Kakek tua yang bersama Wiku Dutaprayoga dan Panembahan Bayumurti itu adalah seorang pertapa bernama GUNADARMA, seorang yang selain suci juga memiliki kepandaian luar biasa tentang pembuatan candi-candi dan seni pahat dan ukir.
Ia adalah murid dari Sang Bagawan Ekalaya yang lama bertapa seorang diri, menanti datangnya saat baik, yaitu masa persatuan Syailendra dan Mataram. Setelah masa itu tiba, ia datang dan bersama Wiku Dutaprayoga dan Panembahan Bayumurti, ia menolong kerajaan dari pengaruh ilmu hitam yang dilepas oleh Siddha Kalagana.
Setelah Siddha Kalagana tewas dan anak buahnya telah ditumpas, maka pembangunan candi sebesar bukit anakan itu dilanjutkan oleh Rakai Pikatan dan kini pembangunan itu dilakukan bersama-sama. Ahli-ahli di Syailendra, pemahat yang tadinya menjadi kawula Siddha Kalagana, kini telah insyaf dan dipekerjakan pula dalam pembuatan candi, disamping ahli-ahli di Syailendra sendiri dan ahli-ahli yang didatangkan dari Mataram Pembangunan maha besar ini dipimpin oleh Sang Pertapa GUNADARMA yang bijaksana.
Tadinya pembangunan kaki candi yang dilakukan oleh Siddha Kalagana itu hendak dibongkar, bahkan tempat itu dianggap sudah kotor karena telah banyak darah mengalir disitu, akan tetapi Sang Pertapa GUNADARMA berkata.
“Tidak apa, kaki candi ini cukup baik dan kuat sekali untuk dijadikan alas candi. Memang, kaki candi ini telah diukir dan menggambarkan daerah Kamadhatu, penuh nafsu-nafsu keduniawian. Akan tetapi, biarlah ini menjadikan cermin dan peringatan bagi setiap orang yang menyaksikan bahwa segala kesenangan lahir dan kenikmatan nafsu keduniawian hanya akan mendatangkan malapetaka belaka. Biarlah candi besar ini berdiri di atas segala kotoran, menjadi lambang bahwa Agama Buddha akan tumbuh dan membawa manusia yang tadinya tenggelam di dalam lautan Kamadhatu yang penuh nafsu jahat, ke alam bersih, ke alam Rupadhatu dan seterusnya, untuk selanjutnya mencapai tujuan terakhir, yaitu Nirwana. “
Betapapun juga, untuk mengusir segala pengaruh jahat yang timbul dari pertumpahan darah dan pembunuhan yang terjadi di daerah suci ini, diadakanlah tapa brata dan samadhi di atas permukaan kaki candi.
Disini Sang GUNADARMA, Penembahan Bayumurti, Wiku Dutaprayoga dan pendeta-pendeta lain, bersamadhi selama empat puluh hari untuk mengusir pengaruh-pengaruh kotor. Setelah itu, barulah pembangunan candi yang amat indah, besar, dan suci dimulai, dibangun di atas kaki candi buatan Siddha Kalagana itu.
Pembangunan candi besar itu benar-benar merupakan hasil karya yang luar biasa sekali, lambang dari keagungan Agama Buddha dan juga merupakan lambang dari persatuan Syailendra dan Mataram. Candi ini diberi nama Bhumisambharabhudhara, juga disebut Dasyhabodhisatwabhumi atau sepuluh tingkat Bodhistwa, dibuat menjadi sebuah candi terdiri dari sepuluh tingkat yang maha hebat.
Patung-patung Buddha, ukiran-ukiran di seputar dinding candi, dilakukan oleh ahli-ahli pahat yang amat pandai sehingga ukiran-ukiran itu seakan-akan hidup, patung-patung itu seakan-akan bernapas dan mata patung seakan-akan bercahaya dan dapat bergerak manik matanya.
Demikianlah, dengan pesta dan perayaan besar, Sang Rakai Pikatan, raja dari Mataram itu menikah dengan Sang Puteri Pramodawardani yang kemudian setelah menjadi permaisuri Sang Rakai Pikatan lalu disebut juga Sri Kahuluan.
Dengan adanya pernikahan ini, Kerajaan Syailendra seakan-akan di persatukan dengan Kerajaan Mataram sehingga Kerajaan Mataram menjadi makin besar dan jaya. Tidak ada rakyat, baik yang memeluk Agama Buddha, maupun pemeluk Agama Hindu, merasa tersinggung lagi, karena bukankah tampak pemerintahan berada di tangan Rakai Pikatan yang beragama Hindu, akan tetapi bukanlah candi yang terbesar adalah candi Buddha? Tidak ada perselisihan lagi antara Agama Buddha dan Agama Hindu yang sesungguhnya bertujuan satu, yaitu kemuliaan lahir batin bagi seluruh manusia.
Setelah Sang Maha Raja Samaratungga dengan puas melihat pernikahan puterinya berlagsung, beliau lalu mengirim puteranya, Pangeran Balaputeradewa, ke Sriwijaya. Pertama-tama untuk menyatakan bela sungkawa atas tewasnya kedua senopati Sriwijaya dalam tangan kedua orang iblis kembar, dan kedua untuk memberi kesempatan kepada Pangeran Balaputeradewa yang masih belum dewasa itu mempelajari dan memperdalam pengetahuan dalam Agama Buddha.
Keberangkatan sang pangeran ini diantar oleh para pendeta dan wiku, di antaranya Sang Maha Wiku Dharmamulya sendiri. Kelak Sang Pangeran Balaputera ini akan menjadi raja di Sriwijaya dan berhasil pula membuat Kerajaan Sriwijaya menjadi besar dan makmur.
Adapun Indrayana dan Candra Dewi juga melangsungkan pernikahannya dengan penuh kebahagiaan dan selanjutnya menjadi pembantu dan sahabat terkasih dari Sang Rakai Pikatan dan permaisurinya. Betapapun tepat ucapan dari Sang Pertapa GUNADARMA tentang keadaan lukisan di kaki candi buatan Siddha Kalagana itu, semua perasaan rakyat Tanah Jawa yang halus dan menjunjung tinggi kesusilaan itu, amat tersinggung oleh lukisan-lukisan yang terdapat pada kaki candi itu lalu ditutup dengan batu-batu sehingga bentuk kakinya berubah dan tidak tampak lagi lukisan-lukisan yang menggambarkan keadaan hawa bafsu atau yang disebut daerah Kamadhatu itu, yang nampak hanyalah bangunan candi yang didirikan di atas kaki candi.
Adapun nama candi itu, Bumisambharabhudara. Akhirnya dipermudah oleh rakyat dengan sebutan Candi Borobudur yang sekarang, seribu tahun lebih semenjak dibangun, masih berdiri dengan megah dan agung, menjadi kebanggaan rakyat Indonesia, dikagumi oleh semua orang diseluruh dunia sebagai sebuah bangunan yang besar dan luar biasa.
Memang Borobudur merupakan bangunan yang patut mendatangkan rasa bangga di dalam hati setiap manusia Indonesia yang mencintai tanah airnya karena bangunan manakah yang demikian kuat, besar, dan megahnya ? Bangunan manakah yang dapat menahan goncangan-goncangan dan gempa bumi akibat letusan Gunung Merapi yang telah terjadi beberapa kali selama seribu tahun lebih itu, sungguhpun bangunan itu hanya didirikan daripada batu-batu ditumpuk-tumpuk ?
Kalau kita berdiri di bagian atas Candi Borobudur, atau melihat candi besar itu dari jauh, datanglah kebanggaan dan keyakinan dalam hati yang berbisik bahwa hanya bangsa yang besar sajalah yang sanggup menciptaan bangunan sehebat itu pada zaman tingkat hidup manusia masih amat sederhana, dan mesin-mesin pembangunan dan pengangkutan masih belum pernah termimpikan oleh otak manusia !
Demikianlah, cerita ini ditutup dengan seruan “Nama Buddhaya“ untuk penghormatan kepada Borobudur yang besar, kepada Agama Buddha yang mendatangkan kebudayaan dan kesenian luhur, dan terutama sekali kepada nenek moyang kita yang agung !
Ia adalah murid dari Sang Bagawan Ekalaya yang lama bertapa seorang diri, menanti datangnya saat baik, yaitu masa persatuan Syailendra dan Mataram. Setelah masa itu tiba, ia datang dan bersama Wiku Dutaprayoga dan Panembahan Bayumurti, ia menolong kerajaan dari pengaruh ilmu hitam yang dilepas oleh Siddha Kalagana.
Setelah Siddha Kalagana tewas dan anak buahnya telah ditumpas, maka pembangunan candi sebesar bukit anakan itu dilanjutkan oleh Rakai Pikatan dan kini pembangunan itu dilakukan bersama-sama. Ahli-ahli di Syailendra, pemahat yang tadinya menjadi kawula Siddha Kalagana, kini telah insyaf dan dipekerjakan pula dalam pembuatan candi, disamping ahli-ahli di Syailendra sendiri dan ahli-ahli yang didatangkan dari Mataram Pembangunan maha besar ini dipimpin oleh Sang Pertapa GUNADARMA yang bijaksana.
Tadinya pembangunan kaki candi yang dilakukan oleh Siddha Kalagana itu hendak dibongkar, bahkan tempat itu dianggap sudah kotor karena telah banyak darah mengalir disitu, akan tetapi Sang Pertapa GUNADARMA berkata.
“Tidak apa, kaki candi ini cukup baik dan kuat sekali untuk dijadikan alas candi. Memang, kaki candi ini telah diukir dan menggambarkan daerah Kamadhatu, penuh nafsu-nafsu keduniawian. Akan tetapi, biarlah ini menjadikan cermin dan peringatan bagi setiap orang yang menyaksikan bahwa segala kesenangan lahir dan kenikmatan nafsu keduniawian hanya akan mendatangkan malapetaka belaka. Biarlah candi besar ini berdiri di atas segala kotoran, menjadi lambang bahwa Agama Buddha akan tumbuh dan membawa manusia yang tadinya tenggelam di dalam lautan Kamadhatu yang penuh nafsu jahat, ke alam bersih, ke alam Rupadhatu dan seterusnya, untuk selanjutnya mencapai tujuan terakhir, yaitu Nirwana. “
Betapapun juga, untuk mengusir segala pengaruh jahat yang timbul dari pertumpahan darah dan pembunuhan yang terjadi di daerah suci ini, diadakanlah tapa brata dan samadhi di atas permukaan kaki candi.
Disini Sang GUNADARMA, Penembahan Bayumurti, Wiku Dutaprayoga dan pendeta-pendeta lain, bersamadhi selama empat puluh hari untuk mengusir pengaruh-pengaruh kotor. Setelah itu, barulah pembangunan candi yang amat indah, besar, dan suci dimulai, dibangun di atas kaki candi buatan Siddha Kalagana itu.
Pembangunan candi besar itu benar-benar merupakan hasil karya yang luar biasa sekali, lambang dari keagungan Agama Buddha dan juga merupakan lambang dari persatuan Syailendra dan Mataram. Candi ini diberi nama Bhumisambharabhudhara, juga disebut Dasyhabodhisatwabhumi atau sepuluh tingkat Bodhistwa, dibuat menjadi sebuah candi terdiri dari sepuluh tingkat yang maha hebat.
Patung-patung Buddha, ukiran-ukiran di seputar dinding candi, dilakukan oleh ahli-ahli pahat yang amat pandai sehingga ukiran-ukiran itu seakan-akan hidup, patung-patung itu seakan-akan bernapas dan mata patung seakan-akan bercahaya dan dapat bergerak manik matanya.
Demikianlah, dengan pesta dan perayaan besar, Sang Rakai Pikatan, raja dari Mataram itu menikah dengan Sang Puteri Pramodawardani yang kemudian setelah menjadi permaisuri Sang Rakai Pikatan lalu disebut juga Sri Kahuluan.
Dengan adanya pernikahan ini, Kerajaan Syailendra seakan-akan di persatukan dengan Kerajaan Mataram sehingga Kerajaan Mataram menjadi makin besar dan jaya. Tidak ada rakyat, baik yang memeluk Agama Buddha, maupun pemeluk Agama Hindu, merasa tersinggung lagi, karena bukankah tampak pemerintahan berada di tangan Rakai Pikatan yang beragama Hindu, akan tetapi bukanlah candi yang terbesar adalah candi Buddha? Tidak ada perselisihan lagi antara Agama Buddha dan Agama Hindu yang sesungguhnya bertujuan satu, yaitu kemuliaan lahir batin bagi seluruh manusia.
Setelah Sang Maha Raja Samaratungga dengan puas melihat pernikahan puterinya berlagsung, beliau lalu mengirim puteranya, Pangeran Balaputeradewa, ke Sriwijaya. Pertama-tama untuk menyatakan bela sungkawa atas tewasnya kedua senopati Sriwijaya dalam tangan kedua orang iblis kembar, dan kedua untuk memberi kesempatan kepada Pangeran Balaputeradewa yang masih belum dewasa itu mempelajari dan memperdalam pengetahuan dalam Agama Buddha.
Keberangkatan sang pangeran ini diantar oleh para pendeta dan wiku, di antaranya Sang Maha Wiku Dharmamulya sendiri. Kelak Sang Pangeran Balaputera ini akan menjadi raja di Sriwijaya dan berhasil pula membuat Kerajaan Sriwijaya menjadi besar dan makmur.
Adapun Indrayana dan Candra Dewi juga melangsungkan pernikahannya dengan penuh kebahagiaan dan selanjutnya menjadi pembantu dan sahabat terkasih dari Sang Rakai Pikatan dan permaisurinya. Betapapun tepat ucapan dari Sang Pertapa GUNADARMA tentang keadaan lukisan di kaki candi buatan Siddha Kalagana itu, semua perasaan rakyat Tanah Jawa yang halus dan menjunjung tinggi kesusilaan itu, amat tersinggung oleh lukisan-lukisan yang terdapat pada kaki candi itu lalu ditutup dengan batu-batu sehingga bentuk kakinya berubah dan tidak tampak lagi lukisan-lukisan yang menggambarkan keadaan hawa bafsu atau yang disebut daerah Kamadhatu itu, yang nampak hanyalah bangunan candi yang didirikan di atas kaki candi.
Adapun nama candi itu, Bumisambharabhudara. Akhirnya dipermudah oleh rakyat dengan sebutan Candi Borobudur yang sekarang, seribu tahun lebih semenjak dibangun, masih berdiri dengan megah dan agung, menjadi kebanggaan rakyat Indonesia, dikagumi oleh semua orang diseluruh dunia sebagai sebuah bangunan yang besar dan luar biasa.
Memang Borobudur merupakan bangunan yang patut mendatangkan rasa bangga di dalam hati setiap manusia Indonesia yang mencintai tanah airnya karena bangunan manakah yang demikian kuat, besar, dan megahnya ? Bangunan manakah yang dapat menahan goncangan-goncangan dan gempa bumi akibat letusan Gunung Merapi yang telah terjadi beberapa kali selama seribu tahun lebih itu, sungguhpun bangunan itu hanya didirikan daripada batu-batu ditumpuk-tumpuk ?
Kalau kita berdiri di bagian atas Candi Borobudur, atau melihat candi besar itu dari jauh, datanglah kebanggaan dan keyakinan dalam hati yang berbisik bahwa hanya bangsa yang besar sajalah yang sanggup menciptaan bangunan sehebat itu pada zaman tingkat hidup manusia masih amat sederhana, dan mesin-mesin pembangunan dan pengangkutan masih belum pernah termimpikan oleh otak manusia !
Demikianlah, cerita ini ditutup dengan seruan “Nama Buddhaya“ untuk penghormatan kepada Borobudur yang besar, kepada Agama Buddha yang mendatangkan kebudayaan dan kesenian luhur, dan terutama sekali kepada nenek moyang kita yang agung !
--T A M A T--
No comments:
Post a Comment