“Tentu saja benar !” Lalu gadis itu memandangnya sambil berkata manis, “Eh, apa pula ini? Mengapa teruna yang gandrung merindukan bidadari itu memegang-megang pundakku?”
“Yayi Puspasari, jangan kau menggodaku, yayi. Coba kau katakan sekali lagi, benar-benarkah bidadari yang kurindukan itu membalas cintaku?”
Puspasari tetap tersenyum dan kedua matanya menggoda.
"Untuk apa aku membohongimu? Bidadari itu betul-betul mencintaimu!"
Sekali lagi Jaka Galing memegang pundak Puspasari hingga untuk kedua kalinya dara itu menegurnya.
”Mengapa kau memegang-megang pundakku”
“Yayi puspasari........ jangan kau berolok-olok....... ketahuilah, yayi, bidadari yang kurindukan, yang selalu melayang-layang dan menari-nari dalam lamunanku, dalam mimpiku, tidak lain adalah ...... engkau sendiri, yayi!”
Tetapi alangkah heran dan girangnya hati Jaka Galing ketika ia tidak melihat perubahan pada wajah yang ayu itu, bahkan kini terlihat makin merah dan bercahaya, sedangkan sepasang matanya yang indah memandang sayu bagaikan mata orang mengantuk, tetapi bibirnya tetap tersenyum ketika menjawab.
“Kalau demikain halnya, mengapa?”
Saking haru dan girangnya, hampir saja Jaka Galing memeluknya, tetapi pada saat itu terdengar suara Indra berteriak dari jauh, Jaka Galing menarik kembali kedua tangannya dan menjauhi Puspasari sambil berkata perlahan.
“Yayi, ingatlah, bahwa betapapun juga aku adalah musuh besar ayahmu!”
Puspasari menjawab dengan suara yang tak kalah tepatnya,
“Kangmas, kata-kata ini pun berlaku bagimu juga, kaupun tahu bahwa betapapun juga, aku adalah anak perempuan dari musuh besarmu!”
Pada saat itu Indra muncul dari dalam hutan.
“Ah, payah aku mencarimu, Galing. Kiranya kau sedang bercakap-cakap dengan srikandiku!”
Memang karena kejenakaannya, Indra selalu menyebut Puspasari sebagai pahlawan wanita dan isteri Arjuna, yaitu Dewi wara Srikandi!
Melihat betapa wajah Indra tetap tegang walaupun mulutnya masih sempat berkelakar itu, Jaka Galing maklum bahwa tentu telah terjadi peristiwa penting. Maka ia segera menyambut kedatangan kawan itu sambil bertanya.
“Indra, ada terjadi apa?”
“Celaka betul, Galing. Sang prabu sendiri telah membawa pasukan menuju kesini untuk menangkap kita!”
Wajah Jaka Galing menjadi pucat.
“Apa? Sang Prabu Brawijaya?”
“Siapa lagi kalau bukan Sang Prabu Brawijaya dari Majapahit? Dan didekat beliau masih ada lagi Pangeran Lembupangarsa yang tampan dan gagah perwira itu. Kawan-kawan kita lari bersembunyi ketakutan melihat cahaya yang memancar keluar dari kedua orang agung itu! Apa yang harus kita lakukan, Galing?”
Betapapun juga, suara Indra terdengar agak gemetar, tanda bahwa iapun merasa gentar menghadapi Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembupangarsa yang sakti mandraguna itu.
“Apalagi yang harus kita lakukan? Kita harus menyerah, karena memang bukan maksud kita memusuhi sinuhun.”
"Tetapi kau tentu akan dihukum mati. Tidak tahukah kau bahwa kau telah dikabarkan membunuh Gusti Pangeran Bagus Kuswara?"
Jaka Galing tersenyum.
“Itu hanya fitnah belaka dan aku percaya penuh akan kewaspadaan dan kebijaksanaan gusti sinuhun.”
Sementara itu, mendengar hal kedatangan Sang Prabu Brawijaya, diam-diam Puspasari telah lari pergi untuk memberi tahu ibunya.
Pada saat itu, suara kaki kuda yang mendatangi telah terdengar makin mendekat dan Jaka Galing lalu mengajak Indra dan sekalian kawan yang masih berada dalam hutan untuk menghadap Sang Prabu Brawijaya. Ia memerintahkan kawan-kawannya untuk menyimpan senjata masing-masing di dalam sarung, tak boleh dipegang seperti hendak menghadapi musuh.
Ternyata yang masih tinggal di hutan tinggal 20 orang saja berikut orang-orang wanita, orang-orang tua dan anak-anak. Sedang yang lain sudah pada lari entah kemana karena takut mendengar kedatangan Sang Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembupangarsa!
Biarpun Sang Prabu Brawijaya telah berusia lanjut, namun perasaan marah membuat beliau menjadi muda kembali dan semangatnya berkobar-kobar untuk menghadapi pemberontak yang telah menculik puterinya dan membunuh seorang puteranya itu.
Juga Pangeran Lembupangarsa gatal-gatal tanganya untuk segera menghajar Jaka Galing yang dianggapnya berlaku kurang ajar. Maka mereka lalu menjalankan kuda dengan cepat mengejar maju!
Tiba-tiba rombongan Prabu Brawijaya berhenti, karena dari dalam rimba yang liar itu keluar serombongan orang-orang muda berpakaian sederhana seperti biasanya orang- orang dusun, sedangkan di belakang rombongan pemuda itu tampak beberapa orang wanita, kakek-kakek dan kanak-kanak.
Ketika mendengar suara dari barisan Suranata yang ikut menyerbu dari belakang bahwa yang memimpin rombongan pemuda itu adalah si pemberontak Jaka Galing, Sang Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembupangarsa tercengang dan keheranan. Jaka Galing memelopori kawan-kawannya dan berlutut menyembah dengan sikap hormat sekali.
“Kanjeng sinuhun, hamba Jaka Galing dengan kawan-kawan dari dusun Bekti menghaturkan sembah sujud di hadapan paduka.” kata Jaka Galing dengan penuh hormat sambil bersila dan menyembah.
Sang Prabu Brawijaya turun dari kudanya, demikian juga para pengikutnya, lalu mendekati Jaka Galing.
“Eh, anak muda! Kaukah yang bernama Jaka Galing dan yang telah menculik Dewi Cahyaningsih dan membunuh Pangeran Bagus Kuswara?” tanya Sang Prabu Brawijaya.
Jaka Galing menyembah lagi sebelum menjawab.
“Benar sebagaimana sabda paduka, gusti. Hamba bernama Jaka Galing, akan tetapi tentang penculikan dan pembunuhan itu hanyalah fitnah belaka, gusti!”
“Bangsat pengecut! Laki-laki apa kau ini yang berani berbuat tidak berani bertanggung jawab?”
Tiba-tiba Pangeran Lembupangarsa melompat ke depan dan mengayun tangannya menempeleng kepala Jaka Galing!
Tamparan pangeran yang gagah ini bukanlah sembarangan tamparan dan kalau mengenai kepala Jaka Galing tentu akan hebat sekali akibatnya, karena di tangan Pangeran Raden Lembupangarsa terkandung tenaga mujijat dari aji kesaktian yang dimilikinya.
Akan tetapi JakaGaling telah maklum akan hal ini karena sebelum tangan itu tiba di kepalanya, ia telah merasakan berkesiutnya angin dingin meniup rambutnya, maka dengan cepat sekali anak muda ini menundukkan kepalanya hingga tamparan itu hanya menyerempet rambutnya saja!
Pangeran Raden Lembupangarsa marah sekali melihat betapa tamparannya dielakkan sedemikian mudahnya, maka ia lalu berseru.
“Keparat, kau berani melawan?” dan kepalan tangannya menjotos ke arah dada!
Kini Galing tidak berani melawan pula dan ia mengangkat dadanya sambil mengerahkan tenaga dalam untuk menahan serangan ini.
“Buk!” dan tubuh Jaka Galing bergulingan beberapa kali karena kerasnya pukulan itu, sedangkan Pangeran Raden Lembupangarsa menyeringai karena merasa betapa kulit lengannya perih seakan-akan habis memukul sebuah batu!
Sementara itu Galing sudah duduk bersila kembali dengan kepala tunduk dan kedua tangannya menyembah seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu!
Ketika Pangeran Lembupangarsa hendak maju menyerang pula, Prabu Brawijaya membentak kepada puteranya,
“Lembupangarsa, tahan! Jangan kau lancang memukul orang tanpa memeriksa dulu. Memalukan benar sikapmu itu!”
Mendengar bentakan ini, Pangeran Raden Lembupangarsa mundur dengan muka merah. Prabu Brawijaya memandang Jaka Galing dengan mata heran dan ragu-ragu. Anak muda yang duduk bersila itu tak pantas menjadi anak dusun yang bodoh dan kasar.
Dari tubuhnya nampak sinar bercahaya dan sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan cahaya berpengaruh, kulitnya putih kekuningan dan bersih sedangkan
sikapnya sopan-santun dan beradap. Inikah pengkhianat dan pemberontak, kepala perampok itu?
“Eh, Jaka Galing, di manakah anak buahmu?” bentak pula Sang Prabu Brawijaya.
“Kalau paduka maksudkan kawan-kawan hamba, maka hanya inilah kawan-kawan hamba, sedangkan beberapa yang lain telah melarikan diri, takut akan murka paduka.”
Prabu Brawijaya makin heran, lalu ia memanggil Suranata menghadap.
”Suranata, hanya beberapa belas anak-anak muda inikah yang telah memukul hancur pasukanmu? Perwira macam apakah kau ini?”
Suranata dengan malu dan tubuh gemetar menuturkan pengalamannya, betapa ia diserbu oleh kawan-kawan Jaka Galing dengan menggunakan api, kemudian ia “diadudombakan” dengan barisan bala bantuan dari Tandes.
Kemudian atas pertanyaan Prabu Brawijaya, Jaka Galing minta Indra menceritakan siasat-siasatnya melawan pasukan Suranata. Hal ini dilakukan oleh Indra dengan gaya dan gerakan-gerakan lucu hingga banyak pengiring Prabu Brawijaya diam-diam tertawa dengan hati geli.
“Jaka Galing, kalau begitu kau benar-benar telah memberontak?”
"Mohon beribu ampun, gusti. Hamba sekali-kali tidak berani memberontak kepada paduka yang adil dan bijaksana. Akan tetapi Adipati Gendrosakti tidak adil, dan dia telah mengirim pasukan-pasukan ke dalam hutan untuk membasmi hamba dan kawan- kawan hamba tanpa dosa. Oleh karena itulah maka hamba membela diri dan melawan."
“Tapi kau telah menculik Dewi Cahyaningsih!” bentak pula Sang Prabu Brawijaya.
“Dia membohong, kanjeng sinuhun. Memang dia yang menculik dan telah membunuh para pengawal, disini ada saksinya, yaitu seorang pengawal yang dapat menyelamatkan diri.”
Dwipa lalu dipanggil oleh Suranata dan disuruh maju. Ketika ditanya oleh sri baginda raja, Dwipa lalu menceritakan bahwa benar-benar ketika ia dan kawan-kawannya mengawal Dewi Cahyaningsih, telah dicegat oleh Jaka Galing dan Indra dan sebelas kawannya terbunuh semua.
“Jaka Galing, benarkah kau dan Indra kawanmu ini telah membunuh sebelas pengawal itu?” tanya Sang Prabu Brawijaya.
“Benar gusti. Akan tetapi bukan karena hamba ingin menculik, hanya karena pengawal-pengawal itu hendak membunuh kanjeng bibi dan puterinya.”
Prabu Brawijaya tidak percaya akan keterangan Jaka Galing yang terdengar ganjil ini. Mana ada pengawal-pengawal yang membunuh puteri yang dikawalnya? Maka ia lalu memanggil seorang senopati dan berkata.
“Kalau kau tidak mengaku terus terang, kau akan dirangket, Jaka Galing!”
“Terserah kepada kebijaksanaan paduka, karena sesungguhnya hamba tidak menjalankan perbuatan jahat!” jawab Jaka Galing dengan suara tetap.
Maka sang prabu lalu memberi perintah dan senopati itu mengayun cambuknya keras-keras. Terdengar suara keras meledak dari ujung cambuk memukul punggung Jaka Galing.
Darah mengalir keluar dari kulit yang terpecah oleh ujung cambuk itu, tapi Jaka Galing tetap bersila dan sedikitpun tidak bergerak maupun mengeluh. Indra menggigit bibirnya dan menahan gelora hatinya yang ingin memberontak dan mengamuk untuk membela kawannya itu, sedangkan semua kawan Jaka Galing memandang dengan terharu dan sedih.
“Yayi Puspasari, jangan kau menggodaku, yayi. Coba kau katakan sekali lagi, benar-benarkah bidadari yang kurindukan itu membalas cintaku?”
Puspasari tetap tersenyum dan kedua matanya menggoda.
"Untuk apa aku membohongimu? Bidadari itu betul-betul mencintaimu!"
Sekali lagi Jaka Galing memegang pundak Puspasari hingga untuk kedua kalinya dara itu menegurnya.
”Mengapa kau memegang-megang pundakku”
“Yayi puspasari........ jangan kau berolok-olok....... ketahuilah, yayi, bidadari yang kurindukan, yang selalu melayang-layang dan menari-nari dalam lamunanku, dalam mimpiku, tidak lain adalah ...... engkau sendiri, yayi!”
Tetapi alangkah heran dan girangnya hati Jaka Galing ketika ia tidak melihat perubahan pada wajah yang ayu itu, bahkan kini terlihat makin merah dan bercahaya, sedangkan sepasang matanya yang indah memandang sayu bagaikan mata orang mengantuk, tetapi bibirnya tetap tersenyum ketika menjawab.
“Kalau demikain halnya, mengapa?”
Saking haru dan girangnya, hampir saja Jaka Galing memeluknya, tetapi pada saat itu terdengar suara Indra berteriak dari jauh, Jaka Galing menarik kembali kedua tangannya dan menjauhi Puspasari sambil berkata perlahan.
“Yayi, ingatlah, bahwa betapapun juga aku adalah musuh besar ayahmu!”
Puspasari menjawab dengan suara yang tak kalah tepatnya,
“Kangmas, kata-kata ini pun berlaku bagimu juga, kaupun tahu bahwa betapapun juga, aku adalah anak perempuan dari musuh besarmu!”
Pada saat itu Indra muncul dari dalam hutan.
“Ah, payah aku mencarimu, Galing. Kiranya kau sedang bercakap-cakap dengan srikandiku!”
Memang karena kejenakaannya, Indra selalu menyebut Puspasari sebagai pahlawan wanita dan isteri Arjuna, yaitu Dewi wara Srikandi!
Melihat betapa wajah Indra tetap tegang walaupun mulutnya masih sempat berkelakar itu, Jaka Galing maklum bahwa tentu telah terjadi peristiwa penting. Maka ia segera menyambut kedatangan kawan itu sambil bertanya.
“Indra, ada terjadi apa?”
“Celaka betul, Galing. Sang prabu sendiri telah membawa pasukan menuju kesini untuk menangkap kita!”
Wajah Jaka Galing menjadi pucat.
“Apa? Sang Prabu Brawijaya?”
“Siapa lagi kalau bukan Sang Prabu Brawijaya dari Majapahit? Dan didekat beliau masih ada lagi Pangeran Lembupangarsa yang tampan dan gagah perwira itu. Kawan-kawan kita lari bersembunyi ketakutan melihat cahaya yang memancar keluar dari kedua orang agung itu! Apa yang harus kita lakukan, Galing?”
Betapapun juga, suara Indra terdengar agak gemetar, tanda bahwa iapun merasa gentar menghadapi Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembupangarsa yang sakti mandraguna itu.
“Apalagi yang harus kita lakukan? Kita harus menyerah, karena memang bukan maksud kita memusuhi sinuhun.”
"Tetapi kau tentu akan dihukum mati. Tidak tahukah kau bahwa kau telah dikabarkan membunuh Gusti Pangeran Bagus Kuswara?"
Jaka Galing tersenyum.
“Itu hanya fitnah belaka dan aku percaya penuh akan kewaspadaan dan kebijaksanaan gusti sinuhun.”
Sementara itu, mendengar hal kedatangan Sang Prabu Brawijaya, diam-diam Puspasari telah lari pergi untuk memberi tahu ibunya.
Pada saat itu, suara kaki kuda yang mendatangi telah terdengar makin mendekat dan Jaka Galing lalu mengajak Indra dan sekalian kawan yang masih berada dalam hutan untuk menghadap Sang Prabu Brawijaya. Ia memerintahkan kawan-kawannya untuk menyimpan senjata masing-masing di dalam sarung, tak boleh dipegang seperti hendak menghadapi musuh.
Ternyata yang masih tinggal di hutan tinggal 20 orang saja berikut orang-orang wanita, orang-orang tua dan anak-anak. Sedang yang lain sudah pada lari entah kemana karena takut mendengar kedatangan Sang Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembupangarsa!
Biarpun Sang Prabu Brawijaya telah berusia lanjut, namun perasaan marah membuat beliau menjadi muda kembali dan semangatnya berkobar-kobar untuk menghadapi pemberontak yang telah menculik puterinya dan membunuh seorang puteranya itu.
Juga Pangeran Lembupangarsa gatal-gatal tanganya untuk segera menghajar Jaka Galing yang dianggapnya berlaku kurang ajar. Maka mereka lalu menjalankan kuda dengan cepat mengejar maju!
Tiba-tiba rombongan Prabu Brawijaya berhenti, karena dari dalam rimba yang liar itu keluar serombongan orang-orang muda berpakaian sederhana seperti biasanya orang- orang dusun, sedangkan di belakang rombongan pemuda itu tampak beberapa orang wanita, kakek-kakek dan kanak-kanak.
Ketika mendengar suara dari barisan Suranata yang ikut menyerbu dari belakang bahwa yang memimpin rombongan pemuda itu adalah si pemberontak Jaka Galing, Sang Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembupangarsa tercengang dan keheranan. Jaka Galing memelopori kawan-kawannya dan berlutut menyembah dengan sikap hormat sekali.
“Kanjeng sinuhun, hamba Jaka Galing dengan kawan-kawan dari dusun Bekti menghaturkan sembah sujud di hadapan paduka.” kata Jaka Galing dengan penuh hormat sambil bersila dan menyembah.
Sang Prabu Brawijaya turun dari kudanya, demikian juga para pengikutnya, lalu mendekati Jaka Galing.
“Eh, anak muda! Kaukah yang bernama Jaka Galing dan yang telah menculik Dewi Cahyaningsih dan membunuh Pangeran Bagus Kuswara?” tanya Sang Prabu Brawijaya.
Jaka Galing menyembah lagi sebelum menjawab.
“Benar sebagaimana sabda paduka, gusti. Hamba bernama Jaka Galing, akan tetapi tentang penculikan dan pembunuhan itu hanyalah fitnah belaka, gusti!”
“Bangsat pengecut! Laki-laki apa kau ini yang berani berbuat tidak berani bertanggung jawab?”
Tiba-tiba Pangeran Lembupangarsa melompat ke depan dan mengayun tangannya menempeleng kepala Jaka Galing!
Tamparan pangeran yang gagah ini bukanlah sembarangan tamparan dan kalau mengenai kepala Jaka Galing tentu akan hebat sekali akibatnya, karena di tangan Pangeran Raden Lembupangarsa terkandung tenaga mujijat dari aji kesaktian yang dimilikinya.
Akan tetapi JakaGaling telah maklum akan hal ini karena sebelum tangan itu tiba di kepalanya, ia telah merasakan berkesiutnya angin dingin meniup rambutnya, maka dengan cepat sekali anak muda ini menundukkan kepalanya hingga tamparan itu hanya menyerempet rambutnya saja!
Pangeran Raden Lembupangarsa marah sekali melihat betapa tamparannya dielakkan sedemikian mudahnya, maka ia lalu berseru.
“Keparat, kau berani melawan?” dan kepalan tangannya menjotos ke arah dada!
Kini Galing tidak berani melawan pula dan ia mengangkat dadanya sambil mengerahkan tenaga dalam untuk menahan serangan ini.
“Buk!” dan tubuh Jaka Galing bergulingan beberapa kali karena kerasnya pukulan itu, sedangkan Pangeran Raden Lembupangarsa menyeringai karena merasa betapa kulit lengannya perih seakan-akan habis memukul sebuah batu!
Sementara itu Galing sudah duduk bersila kembali dengan kepala tunduk dan kedua tangannya menyembah seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu!
Ketika Pangeran Lembupangarsa hendak maju menyerang pula, Prabu Brawijaya membentak kepada puteranya,
“Lembupangarsa, tahan! Jangan kau lancang memukul orang tanpa memeriksa dulu. Memalukan benar sikapmu itu!”
Mendengar bentakan ini, Pangeran Raden Lembupangarsa mundur dengan muka merah. Prabu Brawijaya memandang Jaka Galing dengan mata heran dan ragu-ragu. Anak muda yang duduk bersila itu tak pantas menjadi anak dusun yang bodoh dan kasar.
Dari tubuhnya nampak sinar bercahaya dan sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan cahaya berpengaruh, kulitnya putih kekuningan dan bersih sedangkan
sikapnya sopan-santun dan beradap. Inikah pengkhianat dan pemberontak, kepala perampok itu?
“Eh, Jaka Galing, di manakah anak buahmu?” bentak pula Sang Prabu Brawijaya.
“Kalau paduka maksudkan kawan-kawan hamba, maka hanya inilah kawan-kawan hamba, sedangkan beberapa yang lain telah melarikan diri, takut akan murka paduka.”
Prabu Brawijaya makin heran, lalu ia memanggil Suranata menghadap.
”Suranata, hanya beberapa belas anak-anak muda inikah yang telah memukul hancur pasukanmu? Perwira macam apakah kau ini?”
Suranata dengan malu dan tubuh gemetar menuturkan pengalamannya, betapa ia diserbu oleh kawan-kawan Jaka Galing dengan menggunakan api, kemudian ia “diadudombakan” dengan barisan bala bantuan dari Tandes.
Kemudian atas pertanyaan Prabu Brawijaya, Jaka Galing minta Indra menceritakan siasat-siasatnya melawan pasukan Suranata. Hal ini dilakukan oleh Indra dengan gaya dan gerakan-gerakan lucu hingga banyak pengiring Prabu Brawijaya diam-diam tertawa dengan hati geli.
“Jaka Galing, kalau begitu kau benar-benar telah memberontak?”
"Mohon beribu ampun, gusti. Hamba sekali-kali tidak berani memberontak kepada paduka yang adil dan bijaksana. Akan tetapi Adipati Gendrosakti tidak adil, dan dia telah mengirim pasukan-pasukan ke dalam hutan untuk membasmi hamba dan kawan- kawan hamba tanpa dosa. Oleh karena itulah maka hamba membela diri dan melawan."
“Tapi kau telah menculik Dewi Cahyaningsih!” bentak pula Sang Prabu Brawijaya.
“Dia membohong, kanjeng sinuhun. Memang dia yang menculik dan telah membunuh para pengawal, disini ada saksinya, yaitu seorang pengawal yang dapat menyelamatkan diri.”
Dwipa lalu dipanggil oleh Suranata dan disuruh maju. Ketika ditanya oleh sri baginda raja, Dwipa lalu menceritakan bahwa benar-benar ketika ia dan kawan-kawannya mengawal Dewi Cahyaningsih, telah dicegat oleh Jaka Galing dan Indra dan sebelas kawannya terbunuh semua.
“Jaka Galing, benarkah kau dan Indra kawanmu ini telah membunuh sebelas pengawal itu?” tanya Sang Prabu Brawijaya.
“Benar gusti. Akan tetapi bukan karena hamba ingin menculik, hanya karena pengawal-pengawal itu hendak membunuh kanjeng bibi dan puterinya.”
Prabu Brawijaya tidak percaya akan keterangan Jaka Galing yang terdengar ganjil ini. Mana ada pengawal-pengawal yang membunuh puteri yang dikawalnya? Maka ia lalu memanggil seorang senopati dan berkata.
“Kalau kau tidak mengaku terus terang, kau akan dirangket, Jaka Galing!”
“Terserah kepada kebijaksanaan paduka, karena sesungguhnya hamba tidak menjalankan perbuatan jahat!” jawab Jaka Galing dengan suara tetap.
Maka sang prabu lalu memberi perintah dan senopati itu mengayun cambuknya keras-keras. Terdengar suara keras meledak dari ujung cambuk memukul punggung Jaka Galing.
Darah mengalir keluar dari kulit yang terpecah oleh ujung cambuk itu, tapi Jaka Galing tetap bersila dan sedikitpun tidak bergerak maupun mengeluh. Indra menggigit bibirnya dan menahan gelora hatinya yang ingin memberontak dan mengamuk untuk membela kawannya itu, sedangkan semua kawan Jaka Galing memandang dengan terharu dan sedih.
No comments:
Post a Comment