Setelah mendengar perintah Sang Adipati Gendrosakti yang disampaikan oleh lima orang ponggawa kadipaten itu kepadanya, maka panembahan Ciptaning lalu menyatakan kesanggupannya dan mempersilahkan kelima orang ponggawa itu untuk menanti sebentar sambil menikmati hidangan sekedarnya, yaitu air teh kental panas- panas dengan pacitan ubi rebus dan gula kelapa.
Karena telah melakukan perjalanan dan jauh sehingga mereka merasa lelah sekali, lima orang punggawa itu menghadapi hidangan ini dengan penuh selera dan menganggapnya sebagai rejeki besar.
Sang Panembahan Ciptaning lalu minta diri para tamunya untuk berkemas dan berpamit kepada orang dalam. Ia menuju ke sanggar pamujan, yaitu sebuah pondok kecil di kanan rumah, tempat ia dan puteranya memuja Samadhi. Panembahan yang sudah tua dengan jenggot dan rambut yang telah memutih itu lalu mencuci kaki dan tangan kemudian masuk kedalam pondok kecil. Ia hendak menyampaikan puji kepada Yang Maha Tunggal dan mohon berkah kekuatan untuk menghadapi peristiwa yang akan dialaminya.
Tidak lama kemudian, dari luar tampak seorang pemuda berlari-lari mendatangi. Dengan kerling mata tajam pemuda itu memandang lima orang punggawa yang masih duduk makan minum di ruang depan, lalu tanpa memperdulikan mereka ia langsung lari ke dalam.
Kelima orang punggawa itu memandangnya dengan penuh kagum. tak mereka sangka bahwa di tempat sesunyi ini terdapat seorang anak muda yang seperti itu.Tubuhnya yang tak berbaju tampak tegap dengan kulit yang halus putih kekuningan, sepasang lengannya tampak kuat dan tangkas sedangkan wajahnya sangat tampan dan membayangkan keagungan wataknya.
Mata lebar dan bening bercahaya dilindungi bulu mata yang panjang melengkung ke atas, hidung kecil mancung dengan tulang lurus dan di sekeliling lubang hidung tipis, bibirnya bagaikan gendawa dan berwarna merah sehat, sedangkan dagunya tajam berlekuk sedikit di tengah dengan tarikan kuat menandakan bahwa ia memiliki kemauan keras dan kuat serta iman yang teguh. Sepasang telinganya lebar dan bentuknya indah, tanda akan sifatnya yang berbudi. Tetapi pada saat itu,pemuda ini tampak mengerutkan kening seakan-akan ada sesuatu yang di khawatirkannya.
“Astaga, elok benar anak muda itu!” seru seorang diantara para ponggawa tadi sambil memandangi sepasang kaki yang kokoh kuat itu melangkah memasuki rumah. Celana warna hitam itu diselimuti kain tenun.
“Siapakah ksatria gagah ini?” tanya ponggawa kedua, sambil memandang kearah rambut kepala yang terbungkus sehelai kain ikat kepala berwarna biru gelap.
“Barangkali murid panembahan” bisik yang lain.
Sementara itu, teruna elok yang menjadi sasaran pandangan kelima orang ponggawa tadi, langsung melangkah kedalam dan dengan tindakan cepat menuju kesanggar pamujaan.
Ia menanggalkan gendawa yang tadi dikalungkan di bahu kanannya dan melepaskan kantung anak panah yang tergantung di punggung. Dengan tergesa-gesa ia mencuci kaki dan kedua tangannya, lalu menaiki tangga sanggar itu. Dilihatnya kakek pendeta tengah duduk bersila, mengheningkan cipta. Untuk sejenak pemuda itu memandang kepala panembahan Ciptaning dengan tak bergerak, matanya dibayangi kagum dan haru.
Memang kalau orang melihat pendeta tua itu sedang bersemedi, akan timbul rasa kagum dan terhormat. Tubuh pendeta itu kurus kering tapi kulitnya tidak berkeriput, juga tidak pucat, bahkan wajah yang kurus itu bercahaya kemerahan. Dadanya yang telanjang itu bergerak perlahan dan tetap ketika bernapas. pernapasannya panjang- panjang dan bebas lepas seperti yang hanya dapat dilakukan oleh manusia sidik dan bijaksana. Lengan kanannya memeluk pusar dan lengan kiri ditumpangkan diatas bahu kanan,Kedua kaki bersila tumpang dengan kedua telapak kaki terlentang diatas paha. Bibir tertutup rapat mengarah senyum, mata setengah terkatup dengan pandangan tertuju keujung hidung. Seakan-akan ada hawa panas menyinar keluar dari tubuhnya dan bernyala-nyala diatas kepalanya.
Teruna itu lalu menyembah dan tiba-tiba panembahan Ciptaning membuka matanya,seakan-akan sembah pemuda itu menariknya kembali dari alam hening.
“Putraku galing, kau sudah kembali ?”
“Betul rama panembahan, karena ada berita buruk disampaikan paman suto kepadaku.”
Kakek pendeta itu dengan tenang bertanya,
“Berita yang mana,anakku ?”
“Ketika sedang membidik seekor kijang dengan panahku, tiba-tiba paman suto datang dan berteriak memanggil hingga kijang itu terkejut dan lari ke dalam semak-semak belukar. Kemudian paman suto memberitahukan bahwa Rama Bagawan didatangi ponggawa dari kadipaten dan bahwa Rama dipanggil menghadap betulkah! Betulkah itu, Rama?”
Begawan Ciptaning mengangguk sambil tersenyum ramah.
“Ahh, anak muda yang berdarah panas. Memang berita itu benar, tapi apakah itu dapat disebut berita buruk? Selayaknya seorang pembesar seperti Gusti Adipati Gendrosakti yang menguasai seluruh daerah Wanagading ini memanggil seorang warga kadipaten yang mana saja untuk menghadap.”
“Tapi, Rama, bayangan yang kulihat dalam mimpi semalam itu.........” suara Jaka Galing terdengar penuh ragu-ragu dan cemas.
Sang Bagawan menarik napas panjang dan suaranya terdengar sungguh-sungguh ketika ia berkata,
“Puteraku yang baik, memang Yang Maha Pengasih selalu memberi alamat dan tanda kepada sekalian hambaNya, tapi hanya mereka yang waspada saja yang dapat menangkap dan mengerti akan alamat itu. Engkau tentu maklum, anakku, bahwa Yang maha Tunggal itu berkuasa mutlak, kuasa memberi dan mengambil, kuasa membangun dan meruntuhkan. Kita sebagai manusia hanya tinggal menjalani saja, kewajiban kita memilih, ialah jalan yang terbaik. Hilangkanlah keraguan dan kecemasan hatimu, karena itu hanya akan menyeretmu kedalam jurang kelemahan batin dan mengurangi ketabahan dan kekuatanmu.”
Jaka Galing menyembah hormat.
"Maaf, Rama Bagawan. Memang tadi hati hamba diliputi kekhawatiran besar terdorong oleh nafsu hati. Tapi setelah mendengar wejangan Rama, hatiku menjadi tenteram kembali, sungguhpun terus terang saja hatiku takkan merasa enak melepas rama pergi menghadap sang adipati. Dalam mimpiku semalam, kulihat rama berpakaian putih dan bersayap terbang ke angkasa raya, inipun bukan alamat yang baik. Pula, hamba mendengar kabar angin bahwa sang adipati sedang bela sungkawa, entah apa yang disusahkannya.”
Kini Bagawan Ciptaning kembali tersenyum.
“Anakku, tak perlu kita sembunyikan lagi. Memang kita telah mengetahui bahwa mimpi macam itu biasanya berarti kematian. Tapi apakah kau masih menganggap bahwa kematian adalah hal yang buruk dan perlu disusahkan? Kau tentu tahu bahwa mati pada hakekatnya hanya memenuhi kewajiban, tunduk kepada hukum alam yang tak kuasa kita elakkan, sama halnya dengan kelahiran. Manusa mana yang dapat mengelakkan kelahiran sendiri? Demikian pula diapun takkan dapat menghindarkan kematian, sesuatu hal lumrah yang akan dialami oleh setiap mahkluk di dunia ini.”
Pada saat itu terdengar suara panggilan di luar sanggar pemujaan.
“Sang Bagawan! Harap suka keluar dan kita berangkat sekarang karena matahari telah naik tinggi!” itulah suara ponggawa.
“Baik, mas ponggawa, aku segera turun,” jawab panembahan Ciptaning.
Kakek pendeta itu berdiri dan mengambil jubahnya yang panjang dari sangkutan lalu dikenakan di tubuhnya yang kurus.
“Rama Bagawan!” Jaka Galing memeluk kaki pendeta itu.
Bagawan Ciptaning membungkuk dan membelai-belai rambut taruna itu.
“Galing, ingat. Tidak ada pertemuan abadi di dunia dan juga tidak ada perpisahan abadi. Kelak kita semua akhirnya akan menjadi satu juga. Bersikaplah kau sebagai ksatria dalam segala hal. Jangan menuruti nafsu hati yang liar tanpa kendali. Pergunakanlah akal budi dan hati nuranimu, perhatikan selalu bisikkan suara jiwa murnimu.”
“Rama, aku ikut rama. Biarkan aku melindungimu selama dalam perjalanan ke kadipaten.”
“Jangan, angger. Gusti adipati hanya memanggil ramamu, dan kau harus jaga disini memimpin pamong tani mengerjakan sawah. Hati-hati menjaga tanggul sawah, sekarang musim hujan dan tanggul sampai pecah sungguh kasihan nasib kawan- kawan tani kita. Sudahlah galing, puteraku, ramamu pergi.”
“Selamat jalan, Rama Bagawan.”
“Selamat tinggal, Yang Maha Tunggal akan selalu memberkatimu!”
Kakek pendeta itu lalu menuruni anak tangga diikuti oleh Jaka Galing. Pemuda ini merasakan adanya suatu bisikan didalam hatinya yang membuat ia tidak rela melihat ayahnya pergi. Tapi ayahnya melarang ia ikut dan tak berani membantah kehendak ayahnya.
Panembahan Ciptaning lalu dipersilahkan naik tandu yang telah disediakan oleh para ponggawa itu, tapi sambil tersenyum pendeta itu menolak. Ketika ia dipersilahkan menunggang kuda ia menolak pula. Melihat kesibukan para ponggawa itu, Jaka Galing bertindak maju dan berkata kepada mereka.
“Paman ponggawa sekalian tidak perlu sibuk dan bingung. Rama Panembahan tidak pernah menyiksa orang dengan duduk di dalam tandu dan orang lain memikulnya, juga beliau tidak suka menunggang kuda. Akan tetapi, tak perlu kalian khawatir. Larikan saja kudamu secepatnya ke kadipaten, rama takkan tertinggal oleh kalian!”
Mendengar ucapan itu para ponggawa saling pandang dan tertawa geli, karena mereka menyangka bahwa anak muda itu membual. Tapi, alangkah heran mereka ketika pendeta itu berkata dengan suara halus.
“Mas ponggawa, naiklah kuda kalian. Biar aku berjalan kaki saja.”
“Tapi kita akan terlambat dan gusti adipati akan marah kepada kami kalau kita datang terlambat. Sedang dengan naik kuda saja, baru setelah matahari turun kita akan sampai kesana, apalagi kalau jalan kaki, mungkin sampai besok kita belum tiba!”
“Naiklah kuda kalian dan larikan secepatnya, aku akan pergi lebih dulu,” kata pendeta itu.
Ketika lima orang ponggawa itu bertindak masih agak ragu-ragu dan banyak rewel. Jaka Galing lalu menggunakan telapak tangannya menepuk pangkal paha kelima kuda mereka.
Kuda-kuda itu meloncat dan meringkik, lalu melompat ke depan dengan cepat sekali tanpa dapat ditahan pula oleh penunggang-penunggangnya. Jaka Galing tertawa nyaring melihat mereka dan Panembahan Ciptaning hanya tersenyum. Pendeta tua inipun lalu menggunakan aji kesaktiannya dan tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke arah larinya kuda. Untuk akhir kalinya, Jaka Galing berlutut menyembah ke arah ayahnya. Sampai lama pemuda itu duduk bersila di depan pondoknya, dan baru berdiri ketika suto menghampirinya.
“Den bagus, ramamu sudah pergi, mari kita masuk kepondok.”
Jaka Galing bagaikan baru sadar dari mimpi. Ia memandang wajah pelayan tua yang
setia itu, lalu berkata,
”Paman suto, hari ini aku akan bersamadhi di sanggar pamujan untuk memohon berkah Sang Hyang Agung untuk Rama Panembaha. Aku takkan keluar sampai besok pagi, jangan kau ganggu aku.”
Pemuda itu lalu berdiri dan masuk ke sanggar pamujan. Pak Suto menggelengkan kepalanya. Diam-diam ia memuja pemuda yang amat berbakti dan mencintai orang tua ini. Ia sendiri yang telah menaruh kepercayaan penuh kepada sang pendeta dan maklum betapa saktinya Panembahan Ciptaning, tidak merasa khawatir sedikit juga.
Lima orang ponggawa yang bertugas memanggil Panembahan Ciptaning menjadi marah sekali ketika kuda mereka tiba-tiba lari karena tepukan anak muda itu. Mereka mencoba menahan dan menenangkan kuda mereka, tapi kuda-kuda ini bagaikan gila dan lari cepat ke depan hingga terpaksa mereka menurut saja. Sambil memaki-maki mereka mengarahkan kudanya ke jurusan kadipaten.
Tiba-tiba mereka mendengar suara yang halus dan berpengaruh,
“Mas ponggawa, jangan suka menyumpah-nyumpah dan memaki-maki kuda. Kalau kalian terus memaki, tentu kalian akan terlempar jatuh!”
Mendengar suara ini mereka terkejut dan menengok. Ternyata dibelakang mereka tampak panembahan Ciptaning berjalan seenaknya dengan tongkat di tangan. Biarpun kedua kaki pendeta itu bergerak perlahan bagaikan seorang yang sedang berjalan- jalan, namun kecepannya tidak kalah dengan larinya kuda!
Karena telah melakukan perjalanan dan jauh sehingga mereka merasa lelah sekali, lima orang punggawa itu menghadapi hidangan ini dengan penuh selera dan menganggapnya sebagai rejeki besar.
Sang Panembahan Ciptaning lalu minta diri para tamunya untuk berkemas dan berpamit kepada orang dalam. Ia menuju ke sanggar pamujan, yaitu sebuah pondok kecil di kanan rumah, tempat ia dan puteranya memuja Samadhi. Panembahan yang sudah tua dengan jenggot dan rambut yang telah memutih itu lalu mencuci kaki dan tangan kemudian masuk kedalam pondok kecil. Ia hendak menyampaikan puji kepada Yang Maha Tunggal dan mohon berkah kekuatan untuk menghadapi peristiwa yang akan dialaminya.
Tidak lama kemudian, dari luar tampak seorang pemuda berlari-lari mendatangi. Dengan kerling mata tajam pemuda itu memandang lima orang punggawa yang masih duduk makan minum di ruang depan, lalu tanpa memperdulikan mereka ia langsung lari ke dalam.
Kelima orang punggawa itu memandangnya dengan penuh kagum. tak mereka sangka bahwa di tempat sesunyi ini terdapat seorang anak muda yang seperti itu.Tubuhnya yang tak berbaju tampak tegap dengan kulit yang halus putih kekuningan, sepasang lengannya tampak kuat dan tangkas sedangkan wajahnya sangat tampan dan membayangkan keagungan wataknya.
Mata lebar dan bening bercahaya dilindungi bulu mata yang panjang melengkung ke atas, hidung kecil mancung dengan tulang lurus dan di sekeliling lubang hidung tipis, bibirnya bagaikan gendawa dan berwarna merah sehat, sedangkan dagunya tajam berlekuk sedikit di tengah dengan tarikan kuat menandakan bahwa ia memiliki kemauan keras dan kuat serta iman yang teguh. Sepasang telinganya lebar dan bentuknya indah, tanda akan sifatnya yang berbudi. Tetapi pada saat itu,pemuda ini tampak mengerutkan kening seakan-akan ada sesuatu yang di khawatirkannya.
“Astaga, elok benar anak muda itu!” seru seorang diantara para ponggawa tadi sambil memandangi sepasang kaki yang kokoh kuat itu melangkah memasuki rumah. Celana warna hitam itu diselimuti kain tenun.
“Siapakah ksatria gagah ini?” tanya ponggawa kedua, sambil memandang kearah rambut kepala yang terbungkus sehelai kain ikat kepala berwarna biru gelap.
“Barangkali murid panembahan” bisik yang lain.
Sementara itu, teruna elok yang menjadi sasaran pandangan kelima orang ponggawa tadi, langsung melangkah kedalam dan dengan tindakan cepat menuju kesanggar pamujaan.
Ia menanggalkan gendawa yang tadi dikalungkan di bahu kanannya dan melepaskan kantung anak panah yang tergantung di punggung. Dengan tergesa-gesa ia mencuci kaki dan kedua tangannya, lalu menaiki tangga sanggar itu. Dilihatnya kakek pendeta tengah duduk bersila, mengheningkan cipta. Untuk sejenak pemuda itu memandang kepala panembahan Ciptaning dengan tak bergerak, matanya dibayangi kagum dan haru.
Memang kalau orang melihat pendeta tua itu sedang bersemedi, akan timbul rasa kagum dan terhormat. Tubuh pendeta itu kurus kering tapi kulitnya tidak berkeriput, juga tidak pucat, bahkan wajah yang kurus itu bercahaya kemerahan. Dadanya yang telanjang itu bergerak perlahan dan tetap ketika bernapas. pernapasannya panjang- panjang dan bebas lepas seperti yang hanya dapat dilakukan oleh manusia sidik dan bijaksana. Lengan kanannya memeluk pusar dan lengan kiri ditumpangkan diatas bahu kanan,Kedua kaki bersila tumpang dengan kedua telapak kaki terlentang diatas paha. Bibir tertutup rapat mengarah senyum, mata setengah terkatup dengan pandangan tertuju keujung hidung. Seakan-akan ada hawa panas menyinar keluar dari tubuhnya dan bernyala-nyala diatas kepalanya.
Teruna itu lalu menyembah dan tiba-tiba panembahan Ciptaning membuka matanya,seakan-akan sembah pemuda itu menariknya kembali dari alam hening.
“Putraku galing, kau sudah kembali ?”
“Betul rama panembahan, karena ada berita buruk disampaikan paman suto kepadaku.”
Kakek pendeta itu dengan tenang bertanya,
“Berita yang mana,anakku ?”
“Ketika sedang membidik seekor kijang dengan panahku, tiba-tiba paman suto datang dan berteriak memanggil hingga kijang itu terkejut dan lari ke dalam semak-semak belukar. Kemudian paman suto memberitahukan bahwa Rama Bagawan didatangi ponggawa dari kadipaten dan bahwa Rama dipanggil menghadap betulkah! Betulkah itu, Rama?”
Begawan Ciptaning mengangguk sambil tersenyum ramah.
“Ahh, anak muda yang berdarah panas. Memang berita itu benar, tapi apakah itu dapat disebut berita buruk? Selayaknya seorang pembesar seperti Gusti Adipati Gendrosakti yang menguasai seluruh daerah Wanagading ini memanggil seorang warga kadipaten yang mana saja untuk menghadap.”
“Tapi, Rama, bayangan yang kulihat dalam mimpi semalam itu.........” suara Jaka Galing terdengar penuh ragu-ragu dan cemas.
Sang Bagawan menarik napas panjang dan suaranya terdengar sungguh-sungguh ketika ia berkata,
“Puteraku yang baik, memang Yang Maha Pengasih selalu memberi alamat dan tanda kepada sekalian hambaNya, tapi hanya mereka yang waspada saja yang dapat menangkap dan mengerti akan alamat itu. Engkau tentu maklum, anakku, bahwa Yang maha Tunggal itu berkuasa mutlak, kuasa memberi dan mengambil, kuasa membangun dan meruntuhkan. Kita sebagai manusia hanya tinggal menjalani saja, kewajiban kita memilih, ialah jalan yang terbaik. Hilangkanlah keraguan dan kecemasan hatimu, karena itu hanya akan menyeretmu kedalam jurang kelemahan batin dan mengurangi ketabahan dan kekuatanmu.”
Jaka Galing menyembah hormat.
"Maaf, Rama Bagawan. Memang tadi hati hamba diliputi kekhawatiran besar terdorong oleh nafsu hati. Tapi setelah mendengar wejangan Rama, hatiku menjadi tenteram kembali, sungguhpun terus terang saja hatiku takkan merasa enak melepas rama pergi menghadap sang adipati. Dalam mimpiku semalam, kulihat rama berpakaian putih dan bersayap terbang ke angkasa raya, inipun bukan alamat yang baik. Pula, hamba mendengar kabar angin bahwa sang adipati sedang bela sungkawa, entah apa yang disusahkannya.”
Kini Bagawan Ciptaning kembali tersenyum.
“Anakku, tak perlu kita sembunyikan lagi. Memang kita telah mengetahui bahwa mimpi macam itu biasanya berarti kematian. Tapi apakah kau masih menganggap bahwa kematian adalah hal yang buruk dan perlu disusahkan? Kau tentu tahu bahwa mati pada hakekatnya hanya memenuhi kewajiban, tunduk kepada hukum alam yang tak kuasa kita elakkan, sama halnya dengan kelahiran. Manusa mana yang dapat mengelakkan kelahiran sendiri? Demikian pula diapun takkan dapat menghindarkan kematian, sesuatu hal lumrah yang akan dialami oleh setiap mahkluk di dunia ini.”
Pada saat itu terdengar suara panggilan di luar sanggar pemujaan.
“Sang Bagawan! Harap suka keluar dan kita berangkat sekarang karena matahari telah naik tinggi!” itulah suara ponggawa.
“Baik, mas ponggawa, aku segera turun,” jawab panembahan Ciptaning.
Kakek pendeta itu berdiri dan mengambil jubahnya yang panjang dari sangkutan lalu dikenakan di tubuhnya yang kurus.
“Rama Bagawan!” Jaka Galing memeluk kaki pendeta itu.
Bagawan Ciptaning membungkuk dan membelai-belai rambut taruna itu.
“Galing, ingat. Tidak ada pertemuan abadi di dunia dan juga tidak ada perpisahan abadi. Kelak kita semua akhirnya akan menjadi satu juga. Bersikaplah kau sebagai ksatria dalam segala hal. Jangan menuruti nafsu hati yang liar tanpa kendali. Pergunakanlah akal budi dan hati nuranimu, perhatikan selalu bisikkan suara jiwa murnimu.”
“Rama, aku ikut rama. Biarkan aku melindungimu selama dalam perjalanan ke kadipaten.”
“Jangan, angger. Gusti adipati hanya memanggil ramamu, dan kau harus jaga disini memimpin pamong tani mengerjakan sawah. Hati-hati menjaga tanggul sawah, sekarang musim hujan dan tanggul sampai pecah sungguh kasihan nasib kawan- kawan tani kita. Sudahlah galing, puteraku, ramamu pergi.”
“Selamat jalan, Rama Bagawan.”
“Selamat tinggal, Yang Maha Tunggal akan selalu memberkatimu!”
Kakek pendeta itu lalu menuruni anak tangga diikuti oleh Jaka Galing. Pemuda ini merasakan adanya suatu bisikan didalam hatinya yang membuat ia tidak rela melihat ayahnya pergi. Tapi ayahnya melarang ia ikut dan tak berani membantah kehendak ayahnya.
Panembahan Ciptaning lalu dipersilahkan naik tandu yang telah disediakan oleh para ponggawa itu, tapi sambil tersenyum pendeta itu menolak. Ketika ia dipersilahkan menunggang kuda ia menolak pula. Melihat kesibukan para ponggawa itu, Jaka Galing bertindak maju dan berkata kepada mereka.
“Paman ponggawa sekalian tidak perlu sibuk dan bingung. Rama Panembahan tidak pernah menyiksa orang dengan duduk di dalam tandu dan orang lain memikulnya, juga beliau tidak suka menunggang kuda. Akan tetapi, tak perlu kalian khawatir. Larikan saja kudamu secepatnya ke kadipaten, rama takkan tertinggal oleh kalian!”
Mendengar ucapan itu para ponggawa saling pandang dan tertawa geli, karena mereka menyangka bahwa anak muda itu membual. Tapi, alangkah heran mereka ketika pendeta itu berkata dengan suara halus.
“Mas ponggawa, naiklah kuda kalian. Biar aku berjalan kaki saja.”
“Tapi kita akan terlambat dan gusti adipati akan marah kepada kami kalau kita datang terlambat. Sedang dengan naik kuda saja, baru setelah matahari turun kita akan sampai kesana, apalagi kalau jalan kaki, mungkin sampai besok kita belum tiba!”
“Naiklah kuda kalian dan larikan secepatnya, aku akan pergi lebih dulu,” kata pendeta itu.
Ketika lima orang ponggawa itu bertindak masih agak ragu-ragu dan banyak rewel. Jaka Galing lalu menggunakan telapak tangannya menepuk pangkal paha kelima kuda mereka.
Kuda-kuda itu meloncat dan meringkik, lalu melompat ke depan dengan cepat sekali tanpa dapat ditahan pula oleh penunggang-penunggangnya. Jaka Galing tertawa nyaring melihat mereka dan Panembahan Ciptaning hanya tersenyum. Pendeta tua inipun lalu menggunakan aji kesaktiannya dan tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke arah larinya kuda. Untuk akhir kalinya, Jaka Galing berlutut menyembah ke arah ayahnya. Sampai lama pemuda itu duduk bersila di depan pondoknya, dan baru berdiri ketika suto menghampirinya.
“Den bagus, ramamu sudah pergi, mari kita masuk kepondok.”
Jaka Galing bagaikan baru sadar dari mimpi. Ia memandang wajah pelayan tua yang
setia itu, lalu berkata,
”Paman suto, hari ini aku akan bersamadhi di sanggar pamujan untuk memohon berkah Sang Hyang Agung untuk Rama Panembaha. Aku takkan keluar sampai besok pagi, jangan kau ganggu aku.”
Pemuda itu lalu berdiri dan masuk ke sanggar pamujan. Pak Suto menggelengkan kepalanya. Diam-diam ia memuja pemuda yang amat berbakti dan mencintai orang tua ini. Ia sendiri yang telah menaruh kepercayaan penuh kepada sang pendeta dan maklum betapa saktinya Panembahan Ciptaning, tidak merasa khawatir sedikit juga.
Lima orang ponggawa yang bertugas memanggil Panembahan Ciptaning menjadi marah sekali ketika kuda mereka tiba-tiba lari karena tepukan anak muda itu. Mereka mencoba menahan dan menenangkan kuda mereka, tapi kuda-kuda ini bagaikan gila dan lari cepat ke depan hingga terpaksa mereka menurut saja. Sambil memaki-maki mereka mengarahkan kudanya ke jurusan kadipaten.
Tiba-tiba mereka mendengar suara yang halus dan berpengaruh,
“Mas ponggawa, jangan suka menyumpah-nyumpah dan memaki-maki kuda. Kalau kalian terus memaki, tentu kalian akan terlempar jatuh!”
Mendengar suara ini mereka terkejut dan menengok. Ternyata dibelakang mereka tampak panembahan Ciptaning berjalan seenaknya dengan tongkat di tangan. Biarpun kedua kaki pendeta itu bergerak perlahan bagaikan seorang yang sedang berjalan- jalan, namun kecepannya tidak kalah dengan larinya kuda!
No comments:
Post a Comment