Di suatu sudut duduklah sekelompok orang yang manaruh gamelan. Kurang lebih seratus orang laki-laki dan wanita berjubah menjadi satu, duduk bersimpuh di ruangan itu dan semua orang menghadap kepada patung Batari Durga dengan penuh khidmat.
Tujuh orang laki-laki tua yang berpakaian seperti pendeta, duduk pula bersimpuh di kaki patung itu dan kadang-kadang mereka menyanyikan lagu menurut irama gamelan itu, lalu diikuti oleh para pengunjung yang terdiri daripada orang-orang kampung di tepi Kali Serang.
Di tempat sudut rungan itu mengembul asap kayu garu dan cendana dibakar, membuat ruangan ini berbau harum dan sedap, bahkan semua patung yang berada disitu, terutama sekali patung Batari Durga yang di tengah-tengah, penuh dengan kembang melati dan mawar serta kenanga, sehingga keadaan disitu penuh dengan bau kembang yang harum pula. Hawanyapun sejuk dan segar, karena di atas terbuka sama sekali.
Ketika kedua orang muda yang mengintai dengan hati berdebar-debar itu mencari-cari dengan pandang mata mereka kalau-kalau terlihat Candra Dewi atau Bagawan Siddha Kalagana disitu, tiba-tiba semua orang yang menghadap patung Batari Durga itu meniarapkan tubuh mereka di atas lantai seakan-akan menyambut munculnya seorang Dewa atau Raja Besar.
Dan yang disujudi itu muncullah dari sebuah pintu yang tertutup kain sutera kuning, diiringi oleh nyanyian-nyanyian para pendeta yang tujuh orang jumlahnya itu. Gamelan dibunyikan perlahan sehingga keadaan benar-benar menyeramkan.
Akan tetapi Indrayana dan Pancapana hampir saja tak dapat menahan ketawa mereka karena geli dan jijik melihat keadaan Bagawan Siddha Kalagana yang muncul dari pintu. Pendeta itu sama sekali tidak berpakaian ! hanya sorban penutup kepala dan sehelai cawat sempit saja yang masih menempel pada tubuhnya.
Tubuhnya kelihatan makin kurus dan makin tinggi, penuh dengan batu hitam terutama di dada, kaki dan lengan. Seperti seekor monyet ! Ia lebih pantas disebut monyet bersorban, bercawat daripada disebut manusia bertelanjang ! Akan tetapi, di samping kelucuan ini, memang benar ada sesuatu yang amat mengerikan keluar dari keadaan pendeta ini.
Sepasang matanya seperti bukan mata manusia lagi, mencorong bagaikan mata seekor ular, jalannya juga perlahan dan lemas bagaikan ular kobra merayap maju berlenggak-lenggok.
Di samping kegelian hatinya. Indrayana dan Pancapana diam-diam merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Bukan manusia bagawan ini pikir mereka, melainkan seekor iblis jahat menjelma menjadi manusia. Bagawan Siddha Kalagana lalu menghampiri patung Batari Durga itu, menjura di hadapannya kemudian ia memeluk pinggang patung itu dengan mesra seakan-akan seorang suami memeluk isterinya yang terkasih !
Teringatlah Indrayana dan Pancapana bahwa Bagawan Siddha Kalagana menganggap diri sendiri sebagai titisan Sang Hyang Syiwa, suami dari Batari Durga ! Menggigillah pundak Pangeran Pancapana ! Benar-benar suatu pelanggaran terhadap dewata, suatu penghinaan yang hebat sekali. Hanya orang berotak miring jualah yang berani melakukan penghinaan seperti ini !
Bagawan siddha Kalagan lalu duduk di atas sebuah kursi berukir gambar sepasang naga. Kursi itu tinggi dan terletak di sebelah kanan patung Batari Durga yang telanjang bulat itu. Alangkah lucunya pasangan itu dalam pandangan mata Pancapana dan Indrayana. Selain patung Batari Durga itu jauh lebih tinggi dan besar, juga keduanya merupakan lambang dari keindahan dan keburukan.
Kalau patung Batari Durga itu merupakan tubuh seorang manusia wanita yang serba elok dan sempurna lekuk lengkungnya, adalah tubuh bagawan yang duduk di atas kursi itu merupakan potongan tubuh manusia yang gagal, setengah manusia setengah monyet !
Akan tetapi, alangkah ganjilnya, semua orang yang berada disitu bertiarap menghormat kepada manusia monyet yang menjijikkan itu dengan penuh khidmat ! Pendeta Hindu itu lalu menggerakkan kedua tangannya, dilonjorkan kedepan seakan-akan hendak memberi berkah kepada semua orang, akan tetapi suaranya mengandung perintah ketika ia berkata,
“Kawula ( hamba sahaya ) Sang Batari yang terberkah ! Sang Batari telah memilih seorang pelayan baru, oleh karena itu pada malam hari ini kami berkenan mangadakan pesta untuk merayakan peristiwa yang bahagia ini ! Akan tetapi ketahuilah bahwa pelayan baru kali ini bukanlah sembarangan pelayan, karena masih terhitung keluarga sendiri. Dia adalah puteri Batara Candra, namanya Candra Dewi. Batara Candra sendiri telah memberi ijin persetujuannya untuk memberikan puterinya kepadaku, untuk menjadi pelayan dan selir dari aku, Sang Hyang Syiwa. Semua ini telah dikehendaki oleh Sang Batari Yang Maha mulia !“
Setelah berkata demikian, ia menengok kepada tujuh orang pendeta yang menjadi pembantunya.
“Panggil keempat puluh bidadari untuk mengadakan tari-tarian disini dan menghibur setiap hati yang rindu dan sunyi, menyerahkan semua kepandaian dan kecantikan mereka. Jangan lupa, bawa kesini pula tiga buah jantung murni yang akan menambah masa penjelmaanku dengan tiga windu lagi.“
Tujuh orang pendeta itu lalu mengundurkan diri dan tak lama kemudian, dari dalam keluarlah empat puluh orang gadis yang datang berlari-lari kecil bagaikan terbang melayang, diiringi suara gamelan yang menyambut kedatangan mereka.
Indrayana dan Pancapana merasa kagum sekali. Keempat puluh orang gadis itu masih amat muda dan rata-rata memiliki kecantikan muka yang cukup menarik. Mereka mengenakan pakaian yang amat tipis berwarna putih bening sehingga ketika mereka datang berlari kecil itu, tubuh mereka nampak membayang di balik pakaian yang amat tipis itu.
Gerakan mereka lincah dan lemas, dan dalam keadaan yang suram-suram itu, dalam pakaian yang amat tipis, diiringi pula oleh gamelan yang ganjil bunyinya, mereka itu tiada ubahnya seperti keempat puluh Bidadari turun dari Khayangan. Dengan gerakan yang lemah gemulai mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bagawan Siddha Kalagana.
Indrayana dan Pancapana melihat betapa semua mata memandang kepada empat puluh orang gadis cantik itu, dan mata orang-orang lelaki yang hadir disitu memancarkan cahaya penuh nafsu.
Sementara itu gamelan berbunyi terus, akan tetapi keempat puluh penari itu tidak bergerak dan masih berlutut menyembah seakan-akan telah berobah menjadi patung. Seorang diantara ketujuh orang pendeta tadi maju menyerahkan sebuah cawan terukir berisi tiga potong benda kecil berwarna kehitaman.
Bagawan Siddha Kalagana menerima cawan ini dengan muka berseri, kemudian sepotong demi sepotong ia mengambil dan menelan benda merah tersebut sambil memejamkan matanya.
Tak terasa lagi Indrayana dan Pancapana saling pandang dengan mata terbelalak membayangkan kengerian hebat. Dengan mudah mereka dapat menduga bahwa benda-benda kecil merah yang ditelan oleh pendeta aneh itu tentulah jantung anak-anak kecil yang mayatnya terapung di sungai tadi. Bagawan Siddha Kalagana mengambil dan menelan jantung anak-anak kecil untuk digunakan sebagai obat panjang umur.
“Bawa anggur Sang Batari kesini ! “ seru Bagawan Siddha Kalagana setelah menelan habis tiga buah jantung anak-anak itu.
Pendeta yang duduk di atas lantai lalu mengambil sebuah gentong terisi penuh anggur merah. Untuk mengangkat gentong ini, diperlukan tenaga empat orang pendeta yang bertubuh kuat, akan tetapi setelah gentong diberikan kepada pendeta itu, dengan tangan kiri Bagawan Siddha Kalagana mengangkat gentong dan menuangkan isinya ke dalam mulutnya begitu saja !
Tentu saja pertunjukan ini mendatangkan rasa kagum, takjub dan percaya akan kesaktian dalam hati para penonton, sungguhpun hal ini bukan merupakan hal aneh bagi Indrayana maupun Pancapana. Setelah puas minum anggur itu, Bagawan Siddha Kalagana lalu menurunkan gentong anggurnya dan berkata sambil tertawa,
“Sekarang, sebelum pesta dimulai, semua orang supaya minum anggur pemberian Sang Batari lebih dulu seperti biasa !“
Seakan-akan orang yang sudah ketagihan sekali, orang-orang itu berebut merangkak-rangkak maju mendekati pendeta-pendeta yang membagi-bagi minuman itu. Seorang mendapat anggur secawan kecil dan akhirnya setelah para penari yang empat puluh orang jumlahnya itu diberi kesempatan minum terlebih dahulu, semua orang mendapat bagian dan gentong itu menjadi kosong dan dibawa keluar.
“Bunyikan gamelan, menarilah untuk menghormati Sang batari,“ kini Bagawan Siddha Kalagana berseru gembira sambil menepuk-nepuk tangannya.
Maka berbunyilah kembali segala gamelan tadi dan kini terdengar irama yang amat ganas dan gembira, seakan-akan para penabuh telah menjadi panas darahnya karena minuman anggur merah tadi. Empat puluh orang pelayan atau pengiring Sang Betari, yang pada hakekatnya adalah selir-selir Sang Begawan Siddha Kalagana itu, kini bangkit berdiri dan menarilah mereka dengan gerakan-gerakan yang indah dan menggairahkan.
Pada permulaannya, tarian mereka itu lemas dan halus dan benar-benar mengandung seni tari yang amat indah, akan tetapi makin lama, gerakan mereka menjadi makin cepat dan bunyi gamelan makin dahsyat. Penari-penari itu seperti mabok dan tak peduli lagi betapa karena gerakan mereka yang cepat, pakaian mereka kadang-kadang terbuka sehingga memperlihatkan pemandangan yang tidak sopan.
Para penonton juga kehilangan keseimbangan lagi. Kalau tadinya mereka bersikap sopan dan hormat, kini mereka mulai tertawa-tawa, bersorak-sorak, bahkan tubuh mereka tidak mau diam, berlenggang lenggok mengikuti irama gamelan.
Indrayana dan Pancapana tertegun. Belum pernah selama hidup mereka melihat atau bermimpi melihat pemandangan seperti itu. Sudah gilakah semua orang itu, demikian pikir mereka. Lebih hebat ketika gamelan ditabuh makin hebat sehingga tak lama kemudian, pakaian-pakaian tipis yang hanya dilibatkan pada tubuh-tubuh dara-dara ayu itu, berterbangan terlepas dari pundak dan memenuhi lantai, membuat mereka sama seperti patung-patung wanita yang berada disitu.
Makin menggila pulalah sikap para penonton, terutama para mudanya. Dengan pandangan mata mereka, seakan-akan mereka hendak menelan bulat-bulat para penari yang bergerak-gerak di depan mereka itu. Tiba-tiba Bagawan Siddha Kalagana berseru sambil bertepuk tangan,
“Bagus, sekarang semua menari ! Semua menari untuk menghibur Sang Maha Batari !“
Karena mereka semua itu sudah maklum bahwa hal ini akan terjadi, maka tadi para penonton sudah merupakan air bah yang tertahan oleh bendungan. Isyarat dan perkenan dari Begawan Siddha Kalagana ini bagaikan memecahkan bendungan itu sehingga air bah yang kuat itu membanjir keluar !
Bagaikan kemasukan iblis, orang-orang itu melompat berdiri, menari-nari, tertawa-tawa berteriak-teriak mengelilingi empat puluh orang penari yang membangkitkan gairah itu. Penonton-penonton perempuan tidak ketinggalan, merekapun lalu menari-nari dan di dalam keributan itu, laki-laki dan perempuan bertukar pasangan, suami menari dengan perempuan lain dan isteri menari dengan laki-laki lain !
Indrayana dan Pancapana saling pandang dengan penuh pengertian. Inilah yang menjadi sebuah daripada alat-alat pemikat dan penarik dari Begawan Siddha Kalagana. Dengan amat pandainya pendeta itu menggunakan kekuatan sihirnya, membuat orang-orang itu menjadi lemah imannya dan kehilangan semangat, kemudian memabokkan mereka dengan minuman merah itu dan yang terakhir sekali, memberi kebebasan kepada mereka menari serta bersentuhan dengan empat puluh orang dara ayu, selir-selirnya itu !
Beberapa orang penari yang sudah mabok betul-betul dengan mata sayu dan penuh nafsu menghampiri Bagawan Siddha Kalagana, menari-nari dengan pinggang berlenggang-lenggok seperti ular di depan dan mengitarinya, bahkan mulai menarik-narik tangannya diajak menari bersama. Akan tetapi, dengan pandang mata bosan, Bagawan Siddha Kalagana mengibaskan tangannya, bahkan lalu berkata kepada mereka.
“Bawa Sang Candra Dewi kesini ! Malam ini kita merayakannya, maka hanya dengan dialah aku mau menari ! Sebelum melepaskan ikatannya, lebih dulu beri dia minum secawan madu merah !“
Ketiga orang dara ayu itu nampak kecewa, akan tetapi mereka lalu tertawa cekikikan dan berlari-lari masuk untuk menjalankan perintah itu !
Pancapana dan Indrayana saling memberi isyarat dan bagaikan sudah berjanji terlebih dulu, mereka lalu meninggalkan tempat persembunyian mereka dan cepat mengikuti tiga orang dara yang masih telanjang bulat dan berlari-lari itu. Inilah kesempatan sebaik-baiknya bagi mereka.
Ketiga orang penari akan membawa mereka ke tempat kurungan Candra Dewi. Kalau Indrayana dan Pancapana tidak mengikuti perjalanan tiga orang penari yang semangatnya telah dipengaruhi oleh tenung dan sihir Bagawan, agaknya takkan mungkin mereka dapat mencari kamar dimana Candra Dewi terkurung.
Kamar itu adalah kamar Bagawan Siddha Kalagana sendiri, sebuah kamar yang besar dan indah, penuh pula ukir-ukiran cabul. Untuk dapat memasuki kamar itu ketiga penari tadi melalui tiga lapis pintu rahasia yang hanya dapat dilihat dan dibuka setelah menggeser patung-patung yang berada di luar kamar.
Tujuh orang laki-laki tua yang berpakaian seperti pendeta, duduk pula bersimpuh di kaki patung itu dan kadang-kadang mereka menyanyikan lagu menurut irama gamelan itu, lalu diikuti oleh para pengunjung yang terdiri daripada orang-orang kampung di tepi Kali Serang.
Di tempat sudut rungan itu mengembul asap kayu garu dan cendana dibakar, membuat ruangan ini berbau harum dan sedap, bahkan semua patung yang berada disitu, terutama sekali patung Batari Durga yang di tengah-tengah, penuh dengan kembang melati dan mawar serta kenanga, sehingga keadaan disitu penuh dengan bau kembang yang harum pula. Hawanyapun sejuk dan segar, karena di atas terbuka sama sekali.
Ketika kedua orang muda yang mengintai dengan hati berdebar-debar itu mencari-cari dengan pandang mata mereka kalau-kalau terlihat Candra Dewi atau Bagawan Siddha Kalagana disitu, tiba-tiba semua orang yang menghadap patung Batari Durga itu meniarapkan tubuh mereka di atas lantai seakan-akan menyambut munculnya seorang Dewa atau Raja Besar.
Dan yang disujudi itu muncullah dari sebuah pintu yang tertutup kain sutera kuning, diiringi oleh nyanyian-nyanyian para pendeta yang tujuh orang jumlahnya itu. Gamelan dibunyikan perlahan sehingga keadaan benar-benar menyeramkan.
Akan tetapi Indrayana dan Pancapana hampir saja tak dapat menahan ketawa mereka karena geli dan jijik melihat keadaan Bagawan Siddha Kalagana yang muncul dari pintu. Pendeta itu sama sekali tidak berpakaian ! hanya sorban penutup kepala dan sehelai cawat sempit saja yang masih menempel pada tubuhnya.
Tubuhnya kelihatan makin kurus dan makin tinggi, penuh dengan batu hitam terutama di dada, kaki dan lengan. Seperti seekor monyet ! Ia lebih pantas disebut monyet bersorban, bercawat daripada disebut manusia bertelanjang ! Akan tetapi, di samping kelucuan ini, memang benar ada sesuatu yang amat mengerikan keluar dari keadaan pendeta ini.
Sepasang matanya seperti bukan mata manusia lagi, mencorong bagaikan mata seekor ular, jalannya juga perlahan dan lemas bagaikan ular kobra merayap maju berlenggak-lenggok.
Di samping kegelian hatinya. Indrayana dan Pancapana diam-diam merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Bukan manusia bagawan ini pikir mereka, melainkan seekor iblis jahat menjelma menjadi manusia. Bagawan Siddha Kalagana lalu menghampiri patung Batari Durga itu, menjura di hadapannya kemudian ia memeluk pinggang patung itu dengan mesra seakan-akan seorang suami memeluk isterinya yang terkasih !
Teringatlah Indrayana dan Pancapana bahwa Bagawan Siddha Kalagana menganggap diri sendiri sebagai titisan Sang Hyang Syiwa, suami dari Batari Durga ! Menggigillah pundak Pangeran Pancapana ! Benar-benar suatu pelanggaran terhadap dewata, suatu penghinaan yang hebat sekali. Hanya orang berotak miring jualah yang berani melakukan penghinaan seperti ini !
Bagawan siddha Kalagan lalu duduk di atas sebuah kursi berukir gambar sepasang naga. Kursi itu tinggi dan terletak di sebelah kanan patung Batari Durga yang telanjang bulat itu. Alangkah lucunya pasangan itu dalam pandangan mata Pancapana dan Indrayana. Selain patung Batari Durga itu jauh lebih tinggi dan besar, juga keduanya merupakan lambang dari keindahan dan keburukan.
Kalau patung Batari Durga itu merupakan tubuh seorang manusia wanita yang serba elok dan sempurna lekuk lengkungnya, adalah tubuh bagawan yang duduk di atas kursi itu merupakan potongan tubuh manusia yang gagal, setengah manusia setengah monyet !
Akan tetapi, alangkah ganjilnya, semua orang yang berada disitu bertiarap menghormat kepada manusia monyet yang menjijikkan itu dengan penuh khidmat ! Pendeta Hindu itu lalu menggerakkan kedua tangannya, dilonjorkan kedepan seakan-akan hendak memberi berkah kepada semua orang, akan tetapi suaranya mengandung perintah ketika ia berkata,
“Kawula ( hamba sahaya ) Sang Batari yang terberkah ! Sang Batari telah memilih seorang pelayan baru, oleh karena itu pada malam hari ini kami berkenan mangadakan pesta untuk merayakan peristiwa yang bahagia ini ! Akan tetapi ketahuilah bahwa pelayan baru kali ini bukanlah sembarangan pelayan, karena masih terhitung keluarga sendiri. Dia adalah puteri Batara Candra, namanya Candra Dewi. Batara Candra sendiri telah memberi ijin persetujuannya untuk memberikan puterinya kepadaku, untuk menjadi pelayan dan selir dari aku, Sang Hyang Syiwa. Semua ini telah dikehendaki oleh Sang Batari Yang Maha mulia !“
Setelah berkata demikian, ia menengok kepada tujuh orang pendeta yang menjadi pembantunya.
“Panggil keempat puluh bidadari untuk mengadakan tari-tarian disini dan menghibur setiap hati yang rindu dan sunyi, menyerahkan semua kepandaian dan kecantikan mereka. Jangan lupa, bawa kesini pula tiga buah jantung murni yang akan menambah masa penjelmaanku dengan tiga windu lagi.“
Tujuh orang pendeta itu lalu mengundurkan diri dan tak lama kemudian, dari dalam keluarlah empat puluh orang gadis yang datang berlari-lari kecil bagaikan terbang melayang, diiringi suara gamelan yang menyambut kedatangan mereka.
Indrayana dan Pancapana merasa kagum sekali. Keempat puluh orang gadis itu masih amat muda dan rata-rata memiliki kecantikan muka yang cukup menarik. Mereka mengenakan pakaian yang amat tipis berwarna putih bening sehingga ketika mereka datang berlari kecil itu, tubuh mereka nampak membayang di balik pakaian yang amat tipis itu.
Gerakan mereka lincah dan lemas, dan dalam keadaan yang suram-suram itu, dalam pakaian yang amat tipis, diiringi pula oleh gamelan yang ganjil bunyinya, mereka itu tiada ubahnya seperti keempat puluh Bidadari turun dari Khayangan. Dengan gerakan yang lemah gemulai mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bagawan Siddha Kalagana.
Indrayana dan Pancapana melihat betapa semua mata memandang kepada empat puluh orang gadis cantik itu, dan mata orang-orang lelaki yang hadir disitu memancarkan cahaya penuh nafsu.
Sementara itu gamelan berbunyi terus, akan tetapi keempat puluh penari itu tidak bergerak dan masih berlutut menyembah seakan-akan telah berobah menjadi patung. Seorang diantara ketujuh orang pendeta tadi maju menyerahkan sebuah cawan terukir berisi tiga potong benda kecil berwarna kehitaman.
Bagawan Siddha Kalagana menerima cawan ini dengan muka berseri, kemudian sepotong demi sepotong ia mengambil dan menelan benda merah tersebut sambil memejamkan matanya.
Tak terasa lagi Indrayana dan Pancapana saling pandang dengan mata terbelalak membayangkan kengerian hebat. Dengan mudah mereka dapat menduga bahwa benda-benda kecil merah yang ditelan oleh pendeta aneh itu tentulah jantung anak-anak kecil yang mayatnya terapung di sungai tadi. Bagawan Siddha Kalagana mengambil dan menelan jantung anak-anak kecil untuk digunakan sebagai obat panjang umur.
“Bawa anggur Sang Batari kesini ! “ seru Bagawan Siddha Kalagana setelah menelan habis tiga buah jantung anak-anak itu.
Pendeta yang duduk di atas lantai lalu mengambil sebuah gentong terisi penuh anggur merah. Untuk mengangkat gentong ini, diperlukan tenaga empat orang pendeta yang bertubuh kuat, akan tetapi setelah gentong diberikan kepada pendeta itu, dengan tangan kiri Bagawan Siddha Kalagana mengangkat gentong dan menuangkan isinya ke dalam mulutnya begitu saja !
Tentu saja pertunjukan ini mendatangkan rasa kagum, takjub dan percaya akan kesaktian dalam hati para penonton, sungguhpun hal ini bukan merupakan hal aneh bagi Indrayana maupun Pancapana. Setelah puas minum anggur itu, Bagawan Siddha Kalagana lalu menurunkan gentong anggurnya dan berkata sambil tertawa,
“Sekarang, sebelum pesta dimulai, semua orang supaya minum anggur pemberian Sang Batari lebih dulu seperti biasa !“
Seakan-akan orang yang sudah ketagihan sekali, orang-orang itu berebut merangkak-rangkak maju mendekati pendeta-pendeta yang membagi-bagi minuman itu. Seorang mendapat anggur secawan kecil dan akhirnya setelah para penari yang empat puluh orang jumlahnya itu diberi kesempatan minum terlebih dahulu, semua orang mendapat bagian dan gentong itu menjadi kosong dan dibawa keluar.
“Bunyikan gamelan, menarilah untuk menghormati Sang batari,“ kini Bagawan Siddha Kalagana berseru gembira sambil menepuk-nepuk tangannya.
Maka berbunyilah kembali segala gamelan tadi dan kini terdengar irama yang amat ganas dan gembira, seakan-akan para penabuh telah menjadi panas darahnya karena minuman anggur merah tadi. Empat puluh orang pelayan atau pengiring Sang Betari, yang pada hakekatnya adalah selir-selir Sang Begawan Siddha Kalagana itu, kini bangkit berdiri dan menarilah mereka dengan gerakan-gerakan yang indah dan menggairahkan.
Pada permulaannya, tarian mereka itu lemas dan halus dan benar-benar mengandung seni tari yang amat indah, akan tetapi makin lama, gerakan mereka menjadi makin cepat dan bunyi gamelan makin dahsyat. Penari-penari itu seperti mabok dan tak peduli lagi betapa karena gerakan mereka yang cepat, pakaian mereka kadang-kadang terbuka sehingga memperlihatkan pemandangan yang tidak sopan.
Para penonton juga kehilangan keseimbangan lagi. Kalau tadinya mereka bersikap sopan dan hormat, kini mereka mulai tertawa-tawa, bersorak-sorak, bahkan tubuh mereka tidak mau diam, berlenggang lenggok mengikuti irama gamelan.
Indrayana dan Pancapana tertegun. Belum pernah selama hidup mereka melihat atau bermimpi melihat pemandangan seperti itu. Sudah gilakah semua orang itu, demikian pikir mereka. Lebih hebat ketika gamelan ditabuh makin hebat sehingga tak lama kemudian, pakaian-pakaian tipis yang hanya dilibatkan pada tubuh-tubuh dara-dara ayu itu, berterbangan terlepas dari pundak dan memenuhi lantai, membuat mereka sama seperti patung-patung wanita yang berada disitu.
Makin menggila pulalah sikap para penonton, terutama para mudanya. Dengan pandangan mata mereka, seakan-akan mereka hendak menelan bulat-bulat para penari yang bergerak-gerak di depan mereka itu. Tiba-tiba Bagawan Siddha Kalagana berseru sambil bertepuk tangan,
“Bagus, sekarang semua menari ! Semua menari untuk menghibur Sang Maha Batari !“
Karena mereka semua itu sudah maklum bahwa hal ini akan terjadi, maka tadi para penonton sudah merupakan air bah yang tertahan oleh bendungan. Isyarat dan perkenan dari Begawan Siddha Kalagana ini bagaikan memecahkan bendungan itu sehingga air bah yang kuat itu membanjir keluar !
Bagaikan kemasukan iblis, orang-orang itu melompat berdiri, menari-nari, tertawa-tawa berteriak-teriak mengelilingi empat puluh orang penari yang membangkitkan gairah itu. Penonton-penonton perempuan tidak ketinggalan, merekapun lalu menari-nari dan di dalam keributan itu, laki-laki dan perempuan bertukar pasangan, suami menari dengan perempuan lain dan isteri menari dengan laki-laki lain !
Indrayana dan Pancapana saling pandang dengan penuh pengertian. Inilah yang menjadi sebuah daripada alat-alat pemikat dan penarik dari Begawan Siddha Kalagana. Dengan amat pandainya pendeta itu menggunakan kekuatan sihirnya, membuat orang-orang itu menjadi lemah imannya dan kehilangan semangat, kemudian memabokkan mereka dengan minuman merah itu dan yang terakhir sekali, memberi kebebasan kepada mereka menari serta bersentuhan dengan empat puluh orang dara ayu, selir-selirnya itu !
Beberapa orang penari yang sudah mabok betul-betul dengan mata sayu dan penuh nafsu menghampiri Bagawan Siddha Kalagana, menari-nari dengan pinggang berlenggang-lenggok seperti ular di depan dan mengitarinya, bahkan mulai menarik-narik tangannya diajak menari bersama. Akan tetapi, dengan pandang mata bosan, Bagawan Siddha Kalagana mengibaskan tangannya, bahkan lalu berkata kepada mereka.
“Bawa Sang Candra Dewi kesini ! Malam ini kita merayakannya, maka hanya dengan dialah aku mau menari ! Sebelum melepaskan ikatannya, lebih dulu beri dia minum secawan madu merah !“
Ketiga orang dara ayu itu nampak kecewa, akan tetapi mereka lalu tertawa cekikikan dan berlari-lari masuk untuk menjalankan perintah itu !
Pancapana dan Indrayana saling memberi isyarat dan bagaikan sudah berjanji terlebih dulu, mereka lalu meninggalkan tempat persembunyian mereka dan cepat mengikuti tiga orang dara yang masih telanjang bulat dan berlari-lari itu. Inilah kesempatan sebaik-baiknya bagi mereka.
Ketiga orang penari akan membawa mereka ke tempat kurungan Candra Dewi. Kalau Indrayana dan Pancapana tidak mengikuti perjalanan tiga orang penari yang semangatnya telah dipengaruhi oleh tenung dan sihir Bagawan, agaknya takkan mungkin mereka dapat mencari kamar dimana Candra Dewi terkurung.
Kamar itu adalah kamar Bagawan Siddha Kalagana sendiri, sebuah kamar yang besar dan indah, penuh pula ukir-ukiran cabul. Untuk dapat memasuki kamar itu ketiga penari tadi melalui tiga lapis pintu rahasia yang hanya dapat dilihat dan dibuka setelah menggeser patung-patung yang berada di luar kamar.
No comments:
Post a Comment