Semenjak terjadi peristiwa yang hebat dan berlarut-larut itu, yang semenjak ia menyuruh membunuh anak isterinya sendiri dan maksud itu gagal karena kedatangan perampok-perampok yang ternyata adalah Jaka Galing dan kawan-kawannya, sampai peristiwa pembunuhan Pangeran Bagus Kuswara di tamannya, hati Adipati Gendrosakti tidak tenteram.
Ia merasa gelisah sekali dan selalu mengharap-harapkan berita yang datang dari para perajurit yang diutus membasmi Jaka Galing. Kalau saja perajuritnya berhasil menumpas Jaka Galing dan Dwipa berhasil membunuh Dewi Cahyaningsih dan puspasari, maka akan bereslah semua persoalan.
Kepada Sang Prabu Brawijaya akan diceritakan semua peristiwa itu dengan menumpahkan semua kesalahan di pundak Jaka Galing si pemberontak itu! Akan tetapi, telah tiga hari ia menunggu-nunggu, belum juga ada berita dari orang-orangnya, maka bukan main gelisahnya.
Akan tetapi Sariti, selirnya yang cantik manis itu, pandai sekali menghibur hatinya hingga ia dapat juga melupakan kegelisahannya, apalagi di waktu malam hari, kalau Sariti sudah menari dan berdendang dengan gaya yang menarik hati lenyaplah semua kekesalan dan kegelisahan hatinya.
Sebentar saja adipati ini telah melupakan segala hal yang membuatnya membunuh Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar dan cintanya terhadap Sariti semakin mendalam!
Ketika seorang penjaganya melaporkan pada suatu senja bahwa Sang Prabu Brawijaya dengan sekalian pengiringnya datang ke Kadipaten Tandes, menggigillah tubuh Adipati Gendrosakti. Tapi Sariti dapat menghiburnya hingga ketika ia menyambut kedatangan Sang Prabu Brawijaya dengan sembah baktinya, ia dapat menetapkan hatinya.
Sang Prabu Brawijaya sengaja menyuruh Jaka Galing, Dewi Cahyaningsih dan Puspasari bersembunyi hingga Adipati Gendrosakti tidak tahu bahwa ketiga orang itupun datang bersama sang baginda.
Setelah menerima penghormatan Adipati Gendrosakti, Sang Prabu Brawijaya pura- pura bertanya kemana perginya puteri Dewi Cahyaningsih.
Adipati memandang heran dan menyembah serta berkata.
“Aduhai ramanda prabu, bukankah hamba sudah mengirim utusan untuk menyampaikan warta yang menyedihkan bahwa Dewi Cahyaningsih dan puterinya Puspasari telah diculik sipemberontak Jaka Galing di hutan Kledung?”
“Gendrosakti, coba kau ingat-ingat. Kurangkah kurniaku kepadamu? Kau telah kuangkat menjadi adipati di Tandes, bahkan kuberi kurnia hingga puteriku Cahyaningsih kuberikan kepadamu sebagai isteri. Tapi mengapa kau berani membohong di depanku?”
Pucatlah wajah Adipati Gendrosakti mendengar ini hingga tubuhnya menggigil!
“Aduh rama prabu..... hamba.... hamba tidak sekali-kali..... berani membohong.....”
“Keparat! Kau berani bersumpah bahwa apa yang kau katakan tadi betul dan tidak
membohong?” bentak Sang Prabu Brawijaya.
“Ti..... tidak, rama prabu...... hamba berani bersumpah.....”
“Coba kau suruh selirmu yang bernama Sariti itu keluar!”
Terkejutlah Adipati Gendrosakti, tapi terpaksa ia memberi perintah kepada pelayan untuk memanggil selirnya itu.
Ketika Sariti keluar dengan gaya yang lemah-lembut, semua orang memandang dengan penuh rasa kagum akan kecantikannya, tapi benci akan pengaruhnya yang jahat terhadap Adipati Gendrosakti.
Sariti dengan gaya yang menarik hati sekali menjatuhkan diri berlutut dan menyembah, lagak dan gayanya tidak kalah indah dan halusnya daripada sekalian puteri keraton asli.
Sang Brabu Brawijaya lalu memberi isyarat ke belakang dan Dewi Cahyaningsih beserta Puspasari lalu menghadap disitu. Bukan main kagetnya melihat betapa anak isterinya hadir disitu menjadi saksi. Ia hanya memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tapi Sariti tampak tenang-tenang saja.
“Hai, Gendrosakti, tidak pandai pulakah kau menyapa anak isterimu yang terlepas dari bahaya maut?”
“Hamba......... hamba merasa bahagia sekali, rama prabu......” Gendrosakti menjawab gagap.
"Anakku Cahyaningsih, sekarang ceritakanlah kembali pengalaman dan penderitaanmu karena perbuatan keparat ini," kata Prabu Brawiajaya. Sambil menangis Dewi Cahyaningsih menceritakan pengalamannya.
“Din...... dinda Cahyaningsih, isteriku...... sampai hatikah kau memfitnah suamimu sendiri macam ini?” Gendrosakti menggigil sambil memandang wajah isterinya dengan pucat.
“Diam kau!” bentak Sang Prabu Brawijaya, dwipa lalu dipanggil menghadap.
Penjahat yang sudah rusak tubuhnya karena menerima pukulan tangan Lembupangarsa ini lalu dipaksa menceritakan segala perintah dan rencana Gendrosakti untuk membunuh anak isterinya.
Mendengar ini, lemaslah Adipati Gendrosakti dan ia hanya menundukkan kepalanya, tidak berani mengangkat muka atau bergerak.
“Nah, penjahat kejam! Apakah kau hendak menyangkal pula? Kau hendak membunuh isterimu sendiri, hendak membunuh puteriku dan membunuh anakmu sendiri, hukuman apakah yang patut dijatuhkan kepada seorang manusia berhati binatang seperti engkau?”
Adipati Gendrosakti tidak dapat menjawab, hanya menyembah meminta ampun dengan tubuh menggigil ketakutan.
“Dan masih banyak lagi, jahanam! Puteraku Bagus Kuswara dan utusanku Ki Ageng
Bandar dimana?”
Adipati Gendrosakti mengangkat mukanya yang pucat bagaikan mayat.
“Me....... mereka......... di....... dibunuh oleh pemberontak Jaka Galing ......” jawabnya gagap gemetar tidak karuan.
“Manusia sesat! Lagi-lagi kau timpakan kesalahan kepada orang lain! Benar-benarkah puteraku dan utusanku itu dibunuh oleh Jaka Galing?”
“Be....... benar, rama prabu......”
“Jangan kau sebut aku rama prabu lagi!” Bentak Sang Prabu Brawijaya.
Kemudian Sang Prabu Brawijaya memberi isyarat dan dari belakang muncullah Jaka Galing dengan tombak Kyai Santanu di tangan kanan. Pemuda ini bertindak perlahan dan dengan dada terangkat gagah sekali, sedangkan sepasang matanya berkilat menyambar ke arah Adipati Gendrosakti!
Melihat kedatangan anak muda itu, Gendrosakti makin bingung dan gelisah. Akan tetapi, tiba-tiba Sariti yang ikut melihat kedatangan pemuda itu, menuding sambil menangis,
“Inilah.......! Inilah pembunuh gusti pangeran itu.....!” Wanita ini lalu menangis tersedu-sedu.
Sang Prabu Brawijaya lalu memandang ke arah Sariti dengan pandang mata menghina.
Jaka Galing lalu duduk bersila di depan Sang Prabu Brawijaya dengan tenang, tapi didalam dadanya bernyala api kebencian melihat Gendrosakti.
“Gendrosakti, orang yang kau tuduh itu telah berada disini. Coba kau ulangi tuduhanmu tentang pembunuhan itu.”
Dengan suara terputus-putus dan tidak leluasa, Gendrosakti lalu menuturkan betapa Jaka Galing menyerbu taman dan membunuh dua orang tamu agungnya.
“Jaka Galing, kau boleh bicara untuk membela diri dari tuduhan Gendrosakti.” Prabu Brawijaya berkata kepada Jaka Galing.
"Semua kata-kata yang keluar dari mulut Gendrosakti adalah bohong semata-mata! Pada waktu malam yang disebutkan olehnya itu, hamba sedang menghadapi serbuan Senapati Suranata di dalam hutan dan sedang mempermainkannya dengan kurungan api. Banyak yang menjadi saksi hamba, diantaranya yang menjadi saksi adalah puteri paduka sendiri yang pada waktu itupun berada di hutan. Maka tuduhan ini hanyalah fitnah keji dan palsu belaka. Tidak ada sebab-sebab yang membuat hamba begitu gila untuk membunuh Gusti Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar yang belum pernah hamba jumpai dan tidak punya hubungan apa-apa. Hamba mohon keadilan paduka,gusti.”
“Tahukah kau siapa yang membunuh mereka?” tanya sang prabu.
“Hamba tidak tahu, gusti, hal itu sebaiknya ditanyakan kepada Gendrosakti sendiri, karena ia dan selirnya pasti tahu akan hal ini.”
“Benar, aku tahu dan menjadi saksi!” tiba-tiba Sariti berseru. “Kaulah yang membunuh gusti pangeran.”
“Benarkah kata-kata selirmu itu, Gendrosakti ?” tanya sang prabu.
“Benar...... rama.... eh, gusti sinuhun..... memang Galing ini yang membunuhnya. Bahkan dia telah melukai lengan hamba.....! Dan lagi, tombak pusaka hamba juga telah dirampasnya!”
Dalam kebingungannya, ketika melihat pemuda itu masuk membawa tombak pusaka Kyai Santanu, Gendrosakti dengan linglung mengatakan tombaknya dirampas oleh Jaka Galing, sama sekali lupa bahwa tombak itu dulu digunakan untuk membunuh Panembahan Ciptaning!
“Benarkah itu, Jaka Galing? Kau melukai tangannya dan merampas tombak Kyai Santanu?”
“Keterangan itupun bohong belaka, gusti. Hamba tidak melukai lengannya dan tidak merampas tombaknya.”
Prabu Brawijaya lalu minta tombak itu dan memandang senjata pusaka itu dengan kagum.
”Tombak yang ampuh!” Serunya, lalu ia mengembalikan tombak itu kepada Jaka Galing. “Dari mana kau mendapatkan tombak ini, Jaka Galing?”
Mendengar pertanyaan ini, Jaka Galing menjadi pucat, karena tadinya ia hendak menyembunyikan keadaan dan rahasia dirinya, tapi kini terpaksa harus mengaku.
“Begini cerita sebenarnya, gusti sinuhun. Tombak ini dulu digunakan oleh Gendrosakti untuk membunuh kakek hamba tanpa dosa. Hamba lalu membawa pergi jenazah kakek hamba itu dengan tombak ini masih menancap di dada kakek hamba yang malang.”
“Mengapa tidak diambil kembali oleh Gendrosakti?” tanya sri baginda.
“Telah diusahakan untuk mencabut, gusti, tapi tombak itu tidak dapat tercabut keluar dari ulu hati kakek hamba yang sengaja hendak memberikan tombak itu kepada hamba. Dan karena ini pulalah maka timbul permusuhan antara hamba dengan Gendrosakti. Dia berusaha menghancurkan hamba, sedangkan hamba selalu bercita- cita hendak membalas dendam.”
Dalam penuturannya ini, sedapat mungkin Jaka Galing tidak menyebut nama kakeknya.
“Apakah kesalahan kakekmu maka ia dibunuh oleh Gendrosakti?”
“Kakek hamba dipanggil oleh Gendrosakti dan diminta untuk memecahkan rahasia dan arti sebuah mimpinya. Gendrosakti bemimpi melihat bunga api kecil yang membakar gedungnya sampai habis. Karena tidak ada orang yang dapat memecahkan artinya, maka kakek hamba dipanggil dan diminta nasihatnya. Kakek hamba berterus terang dan menyatakan bahwa bunga api itu tanda bahwa di Kadipaten Tandes kedatangan seorang iblis berujut manusia yang harus dilenyapkan dari Tandes, dan ketika ditanya siapa gerangan orang itu, kakek hamba berterus terang pula dan mengatakan bahwa iblis berujut manusia itu tidak lain adalah selir terkasih dari Gendrosakti yang sekarang juga menghadap disini, yaitu Sariti! Karena pernyataan ini, maka kakek ditangkap dan dihukum di alun-alun dengan jalan dijadikan korban untuk macan putih yang ganas!”
Ketika cerita itu sampai disini, wajah Sariti memucat dan terdengar seruan-seruan dari para pendengar.
"Akan tetapi, gusti," demikian Jaka Galing melanjutkan ceritanya, "berkat kesucian kakek hamba, macan putih itu tidak berani mengganggunya. Hamba yang berada di dusun ketika mendengar akan hal ini, lalu datang dan hamba berhasil membunuh macan putih itu. Akan tetapi, pada saat hamba bergulat melawan macan putih, Gendrosakti yang berhati curang dan jahat itu telah menggunakan tombak pusaka Kyai Santanu ini untuk menusuk ulu hati kakek hamba hingga binasa!”
Sampai disini, Jaka Galing menundukkan muka dan suaranya terdengar gemetar mengharukan dan ketika pemuda itu mengangkat mukanya lagi, maka wajahnya memerah dan kedua matanya berkilat!
Ia merasa gelisah sekali dan selalu mengharap-harapkan berita yang datang dari para perajurit yang diutus membasmi Jaka Galing. Kalau saja perajuritnya berhasil menumpas Jaka Galing dan Dwipa berhasil membunuh Dewi Cahyaningsih dan puspasari, maka akan bereslah semua persoalan.
Kepada Sang Prabu Brawijaya akan diceritakan semua peristiwa itu dengan menumpahkan semua kesalahan di pundak Jaka Galing si pemberontak itu! Akan tetapi, telah tiga hari ia menunggu-nunggu, belum juga ada berita dari orang-orangnya, maka bukan main gelisahnya.
Akan tetapi Sariti, selirnya yang cantik manis itu, pandai sekali menghibur hatinya hingga ia dapat juga melupakan kegelisahannya, apalagi di waktu malam hari, kalau Sariti sudah menari dan berdendang dengan gaya yang menarik hati lenyaplah semua kekesalan dan kegelisahan hatinya.
Sebentar saja adipati ini telah melupakan segala hal yang membuatnya membunuh Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar dan cintanya terhadap Sariti semakin mendalam!
Ketika seorang penjaganya melaporkan pada suatu senja bahwa Sang Prabu Brawijaya dengan sekalian pengiringnya datang ke Kadipaten Tandes, menggigillah tubuh Adipati Gendrosakti. Tapi Sariti dapat menghiburnya hingga ketika ia menyambut kedatangan Sang Prabu Brawijaya dengan sembah baktinya, ia dapat menetapkan hatinya.
Sang Prabu Brawijaya sengaja menyuruh Jaka Galing, Dewi Cahyaningsih dan Puspasari bersembunyi hingga Adipati Gendrosakti tidak tahu bahwa ketiga orang itupun datang bersama sang baginda.
Setelah menerima penghormatan Adipati Gendrosakti, Sang Prabu Brawijaya pura- pura bertanya kemana perginya puteri Dewi Cahyaningsih.
Adipati memandang heran dan menyembah serta berkata.
“Aduhai ramanda prabu, bukankah hamba sudah mengirim utusan untuk menyampaikan warta yang menyedihkan bahwa Dewi Cahyaningsih dan puterinya Puspasari telah diculik sipemberontak Jaka Galing di hutan Kledung?”
“Gendrosakti, coba kau ingat-ingat. Kurangkah kurniaku kepadamu? Kau telah kuangkat menjadi adipati di Tandes, bahkan kuberi kurnia hingga puteriku Cahyaningsih kuberikan kepadamu sebagai isteri. Tapi mengapa kau berani membohong di depanku?”
Pucatlah wajah Adipati Gendrosakti mendengar ini hingga tubuhnya menggigil!
“Aduh rama prabu..... hamba.... hamba tidak sekali-kali..... berani membohong.....”
“Keparat! Kau berani bersumpah bahwa apa yang kau katakan tadi betul dan tidak
membohong?” bentak Sang Prabu Brawijaya.
“Ti..... tidak, rama prabu...... hamba berani bersumpah.....”
“Coba kau suruh selirmu yang bernama Sariti itu keluar!”
Terkejutlah Adipati Gendrosakti, tapi terpaksa ia memberi perintah kepada pelayan untuk memanggil selirnya itu.
Ketika Sariti keluar dengan gaya yang lemah-lembut, semua orang memandang dengan penuh rasa kagum akan kecantikannya, tapi benci akan pengaruhnya yang jahat terhadap Adipati Gendrosakti.
Sariti dengan gaya yang menarik hati sekali menjatuhkan diri berlutut dan menyembah, lagak dan gayanya tidak kalah indah dan halusnya daripada sekalian puteri keraton asli.
Sang Brabu Brawijaya lalu memberi isyarat ke belakang dan Dewi Cahyaningsih beserta Puspasari lalu menghadap disitu. Bukan main kagetnya melihat betapa anak isterinya hadir disitu menjadi saksi. Ia hanya memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tapi Sariti tampak tenang-tenang saja.
“Hai, Gendrosakti, tidak pandai pulakah kau menyapa anak isterimu yang terlepas dari bahaya maut?”
“Hamba......... hamba merasa bahagia sekali, rama prabu......” Gendrosakti menjawab gagap.
"Anakku Cahyaningsih, sekarang ceritakanlah kembali pengalaman dan penderitaanmu karena perbuatan keparat ini," kata Prabu Brawiajaya. Sambil menangis Dewi Cahyaningsih menceritakan pengalamannya.
“Din...... dinda Cahyaningsih, isteriku...... sampai hatikah kau memfitnah suamimu sendiri macam ini?” Gendrosakti menggigil sambil memandang wajah isterinya dengan pucat.
“Diam kau!” bentak Sang Prabu Brawijaya, dwipa lalu dipanggil menghadap.
Penjahat yang sudah rusak tubuhnya karena menerima pukulan tangan Lembupangarsa ini lalu dipaksa menceritakan segala perintah dan rencana Gendrosakti untuk membunuh anak isterinya.
Mendengar ini, lemaslah Adipati Gendrosakti dan ia hanya menundukkan kepalanya, tidak berani mengangkat muka atau bergerak.
“Nah, penjahat kejam! Apakah kau hendak menyangkal pula? Kau hendak membunuh isterimu sendiri, hendak membunuh puteriku dan membunuh anakmu sendiri, hukuman apakah yang patut dijatuhkan kepada seorang manusia berhati binatang seperti engkau?”
Adipati Gendrosakti tidak dapat menjawab, hanya menyembah meminta ampun dengan tubuh menggigil ketakutan.
“Dan masih banyak lagi, jahanam! Puteraku Bagus Kuswara dan utusanku Ki Ageng
Bandar dimana?”
Adipati Gendrosakti mengangkat mukanya yang pucat bagaikan mayat.
“Me....... mereka......... di....... dibunuh oleh pemberontak Jaka Galing ......” jawabnya gagap gemetar tidak karuan.
“Manusia sesat! Lagi-lagi kau timpakan kesalahan kepada orang lain! Benar-benarkah puteraku dan utusanku itu dibunuh oleh Jaka Galing?”
“Be....... benar, rama prabu......”
“Jangan kau sebut aku rama prabu lagi!” Bentak Sang Prabu Brawijaya.
Kemudian Sang Prabu Brawijaya memberi isyarat dan dari belakang muncullah Jaka Galing dengan tombak Kyai Santanu di tangan kanan. Pemuda ini bertindak perlahan dan dengan dada terangkat gagah sekali, sedangkan sepasang matanya berkilat menyambar ke arah Adipati Gendrosakti!
Melihat kedatangan anak muda itu, Gendrosakti makin bingung dan gelisah. Akan tetapi, tiba-tiba Sariti yang ikut melihat kedatangan pemuda itu, menuding sambil menangis,
“Inilah.......! Inilah pembunuh gusti pangeran itu.....!” Wanita ini lalu menangis tersedu-sedu.
Sang Prabu Brawijaya lalu memandang ke arah Sariti dengan pandang mata menghina.
Jaka Galing lalu duduk bersila di depan Sang Prabu Brawijaya dengan tenang, tapi didalam dadanya bernyala api kebencian melihat Gendrosakti.
“Gendrosakti, orang yang kau tuduh itu telah berada disini. Coba kau ulangi tuduhanmu tentang pembunuhan itu.”
Dengan suara terputus-putus dan tidak leluasa, Gendrosakti lalu menuturkan betapa Jaka Galing menyerbu taman dan membunuh dua orang tamu agungnya.
“Jaka Galing, kau boleh bicara untuk membela diri dari tuduhan Gendrosakti.” Prabu Brawijaya berkata kepada Jaka Galing.
"Semua kata-kata yang keluar dari mulut Gendrosakti adalah bohong semata-mata! Pada waktu malam yang disebutkan olehnya itu, hamba sedang menghadapi serbuan Senapati Suranata di dalam hutan dan sedang mempermainkannya dengan kurungan api. Banyak yang menjadi saksi hamba, diantaranya yang menjadi saksi adalah puteri paduka sendiri yang pada waktu itupun berada di hutan. Maka tuduhan ini hanyalah fitnah keji dan palsu belaka. Tidak ada sebab-sebab yang membuat hamba begitu gila untuk membunuh Gusti Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar yang belum pernah hamba jumpai dan tidak punya hubungan apa-apa. Hamba mohon keadilan paduka,gusti.”
“Tahukah kau siapa yang membunuh mereka?” tanya sang prabu.
“Hamba tidak tahu, gusti, hal itu sebaiknya ditanyakan kepada Gendrosakti sendiri, karena ia dan selirnya pasti tahu akan hal ini.”
“Benar, aku tahu dan menjadi saksi!” tiba-tiba Sariti berseru. “Kaulah yang membunuh gusti pangeran.”
“Benarkah kata-kata selirmu itu, Gendrosakti ?” tanya sang prabu.
“Benar...... rama.... eh, gusti sinuhun..... memang Galing ini yang membunuhnya. Bahkan dia telah melukai lengan hamba.....! Dan lagi, tombak pusaka hamba juga telah dirampasnya!”
Dalam kebingungannya, ketika melihat pemuda itu masuk membawa tombak pusaka Kyai Santanu, Gendrosakti dengan linglung mengatakan tombaknya dirampas oleh Jaka Galing, sama sekali lupa bahwa tombak itu dulu digunakan untuk membunuh Panembahan Ciptaning!
“Benarkah itu, Jaka Galing? Kau melukai tangannya dan merampas tombak Kyai Santanu?”
“Keterangan itupun bohong belaka, gusti. Hamba tidak melukai lengannya dan tidak merampas tombaknya.”
Prabu Brawijaya lalu minta tombak itu dan memandang senjata pusaka itu dengan kagum.
”Tombak yang ampuh!” Serunya, lalu ia mengembalikan tombak itu kepada Jaka Galing. “Dari mana kau mendapatkan tombak ini, Jaka Galing?”
Mendengar pertanyaan ini, Jaka Galing menjadi pucat, karena tadinya ia hendak menyembunyikan keadaan dan rahasia dirinya, tapi kini terpaksa harus mengaku.
“Begini cerita sebenarnya, gusti sinuhun. Tombak ini dulu digunakan oleh Gendrosakti untuk membunuh kakek hamba tanpa dosa. Hamba lalu membawa pergi jenazah kakek hamba itu dengan tombak ini masih menancap di dada kakek hamba yang malang.”
“Mengapa tidak diambil kembali oleh Gendrosakti?” tanya sri baginda.
“Telah diusahakan untuk mencabut, gusti, tapi tombak itu tidak dapat tercabut keluar dari ulu hati kakek hamba yang sengaja hendak memberikan tombak itu kepada hamba. Dan karena ini pulalah maka timbul permusuhan antara hamba dengan Gendrosakti. Dia berusaha menghancurkan hamba, sedangkan hamba selalu bercita- cita hendak membalas dendam.”
Dalam penuturannya ini, sedapat mungkin Jaka Galing tidak menyebut nama kakeknya.
“Apakah kesalahan kakekmu maka ia dibunuh oleh Gendrosakti?”
“Kakek hamba dipanggil oleh Gendrosakti dan diminta untuk memecahkan rahasia dan arti sebuah mimpinya. Gendrosakti bemimpi melihat bunga api kecil yang membakar gedungnya sampai habis. Karena tidak ada orang yang dapat memecahkan artinya, maka kakek hamba dipanggil dan diminta nasihatnya. Kakek hamba berterus terang dan menyatakan bahwa bunga api itu tanda bahwa di Kadipaten Tandes kedatangan seorang iblis berujut manusia yang harus dilenyapkan dari Tandes, dan ketika ditanya siapa gerangan orang itu, kakek hamba berterus terang pula dan mengatakan bahwa iblis berujut manusia itu tidak lain adalah selir terkasih dari Gendrosakti yang sekarang juga menghadap disini, yaitu Sariti! Karena pernyataan ini, maka kakek ditangkap dan dihukum di alun-alun dengan jalan dijadikan korban untuk macan putih yang ganas!”
Ketika cerita itu sampai disini, wajah Sariti memucat dan terdengar seruan-seruan dari para pendengar.
"Akan tetapi, gusti," demikian Jaka Galing melanjutkan ceritanya, "berkat kesucian kakek hamba, macan putih itu tidak berani mengganggunya. Hamba yang berada di dusun ketika mendengar akan hal ini, lalu datang dan hamba berhasil membunuh macan putih itu. Akan tetapi, pada saat hamba bergulat melawan macan putih, Gendrosakti yang berhati curang dan jahat itu telah menggunakan tombak pusaka Kyai Santanu ini untuk menusuk ulu hati kakek hamba hingga binasa!”
Sampai disini, Jaka Galing menundukkan muka dan suaranya terdengar gemetar mengharukan dan ketika pemuda itu mengangkat mukanya lagi, maka wajahnya memerah dan kedua matanya berkilat!
No comments:
Post a Comment