindir,
"Sayang, pukul angin lagi!"
Pukulan itu keras sekali dan dilakukan dengan sepenuh tenaga, maka ketika dikelit, tak ampun lagi tubuh si penjaga menjadi limbung dan kakinya terpeleset hingga tubuhnya jatuh berdebuk di atas tanah yang basah dan licin!
"Eh, hati-hati kawan, tanah licin kau nanti jatuh!" kata pemuda itu dengan suara demikian jenaka dan lucu hingga penjaga kedua mau tak mau ikut tertawa juga.
Penjaga yang jatuh melihat dirinya dipermainkan dan ditertawakan pula oleh kawannya, menjadi marah sekali. Dengan cepat ia meloncat bangun dan lari ke dalam tempat penjagaan dan mengambil tombaknya.
"Bangsat rendah, jangan lari, lihat tombakku!" katanya dan cepat ia menyerang lambung lawan dengan tombaknya.
"Hai, jangan main-main dengan senjata tajam." Pemuda itu masih saja berjenaka sambil loncat berkelit.
"Awas, kutarik keluar ususmu yang jahat!"
Penjaga itu makin marah. Melihat lawannya sudah berlaku nekat dan marah, pemuda itu agaknya kasihan juga. Ketika ujung tombak menyerang ke arah perutnya ia tidak berkelit, tapi gunakan tangannya memapaki senjata itu. Ia gunakan pinggir telapak tangannya menebas bagaikan sebilah parang dan
"krakk!!" gagang tombak terbuat dari kayu asam yang keras dan ulet itu patah menjadi dua!
Sementara itu, si penjaga melepaskan gagang tombak yang telah patah karena tenaga sabetan itu membuat telapak tangannya terasa sakit sekali dan ketika dilihatnya, ternyata telapak tangannya luka kulitnya dan berdarah, rasanya perih dan sakit sekali.
Penjaga kedua telah keluar dari tempat penjagaan dan memandang pemuda itu dengan bimbang dan kagum.
"Hai, pemuda yang gagah. Raden ini siapa dan dari mana. Menurut aturan yang telah ditentukan, kami para penjaga harus mengetahui keadaan setiap orang asing yang memasuki kota ini."
Mendengar ucapan penjaga tua yang halus ini, pemuda itu berlaku hormat.
"Maafkan aku, paman. Bukan maksudku mencari keributan. Tadi aku hanya melayani kawan yang suka main-main ini. Aku bernama Jarot dari desa Wangkal di Tengger Utara. Aku seorang pengembara dan ingin sekali melihat Kerajaan Mataram yang telah mashur ini dari dekat. Harap paman penjaga sudi memaafkanku." Sikap dan tutur katanya sopan dan menarik hingga penjaga itu hilang kecurigaannya.
"Kalau begitu silakan, anak muda. Hanya saja janganlah kau berjalan seorang diri dalam hari hujan seperti ini, karena hal ini dapat menimbulkan kecurigaan penduduk padamu. Meneduhlah dimana saja, penduduk kota kita akan menerimamu dengan baik."
Jarot mengucap terima kasih dan setelah minta maaf kepada penjaga yang tadi dipermainkannya itu, ia lanjutkan perjalanannya memasuki kota. Dua orang penjaga itu memandangnya dari belakang dengan heran dan kagum.
"Kalau ia ikut memasuki sayembara di alun-¬alun, pasti ia akan menang," kata penjaga tua itu.
Pemuda itu membelok ke kiri memasuki sebuah perkampungan yang banyak ditumbuhi pohon pisang. Sebenarnya ia masuk ke kampung itu karena tertarik oleh bunyi irama besi tertempa, menandakan bahwa di kampung situ terdapat seorang pandai besi.
Dan pandai besi pada masa itu terpandang tinggi sebagai seorang berkepandaian tinggi, barangkali sama halnya dengan orang sekarang memandang seorang guru ahli. Pandai besi, terutama yang khusus membuat senjata tajam, dianggap berjasa sekali, dan biasanya seorang pembuat keris dianggap seorang suci yang berderajat penembahan atau pertapa sakti dan disebut empu.
Dengan perlahan dan hati-hati Jarot mengetuk daun pintu rumah pandai besi itu. Suara tang-ting-tong berhenti sejenak dan terdengarlah suara orang dari dalam,
"Anak muda yang diluar masuklah saja, pintu pondokku tak pernah diganjal atau dipalang. Buka saja!" Suara ini halus dan besar.
Jarot mendorong daun pintu dengan perasaan heran mengapa orang di dalam tahu bahwa ia adalah seorang pemuda. Ternyata isi gubuk itu melarat sekali. Selain tungku api dan besi landasan serta perabot-pandai sederhana, disudut terdapat sebuah bale-bale bambu.
Seorang orang tua berpakaian jubah putih yang panjang dan tergulung lengan bajunya, tidak bersorban hingga rambutnya yang panjang dan putih yang hanya diikat dengan lawe terurai di atas bahunya, dan bertelanjang kaki sedang berdiri membelakanginya, tangan kiri memegang sebilah keris luk tiga dan tangan kanan memegang sebuah besi pemukul.
Ketika mendengar Jarot memasuki pondoknya, orang tua itu balikkan tubuh menghadapinya. Dan sekali pandang saja tahulah Jarot bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang tua ahli tapa yang suci. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia bersila dan menyembah.
"Mohon kemurahan hati eyang untuk mengampuni saya yang lancang dan berani memasuki pondok eyang."
Orang tua itu menggunakan lengan kanannya untuk melindungi matanya dari sinar api tungku yang terang dan sepasang matanya yang dilindungi alis putih menatap wajah anak muda yang bersila dengan kepala tunduk di depannya.
"Angger, siapakah kau dan ada apa kau masuk ke dalam gubukku yang miskin dan kotor ini?"
"Saya bernama Jarot dari Pegunungan Tengger, eyang. Saya seorang perantau yang tak mempunyai tujuan tertentu, hanya ingin menikmati tamasya alam dengan segala pemberian alam yang pengasih, sambil meluaskan pengetahuan yang dangkal. Mohon ampun jika saya mengganggu kepada eyang. Suara besi landasan terpukul menimbulkan bunyi nyaring dan merdu hingga membetot perasaan saya dan membuat kedua kaki saya dengan tak terasa bergerak ke arah suara. Ampunkan saya, eyang."
"Hm, agaknya kau juga tergolong manusia pengolah baja?"
"Saya tak berani mengaku seperti itu, eyang, hanya saya pernah melihat dan membantu paman Empu Jayagung sebagai penggerak puputan selama beberapa tahun."
"Begitu? Pantas saja kau tertarik oleh suara dentingan landasan. Eh, Jarot, jika kau pernah membantu Empu Jayagung, coba terangkan, dengan apakah orang dapat menguasai kekerasan?"
"Kekerasan hanya dapat ditundukkan dengan kehalusan."
"Syarat apakah untuk dapat menjadi penempa keris?"
"Kekerasan baja hanya dapat dibentuk dan dikalahkan dengan ketekunan, kesabaran, dan kekuatan."
"Bagus, angger. Mari, mari duduk disana denganku."
Demikian pula penduduk ibu kota Karta, ibu kota Kerajaan Mataram dengan daerahnya yang terkenal subur makmur gemah ripah loh Jinawi itu, dimana rakyat hidup penuh kebahagiaan karena murah sandang pangan, tata tenteram reja raharja, karena kendali pemerintah berada dalam sepasang lengan yang kuat dari Sultan Agung, Mas Rangsang yang bergelar Panembahan Agung Senapati Ing AlagaNgabdurrahman, seorang penata praja yang arif bijaksana, sakti mandraguna dan luhur budi pekertinya.
Namun demikian, sewaktu-waktu, penduduk ibu kota Karta terpaksa menyerah kepada kekuasaan alam yang maha besar, hingga Sri Sultan sendiri yang terkenal sakti dan perkasa, tak kuasa menentang dan menghentikan kemurkaan alam berupa hujan badai, banjir, gunung meletus, dan lain-lain.
Suatu senja yang basah. Air hujan turun dari angkasa bagaikan sengaja dituang atau seakan-akan megamendung yang tebal menghitam itu merupakan kantung air yang banyak berlubang dan membocor.
Hujan mengamuk dari siang tadi. Baiknya, berkat pengalaman musim hujan tahun lalu, atas perintah raja yang bijaksana, rakyat telah beramai-ramai memperdalam sungai dan membuat tanggul untuk membendung Bengawan Solo yang mudah mengamuk di musim hujan.
Pada senja itu tak seorangpun berani keluar dari rumah. Mereka berlindung dalam rumah sambil memandang keluar jendela atau pintu dengan hati risau, mengkhawatirkan sawah ladang mereka.
Tapi pada saat itu, dari jurusan timur, seorang pemuda berjalan memasuki pintu gerbang ibu kota dengan langkah tenang. Hujan telah agak reda tapi masih cukup besar untuk membuat pemuda itu menjadi basah kuyup. Pengikat kepala warna putih itu basah dan air telah menembusinya, membuat rambut yang panjang hitam itu basah pula.
Butir-butiran air saling udak di sepanjang hidungnya yang mancung, terus ke bibir dan dagu yang berbentuk tampan dan keras. Dari pinggang ke atas ia telanjang. Bidangnya lebar, pinggang kecil dan buah dadanya membusung, tanda bahwa tubuh itu didiami tenaga yang kuat sekali. Ia memakai celana hitam sebatas betis dan sehelai kain keabu-abuan diikatkan di pinggang.
Perhatian anak muda itu seluruhnya tertarik oleh pemandangan di sebelah dalam pintu gerbang hingga ia tidak melihat betapa dua orang penjaga yang berlindung dari hujan di bawah gapura sedang memandang padanya dengan mata curiga.
"Hordah! Siapa disitu?"
Tiba-tiba seorang penjaga menegurnya dengan suara keras dan ujung sebuah tombak yang runcing mengkilap muncul dari balik dinding gapura.
Biarpun pakaiannya menunjukkan bahwa ia adalah seorang kampung, namun pemuda itu ternyata tabah dan sikapnya tenang sekali. Bentakan suara keras dan tajamnya mata tombak tak membuatnya gentar atau gugup. Dengan senyum di bibir ia menengok ke arah penegurnya lalu berkata tenang,
"Maaf, kawan-kawan, aku tidak melihat kalian tadi hingga tidak memberi salam. Aku seorang pengembara dari tempat jauh yang telah lama mengagumi nama dan kebesaran Gusti Sultan dan yang sekarang datang hendak menyaksikan keindahan dan keagungan ibu kota Mataram yang jaya ini."
"Bohong kamu! Masak seorang pelancong datang pada waktu hujan besar begini? Kamu tentu mempunyai maksud Jahat. Hayo kesini, kami akan geledah dulu."
Pemuda itu tersenyum manis.
"Mau geledah sih boleh saja, tapi kalian harus kesini, bukan aku yang harus kesitu."
"Eh-eh, banyak tingkah! Hayo kesini kamu!" teriak penjaga sambil mengamang-amangkan tinjunya.
"Kau saja kesini!" pemuda itu tetap berkeras tapi mulutnya selalu tersenyum.
"Tidak kau lihat air hujan masih turun? Kami tak sudi kehujanan," jawab penjaga.
"Akupun kehujanan dari tadi. Lagi pula, siapakah yang butuh akan penggeledahan ini? Kalian atau aku? Kalau aku yang butuh digeledah, tentu aku akan kesitu. Tapi sekarang kalianlah yang butuh menggeledahku, maka kalianlah yang harus kesini."
"Jangan banyak cakap. Lekas kau kesini, kalau bandel, jangan menyesal nanti jika kami gunakan kekerasan." Penjaga kedua yang lebih tua dan sabar memberi peringatan.
"Aha, kalian berani gunakan kekerasan? Aku tidak percaya, sedangkan terhadap air hujan saja kalian sudah takut,"
Pemuda itu terus saja berjenaka, tapi suaranya sekali-kali tidak mengandung maksud menghina, bahkan ia seakan-akan ingin bersendau-gurau dengan kedua penjaga itu.
"Bangsat kecil jangan lari!"
Penjaga pertama berseru marah dan meloncat keluar dari tempat meneduhnya dan mengulur tangannya untuk menjambak rambut pemuda itu. Tapi dengan tenang pemuda itu miringkan kepala hingga si penjaga menjambak angin!
Penjaga yang bertubuh tinggi besar itu marah sekali. Kini ia menyerang dengan pukulan ke arah dada lawannya yang kembali berkelit tenang. Demikianlah, penjaga itu dipermainkan dengan kelitan dan gerakan lincah hingga ia menjadi pusing. Ketika ia ayun kepalan tangannya untuk kesekian kalinya dengan sepenuh tenaga, pemuda itu berkelit sambil menyindir,
"Sayang, pukul angin lagi!"
Pukulan itu keras sekali dan dilakukan dengan sepenuh tenaga, maka ketika dikelit, tak ampun lagi tubuh si penjaga menjadi limbung dan kakinya terpeleset hingga tubuhnya jatuh berdebuk di atas tanah yang basah dan licin!
"Eh, hati-hati kawan, tanah licin kau nanti jatuh!" kata pemuda itu dengan suara demikian jenaka dan lucu hingga penjaga kedua mau tak mau ikut tertawa juga.
Penjaga yang jatuh melihat dirinya dipermainkan dan ditertawakan pula oleh kawannya, menjadi marah sekali. Dengan cepat ia meloncat bangun dan lari ke dalam tempat penjagaan dan mengambil tombaknya.
"Bangsat rendah, jangan lari, lihat tombakku!" katanya dan cepat ia menyerang lambung lawan dengan tombaknya.
"Hai, jangan main-main dengan senjata tajam." Pemuda itu masih saja berjenaka sambil loncat berkelit.
"Awas, kutarik keluar ususmu yang jahat!"
Penjaga itu makin marah. Melihat lawannya sudah berlaku nekat dan marah, pemuda itu agaknya kasihan juga. Ketika ujung tombak menyerang ke arah perutnya ia tidak berkelit, tapi gunakan tangannya memapaki senjata itu. Ia gunakan pinggir telapak tangannya menebas bagaikan sebilah parang dan
"krakk!!" gagang tombak terbuat dari kayu asam yang keras dan ulet itu patah menjadi dua!
Sementara itu, si penjaga melepaskan gagang tombak yang telah patah karena tenaga sabetan itu membuat telapak tangannya terasa sakit sekali dan ketika dilihatnya, ternyata telapak tangannya luka kulitnya dan berdarah, rasanya perih dan sakit sekali.
Penjaga kedua telah keluar dari tempat penjagaan dan memandang pemuda itu dengan bimbang dan kagum.
"Hai, pemuda yang gagah. Raden ini siapa dan dari mana. Menurut aturan yang telah ditentukan, kami para penjaga harus mengetahui keadaan setiap orang asing yang memasuki kota ini."
Mendengar ucapan penjaga tua yang halus ini, pemuda itu berlaku hormat.
"Maafkan aku, paman. Bukan maksudku mencari keributan. Tadi aku hanya melayani kawan yang suka main-main ini. Aku bernama Jarot dari desa Wangkal di Tengger Utara. Aku seorang pengembara dan ingin sekali melihat Kerajaan Mataram yang telah mashur ini dari dekat. Harap paman penjaga sudi memaafkanku." Sikap dan tutur katanya sopan dan menarik hingga penjaga itu hilang kecurigaannya.
"Kalau begitu silakan, anak muda. Hanya saja janganlah kau berjalan seorang diri dalam hari hujan seperti ini, karena hal ini dapat menimbulkan kecurigaan penduduk padamu. Meneduhlah dimana saja, penduduk kota kita akan menerimamu dengan baik."
Jarot mengucap terima kasih dan setelah minta maaf kepada penjaga yang tadi dipermainkannya itu, ia lanjutkan perjalanannya memasuki kota. Dua orang penjaga itu memandangnya dari belakang dengan heran dan kagum.
"Kalau ia ikut memasuki sayembara di alun-¬alun, pasti ia akan menang," kata penjaga tua itu.
Pemuda itu membelok ke kiri memasuki sebuah perkampungan yang banyak ditumbuhi pohon pisang. Sebenarnya ia masuk ke kampung itu karena tertarik oleh bunyi irama besi tertempa, menandakan bahwa di kampung situ terdapat seorang pandai besi.
Dan pandai besi pada masa itu terpandang tinggi sebagai seorang berkepandaian tinggi, barangkali sama halnya dengan orang sekarang memandang seorang guru ahli. Pandai besi, terutama yang khusus membuat senjata tajam, dianggap berjasa sekali, dan biasanya seorang pembuat keris dianggap seorang suci yang berderajat penembahan atau pertapa sakti dan disebut empu.
Dengan perlahan dan hati-hati Jarot mengetuk daun pintu rumah pandai besi itu. Suara tang-ting-tong berhenti sejenak dan terdengarlah suara orang dari dalam,
"Anak muda yang diluar masuklah saja, pintu pondokku tak pernah diganjal atau dipalang. Buka saja!" Suara ini halus dan besar.
Jarot mendorong daun pintu dengan perasaan heran mengapa orang di dalam tahu bahwa ia adalah seorang pemuda. Ternyata isi gubuk itu melarat sekali. Selain tungku api dan besi landasan serta perabot-pandai sederhana, disudut terdapat sebuah bale-bale bambu.
Seorang orang tua berpakaian jubah putih yang panjang dan tergulung lengan bajunya, tidak bersorban hingga rambutnya yang panjang dan putih yang hanya diikat dengan lawe terurai di atas bahunya, dan bertelanjang kaki sedang berdiri membelakanginya, tangan kiri memegang sebilah keris luk tiga dan tangan kanan memegang sebuah besi pemukul.
Ketika mendengar Jarot memasuki pondoknya, orang tua itu balikkan tubuh menghadapinya. Dan sekali pandang saja tahulah Jarot bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang tua ahli tapa yang suci. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia bersila dan menyembah.
"Mohon kemurahan hati eyang untuk mengampuni saya yang lancang dan berani memasuki pondok eyang."
Orang tua itu menggunakan lengan kanannya untuk melindungi matanya dari sinar api tungku yang terang dan sepasang matanya yang dilindungi alis putih menatap wajah anak muda yang bersila dengan kepala tunduk di depannya.
"Angger, siapakah kau dan ada apa kau masuk ke dalam gubukku yang miskin dan kotor ini?"
"Saya bernama Jarot dari Pegunungan Tengger, eyang. Saya seorang perantau yang tak mempunyai tujuan tertentu, hanya ingin menikmati tamasya alam dengan segala pemberian alam yang pengasih, sambil meluaskan pengetahuan yang dangkal. Mohon ampun jika saya mengganggu kepada eyang. Suara besi landasan terpukul menimbulkan bunyi nyaring dan merdu hingga membetot perasaan saya dan membuat kedua kaki saya dengan tak terasa bergerak ke arah suara. Ampunkan saya, eyang."
"Hm, agaknya kau juga tergolong manusia pengolah baja?"
"Saya tak berani mengaku seperti itu, eyang, hanya saya pernah melihat dan membantu paman Empu Jayagung sebagai penggerak puputan selama beberapa tahun."
"Begitu? Pantas saja kau tertarik oleh suara dentingan landasan. Eh, Jarot, jika kau pernah membantu Empu Jayagung, coba terangkan, dengan apakah orang dapat menguasai kekerasan?"
"Kekerasan hanya dapat ditundukkan dengan kehalusan."
"Syarat apakah untuk dapat menjadi penempa keris?"
"Kekerasan baja hanya dapat dibentuk dan dikalahkan dengan ketekunan, kesabaran, dan kekuatan."
"Bagus, angger. Mari, mari duduk disana denganku."
No comments:
Post a Comment