Indrayana makin kagum mendengar ucapan pangeran itu. Baginya seperti juga watak ayahnya, agama adalah soal kedua, yang penting adalah sikap dan watak orangnya. Maka melihat kegagahan dan kebaikan serta kesetiaan yang sedemikian besarnya, ia merasa terharu sekali. Ia memegang lengan Pangeran Pancapana dan berkata dengan suara menggetar,
“Kakangmas Pancapana, aku merasa berbahagia sekali dapat menjadi saudara angkatmu. Kau adalah seorang ksatria utama yang patut dijadikan kawan dan saudara. Kau adalah seorang Pangeran Pati calon raja yang berjiwa besar, terutama sekali mendengar bahwa keinginanmu menduduki tahta Kerajaan Mataram adalah dorongan oleh keharuanmu melihat keadaan rakyat jelata yang miskin dan papa. Engkau patut sekali dibela dan dihormati. Maka kakangmas Pancapana, aku akan selalu berada di sampingmu, dan akulah yang akan membuatmu dalam usahamu menduduki kembali singgasana Kerajaan Mataram ! “
Pangeran Pancapana tidak menjawab dan tidak dapat berkata-kata, hanya memeluk Indrayana dengan kedua mata basah. Ketika Indrayana menengok ke arah Candra Dewi, ia heran melihat gadis itu memandangnya dengan mata basah pula, dan betapa mesra pandang mata itu kepadanya! Setengah dikatupkan, dengan bulu mata gemetar, manik mata berkaca-kaca dan menatapnya dari balik bulu mata itu, ujung hidungnya yang bangir itu mengembang dan bibirnya terbuka sedikit hingga terdengar perlahan napasnya yang memburu.
Akan tetapi hanya sebentar saja, karena dara jelita itu segera membuang pandang matanya ke bawah ke atas tanah dan sambil menundukkan muka, kini kedua ibu jari kakinya bergerak-gerak mengores-gores tanah ! Indrayana berdiri terkesima, kagum dan takjub menyaksikan saat yang luar biasa sekali ketika gadis itu memandang dadanya berdebar tak menentu, dan matanya terbelalak bagaikan terkena pesona.
Tiba-tiba suara ketawa Pangeran Pancapana memecahkan suasana hikmat itu,
“Eh, dimas Indrayana Engkau tadi bicara tentang perut lapar, bukan ? Baru sekarang akupun merasa betapa laparnya perutku ! “
“O ya ! Sejak tadi akupun telah mendengar bunyi cacing menggeliat-geliat, di perut siapakah gerangan ? “ katanya sambil tersenyum girang.
“Cacing di perutku adalah cacing sopan, “ kata Pancapana sambil tertawa dan mengerling ke arah Candra Dewi, “ tadi kudengar berkeruyuknya datang dari jurusan diajeng Candra ! “
Candra Dewi yang tadinya duduk sambil menundukkan mukanya, kini tiba-tiba mengangkat muka dan memandang kepada Pancapana dengan mata melerok dan cemberut.
“Sesopan-sopannya cacing, kalau tak diberi makan tentu akan mengeliat-geliat juga ! Di dalam perutku sih tidak ada cacingnya ! Perutku bersih dan sehat, mana cacing dapat menjadi penghuninya ? “
Indrayana tertawa terbahak-bahak. Ia merasa gembira sekali karena sekarang ternyata olehnya bahwa Pancapana dan Candra Dewi keduanya adalah orang-orang muda yang gembira dan suka pula berkelakar.
“Ha, kalau begitu, tentu cacingkulah tadi yang berkeruyuk !” katanya. “Akan tetapi, jeng Dewi, tak mungkin kalau perutmu tidak bercacing ! Menurut pendapat ayahku, di dalam tubuh tiap manusia terdapat mahluk hidup yang lain, seperti cacing dan lain-lain. Tanpa ada mahluk hidup yang lain, manusia tak dapat hidup ! “
“Akupun pernah mendengar tentang hal itu, “ kata Pancapana, “ bahkan Candra sendiri juga sudah mengetahuinya, bukan ? “
“Tidak. Tidak ! Di dalam perutku tidak ada cacingnya !“ Candra Dewi berseru dan berkeras. “Mungkin ada mahluk hidup lain, akan tetapi bukan cacing ! Aku tidak sudi dijadikan tempat tinggal binatang menjijikan itu !“
Kembali Indrayana tertawa gembira. Melihat dara itu mau bicara dan berkelakar, bahkan keliatan seperti marah-marah, baru ia mendapat kenyataan betapa manis dan cantiknya Candra Dewi. Betapa sehat kulitnya yang halus dan masak oleh sinar matahari itu. Pipinya yang segar kemerah-merahan mengingatkan ia akan kulit mangga golek yang telah masak. Kerling matanya tajam menyambar hati, senyumnya manis menyinggung jantung.
Madu akan terasa pahit bila dibandingkan dengan kemanisan bibir dara ini. Ia tahu bahwa Candra Dewi masih malu-malu dan jarang sekali mau bertemu pandang dengan dia. Semua kata-kata yang diucapkan oleh gadis itu ditunjukkan kepada Pancapana, yang telah bertahun-tahun semenjak mereka masih kecil, telah menjadi kawan bermain dan telah dianggap sebagai kakak kandung sendiri.
Akan tetapi, justru kerling yang hanya sekali-sekali menyambar ke arahnya secara “sambil lalu” itulah yang membuat Indrayana merasa dadanya berdebar-debar. Ia sama sekali tidak ingat bahwa bayangan wajah Puteri Mahkota Pramodawardani yang tadinya tak pernah meninggalkan pelupuk matanya, kini tidak kelihatan lagi bahkan ia telah lupa sama sekali akan puteri Syailendra itu !
Dan ketika Indrayana mencari buah-buah ia memilih yang paling masak dan paling baik untuk Candra Dewi. Melihat hal ini, Candra Dewi yang masih hijau dan bodoh serta belum dapat menyelami hati pria, bertanya dengan sungguh-sungguh,
“Raden Indrayana, mengapa buah yang terbesar dan terbaik diberikan kepadaku seorang ? Marilah kita bagi rata, untuk engkau dan juga untuk Raden dan Pancapana…… “
Dara itu menghentikan ucapannya ketia ia melihat betapa wajah Indrayana menjadi merah dan pemuda ini menundukkan mukanya ia mendengar suara tawa tertahan, ia segera menengok dan melihat betapa Pancapana menahan-nahan ketawanya sambil memandang kepada Indrayana dengan mata menggoda.
“Makanlah, jeng Dewi. Indrayana sengaja memetik yang terbaik untukmu, mengapa engkau tidak dapat menghargai kasih sayang orang ?“ berkata Pancapana dengan suara menggoda.
Kini perasaan wanita di dalam hati Candra Dewi membisikkan sesuatu kepadanya yang membuat pipinya yang sudah merah makin menjadi merah lagi.
“Sudahlah, jeng Dewi, jangan hiraukan orang yang suka menggoda, anggaplah saja ucapannya seperti suara…… “ Indrayana tidak melanjutkannya. “……. Seperti suara cacing perut tidak berteriak-teriak lagi” mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Muria.
Akan tetapi baru saja mereka keluar dari hutan itu, tiba-tiba dari sebelah kanan nampak debu mengebul tinggi dan terdengarlah derap kaki kuda yang menuju ke arah mereka. Pancapana dan Indrayana bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka berdiri berjejer di tepi jalan, sedangkan Candra Dewi berdiri di belakang mereka.
Tak lama kemudian, nampaklah tiga belas ekor kuda yang ditunggangi oleh orang-orang tinggi besar dan buas pandang matanya. Melihat orang-orang yang berpakaian serba hitam itu, Pancapana merasa heran dan tidak mengenal mereka, akan tetapi ketika melihat seorang diantara dua orang pemimpin pasukan berkuda itu, terkejutlah Indrayana. Orang itu adalah Reksasura, kepala pasukan Srigala Hitam yang dulu pernah mencoba hendak merampas patungnya !
“Kakangmas Pancapana,“ bisiknya perlahan, “awas, mereka itu adalah pasukan Serigala Hitam, penyembah Batari Durga yang terkenal buas ! “
Pancapana juga terkejut. Ia pernah mendengar nama pasukan ini, maka ia merasa khawatir karena ia maklum bahwa pasukan ini terkenal amat buas dan cabul, terkenal akan perbuatan mereka yang suka merampas dan mencuri wanita-wanita cantik !
“Ha-ha-ha ! Dicari di seluruh lorong langit tidak bertemu, tidak tahunya sekarang berjumpa disini bersama seorang perawan denok ! Ha-ha, Indrayana. Bagus sekali, dengan tebusan perawan itu kauserahkan kepada kami, barulah kami dapat mengampuni dosa-dosamu ! “
Indrayana adalah seorang pemuda yang cerdik. Melihat sikap Reksasura yang pernah dipukulnya kocar kacir itu kini nampak garang dan tabah, tentu orang kasar ini mempunyai andalan yang kuat. Ia lalu melirik dan memperhatikan orang yang berkuda di sebelah kanan Reksasura. Orang ini terang sekali bukan seorang Jawa, karena kulit mukanya berwarna hitam gelap. Keningnya tinggi, membuat sepasang matanya yang sudah dalam itu makin mendelong ke dalam kepalanya, dipayungi oleh sepasang alis yang panjang dan tebal. Hidungnya seperti hidung burung betet, melengkung dan melingkar ke bawah, agaknya amat berat sehingga kulit di bawah sedikit. Kumisnya kecil panjang, berjuntai kebawah di kanan kiri mulutnya yang tipis merupakan garis melintang panjang.
Karena bentuk mulut inilah maka ia nampak selalu seperti orang bersedihan seperti orang mau mewek. Telinganya yang panjang dan lebar itu masih nampak bagian bawahnya, karena bagian atasnya tertutup oleh kain pengikat kepala berwarna putih yang menutupi seluruh kepalanya sampai beberapa kali libatan. Jenggotnya pendek dan kasar. Biarpun wajah orang hindu ini tidak aneh akan tetapi dari sinar matanya yang amat berpengaruh dan tajam, dapatlah Indrayana menduga bahwa orang ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan orang inipulalah agaknya yang diandalkan oleh Reksasura sehingga si kasar itu berani berlaku garang dan berlagak di hadapannya.
“Reksasura, “ kata Indrayana sambil tersenyum, “dulu ketika engkau berlaku lancang dan mengganggu perjalananku, aku masih berlaku murah dan tidak mencabut nyawamu yang kotor karena perbuatanmu yang penuh dosa. Sekarang kembali kau mengulangi perbuatanmu, apakah benar-benar kau sudah rindu akan panasnya api neraka ? Apakah kau sudah membuat kelewang baru ? Nah, cabutlah, akan tetapi kali ini jangan kau berkata bahwa aku Indrayana berlaku keterlaluan kalau aku bukan hanya akan mematahkan kelewangmu, akan tetapi juga mematahkan lehermu ! “
“Indrayana, kau selalu berwatak sombong dan kau terlalu mengandalkan kepandaianmu sendiri ! Sekarang kau berhadapan dengan guruku, Bagawan Siddha Kalagana, pemimpin kami yang sakti mandraguna ! Kau tidak lekas berlutut minta ampun ? “
Diam-diam Indrayana terkejut dan ia memandang dengan penuh perhatian kepada Pendeta Hindu yang tinggi kurus itu. Juga Pangeran Pancapana terkejut sekali ketika mendengar bahwa orang Hindu itu adalah Begawan Siddha Kalagana yang telah didengar namanya sebagai seorang pertapa dan pendeta yang benar-benar sakti sekali.
Indrayana adalah seorang putera pendeta, dan telah menjadi wataknya tidak mau menghina kepercayaan dari agama lain orang. Maka mendengar bahwa ia berhadapan dengan Begawan Siddha Kalagana, ia lalu merangkapkan telapak tangannya menyembah memberi hormat, lalu berkata.
“Ah, tidak tahunya kami berhadapan dengan Sang Begawan Siddha Kalagana yang terkenal. Harap suka menerima pemberian hormat kami orang-orang muda. Aku, Indrayana dari Syailendra, selalu menghormat para ahli tapa yang suci dan yang bijaksana, tahu akan rahasia hidup, maka aku tidak merasa takut berhadapan dengan Sang Begawan. Seperti biasa, kedatangan seorang ahli tapa tentu akan membawa bahagia dan penambahan pengetahuan. Sesungguhnya, ada keperluan apakah Sang Begawan datang menghadang perjalanan kami orang-orang muda ? “
Diam-diam Pangeran Pancapana tertegun dan kagum melihat sikap Indrayana yang amat tabah dan tenang itu. Juga Begawan Siddha Kalagana sendiri merasa tertarik dan kagum melihat Indrayana. Begawan ini sesungguhnya adalah seorang Hindu yang sudah amat tinggi usianya, akan tetapi, berkat ilmu kepandaiannya yang tinggi, ia masih nampak muda dan rambutnya masih hitam. Pendeta ini datang dari Hindu, membawa agamanya sendiri, yaitu pemuja Batari Durga. Ia telah merasa tidak aman di negerinya sendiri, oleh karena di dalam kepercayaannya, pertapa ini menjalankan perbuatan-perbuatan yang amat terkutuk dan keji.
Pertapa ini memiliki ilmu-ilmu hitam atau ilmu sihir yang hebat dan aneh, juga memiliki kebiasaan yang amat menyeramkan. Untuk mencapai hasil dalam ilmu-ilmu hitamnya yang dikuasai setan dan iblis, ia tidak segan-segan untuk menculik perawan dan anak-anak kecil untuk dijadikan kurban.
Sesungguhnya, di lubuk hatinya terdapat nafsu cabul yang hanya dikemudikan oleh iblis jahat, akan tetapi berkat ilmunya yang tinggi, ia dapat menipu para pengikutnya yang sebaliknya menggangapnya sebagai seorang pertapa yang sakti, suci dan mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Kini, melihat Indrayana dan Pancapana yang elok dan cakap bagaikan Sang Palguna dan Sang Palgunadi, dua tokoh pewayangan yang terkenal tampan, juga melihat Candra Dewi yang cantik jelita bagaikan Dewi Shinta, bukan main senang hatinya. Ia telah merasa bosan dan muak melihat para murid dan anak buah serta pengikut-pengikutnya yang kesemuanya merupakan orang-orang lelaki kasar dan buruk rupa, sehingga timbul keinginannya untuk mengambil dua orang pemuda ini menjadi murid dan pengikutnya. Sedangkan kemolekan wajah dan bentuk tubuh Candra dewi semenjak tadi telah membangkitkan nafsunya yang kotor.
“Anak muda yang elok ! “ katanya kepada Indrayana dengan suaranya yang mengandung kejanggalan suara orang asing. “Sungguh jarang terdapat orang-orang muda seperti engkau dan kawan-kawanmu ini ! Alangkah akan senang hatiku apabila kalian bertiga mau ikut aku ke tempat tinggalku untuk menjadi murid-muridku ! “
“Terima kasih banyak atas kemurahan hati dan penawaran Sang Begawan,“ jawab Indrayana “Akan tetapi ketahuilah, kami bertiga adalah murid-murid dari Eyang Begawan Ekalaya di Muria ! “
“Kakangmas Pancapana, aku merasa berbahagia sekali dapat menjadi saudara angkatmu. Kau adalah seorang ksatria utama yang patut dijadikan kawan dan saudara. Kau adalah seorang Pangeran Pati calon raja yang berjiwa besar, terutama sekali mendengar bahwa keinginanmu menduduki tahta Kerajaan Mataram adalah dorongan oleh keharuanmu melihat keadaan rakyat jelata yang miskin dan papa. Engkau patut sekali dibela dan dihormati. Maka kakangmas Pancapana, aku akan selalu berada di sampingmu, dan akulah yang akan membuatmu dalam usahamu menduduki kembali singgasana Kerajaan Mataram ! “
Pangeran Pancapana tidak menjawab dan tidak dapat berkata-kata, hanya memeluk Indrayana dengan kedua mata basah. Ketika Indrayana menengok ke arah Candra Dewi, ia heran melihat gadis itu memandangnya dengan mata basah pula, dan betapa mesra pandang mata itu kepadanya! Setengah dikatupkan, dengan bulu mata gemetar, manik mata berkaca-kaca dan menatapnya dari balik bulu mata itu, ujung hidungnya yang bangir itu mengembang dan bibirnya terbuka sedikit hingga terdengar perlahan napasnya yang memburu.
Akan tetapi hanya sebentar saja, karena dara jelita itu segera membuang pandang matanya ke bawah ke atas tanah dan sambil menundukkan muka, kini kedua ibu jari kakinya bergerak-gerak mengores-gores tanah ! Indrayana berdiri terkesima, kagum dan takjub menyaksikan saat yang luar biasa sekali ketika gadis itu memandang dadanya berdebar tak menentu, dan matanya terbelalak bagaikan terkena pesona.
Tiba-tiba suara ketawa Pangeran Pancapana memecahkan suasana hikmat itu,
“Eh, dimas Indrayana Engkau tadi bicara tentang perut lapar, bukan ? Baru sekarang akupun merasa betapa laparnya perutku ! “
“O ya ! Sejak tadi akupun telah mendengar bunyi cacing menggeliat-geliat, di perut siapakah gerangan ? “ katanya sambil tersenyum girang.
“Cacing di perutku adalah cacing sopan, “ kata Pancapana sambil tertawa dan mengerling ke arah Candra Dewi, “ tadi kudengar berkeruyuknya datang dari jurusan diajeng Candra ! “
Candra Dewi yang tadinya duduk sambil menundukkan mukanya, kini tiba-tiba mengangkat muka dan memandang kepada Pancapana dengan mata melerok dan cemberut.
“Sesopan-sopannya cacing, kalau tak diberi makan tentu akan mengeliat-geliat juga ! Di dalam perutku sih tidak ada cacingnya ! Perutku bersih dan sehat, mana cacing dapat menjadi penghuninya ? “
Indrayana tertawa terbahak-bahak. Ia merasa gembira sekali karena sekarang ternyata olehnya bahwa Pancapana dan Candra Dewi keduanya adalah orang-orang muda yang gembira dan suka pula berkelakar.
“Ha, kalau begitu, tentu cacingkulah tadi yang berkeruyuk !” katanya. “Akan tetapi, jeng Dewi, tak mungkin kalau perutmu tidak bercacing ! Menurut pendapat ayahku, di dalam tubuh tiap manusia terdapat mahluk hidup yang lain, seperti cacing dan lain-lain. Tanpa ada mahluk hidup yang lain, manusia tak dapat hidup ! “
“Akupun pernah mendengar tentang hal itu, “ kata Pancapana, “ bahkan Candra sendiri juga sudah mengetahuinya, bukan ? “
“Tidak. Tidak ! Di dalam perutku tidak ada cacingnya !“ Candra Dewi berseru dan berkeras. “Mungkin ada mahluk hidup lain, akan tetapi bukan cacing ! Aku tidak sudi dijadikan tempat tinggal binatang menjijikan itu !“
Kembali Indrayana tertawa gembira. Melihat dara itu mau bicara dan berkelakar, bahkan keliatan seperti marah-marah, baru ia mendapat kenyataan betapa manis dan cantiknya Candra Dewi. Betapa sehat kulitnya yang halus dan masak oleh sinar matahari itu. Pipinya yang segar kemerah-merahan mengingatkan ia akan kulit mangga golek yang telah masak. Kerling matanya tajam menyambar hati, senyumnya manis menyinggung jantung.
Madu akan terasa pahit bila dibandingkan dengan kemanisan bibir dara ini. Ia tahu bahwa Candra Dewi masih malu-malu dan jarang sekali mau bertemu pandang dengan dia. Semua kata-kata yang diucapkan oleh gadis itu ditunjukkan kepada Pancapana, yang telah bertahun-tahun semenjak mereka masih kecil, telah menjadi kawan bermain dan telah dianggap sebagai kakak kandung sendiri.
Akan tetapi, justru kerling yang hanya sekali-sekali menyambar ke arahnya secara “sambil lalu” itulah yang membuat Indrayana merasa dadanya berdebar-debar. Ia sama sekali tidak ingat bahwa bayangan wajah Puteri Mahkota Pramodawardani yang tadinya tak pernah meninggalkan pelupuk matanya, kini tidak kelihatan lagi bahkan ia telah lupa sama sekali akan puteri Syailendra itu !
Dan ketika Indrayana mencari buah-buah ia memilih yang paling masak dan paling baik untuk Candra Dewi. Melihat hal ini, Candra Dewi yang masih hijau dan bodoh serta belum dapat menyelami hati pria, bertanya dengan sungguh-sungguh,
“Raden Indrayana, mengapa buah yang terbesar dan terbaik diberikan kepadaku seorang ? Marilah kita bagi rata, untuk engkau dan juga untuk Raden dan Pancapana…… “
Dara itu menghentikan ucapannya ketia ia melihat betapa wajah Indrayana menjadi merah dan pemuda ini menundukkan mukanya ia mendengar suara tawa tertahan, ia segera menengok dan melihat betapa Pancapana menahan-nahan ketawanya sambil memandang kepada Indrayana dengan mata menggoda.
“Makanlah, jeng Dewi. Indrayana sengaja memetik yang terbaik untukmu, mengapa engkau tidak dapat menghargai kasih sayang orang ?“ berkata Pancapana dengan suara menggoda.
Kini perasaan wanita di dalam hati Candra Dewi membisikkan sesuatu kepadanya yang membuat pipinya yang sudah merah makin menjadi merah lagi.
“Sudahlah, jeng Dewi, jangan hiraukan orang yang suka menggoda, anggaplah saja ucapannya seperti suara…… “ Indrayana tidak melanjutkannya. “……. Seperti suara cacing perut tidak berteriak-teriak lagi” mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Muria.
Akan tetapi baru saja mereka keluar dari hutan itu, tiba-tiba dari sebelah kanan nampak debu mengebul tinggi dan terdengarlah derap kaki kuda yang menuju ke arah mereka. Pancapana dan Indrayana bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka berdiri berjejer di tepi jalan, sedangkan Candra Dewi berdiri di belakang mereka.
Tak lama kemudian, nampaklah tiga belas ekor kuda yang ditunggangi oleh orang-orang tinggi besar dan buas pandang matanya. Melihat orang-orang yang berpakaian serba hitam itu, Pancapana merasa heran dan tidak mengenal mereka, akan tetapi ketika melihat seorang diantara dua orang pemimpin pasukan berkuda itu, terkejutlah Indrayana. Orang itu adalah Reksasura, kepala pasukan Srigala Hitam yang dulu pernah mencoba hendak merampas patungnya !
“Kakangmas Pancapana,“ bisiknya perlahan, “awas, mereka itu adalah pasukan Serigala Hitam, penyembah Batari Durga yang terkenal buas ! “
Pancapana juga terkejut. Ia pernah mendengar nama pasukan ini, maka ia merasa khawatir karena ia maklum bahwa pasukan ini terkenal amat buas dan cabul, terkenal akan perbuatan mereka yang suka merampas dan mencuri wanita-wanita cantik !
“Ha-ha-ha ! Dicari di seluruh lorong langit tidak bertemu, tidak tahunya sekarang berjumpa disini bersama seorang perawan denok ! Ha-ha, Indrayana. Bagus sekali, dengan tebusan perawan itu kauserahkan kepada kami, barulah kami dapat mengampuni dosa-dosamu ! “
Indrayana adalah seorang pemuda yang cerdik. Melihat sikap Reksasura yang pernah dipukulnya kocar kacir itu kini nampak garang dan tabah, tentu orang kasar ini mempunyai andalan yang kuat. Ia lalu melirik dan memperhatikan orang yang berkuda di sebelah kanan Reksasura. Orang ini terang sekali bukan seorang Jawa, karena kulit mukanya berwarna hitam gelap. Keningnya tinggi, membuat sepasang matanya yang sudah dalam itu makin mendelong ke dalam kepalanya, dipayungi oleh sepasang alis yang panjang dan tebal. Hidungnya seperti hidung burung betet, melengkung dan melingkar ke bawah, agaknya amat berat sehingga kulit di bawah sedikit. Kumisnya kecil panjang, berjuntai kebawah di kanan kiri mulutnya yang tipis merupakan garis melintang panjang.
Karena bentuk mulut inilah maka ia nampak selalu seperti orang bersedihan seperti orang mau mewek. Telinganya yang panjang dan lebar itu masih nampak bagian bawahnya, karena bagian atasnya tertutup oleh kain pengikat kepala berwarna putih yang menutupi seluruh kepalanya sampai beberapa kali libatan. Jenggotnya pendek dan kasar. Biarpun wajah orang hindu ini tidak aneh akan tetapi dari sinar matanya yang amat berpengaruh dan tajam, dapatlah Indrayana menduga bahwa orang ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan orang inipulalah agaknya yang diandalkan oleh Reksasura sehingga si kasar itu berani berlaku garang dan berlagak di hadapannya.
“Reksasura, “ kata Indrayana sambil tersenyum, “dulu ketika engkau berlaku lancang dan mengganggu perjalananku, aku masih berlaku murah dan tidak mencabut nyawamu yang kotor karena perbuatanmu yang penuh dosa. Sekarang kembali kau mengulangi perbuatanmu, apakah benar-benar kau sudah rindu akan panasnya api neraka ? Apakah kau sudah membuat kelewang baru ? Nah, cabutlah, akan tetapi kali ini jangan kau berkata bahwa aku Indrayana berlaku keterlaluan kalau aku bukan hanya akan mematahkan kelewangmu, akan tetapi juga mematahkan lehermu ! “
“Indrayana, kau selalu berwatak sombong dan kau terlalu mengandalkan kepandaianmu sendiri ! Sekarang kau berhadapan dengan guruku, Bagawan Siddha Kalagana, pemimpin kami yang sakti mandraguna ! Kau tidak lekas berlutut minta ampun ? “
Diam-diam Indrayana terkejut dan ia memandang dengan penuh perhatian kepada Pendeta Hindu yang tinggi kurus itu. Juga Pangeran Pancapana terkejut sekali ketika mendengar bahwa orang Hindu itu adalah Begawan Siddha Kalagana yang telah didengar namanya sebagai seorang pertapa dan pendeta yang benar-benar sakti sekali.
Indrayana adalah seorang putera pendeta, dan telah menjadi wataknya tidak mau menghina kepercayaan dari agama lain orang. Maka mendengar bahwa ia berhadapan dengan Begawan Siddha Kalagana, ia lalu merangkapkan telapak tangannya menyembah memberi hormat, lalu berkata.
“Ah, tidak tahunya kami berhadapan dengan Sang Begawan Siddha Kalagana yang terkenal. Harap suka menerima pemberian hormat kami orang-orang muda. Aku, Indrayana dari Syailendra, selalu menghormat para ahli tapa yang suci dan yang bijaksana, tahu akan rahasia hidup, maka aku tidak merasa takut berhadapan dengan Sang Begawan. Seperti biasa, kedatangan seorang ahli tapa tentu akan membawa bahagia dan penambahan pengetahuan. Sesungguhnya, ada keperluan apakah Sang Begawan datang menghadang perjalanan kami orang-orang muda ? “
Diam-diam Pangeran Pancapana tertegun dan kagum melihat sikap Indrayana yang amat tabah dan tenang itu. Juga Begawan Siddha Kalagana sendiri merasa tertarik dan kagum melihat Indrayana. Begawan ini sesungguhnya adalah seorang Hindu yang sudah amat tinggi usianya, akan tetapi, berkat ilmu kepandaiannya yang tinggi, ia masih nampak muda dan rambutnya masih hitam. Pendeta ini datang dari Hindu, membawa agamanya sendiri, yaitu pemuja Batari Durga. Ia telah merasa tidak aman di negerinya sendiri, oleh karena di dalam kepercayaannya, pertapa ini menjalankan perbuatan-perbuatan yang amat terkutuk dan keji.
Pertapa ini memiliki ilmu-ilmu hitam atau ilmu sihir yang hebat dan aneh, juga memiliki kebiasaan yang amat menyeramkan. Untuk mencapai hasil dalam ilmu-ilmu hitamnya yang dikuasai setan dan iblis, ia tidak segan-segan untuk menculik perawan dan anak-anak kecil untuk dijadikan kurban.
Sesungguhnya, di lubuk hatinya terdapat nafsu cabul yang hanya dikemudikan oleh iblis jahat, akan tetapi berkat ilmunya yang tinggi, ia dapat menipu para pengikutnya yang sebaliknya menggangapnya sebagai seorang pertapa yang sakti, suci dan mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Kini, melihat Indrayana dan Pancapana yang elok dan cakap bagaikan Sang Palguna dan Sang Palgunadi, dua tokoh pewayangan yang terkenal tampan, juga melihat Candra Dewi yang cantik jelita bagaikan Dewi Shinta, bukan main senang hatinya. Ia telah merasa bosan dan muak melihat para murid dan anak buah serta pengikut-pengikutnya yang kesemuanya merupakan orang-orang lelaki kasar dan buruk rupa, sehingga timbul keinginannya untuk mengambil dua orang pemuda ini menjadi murid dan pengikutnya. Sedangkan kemolekan wajah dan bentuk tubuh Candra dewi semenjak tadi telah membangkitkan nafsunya yang kotor.
“Anak muda yang elok ! “ katanya kepada Indrayana dengan suaranya yang mengandung kejanggalan suara orang asing. “Sungguh jarang terdapat orang-orang muda seperti engkau dan kawan-kawanmu ini ! Alangkah akan senang hatiku apabila kalian bertiga mau ikut aku ke tempat tinggalku untuk menjadi murid-muridku ! “
“Terima kasih banyak atas kemurahan hati dan penawaran Sang Begawan,“ jawab Indrayana “Akan tetapi ketahuilah, kami bertiga adalah murid-murid dari Eyang Begawan Ekalaya di Muria ! “
No comments:
Post a Comment