Panembahan itu menundukkan kepala.
“Bukan aku yang memaksudkan, tetapi mimpi ananda sendiri.”
Tiba-tiba meledaklah suara ketawa dari mulut Gendrosakti. Suara ketawa terbahak-bahak yang sengaja dikeraskan untuk menekan gelora hatinya yang diliputi rasa cemas dan takut. Kemudian ia berkata keras.
“Ha ha ha…..! Panembahan Ciptaning! Kau........kau curang! Agaknya kau menyimpan dendam padaku dan sekarang kau hendak membalasnya! Kau anggap Sariti akan merusak hidupku? Ha,ha! Gila! Kau sudah gila, Ciptaning!”
“Memang demikian sifat orang yang telah lupa.” jawab Panembahan Ciptaning, “Yang bodoh memaki yang lain goblok, yang edan memaki yang lain gila!”
“Pengkhianat tua bangka!”
Gendrosakti marah dan ia mencabut kerisnya. Tapi para penasihatnya segera meloncat menubruk dan menyambarnya hingga adipati yang sedang marah itu tidak jadi membunuh Panembahan Ciptaning. Tapi ia masih marah sekali dan segera memerintahkan pengawal-pengawalnya.
“Tangkap tua bangka ini! Penjarakan dukun tenung itu!”
Panembahan Ciptaning lalu ditangkap, dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan. Tapi senyum sabar tak pernah meninggalkan wajah pendeta itu.
Adipati Gendrosakti menyumpah-nyumpah dan akhirnya hanya sariti saja yang dapat menyabarkannya.
“Kangmas adipati,” kata sariti dengan suara merdu dan gaya manja. “Saya telah mendengar tentang ramalan yang diucapkan oleh Panembahan Ciptaning. Kalau memang kangmas menganggap bahwa saya dapat menimbulkan malapetaka di Tandes sini, lenyapkanlah saya, kangmas, bunuhlah saya, saya rela berkorban demi kebahagian kangmas.” Setelah berkata demikian, Sariti menangis terisak-isak.
“Yayi Sariti, jangan kau dengar obrolan kosong dukun tua itu!”
Sariti yang masih muda remaja dan memang cantik itu berkata lagi,
“Jadi kalau begitu dia bukan seorang panembahan suci seperti yang orang anggap, kangmas?”
"Pendeta suci? Ha ha ha….! Ciptaning hanya seorang kampung yang bisanya hanya mengobati anak-anak kecil. Ha, ha, ha!"
“Kangmas adipati, kalau begitu, orang itu berbahaya sekali dan selayaknya dihukum mati.”
“Memang! Memang tadinya juga hendak saya binasakan pada saat itu juga, tapi para ponggawa mencegah saya! Biarlah besok akan kuperintahkan pengawal untuk menjatuhkan hukuman picis ( hukuman mati dengan menguliti tubuh si terhukum sedikit demi sedikit ) padanya.” Adipati Gendrosakti makin geram saja.
“Kakangmas adipati, jangan jatuhkan hukuman picis padanya, kasihan. Ia akan menderita luar biasa dan hatiku takkan tega mendengar ini.”
Adipati Gendrosakti memeluk selirnya yang tercinta itu.
“Ah, makluk begini manis, begini cantik jelita, begini halus dan lembut, serta mempunyai hati pengasih penyayang, makhluk indah ini disebut siluman berwujud manusia oleh Ciptaning Gila!” pikir Gendrosakti. “Kalau kau keberatan, baik ia dihukum penggal kepala saja, manis,” katanya menghibur.
“Kangmas Gendrosakti, saya masih sangsi dan khawatir kalau-kalau ia memang benar-benar seorang sakti. Bukankah macan putih yang kita dapat dari Madura itu liar sekali? Nah, sebaiknya kita uji kesaktian Panembahan Ciptaning itu. Kalau benar ia dapat menghadapi macan putih yang buas itu dengan selamat, maka benar-benar ia seoarang suci dan tidak seharusnya dibinasakan. Tapi kalau ternyata macan putih sampai membinasakannya, berarti ia memang seorang dukun penipu dan biarlah ia dikubur dalam perut macan putih itu!”
Adipati Gendrosakti senang sekali mendengar usul ini dan ia menganggap selirnya cerdik sekali. Dan malam itu mereka lalui dengan bersenang-senang seperti biasa.
Pada keesokan harinya, Adipati Gendrosakti memerintahkan kepada para pengawalnya untuk mengumumkan kepada semua penduduk bahwa di alun-alun hendak diadakan ujian bagi pendeta Ciptaning. Pendeta tua hendak diadu dengan harimau putih yang ditangkap dihutan Madura sebagai ujian. Jika ia mati diterkam hariamau, ternyata bahwa ia memang seorang penipu, tetapi apabila ia dapat mengalahkan harimau putih, ia akan dibebaskan.
Berita itu diasampaikan oleh rakyat dengan gembira sekali karena memang belum pernah ada peristiwa semacam itu. Sudah menjadi kebiasan bahwa sesuatu pertunjukan yang aneh selalu disukai orang, tanpa memikirkan baik buruknya pertunjukan itu.
Sebaliknya para penasehat dan sentana merasa sangat cemas karena ujian itu dianggap terlalu kejam dan tak kenal perikemanusian. Kalau hendak menghukum mati, mengapa tidak dibunuh saja? Mengapa harus dijadikan mangsa seekor harimau yang terkenal ganas dan kejam? Sebelum ditangkap, macan putih itu telah membinasakan puluhan rakyat kampung di Madura dan terkenal sebagai seekor binatang buas yang jahat. Namun, siapa berani menentang kehendak Adipati Gendrosakti yang kuasa?
Semenjak pagi-pagi rakyat berduyun-duyun ke alun-alun, hendak menyaksikan tontonan istimewa ini. Setelah gong dipukul, Adipati Gendrosakti keluar dari kadipaten, diiringkan oleh para abdi dalem dan para ponggawa. Tampak pula selirnya yang tercinta, Sariti, hendak menyaksikan tontonan yang terjadi sebagi kenyataan daripada buah pikirannya itu.
Semua orang terutama para muda tiada hentinya memuji kecantikan puteri ini dan diam-diam mereka mengakui bahwa untuk seorang cantik jelita seperti Sariti, seorang laki-laki agaknya akan sanggup melakukan apapun juga yang dimintanya.
Setelah Adipati Gendrosakti dan rombongannya duduk di atas panggung yang telah disiapkan disitu, adipati itu memberi perintah. Dan datanglah beberapa orang prajurit menggotong sebuah kurungan besi yang besar dan berat.
Orang-orang merasa ngeri ketika melihat bahwa yang berada di dalam kurungan itu adalah seekor macan loreng putih yang besar sekali. Ketika harimau itu melihat orang banyak, ia mengaum dengan suaranya yang menggetarkan bumi. Orang-orang menjadi pucat ketakutan dan para penonton yang berdiri paling depan lalu mundur hingga keadaan menjadi panik!
Serombongan perajuit pilihan bersenjata tombak yang runcing segera berbaris dan berderet-deret merupakan pagar tembok yang kokoh kuat. Mereka membuat lingkaran dan penonton hanya diperbolehkan berdiri di belakang pagar perajurit yang menjaga dengan tombak itu siap sedia, maka kembali Adipati Gendrosakti memberi tanda.
Dari arah kamar tahanan, dikeluarkan Panembahan Ciptaning yang tua itu. Ia masih diborgol dengan belenggu rantai dan besi panjang dan ujung rantai itu dipegang oleh seorang penjaga yang bertubuh tinggi besar. Pendeta tua itu masih tersenyum, seakan- akan merasa geli melihat pertunjukan ini. Ia berjalan dengan jalan perlahan dan tenang seperti biasa dan mukanya tunduk memandang tanah yang dilalui kakinya.
Para penonton melihat pendeta ini lalu menyambutnya dengan tepuk tangan riuh rendah. Melihat hal ini, Sariti merasa gemas sekali. Ia menujukan pandangan matanya dengan penuh kebencian ke arah pendeta itu. Orang gila, pikirnya, tanpa sebab tanpa alasan hendak mencelakakan aku!
Si cantik itu lalu menyentuh lengan Adipati Gendrosakti dan berbisik.
“Cepatkanlah ujian ini agar lekas beres.”
Maka Gendrosakti lalu memberi tanda lagi dan belenggu di tangan Panembahan Ciptaning dibuka. Ia berdiri di dekat kurungan menundukkan kepala. Kemudian kurungan itu dibuka pintunya. Setelah pintu terbuka, perajurit yang membukanya cepat meloncat menyelamatkan diri di belakang para perajurit penjaga.
Terdengar macan putih mengaum lagi beberapa kali, lalu ia keluar dengan perlahan. Semua penonton berdebar-debar dan keadaan menjadi tegang sekali. Harimau memandang calon korbannya yang masih berdiri tegak.
Kini Panembahan Ciptaning juga memandang kepada binatang itu. Keduanya berdiri diam tak bergerak saling berpandangan, bagaikan terkena getaran yang menjalar ke seluruh tubuh. Akhirnya harimau itu kalah dan menundukkan kepala, tak kuasa menentang sinar mata kakek tua di depannya itu. Ia mencium-cium tanah dan mengaum lagi, tapi sama sekali tidak berani menatap Panembahan Ciptaning!
“Dia penyihirnya!” Sariti berbisik di dekat telinga Gendrosakti. “Benar-benar dia dukun jahat!”
Sementara itu, melihat betapa harimau yang galak dan ganas itu seakan-akan takut kepada pendeta itu, penonton menjadi kagum dan mereka mengeluarkan suara pujian riuh rendah! Keadaan menjadi panik lagi, orang-orang berdesak-desakan hendak menyaksikan kesaktian seorang pendeta yang telah terkenal dan termasyhur namanya!
Pada saat itu, diluar lingkungan penonton terjadi keributan hebat. Terdengar suara bentakan nyaring.
"Minggir! Minggir kamu! Buka jalan!"
Suara bentakan itu begitu menakutkan hingga orang-orang menjadi kacau balau, karena orang yang baru datang itu tidak saja menggunakan suara yang menggeledek untuk minta jalan, tapi juga menggunaka sepasang lengan tangannya yang luar biasa kuatnya! Dengan kedua tangannya, ia memegang orang-orang yang menghalangi jalan di depannya dan melemparkan ke kanan kiri bagaikan orang melempar-lemparkan rumput kering saja!
Dia adalah seorang pemuda tampan yang bertubuh tegap. Dadanya tak berbaju dan ia hanya mengenakan sepasang celana hitam sebatas lutut, berkalung sarung tenun dan memakai ikat kepala berwarna ungu kehitam-hitaman. Orang ini tidak lain adalah Jaka Galing yang sengaja datang mencari ayahnya, karena ditangkap dan hendak dijadikan korban macan putih telah sampai pula di kampungnya!
Dengan kedua lengannya yang kuat, akhirnya Jaka Galing dapat mendesak sampai ke depan. Kedua matanya yang tajam terbelalak marah ketika ia melihat betapa ramanya telah berhadapan dengan seekor harimau putih yang besar sekali dan yang telah siap untuk menubruk dan merobek-robek tubuh ayahnya.
“Jahanam!” teriaknya keras sambil meloncat ke dalam kalangan.
Seorang perajurit yang hendak menghalang-halangi dapat digulingkan dengan sekali dorong saja!
Macan putih itu memang takut untuk menyerang orang tua yang memiliki sepasang mata yang luar biasa dan membuatnya lemah itu. Akan tetapi, ketika ia melihat betapa seorang pemuda berani masuk dan datang mendekatinya, dengan menggereng-gereng memperlihatkan giginya yang tajam ia maju perlahan sambil merendahkan tubuh sampai perutnya menempel pada tanah. Kemudian, dengan tiba-tiba dan tak terduga, harimau itu melompat menerkam ke arah Jaka Galing!
Terkaman ini dasyat dan cepat sekali dan semua penonton memekik ngeri, terutama para pelayan wanita yang mengiringi Sartini. Semua orang merasa iba dan sayang kalau-kalau dada pemuda yang berkulit halus dan bersih itu akan dibeset dan dirobek- robek oleh kuku harimau putih!
Telah terbayang pada pandangan semua orang yang menyaksikan kejadian ini betapa pemuda yang tampan dan muda itu rebah dada robek terbuka dan leher hampir putus dan tubuhnya rebah dalam genangan darahnya sendiri!
Akan tetapi, segera kengerian itu berubah menjadi keheranan dan akhirnya terdengar tepuk-sorak yang gegap-gempita dan menggetarkan bumi. Ternyata bahwa pemuda yang tampan dan gagah itu dengan cara yang mengagumkan sekali telah dapat mengelak ke samping hingga terkaman macan putih tak mengenai sasarannya. Dan sebelum binatang itu dapat menyerang lagi, kaki kanan Galing telah terayun kuat dan cepat menendang tubuh belakang harimau itu hingga binatang yang kuat dan liar itu terlempar ke depan tunggang langgang!
“Alangkah hebat pemuda itu!” seruan perlahan ini tanpa disengaja terloncat keluar dari bibir Sariti yang merah dan manis dengan sepasang matanya yang memancarkan sinar merayu serta menggairahkan.
Adipati Gendrosakti yang memang sudah marah melihat betapa macan putih itu tidak berani menyerang Panembahan Ciptaning dan betapa seorang pemuda dusun berani lancang tangan membela pendeta itu, kini bertambah marah mendengar pujian selirnya kepada pemuda pengacau itu! Racun-racun cemburu dan iri hati mengotori hati dan pikirannya dan dengan wajah berubah merah tangannya meraba-raba tombak pusaka Kyai Santanu didekatnya!
Sementara itu, Jaka Galing masih berdiri dengan gagah dan tabah menghadapi serangan pembalasan dari macan putih yang menjadi marah sekali dan tiada hentinya mengeluarkan auman mengerikan. Kemudian binatang itu menyerang kembali, kini lebih dasyat dan berbahaya daripada serangan yang pertama tadi.
Akan tetapi, Jaka Galing ternyata jauh lebih gesit dan tangkas daripada yang ia duga, karena pemuda itu kembali dapat menyelinap di bawah terkaman kakinya dan untuk kedua kalinya memberi pukulan dari belakang dengan tumit hingga macan putih itu berguling sampai beberapa depa jauhnya.
“Bukan aku yang memaksudkan, tetapi mimpi ananda sendiri.”
Tiba-tiba meledaklah suara ketawa dari mulut Gendrosakti. Suara ketawa terbahak-bahak yang sengaja dikeraskan untuk menekan gelora hatinya yang diliputi rasa cemas dan takut. Kemudian ia berkata keras.
“Ha ha ha…..! Panembahan Ciptaning! Kau........kau curang! Agaknya kau menyimpan dendam padaku dan sekarang kau hendak membalasnya! Kau anggap Sariti akan merusak hidupku? Ha,ha! Gila! Kau sudah gila, Ciptaning!”
“Memang demikian sifat orang yang telah lupa.” jawab Panembahan Ciptaning, “Yang bodoh memaki yang lain goblok, yang edan memaki yang lain gila!”
“Pengkhianat tua bangka!”
Gendrosakti marah dan ia mencabut kerisnya. Tapi para penasihatnya segera meloncat menubruk dan menyambarnya hingga adipati yang sedang marah itu tidak jadi membunuh Panembahan Ciptaning. Tapi ia masih marah sekali dan segera memerintahkan pengawal-pengawalnya.
“Tangkap tua bangka ini! Penjarakan dukun tenung itu!”
Panembahan Ciptaning lalu ditangkap, dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan. Tapi senyum sabar tak pernah meninggalkan wajah pendeta itu.
Adipati Gendrosakti menyumpah-nyumpah dan akhirnya hanya sariti saja yang dapat menyabarkannya.
“Kangmas adipati,” kata sariti dengan suara merdu dan gaya manja. “Saya telah mendengar tentang ramalan yang diucapkan oleh Panembahan Ciptaning. Kalau memang kangmas menganggap bahwa saya dapat menimbulkan malapetaka di Tandes sini, lenyapkanlah saya, kangmas, bunuhlah saya, saya rela berkorban demi kebahagian kangmas.” Setelah berkata demikian, Sariti menangis terisak-isak.
“Yayi Sariti, jangan kau dengar obrolan kosong dukun tua itu!”
Sariti yang masih muda remaja dan memang cantik itu berkata lagi,
“Jadi kalau begitu dia bukan seorang panembahan suci seperti yang orang anggap, kangmas?”
"Pendeta suci? Ha ha ha….! Ciptaning hanya seorang kampung yang bisanya hanya mengobati anak-anak kecil. Ha, ha, ha!"
“Kangmas adipati, kalau begitu, orang itu berbahaya sekali dan selayaknya dihukum mati.”
“Memang! Memang tadinya juga hendak saya binasakan pada saat itu juga, tapi para ponggawa mencegah saya! Biarlah besok akan kuperintahkan pengawal untuk menjatuhkan hukuman picis ( hukuman mati dengan menguliti tubuh si terhukum sedikit demi sedikit ) padanya.” Adipati Gendrosakti makin geram saja.
“Kakangmas adipati, jangan jatuhkan hukuman picis padanya, kasihan. Ia akan menderita luar biasa dan hatiku takkan tega mendengar ini.”
Adipati Gendrosakti memeluk selirnya yang tercinta itu.
“Ah, makluk begini manis, begini cantik jelita, begini halus dan lembut, serta mempunyai hati pengasih penyayang, makhluk indah ini disebut siluman berwujud manusia oleh Ciptaning Gila!” pikir Gendrosakti. “Kalau kau keberatan, baik ia dihukum penggal kepala saja, manis,” katanya menghibur.
“Kangmas Gendrosakti, saya masih sangsi dan khawatir kalau-kalau ia memang benar-benar seorang sakti. Bukankah macan putih yang kita dapat dari Madura itu liar sekali? Nah, sebaiknya kita uji kesaktian Panembahan Ciptaning itu. Kalau benar ia dapat menghadapi macan putih yang buas itu dengan selamat, maka benar-benar ia seoarang suci dan tidak seharusnya dibinasakan. Tapi kalau ternyata macan putih sampai membinasakannya, berarti ia memang seorang dukun penipu dan biarlah ia dikubur dalam perut macan putih itu!”
Adipati Gendrosakti senang sekali mendengar usul ini dan ia menganggap selirnya cerdik sekali. Dan malam itu mereka lalui dengan bersenang-senang seperti biasa.
Pada keesokan harinya, Adipati Gendrosakti memerintahkan kepada para pengawalnya untuk mengumumkan kepada semua penduduk bahwa di alun-alun hendak diadakan ujian bagi pendeta Ciptaning. Pendeta tua hendak diadu dengan harimau putih yang ditangkap dihutan Madura sebagai ujian. Jika ia mati diterkam hariamau, ternyata bahwa ia memang seorang penipu, tetapi apabila ia dapat mengalahkan harimau putih, ia akan dibebaskan.
Berita itu diasampaikan oleh rakyat dengan gembira sekali karena memang belum pernah ada peristiwa semacam itu. Sudah menjadi kebiasan bahwa sesuatu pertunjukan yang aneh selalu disukai orang, tanpa memikirkan baik buruknya pertunjukan itu.
Sebaliknya para penasehat dan sentana merasa sangat cemas karena ujian itu dianggap terlalu kejam dan tak kenal perikemanusian. Kalau hendak menghukum mati, mengapa tidak dibunuh saja? Mengapa harus dijadikan mangsa seekor harimau yang terkenal ganas dan kejam? Sebelum ditangkap, macan putih itu telah membinasakan puluhan rakyat kampung di Madura dan terkenal sebagai seekor binatang buas yang jahat. Namun, siapa berani menentang kehendak Adipati Gendrosakti yang kuasa?
Semenjak pagi-pagi rakyat berduyun-duyun ke alun-alun, hendak menyaksikan tontonan istimewa ini. Setelah gong dipukul, Adipati Gendrosakti keluar dari kadipaten, diiringkan oleh para abdi dalem dan para ponggawa. Tampak pula selirnya yang tercinta, Sariti, hendak menyaksikan tontonan yang terjadi sebagi kenyataan daripada buah pikirannya itu.
Semua orang terutama para muda tiada hentinya memuji kecantikan puteri ini dan diam-diam mereka mengakui bahwa untuk seorang cantik jelita seperti Sariti, seorang laki-laki agaknya akan sanggup melakukan apapun juga yang dimintanya.
Setelah Adipati Gendrosakti dan rombongannya duduk di atas panggung yang telah disiapkan disitu, adipati itu memberi perintah. Dan datanglah beberapa orang prajurit menggotong sebuah kurungan besi yang besar dan berat.
Orang-orang merasa ngeri ketika melihat bahwa yang berada di dalam kurungan itu adalah seekor macan loreng putih yang besar sekali. Ketika harimau itu melihat orang banyak, ia mengaum dengan suaranya yang menggetarkan bumi. Orang-orang menjadi pucat ketakutan dan para penonton yang berdiri paling depan lalu mundur hingga keadaan menjadi panik!
Serombongan perajuit pilihan bersenjata tombak yang runcing segera berbaris dan berderet-deret merupakan pagar tembok yang kokoh kuat. Mereka membuat lingkaran dan penonton hanya diperbolehkan berdiri di belakang pagar perajurit yang menjaga dengan tombak itu siap sedia, maka kembali Adipati Gendrosakti memberi tanda.
Dari arah kamar tahanan, dikeluarkan Panembahan Ciptaning yang tua itu. Ia masih diborgol dengan belenggu rantai dan besi panjang dan ujung rantai itu dipegang oleh seorang penjaga yang bertubuh tinggi besar. Pendeta tua itu masih tersenyum, seakan- akan merasa geli melihat pertunjukan ini. Ia berjalan dengan jalan perlahan dan tenang seperti biasa dan mukanya tunduk memandang tanah yang dilalui kakinya.
Para penonton melihat pendeta ini lalu menyambutnya dengan tepuk tangan riuh rendah. Melihat hal ini, Sariti merasa gemas sekali. Ia menujukan pandangan matanya dengan penuh kebencian ke arah pendeta itu. Orang gila, pikirnya, tanpa sebab tanpa alasan hendak mencelakakan aku!
Si cantik itu lalu menyentuh lengan Adipati Gendrosakti dan berbisik.
“Cepatkanlah ujian ini agar lekas beres.”
Maka Gendrosakti lalu memberi tanda lagi dan belenggu di tangan Panembahan Ciptaning dibuka. Ia berdiri di dekat kurungan menundukkan kepala. Kemudian kurungan itu dibuka pintunya. Setelah pintu terbuka, perajurit yang membukanya cepat meloncat menyelamatkan diri di belakang para perajurit penjaga.
Terdengar macan putih mengaum lagi beberapa kali, lalu ia keluar dengan perlahan. Semua penonton berdebar-debar dan keadaan menjadi tegang sekali. Harimau memandang calon korbannya yang masih berdiri tegak.
Kini Panembahan Ciptaning juga memandang kepada binatang itu. Keduanya berdiri diam tak bergerak saling berpandangan, bagaikan terkena getaran yang menjalar ke seluruh tubuh. Akhirnya harimau itu kalah dan menundukkan kepala, tak kuasa menentang sinar mata kakek tua di depannya itu. Ia mencium-cium tanah dan mengaum lagi, tapi sama sekali tidak berani menatap Panembahan Ciptaning!
“Dia penyihirnya!” Sariti berbisik di dekat telinga Gendrosakti. “Benar-benar dia dukun jahat!”
Sementara itu, melihat betapa harimau yang galak dan ganas itu seakan-akan takut kepada pendeta itu, penonton menjadi kagum dan mereka mengeluarkan suara pujian riuh rendah! Keadaan menjadi panik lagi, orang-orang berdesak-desakan hendak menyaksikan kesaktian seorang pendeta yang telah terkenal dan termasyhur namanya!
Pada saat itu, diluar lingkungan penonton terjadi keributan hebat. Terdengar suara bentakan nyaring.
"Minggir! Minggir kamu! Buka jalan!"
Suara bentakan itu begitu menakutkan hingga orang-orang menjadi kacau balau, karena orang yang baru datang itu tidak saja menggunakan suara yang menggeledek untuk minta jalan, tapi juga menggunaka sepasang lengan tangannya yang luar biasa kuatnya! Dengan kedua tangannya, ia memegang orang-orang yang menghalangi jalan di depannya dan melemparkan ke kanan kiri bagaikan orang melempar-lemparkan rumput kering saja!
Dia adalah seorang pemuda tampan yang bertubuh tegap. Dadanya tak berbaju dan ia hanya mengenakan sepasang celana hitam sebatas lutut, berkalung sarung tenun dan memakai ikat kepala berwarna ungu kehitam-hitaman. Orang ini tidak lain adalah Jaka Galing yang sengaja datang mencari ayahnya, karena ditangkap dan hendak dijadikan korban macan putih telah sampai pula di kampungnya!
Dengan kedua lengannya yang kuat, akhirnya Jaka Galing dapat mendesak sampai ke depan. Kedua matanya yang tajam terbelalak marah ketika ia melihat betapa ramanya telah berhadapan dengan seekor harimau putih yang besar sekali dan yang telah siap untuk menubruk dan merobek-robek tubuh ayahnya.
“Jahanam!” teriaknya keras sambil meloncat ke dalam kalangan.
Seorang perajurit yang hendak menghalang-halangi dapat digulingkan dengan sekali dorong saja!
Macan putih itu memang takut untuk menyerang orang tua yang memiliki sepasang mata yang luar biasa dan membuatnya lemah itu. Akan tetapi, ketika ia melihat betapa seorang pemuda berani masuk dan datang mendekatinya, dengan menggereng-gereng memperlihatkan giginya yang tajam ia maju perlahan sambil merendahkan tubuh sampai perutnya menempel pada tanah. Kemudian, dengan tiba-tiba dan tak terduga, harimau itu melompat menerkam ke arah Jaka Galing!
Terkaman ini dasyat dan cepat sekali dan semua penonton memekik ngeri, terutama para pelayan wanita yang mengiringi Sartini. Semua orang merasa iba dan sayang kalau-kalau dada pemuda yang berkulit halus dan bersih itu akan dibeset dan dirobek- robek oleh kuku harimau putih!
Telah terbayang pada pandangan semua orang yang menyaksikan kejadian ini betapa pemuda yang tampan dan muda itu rebah dada robek terbuka dan leher hampir putus dan tubuhnya rebah dalam genangan darahnya sendiri!
Akan tetapi, segera kengerian itu berubah menjadi keheranan dan akhirnya terdengar tepuk-sorak yang gegap-gempita dan menggetarkan bumi. Ternyata bahwa pemuda yang tampan dan gagah itu dengan cara yang mengagumkan sekali telah dapat mengelak ke samping hingga terkaman macan putih tak mengenai sasarannya. Dan sebelum binatang itu dapat menyerang lagi, kaki kanan Galing telah terayun kuat dan cepat menendang tubuh belakang harimau itu hingga binatang yang kuat dan liar itu terlempar ke depan tunggang langgang!
“Alangkah hebat pemuda itu!” seruan perlahan ini tanpa disengaja terloncat keluar dari bibir Sariti yang merah dan manis dengan sepasang matanya yang memancarkan sinar merayu serta menggairahkan.
Adipati Gendrosakti yang memang sudah marah melihat betapa macan putih itu tidak berani menyerang Panembahan Ciptaning dan betapa seorang pemuda dusun berani lancang tangan membela pendeta itu, kini bertambah marah mendengar pujian selirnya kepada pemuda pengacau itu! Racun-racun cemburu dan iri hati mengotori hati dan pikirannya dan dengan wajah berubah merah tangannya meraba-raba tombak pusaka Kyai Santanu didekatnya!
Sementara itu, Jaka Galing masih berdiri dengan gagah dan tabah menghadapi serangan pembalasan dari macan putih yang menjadi marah sekali dan tiada hentinya mengeluarkan auman mengerikan. Kemudian binatang itu menyerang kembali, kini lebih dasyat dan berbahaya daripada serangan yang pertama tadi.
Akan tetapi, Jaka Galing ternyata jauh lebih gesit dan tangkas daripada yang ia duga, karena pemuda itu kembali dapat menyelinap di bawah terkaman kakinya dan untuk kedua kalinya memberi pukulan dari belakang dengan tumit hingga macan putih itu berguling sampai beberapa depa jauhnya.
No comments:
Post a Comment