Sementara itu, pemuda berpedang juga tidak kalah hebatnya. Pedangnya berputar cepat dalam gerakan-gerakan yang tak terduga sama sekali oleh keenam lawannya. Tubuhnya lincah dan gesit sekali. Selain itu, pemuda ini berwatak jenaka, karena sambil berputar tiada hentinya ia mengejek dan menggoda. Pernah ia sengaja mengetok tulang kaki seorang lawan dengan gagang pedangnya, hingga lawan itu berjingkrak-jingkrak karena kakinya merasa demikian sakit sampai terasa menyusup tulang!
“Ha, ha! Kau seperti Burisrawa kebakaran jenggot!” pemuda itu mengejek sambil mengirimkan serangan kilat yang membuat pedangnya menari-nari itu! Sebentar saja iapun dapat merobohkan lagi tiga orang lawan dengan pedangnya!.
Sementara itu, pemuda bertombak telah berhasil menewaskan empat orang dan yang melawannya kini tinggal Klabangkoro dan seorang temannya. Melihat betapa gagah perkasanya pemuda lawannya itu dan betapa kawan-kawannya telah banyak yang tewas, tiba-tiba Klabangkoro melompat jauh dan lari kearah Dewi Cahyaningsih dan Puspasari yang saling peluk dan berdiri menggigil di dekat tandu mereka!
Klabangkoro mengayun-ayunkan goloknya untuk membinasakan dua orang wanita itu untuk menunaikan tugas.
Melihat hal ini, pemuda bertombak merasa terkejut sekali. Ia hendak meloncat mengejar, tapi lawannya yang tinggal seorang itu menghalanginya dengan pedang dan mengirim serangan ke arah lambungnya. Karena perhatian pemuda itu dicurahkan kepada Klabangkoro, hampir saja lambungnya tertusuk pedang kalau ia tidak cepat- cepat melempar tubuh kebelakang.
Pada saat ia menggulingkan diri, ia melihat betapa Klabangkoro telah berada dekat dengan kedua wanita itu dan telah mengangkat goloknya. Tidak ada jalan lain untuk menolong kecuali dengan melemparkan tombaknya dengan sekuat tenaga ke arah tubuh Klabangkoro.
Lemparannya tepat sekali dan pada saat Klabangkoro hampir berhasil membunuh Dewi Cahyaningsih dan gadisnya, tiba-tiba punggung manusia jahat itu tertikam tombak hingga menembus ke dadanya! Klabangkoro berteriak ngeri dan goloknya terlepas dari tangannya. Tubuhnya terhuyung-huyung dan akhirnya roboh telungkup tak bernyawa lagi!
Pemuda itu segera lari menghampiri tubuh Klabangkoro dan mencabut keluar tombaknya. Ketika ia menengok, ternyata orang terakhir yang melawannya tadi telah lenyap!
Ia merasa menyesal karena orang itu tentu telah melarikan diri. Ketika ia berpaling, ternyata kawannya yang bersenjata pedangpun baru saja menyelesaikan pertempurannya dan dengan puas membersihkan pedangnya sambil memandangi lima orang lawannya yang telah tewas bergelimpangan di sekelilingnya!
“Indra, kau hebat sekali!” pemuda bertombak itu memuji kawannya sambil tertawa membuka kedok.
Ternyata bahwa pemuda bertombak itu bukan lain ialah Jaka Galing! Kawannya yang bernama Indrapun membuka kedoknya dan ternyata ia adalah seorang pemuda yang tampan juga, berambut keriting dan bermata penuh kegembiraan.
“Kaupun hebat, Galing.”
“Tapi lawanku ada yang lari seorang.”
Mereka lalu menghampiri Dewi Cahyaningsih dan Puspasari yang masih saling rangkul dengan wajah pucat. Jaka Galing dan Indra tidak mengenal siapa kedua wanita itu, mereka berdua memandang kagum kepada Puspasari yang cantik manis.
“Ibu dan adik, bahaya telah lalu dan tak perlu takut dan khawatir lagi.”
Galing menghibur. Ia tak pernah menyangka bahwa wanita tua itu adalah isteri Adipati Gendrosakti dan mengira bahwa mereka berdua hanyalah wanita-wanita kampung karena memang Dewi Cahyaningsih berdua puterinya mengenakan pakaian sederhana.
“Aduh, raden…………..semoga Gusti Yang Maha Agung melimpahkan rahmatNya kepada kalian berdua. Kalian telah menolong jiwa kami ibu dan anak, kalau tidak ada kalian…………entah bagaimana jadinya……” wanita tua itu tersendu-sendu karena merasa terharu dan sedih.
“Sudahlah, ibu, jangan bersedih, penjahat-penjahat kejam itu telah kami bunuh semua. Kalau kami boleh bertanya, ibu dan adik ini siapakah dan hendak pergi kemana?”
Sebelum ibunya sempat menjawab, Puspasari menjawab dengan suara malu-malu dan pipi merah sambil menundukkan mukanya,
“Kami…… kami orang Tandes, ibuku seorang janda dan aku anak tunggalnya. Kami hendak pergi ke Majapahit mengunjungi sanak keluarga kami. Tapi dihutan tiba-tiba bertemu dengan perampok- perampok. Untung kalian berdua menolong kami, raden, dan terimalah pernyataan terima kasih kami!”
Tiba-tiba gadis itu berlutut menyembah hingga Jaka Galing merasa kikuk. Hendak membangunkan gadis itu, ia harus menyentuh pundaknya dan ia tidak berani melakukan ini. Didiamkan juga tidak enak.
“Nona …….jangan ……. jangan kau melakukan segala upacara ini. Sudah sepantasnya manusia di dunia saling tolong-menolong.”
Setelah Puspasari berdiri kembali, ibunya berkata.
“Benar kata Puspasari anakku ini, raden. Kami memang hendak pergi ke Majapahit.”
Dewi Cahyaningsih maklum akan maksud Puspasari yang sengaja berbohong, karena kalau ia berterus terang, tentu kedua pemuda ini merasa terkejut dan siapa tahu kalau-kalau kedua pemuda ini merasa berkewajiban untuk mengantarkan dan memaksa mereka pulang ke Tandes.
“Tapi hari sudah menjadi gelap dan tak mungkin melanjutkan perjalanan yang masih jauh. Lagi pula para pemikul tandu telah binasa semua. Kalau kalian sudi, kami persilakan singgah di kampung kami yang berada tak jauh dari sini dan besok barulah kalian melanjutkan perjalanan menuju ke Majapahit.” Kata Indra sambil memandang gadis yang manis itu.
Kedua wanita itu menyetujui dan Galing bersama kawannya menggiringkan mereka menuju ke sebuah kampung yang berada tak jauh dari hutan itu.
Dewi Cahyaningsih dan Puspasari heran dan kagum ketika mereka tiba di kampung itu, karena di dusun yang baru itu berkumpul banyak sekali orang dari segala golongan dan mereka ini ramah tamah sekali.
Mereka disambut dengan segala kehormatan dan hampir semua orang, laki-laki maupun perempuan yang menyambut mereka, menyatakan simpati dan mengutuk para perampok yang berniat jahat terhadap mereka. Karena keramah-tamahan orang-orang itu Dewi Cahyaningsih dan Puspasari merasa terharu dan suka sekali berada disitu.
Bagaimanakah Jaka Galing yang dulu tinggal di dusun Tuban bersama kakeknya kini berada di dusun itu dan siapa pula kawan-kawannya penduduk dusun itu?
Dulu ketika Jaka Galing membawa pulang jenazah kakeknya dengan hati hancur karena sedihnya, ia disambut rakyat dengan perasaan terharu dan sedih. Memang nama Panembahan Ciptaning telah terkenal sebagai seorang sakti yang berbudi dan bijaksana, juga tidak sedikit orang yang telah ditolong oleh panembahan itu, baik berupa nasehat atau petuah maupun pertolongan mengobati mereka yang menderita sakit.
Selain daripada itu banyak yang mengangkat dia sebagai guru mereka, karena sedikit banyak mereka telah menerima petunjuk-petunjuk dan petuah-petuah yang berharga dari orang suci itu.
Oleh karena itu, maka tidak heran apabila nasib Panembahan Ciptaning yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu telah membangkitkan perasaan marah dan dendam di hati para pemuda itu.
Diantara para pemuda yang sakit hati terhadap Adipati Gendrosakti, adalah Indra, seorang putera kepala kampung di dusun Keling, yang menjadi murid terkasih dari Panembahan Ciptaning dan seorang kawan baik Jaka Galing semenjak kecil.
Disaksikan oleh banyak orang, Jaka Galing mencabut tombak pusaka Kyai Santanu yang menancap di dada kakeknya dan ia bersumpah di depan tombak pusaka itu dengan ucapan keras dan tegas.
“Aku bersumpah untuk membalas dendam rama panembahan yang terbunuh oleh Gendrosakti dan pada suatu saat aku tentu akan mengembalikan tombak ini ke dalam dada Gendrosakti!”
Jaka Galing maklum bahwa dirinya tentu dimusuhi oleh Adipati Gendrosakti dan bukan tak mungkin besok atau lusa akan datang perajurit-perajurit dari Tandes ke dusun Tiban untuk menangkap atau membunuh dirinya.
Dugaan ini dibenarkan oleh banyaknya anak muda di dusun Tiban, maka Jaka Galing lalu mengambil keputusan untuk pergi dari Tiban. Alangkah terharu hatinya ketika hampir semua pemuda Tiban, bahkan ada beberapa orang pula dari desa Keling, yakni Indra dan kawan-kawannya, menyokong maksudnya hendak membalas dendam, Mereka lalu berkumpul dan merupakan satu pasukan terdiri dari pemuda-pemuda yang gagah berani dan bersemangat !
Karena takut kalau-kalau Adipati Gendrosakti menumpahkan amarahnya kepada keluarga mereka, maka para pemuda itu lalu memboyong keluarga mereka dan menebang hutan untuk mendirikan sebuah dusun baru di tengah-tengah hutan.
Dusun ini mereka beri nama dusun Bekti dan di dalam hutan lebat ini Galing dan Indra melatih para kawannya dalam olah keprajuritan dan permaianan tombak dan pedang. Mereka siap untuk sewaktu-waktu menyerbu ke Kadipaten Tandes dan membalas dendam kepada Adipati Gendrosakti.
Sementara itu, seringkali Jaka Galing termenung jika teringat akan cerita Panembahan Ciptaning sebelum menghembuskan napas terakhir, yakni bahwa mendiang ibunya adalah seorang isteri Sang Prabu Brawijaya.
Kalau begitu, dia masih berdarah bangsawan, berdarah raja, seorang pangeran. Namun ia simpan rahasia ini baik-baik dan tak pernah menceritakan kepada siapapun juga. Oleh karena itu maka semua orang masih menganggap bahwa ia adalah Jaka Galing putera Panembahan Ciptaning.
Perjumpaannya dengan Dewi Cahyaningsih dan anak gadisnya, membuat Jaka Galing makin benci kepada Adipati Gendrosakti. Malam itu juga, ia mengumpulkan kawan-kawannya dan menyatakan pendapatnya.
“Kawan-kawanku, peristiwa yang baru saja dialami oleh kedua tamu kita itu menyatakan betapa kacau-balaunya daerah yang yang dikuasai oleh Gendrosakti. Perampok berani muncul dimana-mana dan mengganggu rakyat, tanpa mendapat perhatian sama sekali dari Gendrosakti. Bahkan aku merasa curiga melihat pakaian para perampok itu, karena pakaian macam itu tidak layak dipakai oleh para perampok. Lebih pantas kalau mereka itu disebut pengawal-pengawal atau pemimpin-pemimpin perajurit kadipaten.”
Dewi Cahyaningsih dan Puspasari yang berada di ruang tengah itu dan mendengar kata-kata Jaka Galing, menjadi terkejut sekali. Tadinya mereka hanya menyangka bahwa Jaka Galing dan Indra hanyalah dua orang pemuda dusun yang gagah perkasa, dan tidak menyangka bahwa pemuda ini demikian cerdik dan seakan-akan mempunyai sikap bermusuh dan membenci Adipati Gendrosakti. Mereka berdua mendengar lebih lanjut dengan penuh perhatian.
“Memang akupun sudah menaruh curiga,” Indra membenarkan kata-kata Galing. “Mereka itu memainkan senjata dengan baik sekali dan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, sekali-kali tak pantas kalau mereka hanya perampok-perampok biasa. Lebih baik kita bertanya lagi kepada tamu-tamu kita.”
Semua orang menyatakan setuju dan Dewi Cahyaningsih serta puterinya dipersilakan maju mendekat. Wanita tua itu merasa kagum memandang para pemuda tampan yang duduk bersila dalam deretan rapi dan sikap mereka yang sopan-sopan itu, sedangkan Puspasari menundukkan kepala dengan wajah merah. Ia tidak kuasa menentang pandang mata sekian banyak pemuda yang kesemuanya ditujukan padanya dengan pandang mata kagum.
“Kanjeng bibi, harap maafkan kami kalau kami mengganggu kanjeng bibi. Sebetulnya kami merasa curiga sekali melihat keadaan para perampok yang mencegat perjalanan bibi berdua sore tadi. Apakah kanjeng bibi tidak pernah melihat orang-orang itu atau tidak menyangka sesuatu mengapa bibi berdua diganggu ?” Sambil berkata demikian, Jaka Galing memandang tajam.
Dewi Cahyaningsih adalah seorang puteri dari Majapahit yang bagaimanapun juga mempunyai keagungan dan perbawa besar. Melihat betapa anak muda itu mengajukan pertanyaan seakan-akan sedang memeriksanya, ia balas bertanya dengan suara angkuh.
“Anak muda, sebelum aku menjawab pertanyaanmu, lebih dulu perkenalkan dirimu. Siapa kau ini, raden? Dan ada hubungan apa engkau dengan Adipati Gendrosakti, siapa pula sekian anak muda yang berkumpul disini ?”
Jaka Galing tercengang mendengar suara dan pertanyaan ini. Karena ini bukanlah suara seorang wanita tua dari dusun dan pertanyaan inipun membayangkan bahwa wanita di depannya tentu tahu banyak tentang diri Gendrosakti!
“Kanjeng bibi, kiranya kepadamu aku tidak perlu membohong atau menyimpan rahasia. Aku adalah Jaka Galing putera mendiang Panembahan Ciptaning yang dibunuh mati oleh Gendrosakti!”
Biarpun Dewi Cahyaningsih telah menekan perasaan hatinya, namun wajahnya masih berpucat mendengar pengakuan ini. Untung baginya bahwa cahaya dian yang tidak begitu terang itu membuat perubahan wajahnya tidak tampak oleh yang lain. Sementara itu, diam-diam Puspasari menggerakkan sedikit mukanya dan ia mengerling ke arah Jaka Galing.
“Jadi……….. kau adalah putera Panembahan Ciptaning yang bernasib malang itu raden? Aduh, raden. Kasihan sekali ramamu!” Dewi Cahyaningsih berkata perlahan. “Dan kau kumpulkan kawan-kawanmu ini untuk membalas dendam? Hendak menggempur dan mengobrak-abrik Kadipaten Tandes?”
“Bukankah sudah selayaknya kalau aku membalaskan dendam rama panembahan? Tidak pantaskah kalau ujung tombak yang mengantar nyawa rama panembahan ini kugunakan untuk mengantar nyawa Gendrosakti menyusulnya?" Kemudian, Jaka Galing yang untuk sesaat dikuasai oleh nafsu amarah itu teringat kembali dan menyambung kata-katanya kepada Dewi Cahyaningsih dengan suara perlahan. “Maaf, kanjeng bibi, tidak seharusnya didepan seorang tamu yang tiada sangkut pautnya sama sekali dengan urusan ini aku melampiaskan amarahku.”
Ia lalu menyembunyikan tombak pusaka Kyai Santanu di belakang tubuhnya. Tapi Dewi Cahyaningsih telah mendengar itu semua, telah merasai ancaman yang tersembunyi dalam kata-kata Jaka Galing tadi.
Betapapun juga, Adipati Gendrosakti adalah suaminya, suami yang pernah dicintainya, walaupun ia telah dikhianati dan hampir saja dibunuh! Sebagai seorang wanita bangsawan ia harus berani menghadapi kenyataan, berani menghadapi segala akibat dari kejahatan suaminya. Maka sambil menatap wajah anak muda yang tampan di depannya itu ia berkata, suaranya lantang.
“Baik sekali, anak muda! Kau sudah mengaku dan sudah mengutarakan semua isi hatimu. Kini, kau dengarlah baik-baik, 12 orang perampok yang kau tewaskan itu, adalah pengawal-pengawal pilihan dari Gendrosakti! Mereka itu memang sengaja hendak membunuh aku dan anakku. Ketahuilah, aku adalah isteri Gendrosakti dan puspasari adalah anakku, anak Adipati Gendrosakti!”
“Ibu………”
Puspasari mencegah dan memandang wajah ibunya dengan air mata berlinang. Mengapa ibunya seberani ini membuat pengakuan di depan musuh-musuh ayahnya?
Untuk sesaat semua orang berdiam dengan mata terbelalak dan keadaan menjadi sunyi. Dan sesaat kemudian ramailah mereka itu berteriak-teriak dengan suara mengancam, bahkan Indra telah mencabut keris pusaka yang terselip di pinggangnya!
Tapi Jaka Galing mengangkat kedua tangannya dan berkata perlahan.
“Diam semua! Kanjeng bibi, kau teruskan ceritamu! Mengapa kau hendak dibunuh oleh pengawal-pengawal suamimu sendiri?”
Sepasang mata Jaka Galing kini memancarkan cahaya, memandang ke wajah wanita itu seakan-akan hendak menembus dan membaca isi hatinya.
“Para pengawal itu memang sengaja disuruh untuk membinasakan kami berdua. Kami disuruh pergi ke Majapahit dan diantar oleh 12 orang pengawal. Tapi di tengah hutan, kami hendak dibunuh dan menurut mereka, memang mereka diperintah untuk membunuh kami.”
Orang-orang yang tadinya memandang marah kepada Dewi Cahyaningsih kini menggeleng-geleng kepala dan merasa heran sekali. Juga Jaka Galing merasa tak mengerti.
“Tapi, mengapa suamimu hendak membunuhmu dan membunuh puterinya sendiri?” tanyannya.
Dewi Cahyaningsih menghela napas, sementara itu Puspasari terisak-isak.
“Ini semua gara-gara perempuan siluman itu. Gara-gara Sariti! Memang betul kata- kata Panembahan Ciptaning dulu bahwa dia adalah seorang perempuan siluman! Rupa-rupanya perempuan itu ingin berkuasa di Tandes, dan setelah berhasil mengusir semua selir, ia juga ingin sekali melenyapkan aku dan anakku yang dianggap penghalangnya.”
“Alangkah kejamnya! Binatang berwajah manusia!” Indra menggeram.
Dewi Cahyaningsih menggeleng-gelengkan kepala dengan sedih.
“Ia tidak jahat, raden. Dulu ia adalah seorang senopati yang gagah perwira dan berhati mulia. Tapi……. Setelah ia memboyong ledek dari Surabaya itu ke kadipaten……. ah, ia menjadi tersesat demikian jauh! Bahkan kematian Panembahan Ciptaning juga gara- gara Sariti! Aduh, suamiku, nasib apakah yang akan menimpamu kelak?” Wanita tua itu tak dapat menahan kesedihan hatinya dan ia lalu menangis tersedu-sedu.
“Keparat betul!” Jaka Galing berkata gemas. “Sayang sekali aku biarkan lepas seorang dari mereka. Tentu ia pergi membuat laporan kepada Gendrosakti dan adipati itu akan tahu bahwa isteri dan anaknya belum terbunuh.”
Kini kebencian semua orang terhadap Dewi Cahyaningsih dan Puspasari lenyap, berganti dengan perasaan kasihan, karena bukankah kedua orang ibu dan anak itupun bernasib malang dan sengsara akibat kekejaman Adipati Gendrosakti?
Sampai hampir menjelang fajar mereka bercakap-cakap dan mengingat bahwa Gendrosakti Tentu akan mengejar-ngejar isteri dan puterinya yang belum terbunuh, maka Jaka Galing berpikir lebih baik kedua orang itu untuk sementara tinggal bersama mereka di kampung itu untuk menyembunyikan diri.
Hal inipun akhirnya disetujui oleh Dewi Cahyaningsih. Tadinya puteri itu hendak pergi ke Majapahit dan mengadukan hal suaminya itu kepada Prabu Brawijaya, akan tetapi sebagai seorang puteri ia merasa malu kalau terdengar oleh orang lain bahwa dia sebagai isteri Adipati Gendrosakti mengadukan suaminya sendiri. Ia tentu akan dipandang hina dan karenanya ia pikir lebih baik untuk sementara waktu bersembunyi diantara orang-orang yang ramah-tamah dan sopan itu.
Semenjak saat itu, Dewi Cahyaningsih dan puterinya tinggal di kampung Bekti, hidup diantara para petani kampung. Kedua puteri bangsawan itu melewatkan waktunya dengan memberi petunjuk-petunjuk dan pelajaran kerajinan tangan kepada para wanita kampung hingga sebentar saja mereka dikasihi oleh orang-orang kampung.
Dewi Cahyaningsih dikenal sebagai seorang wanita yang cerdas dan berpengetahuan luas dan orang-orang datang minta nasihat dan petuah dari padanya, sedangkan Puspasari dikagumi karena kecantikannya dan kepandaiannya dalam pelajaran membatik dan kerajinan tangan lainnya. Ia segera terkenal menjadi kembangnya dusun Bekti dan dipuja serta dikagumi oleh semua pemuda!
“Ha, ha! Kau seperti Burisrawa kebakaran jenggot!” pemuda itu mengejek sambil mengirimkan serangan kilat yang membuat pedangnya menari-nari itu! Sebentar saja iapun dapat merobohkan lagi tiga orang lawan dengan pedangnya!.
Sementara itu, pemuda bertombak telah berhasil menewaskan empat orang dan yang melawannya kini tinggal Klabangkoro dan seorang temannya. Melihat betapa gagah perkasanya pemuda lawannya itu dan betapa kawan-kawannya telah banyak yang tewas, tiba-tiba Klabangkoro melompat jauh dan lari kearah Dewi Cahyaningsih dan Puspasari yang saling peluk dan berdiri menggigil di dekat tandu mereka!
Klabangkoro mengayun-ayunkan goloknya untuk membinasakan dua orang wanita itu untuk menunaikan tugas.
Melihat hal ini, pemuda bertombak merasa terkejut sekali. Ia hendak meloncat mengejar, tapi lawannya yang tinggal seorang itu menghalanginya dengan pedang dan mengirim serangan ke arah lambungnya. Karena perhatian pemuda itu dicurahkan kepada Klabangkoro, hampir saja lambungnya tertusuk pedang kalau ia tidak cepat- cepat melempar tubuh kebelakang.
Pada saat ia menggulingkan diri, ia melihat betapa Klabangkoro telah berada dekat dengan kedua wanita itu dan telah mengangkat goloknya. Tidak ada jalan lain untuk menolong kecuali dengan melemparkan tombaknya dengan sekuat tenaga ke arah tubuh Klabangkoro.
Lemparannya tepat sekali dan pada saat Klabangkoro hampir berhasil membunuh Dewi Cahyaningsih dan gadisnya, tiba-tiba punggung manusia jahat itu tertikam tombak hingga menembus ke dadanya! Klabangkoro berteriak ngeri dan goloknya terlepas dari tangannya. Tubuhnya terhuyung-huyung dan akhirnya roboh telungkup tak bernyawa lagi!
Pemuda itu segera lari menghampiri tubuh Klabangkoro dan mencabut keluar tombaknya. Ketika ia menengok, ternyata orang terakhir yang melawannya tadi telah lenyap!
Ia merasa menyesal karena orang itu tentu telah melarikan diri. Ketika ia berpaling, ternyata kawannya yang bersenjata pedangpun baru saja menyelesaikan pertempurannya dan dengan puas membersihkan pedangnya sambil memandangi lima orang lawannya yang telah tewas bergelimpangan di sekelilingnya!
“Indra, kau hebat sekali!” pemuda bertombak itu memuji kawannya sambil tertawa membuka kedok.
Ternyata bahwa pemuda bertombak itu bukan lain ialah Jaka Galing! Kawannya yang bernama Indrapun membuka kedoknya dan ternyata ia adalah seorang pemuda yang tampan juga, berambut keriting dan bermata penuh kegembiraan.
“Kaupun hebat, Galing.”
“Tapi lawanku ada yang lari seorang.”
Mereka lalu menghampiri Dewi Cahyaningsih dan Puspasari yang masih saling rangkul dengan wajah pucat. Jaka Galing dan Indra tidak mengenal siapa kedua wanita itu, mereka berdua memandang kagum kepada Puspasari yang cantik manis.
“Ibu dan adik, bahaya telah lalu dan tak perlu takut dan khawatir lagi.”
Galing menghibur. Ia tak pernah menyangka bahwa wanita tua itu adalah isteri Adipati Gendrosakti dan mengira bahwa mereka berdua hanyalah wanita-wanita kampung karena memang Dewi Cahyaningsih berdua puterinya mengenakan pakaian sederhana.
“Aduh, raden…………..semoga Gusti Yang Maha Agung melimpahkan rahmatNya kepada kalian berdua. Kalian telah menolong jiwa kami ibu dan anak, kalau tidak ada kalian…………entah bagaimana jadinya……” wanita tua itu tersendu-sendu karena merasa terharu dan sedih.
“Sudahlah, ibu, jangan bersedih, penjahat-penjahat kejam itu telah kami bunuh semua. Kalau kami boleh bertanya, ibu dan adik ini siapakah dan hendak pergi kemana?”
Sebelum ibunya sempat menjawab, Puspasari menjawab dengan suara malu-malu dan pipi merah sambil menundukkan mukanya,
“Kami…… kami orang Tandes, ibuku seorang janda dan aku anak tunggalnya. Kami hendak pergi ke Majapahit mengunjungi sanak keluarga kami. Tapi dihutan tiba-tiba bertemu dengan perampok- perampok. Untung kalian berdua menolong kami, raden, dan terimalah pernyataan terima kasih kami!”
Tiba-tiba gadis itu berlutut menyembah hingga Jaka Galing merasa kikuk. Hendak membangunkan gadis itu, ia harus menyentuh pundaknya dan ia tidak berani melakukan ini. Didiamkan juga tidak enak.
“Nona …….jangan ……. jangan kau melakukan segala upacara ini. Sudah sepantasnya manusia di dunia saling tolong-menolong.”
Setelah Puspasari berdiri kembali, ibunya berkata.
“Benar kata Puspasari anakku ini, raden. Kami memang hendak pergi ke Majapahit.”
Dewi Cahyaningsih maklum akan maksud Puspasari yang sengaja berbohong, karena kalau ia berterus terang, tentu kedua pemuda ini merasa terkejut dan siapa tahu kalau-kalau kedua pemuda ini merasa berkewajiban untuk mengantarkan dan memaksa mereka pulang ke Tandes.
“Tapi hari sudah menjadi gelap dan tak mungkin melanjutkan perjalanan yang masih jauh. Lagi pula para pemikul tandu telah binasa semua. Kalau kalian sudi, kami persilakan singgah di kampung kami yang berada tak jauh dari sini dan besok barulah kalian melanjutkan perjalanan menuju ke Majapahit.” Kata Indra sambil memandang gadis yang manis itu.
Kedua wanita itu menyetujui dan Galing bersama kawannya menggiringkan mereka menuju ke sebuah kampung yang berada tak jauh dari hutan itu.
Dewi Cahyaningsih dan Puspasari heran dan kagum ketika mereka tiba di kampung itu, karena di dusun yang baru itu berkumpul banyak sekali orang dari segala golongan dan mereka ini ramah tamah sekali.
Mereka disambut dengan segala kehormatan dan hampir semua orang, laki-laki maupun perempuan yang menyambut mereka, menyatakan simpati dan mengutuk para perampok yang berniat jahat terhadap mereka. Karena keramah-tamahan orang-orang itu Dewi Cahyaningsih dan Puspasari merasa terharu dan suka sekali berada disitu.
Bagaimanakah Jaka Galing yang dulu tinggal di dusun Tuban bersama kakeknya kini berada di dusun itu dan siapa pula kawan-kawannya penduduk dusun itu?
Dulu ketika Jaka Galing membawa pulang jenazah kakeknya dengan hati hancur karena sedihnya, ia disambut rakyat dengan perasaan terharu dan sedih. Memang nama Panembahan Ciptaning telah terkenal sebagai seorang sakti yang berbudi dan bijaksana, juga tidak sedikit orang yang telah ditolong oleh panembahan itu, baik berupa nasehat atau petuah maupun pertolongan mengobati mereka yang menderita sakit.
Selain daripada itu banyak yang mengangkat dia sebagai guru mereka, karena sedikit banyak mereka telah menerima petunjuk-petunjuk dan petuah-petuah yang berharga dari orang suci itu.
Oleh karena itu, maka tidak heran apabila nasib Panembahan Ciptaning yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu telah membangkitkan perasaan marah dan dendam di hati para pemuda itu.
Diantara para pemuda yang sakit hati terhadap Adipati Gendrosakti, adalah Indra, seorang putera kepala kampung di dusun Keling, yang menjadi murid terkasih dari Panembahan Ciptaning dan seorang kawan baik Jaka Galing semenjak kecil.
Disaksikan oleh banyak orang, Jaka Galing mencabut tombak pusaka Kyai Santanu yang menancap di dada kakeknya dan ia bersumpah di depan tombak pusaka itu dengan ucapan keras dan tegas.
“Aku bersumpah untuk membalas dendam rama panembahan yang terbunuh oleh Gendrosakti dan pada suatu saat aku tentu akan mengembalikan tombak ini ke dalam dada Gendrosakti!”
Jaka Galing maklum bahwa dirinya tentu dimusuhi oleh Adipati Gendrosakti dan bukan tak mungkin besok atau lusa akan datang perajurit-perajurit dari Tandes ke dusun Tiban untuk menangkap atau membunuh dirinya.
Dugaan ini dibenarkan oleh banyaknya anak muda di dusun Tiban, maka Jaka Galing lalu mengambil keputusan untuk pergi dari Tiban. Alangkah terharu hatinya ketika hampir semua pemuda Tiban, bahkan ada beberapa orang pula dari desa Keling, yakni Indra dan kawan-kawannya, menyokong maksudnya hendak membalas dendam, Mereka lalu berkumpul dan merupakan satu pasukan terdiri dari pemuda-pemuda yang gagah berani dan bersemangat !
Karena takut kalau-kalau Adipati Gendrosakti menumpahkan amarahnya kepada keluarga mereka, maka para pemuda itu lalu memboyong keluarga mereka dan menebang hutan untuk mendirikan sebuah dusun baru di tengah-tengah hutan.
Dusun ini mereka beri nama dusun Bekti dan di dalam hutan lebat ini Galing dan Indra melatih para kawannya dalam olah keprajuritan dan permaianan tombak dan pedang. Mereka siap untuk sewaktu-waktu menyerbu ke Kadipaten Tandes dan membalas dendam kepada Adipati Gendrosakti.
Sementara itu, seringkali Jaka Galing termenung jika teringat akan cerita Panembahan Ciptaning sebelum menghembuskan napas terakhir, yakni bahwa mendiang ibunya adalah seorang isteri Sang Prabu Brawijaya.
Kalau begitu, dia masih berdarah bangsawan, berdarah raja, seorang pangeran. Namun ia simpan rahasia ini baik-baik dan tak pernah menceritakan kepada siapapun juga. Oleh karena itu maka semua orang masih menganggap bahwa ia adalah Jaka Galing putera Panembahan Ciptaning.
Perjumpaannya dengan Dewi Cahyaningsih dan anak gadisnya, membuat Jaka Galing makin benci kepada Adipati Gendrosakti. Malam itu juga, ia mengumpulkan kawan-kawannya dan menyatakan pendapatnya.
“Kawan-kawanku, peristiwa yang baru saja dialami oleh kedua tamu kita itu menyatakan betapa kacau-balaunya daerah yang yang dikuasai oleh Gendrosakti. Perampok berani muncul dimana-mana dan mengganggu rakyat, tanpa mendapat perhatian sama sekali dari Gendrosakti. Bahkan aku merasa curiga melihat pakaian para perampok itu, karena pakaian macam itu tidak layak dipakai oleh para perampok. Lebih pantas kalau mereka itu disebut pengawal-pengawal atau pemimpin-pemimpin perajurit kadipaten.”
Dewi Cahyaningsih dan Puspasari yang berada di ruang tengah itu dan mendengar kata-kata Jaka Galing, menjadi terkejut sekali. Tadinya mereka hanya menyangka bahwa Jaka Galing dan Indra hanyalah dua orang pemuda dusun yang gagah perkasa, dan tidak menyangka bahwa pemuda ini demikian cerdik dan seakan-akan mempunyai sikap bermusuh dan membenci Adipati Gendrosakti. Mereka berdua mendengar lebih lanjut dengan penuh perhatian.
“Memang akupun sudah menaruh curiga,” Indra membenarkan kata-kata Galing. “Mereka itu memainkan senjata dengan baik sekali dan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, sekali-kali tak pantas kalau mereka hanya perampok-perampok biasa. Lebih baik kita bertanya lagi kepada tamu-tamu kita.”
Semua orang menyatakan setuju dan Dewi Cahyaningsih serta puterinya dipersilakan maju mendekat. Wanita tua itu merasa kagum memandang para pemuda tampan yang duduk bersila dalam deretan rapi dan sikap mereka yang sopan-sopan itu, sedangkan Puspasari menundukkan kepala dengan wajah merah. Ia tidak kuasa menentang pandang mata sekian banyak pemuda yang kesemuanya ditujukan padanya dengan pandang mata kagum.
“Kanjeng bibi, harap maafkan kami kalau kami mengganggu kanjeng bibi. Sebetulnya kami merasa curiga sekali melihat keadaan para perampok yang mencegat perjalanan bibi berdua sore tadi. Apakah kanjeng bibi tidak pernah melihat orang-orang itu atau tidak menyangka sesuatu mengapa bibi berdua diganggu ?” Sambil berkata demikian, Jaka Galing memandang tajam.
Dewi Cahyaningsih adalah seorang puteri dari Majapahit yang bagaimanapun juga mempunyai keagungan dan perbawa besar. Melihat betapa anak muda itu mengajukan pertanyaan seakan-akan sedang memeriksanya, ia balas bertanya dengan suara angkuh.
“Anak muda, sebelum aku menjawab pertanyaanmu, lebih dulu perkenalkan dirimu. Siapa kau ini, raden? Dan ada hubungan apa engkau dengan Adipati Gendrosakti, siapa pula sekian anak muda yang berkumpul disini ?”
Jaka Galing tercengang mendengar suara dan pertanyaan ini. Karena ini bukanlah suara seorang wanita tua dari dusun dan pertanyaan inipun membayangkan bahwa wanita di depannya tentu tahu banyak tentang diri Gendrosakti!
“Kanjeng bibi, kiranya kepadamu aku tidak perlu membohong atau menyimpan rahasia. Aku adalah Jaka Galing putera mendiang Panembahan Ciptaning yang dibunuh mati oleh Gendrosakti!”
Biarpun Dewi Cahyaningsih telah menekan perasaan hatinya, namun wajahnya masih berpucat mendengar pengakuan ini. Untung baginya bahwa cahaya dian yang tidak begitu terang itu membuat perubahan wajahnya tidak tampak oleh yang lain. Sementara itu, diam-diam Puspasari menggerakkan sedikit mukanya dan ia mengerling ke arah Jaka Galing.
“Jadi……….. kau adalah putera Panembahan Ciptaning yang bernasib malang itu raden? Aduh, raden. Kasihan sekali ramamu!” Dewi Cahyaningsih berkata perlahan. “Dan kau kumpulkan kawan-kawanmu ini untuk membalas dendam? Hendak menggempur dan mengobrak-abrik Kadipaten Tandes?”
“Bukankah sudah selayaknya kalau aku membalaskan dendam rama panembahan? Tidak pantaskah kalau ujung tombak yang mengantar nyawa rama panembahan ini kugunakan untuk mengantar nyawa Gendrosakti menyusulnya?" Kemudian, Jaka Galing yang untuk sesaat dikuasai oleh nafsu amarah itu teringat kembali dan menyambung kata-katanya kepada Dewi Cahyaningsih dengan suara perlahan. “Maaf, kanjeng bibi, tidak seharusnya didepan seorang tamu yang tiada sangkut pautnya sama sekali dengan urusan ini aku melampiaskan amarahku.”
Ia lalu menyembunyikan tombak pusaka Kyai Santanu di belakang tubuhnya. Tapi Dewi Cahyaningsih telah mendengar itu semua, telah merasai ancaman yang tersembunyi dalam kata-kata Jaka Galing tadi.
Betapapun juga, Adipati Gendrosakti adalah suaminya, suami yang pernah dicintainya, walaupun ia telah dikhianati dan hampir saja dibunuh! Sebagai seorang wanita bangsawan ia harus berani menghadapi kenyataan, berani menghadapi segala akibat dari kejahatan suaminya. Maka sambil menatap wajah anak muda yang tampan di depannya itu ia berkata, suaranya lantang.
“Baik sekali, anak muda! Kau sudah mengaku dan sudah mengutarakan semua isi hatimu. Kini, kau dengarlah baik-baik, 12 orang perampok yang kau tewaskan itu, adalah pengawal-pengawal pilihan dari Gendrosakti! Mereka itu memang sengaja hendak membunuh aku dan anakku. Ketahuilah, aku adalah isteri Gendrosakti dan puspasari adalah anakku, anak Adipati Gendrosakti!”
“Ibu………”
Puspasari mencegah dan memandang wajah ibunya dengan air mata berlinang. Mengapa ibunya seberani ini membuat pengakuan di depan musuh-musuh ayahnya?
Untuk sesaat semua orang berdiam dengan mata terbelalak dan keadaan menjadi sunyi. Dan sesaat kemudian ramailah mereka itu berteriak-teriak dengan suara mengancam, bahkan Indra telah mencabut keris pusaka yang terselip di pinggangnya!
Tapi Jaka Galing mengangkat kedua tangannya dan berkata perlahan.
“Diam semua! Kanjeng bibi, kau teruskan ceritamu! Mengapa kau hendak dibunuh oleh pengawal-pengawal suamimu sendiri?”
Sepasang mata Jaka Galing kini memancarkan cahaya, memandang ke wajah wanita itu seakan-akan hendak menembus dan membaca isi hatinya.
“Para pengawal itu memang sengaja disuruh untuk membinasakan kami berdua. Kami disuruh pergi ke Majapahit dan diantar oleh 12 orang pengawal. Tapi di tengah hutan, kami hendak dibunuh dan menurut mereka, memang mereka diperintah untuk membunuh kami.”
Orang-orang yang tadinya memandang marah kepada Dewi Cahyaningsih kini menggeleng-geleng kepala dan merasa heran sekali. Juga Jaka Galing merasa tak mengerti.
“Tapi, mengapa suamimu hendak membunuhmu dan membunuh puterinya sendiri?” tanyannya.
Dewi Cahyaningsih menghela napas, sementara itu Puspasari terisak-isak.
“Ini semua gara-gara perempuan siluman itu. Gara-gara Sariti! Memang betul kata- kata Panembahan Ciptaning dulu bahwa dia adalah seorang perempuan siluman! Rupa-rupanya perempuan itu ingin berkuasa di Tandes, dan setelah berhasil mengusir semua selir, ia juga ingin sekali melenyapkan aku dan anakku yang dianggap penghalangnya.”
“Alangkah kejamnya! Binatang berwajah manusia!” Indra menggeram.
Dewi Cahyaningsih menggeleng-gelengkan kepala dengan sedih.
“Ia tidak jahat, raden. Dulu ia adalah seorang senopati yang gagah perwira dan berhati mulia. Tapi……. Setelah ia memboyong ledek dari Surabaya itu ke kadipaten……. ah, ia menjadi tersesat demikian jauh! Bahkan kematian Panembahan Ciptaning juga gara- gara Sariti! Aduh, suamiku, nasib apakah yang akan menimpamu kelak?” Wanita tua itu tak dapat menahan kesedihan hatinya dan ia lalu menangis tersedu-sedu.
“Keparat betul!” Jaka Galing berkata gemas. “Sayang sekali aku biarkan lepas seorang dari mereka. Tentu ia pergi membuat laporan kepada Gendrosakti dan adipati itu akan tahu bahwa isteri dan anaknya belum terbunuh.”
Kini kebencian semua orang terhadap Dewi Cahyaningsih dan Puspasari lenyap, berganti dengan perasaan kasihan, karena bukankah kedua orang ibu dan anak itupun bernasib malang dan sengsara akibat kekejaman Adipati Gendrosakti?
Sampai hampir menjelang fajar mereka bercakap-cakap dan mengingat bahwa Gendrosakti Tentu akan mengejar-ngejar isteri dan puterinya yang belum terbunuh, maka Jaka Galing berpikir lebih baik kedua orang itu untuk sementara tinggal bersama mereka di kampung itu untuk menyembunyikan diri.
Hal inipun akhirnya disetujui oleh Dewi Cahyaningsih. Tadinya puteri itu hendak pergi ke Majapahit dan mengadukan hal suaminya itu kepada Prabu Brawijaya, akan tetapi sebagai seorang puteri ia merasa malu kalau terdengar oleh orang lain bahwa dia sebagai isteri Adipati Gendrosakti mengadukan suaminya sendiri. Ia tentu akan dipandang hina dan karenanya ia pikir lebih baik untuk sementara waktu bersembunyi diantara orang-orang yang ramah-tamah dan sopan itu.
Semenjak saat itu, Dewi Cahyaningsih dan puterinya tinggal di kampung Bekti, hidup diantara para petani kampung. Kedua puteri bangsawan itu melewatkan waktunya dengan memberi petunjuk-petunjuk dan pelajaran kerajinan tangan kepada para wanita kampung hingga sebentar saja mereka dikasihi oleh orang-orang kampung.
Dewi Cahyaningsih dikenal sebagai seorang wanita yang cerdas dan berpengetahuan luas dan orang-orang datang minta nasihat dan petuah dari padanya, sedangkan Puspasari dikagumi karena kecantikannya dan kepandaiannya dalam pelajaran membatik dan kerajinan tangan lainnya. Ia segera terkenal menjadi kembangnya dusun Bekti dan dipuja serta dikagumi oleh semua pemuda!
**** 07 ****
No comments:
Post a Comment