Ayahandanya tersenyum.
“Indrayana, memang sudah seharusnya demikian semangat dan pendirian seorang pemuda. Pantang mundur dalam menghadapi cita-cita, takkan berhenti sejenakpun sebelum tercapai kandungan hati! Namun, kau harus mengerti bahwa dalam segala sepak terjang kita, kita harus mempergunakan pertimbangan dan kedewasaan. Betapapun tekun, rajin dan bersemangat adanya seseorang dalam mengerjakan sesuatu, apabila tindakannya hanya serampangan dan sembrono tanpa perhitungan masak-masak, maka hasil kerjanya kiraku takkan sempurna sebagaimana yang diharapkan semula ! Engkau tentu bukan termasuk golongan yang bertindak secara serudukan seperti kerbau gila itu, bukan ? “
Indrayana menundukkan kepalanya.
“Ayah, anakmu mendengarkan dengan penuh perhatian. Teruskanlah wejanganmu yang amat berharga, ayah. “
“Anakku, segala macam karya seni yang ada di dunia ini membutuhkan bakat dan watak dalam bidang masing-masing. Bakat atau watak ini telah ada dalam diri tiap manusia semenjak mereka terlahir. Disebut bakat setelah anak menjadi besar dan ternyata dari perbuatan-perbuatannya atau hasil-hasil karyanya. Akan tetapi pada hakekatnya adalah pengalaman-pengalaman yang terbawa dari kehidupan yang lampau. Oleh karena itu, bakat ini tak dapat dipaksakan pada diri seseorang. Mengertikah kau, anakku ? “
“masih belum jelas benar, ayah “
“Indrayana, engkau memang berbakat untuk menjadi ahli pembuat keris. Tahukah engkau, apa akan jadinya kalau seorang pembuat keris yang pandai dan sakti, memaksakan diri membuat sebatang keris dari bahan logam yang tidak baik seperti misalnya tembaga ?
“Keris itu akan jadi, akan tetapi tak mungkin dapat merupakan keris yang baik dan ampuh, “
Jawab bapaknya.
“Nah demikianlah pula dengan bakat seseorang. Tembaga tidak berbakat untuk di jadikan keris, maka, biarpun telah diusahakan oleh seorang ahli yang amat pandai, namun tetap saja bahan yang tidak berbakat baik itu takkan dapat menjadi sebatang keris yang sempurna. Biarpun dia belajar penuh ketekunan dan kerajinan, sungguhpun ia digembleng oleh seorang guru yang maha sakti, tak mungkin ia akan menjadi ahli ukir yang baik dan hasil ukirannya takkan sempurna pula.“
Indrayana tertegun dan mengangkat muka memandang ayahnya.
“Jadi… menurut pandangan ayah, aku tidak berbakat untuk menjadi seorang ahli ukir? Akan tetapi, aku suka sekali akan ukiran-ukiran yang indah, ayah ! “
Ayahnya tersenyum sabar dan tenang seperti biasanya.
“Kau memang seorang pemuda yang penuh semangat dan ingin memahami segala macam hal. Ini memang baik sekali, anakku, dan ayahmu merasa bangga melihat api semangatmu yang bernyala-nyala itu. Akan tetapi kau harus ingat bahwa di dalam dunia ini, ilmu kepandaian tidak ada batasnya bagaikan Segara Kidul. Tak mungkin kau akan dapat mencakupnya semua. Bakat dan wadah untuk menampung kepandaian pada seseorang diumpamakan hanya sebesar payung batok kelapa, bagaimana mungkin untuk menampung semua air dari segara kidul ? Kalau engkau tidak puas dengan yang segayung itu saja dan menghendaki lebih, banyak bahayanya kau akan keluar dari sana dengan gayungmu tinggal kosong ! dari pada terjadi hal demikian, jauh lebih baik mengisi gayungmu dengan air yang sebersih-bersihnya sampai penuh betul !“
Demikianlah wejangan ayahnya yang masih saja bergema dalam telinga Indrayana ketika ia duduk melamun di pinggir kali Praga. Kemudian pikirannya melayang jauh dan ia teringat kepada ibunya yang telah meninggalkannya semenjak ia masih kecil. Sungguhpun ibunya telah pergi lebih dari tujuh tahun yang lalu, akan tetapi Indrayana masih dapat membayangkan wajah ibunya yang cantik manis, senyumnya yang ramah dan sabar, pandangan matanya yang halus penuh kasih sayang.
“ Ibu……”
Indrayana mengeluh dengan bisikan perlahan. Hatinya terserang rasa rindu yang memerihkan hatinya, rindu kepada ibunya yang telah meninggal dunia. Dalam rindu dendamnya yang hebat, batu-batu besar di tengah sungai itu kelihatan seperti ibunya dalam berbagai-bagai keadaan. Ada yang seperti ibunya tengah duduk, ada yang berjongkok, berlutut bahkan ada yang seperti ibunya berbaring.
“ Ibu……”
Kembali ia mengeluh dan tak terasa pula ia bangkit berdiri diatas rumput kering dan melompat turun ke dalam sungai yang kering itu. Kemudian ia menghampiri sebuah batu besar sambil matanya memandang tanpa berkedip, batu besar yang kelihatan seperti ibunya tengah duduk bersimpuh itu.
“ Ibu, aku akan menghidupkanmu kembali, ibu, “ katanya dengan tak sadar.
Indrayana lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya, mengerahkan aji kesaktiannya, kemudian ia mulai bekerja. Dengan sepuluh jari tangannya yang berubah menjadi seperti pahat dan pisau baja, ia mulai mencongkel, mengukir dan membentuk batu karang besar itu, mencontoh gambar yang timbul dalam angan-angannya ketika ia merasa rindu kepada bundanya tadi.
Dari pagi sampai matahari naik tinggi, Indrayana bekerja tak kenal lelah. Batu karang menghitam itu telah mulai berbentuk seperti tubuh seorang wanita yang duduk bersimpuh. Akan tetapi makin dekat bentuk batu itu menyerupai manusia, makin kecewa dan berdukalah hati Indrayana.
Seperti yang sudah-sudah ! Selalu kedua tangannya tak kuasa mencontoh gambar dalam angan-angannya. Sama sekali tak sesuai, sama sekali tidak menyerupai bentuk tubuh dan potongan wajah ibunya. Beberapa kali ia menggosok-gosok batu bagian muka itu bagaikan dipahat saja, akan tetapi makin lama makin jauhlah bedanya wajah patung itu denagn wajah ibunya. Perasaan kecewa membuat Indrayana menjadi marah. Tiba-tiba tangan kanannya menebas kearah leher patung itu dan patahlah batu karang itu dengan mudahnya.
“Setan !“ Indrayana memaki perlahan. “Setan dan iblis air sungai yang mengganggu !“
Akan tetapi yang menjawab makiannya hanya suara air yang mencari jalan-jalan diantara batu-batu iblis dan setan air menertawakan kemarahannya.
Indrayana makin marah dan kecewa. Ia menusuk-nusukkan jari tangannya kepada batu yang tadi hendak dijadikan patung ibunya itu dan dimana saja jari tangannya menusuk, tentu batu itu berlobang. Memang dahsyat dan hebat sekali aji kesaktian Indrayana ini. Jangankan kulit seorang manusia yang menjadi lawannya, bahkan batu karang yang sedemikian kerasnya dengan mudah ditusuk oleh jari-jari tangannya.
Tiba-tiba terdengar suara yang halus berkata dari tepi sungai.
“ya Jagat Dewa Batara ! Alangkah lucunya anak ini. Mengapa menyakiti diri sendiri ? Batu karang yang demikian kerasnya ditusuk-tusuk, tentu saja jari tangannya yang sakit. “.
Baru saja ucapan ini habis diucapkan, Indrayana menjerit dan memegangi tangan kanannya yang berdarah. Ternyata ketika ia mendengar ucapan itu, tiba-tiba batu karang itu menjadi keras sekali dan jari tangan kanannya yang ditusukkan terbentur pada batu yang tiba-tiba kerasnya melebihi baja sehingga jarinya menjadi luka berdarah dan terasa sakit sekali.
Indrayana marah sekali dan cepat menengok. Ia melihat seorang kakek tua yang rambutnya panjang dan rambut serta kumisnya putih semua, berpakaian sebagai seorang pendeta Agama Hindu, sedang berdiri memegangi tongkatnya yang panjang di tepi sungai dan berhadapan dengan pendeta itu.
“hmm, anak muda yang tangkas !“ kakek itu memuji.
Akan tetapi Indrayana menyangka bahwa ia tentu berhadapan dengan iblis penjaga sungai yang mengganggunya, segera maju selagkah dan menyerang dengan pukulan tangan kirinya yang ampuh dan kuat. Pukulan kedua tangan Indrayana tak boleh dipandang ringan, karena pemuda ini telah diisi aji kesaktian yang disebut Astadenta atau Tangan gading. Pukulan tangannya sama kuatnya dengan tenaga seekor gajah yang menyerang dengan gadingnya !
Akan tetapi kakek itu tidak mengelak maupun menangkis sedikit juga, hanya memandang dengan mata berseri seakan-akan merasa geli hati melihat tingkah laku seorang bocah nakal.
Ketika tangan kiri Indrayana tepat mengenai dada kakek itu, kelihatannya dari luar seakan-akan tangan itu hanya menempel saja seperti seekor lalat hendak memukul pohon waringin, sedangkan Indrayana merasa seperti memukul pakaian yang tidak ada tubuhnya di sebelah dalamnya ! baju pendeta yang dipukulnya itu seakan-akan kosong, seperti juga kakek itu tidak bertubuh. Ia menjadi penasaran dan berkali-kali ia memukul, akan tetapi tetap saja, sama halnya dengan memukul air Kali Praga dikala sedang banjir.
Makin kuatlah dugaan Indrayana bahwa kakek ini tentulah bukan seorang manusia, melainkan iblis penjaga sungai. Ia membungkuk dan tiba-tiba menyergap kedua kaki kakek itu. Giranglah hatinya ketika kedua tangannya merasa bahwa kakek ini sesungguhnya mempunyai sepasang kaki yang kurus. Ia mengerahkan tenaga, hendak diangkatnya tubuh kakek itu hendak dibantingkannya kedalam Sungai Praga yang kosong !
Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika ia tidak mampu mengangkat tubuh kakek yang kecil kurus itu ! Indrayana mengerahkan tenaga dan aji kesaktiannya, akan tetapi kedua tangannya seakan-akan lumpuh dan semua tenaga telah meninggalkan raganya. Jangankan mengangkat tubuh kakek itu menggerakkan sedikitpun ia tak mampu !
Terkejutlah sekarang Indrayana. Ia melangkah mundur tiga tindak dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantera mengusir setan. Namun tetap saja kakek itu tidak lenyap seperti halnya seorang mahluk halus atau setan kalau mendengar mantera itu, bahkan tersenyum-senyum dan matanya tetap berpengaruh itu,
“Indrayana, bukankah kau putera Wiku Dataprayoga ? Kau benar-benar bersemangat seperti ayahmu diwaktu masih muda.“ Pendeta itu lalu tertawa terkekeh dengan girangnya. “Tentu saja kau tidak mengenalku, karena pertama kali engkau melihatku adalah ketika kau masih kecil sekali, baru berusia beberapa bulan. Ha, ha, masih jabang bayi dalam gendongan mendiang ibumu ! Indrayana, aku adalah Begawan Ekalaya, pernahkah ayahmu menyebut nama ini ? “
Untuk sejenak Indrayana berdiri bagaikan patung dan memandang kepada kakek itu dengan mata terbelalak. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut dan menciumi kaki kakek itu.
“ Eyang begawan….mohon ampun sebesarnya atas kelancaran cucumu tadi!“
Begawan Ekalaya hanya tertawa dan mengelus-elus kepala Indrayana, Memang sesungguhnya begawan Ekalaya ini adalah eyang dari Indrayana sendiri, karena begawan ini adalah ayah dari Sang Wiku Dutaprayoga.
Pendeta tua yang sakti ini bertapa di puncak Gunung Muria, sebuah gunung di atas pulau kecil di seberang pantai Pulau Jawa bagian Utara. Memang sebelum menjadi orang Mataram dan kemudian berpindah ke syailendra. Sang Wiku Dutaprayoga berasal dari Muria. Indrayana sering kali mendengar cerita ayahnya tentang kakeknya ini, dan menurut ayahnya, eyangnya ini adalah seorang pertapa yang amat sakti mandraguna.
“Kalau saja kau dapat menerima bimbingan eyangmu di Muria, “ayahnya pernah berkata, “ tentu kau akan mendapat banyak sekali kemajuan, Indrayana. Akan tetapi sayang sekali eyangmu Begawan Ekalaya adalah seorang begawan yang memuja Para Dewata di Kahyangan, sedangkan kita telah menjadi murid-murid Sang Buddha. Tentu eyangmu tidak akan senang melihat keadaan kita.“
Maka setelah kini tiba-tiba berhadapan dengan eyangnya itu dan yang tadi telah dibuktikan sendiri kesaktiannya yang luar biasa, Indrayana memeluk kaki eyangnya dan merasa girang sekali, juga khawatir kalau-kalau eyangnya ini akan memarahi ayahnya, ia teringat betapa tadi eyangnya telah mengganggunya ketika ia mencoba untuk melampiaskan marahnya dengan menusuk batu karang dengan jarinya, maka setelah menyembah dengan khidmat, ia lalu bertanya,
“eyang, apabila eyang merasa hamba bersalah dengan menusuk-nusuk batu karang tadi, mohon petunjuk dari eyang. “
Terdengar kakek sakti itu berkata dengan suara bersungguh-sungguh,
“Tentu saja engkau bersalah, Indrayana. Engkau telah menghina Dewa Brahma, melanggar larangan Dewa Wisnu, dan merendahkan tugas Dewa Syiwa !“
Bukan main terkejutnya hati Indrayana mendengar bahwa perbuatannya tadi telah menyinggung kehormatan dewata-dewata besar ! Karena pemuda ini menundukkan mukanya, ia tidak melihat betapa eyangnya memandangnya dengan bibir tersenyum, akan tetapi suaranya tetap bersungguh-sungguh ketika ia melanjutkan kata-katanya,
“Betara Brahma adalah Pencipta seluruh alam dan segala macam isinya, termasuk batu-batu karang di tengah Kali Praga ini Engkau telah merusaknya tanpa alasan sama sekali, bukankah itu berarti bahwa engkau tidak menghargai keindahan ciptaan Batara Brahma ? Ini penghinaan namanya dan jangan sekali-kali engkau melakukan hal seperti itu, cucuku ! “
Indrayana menyembah.
“Akan hamba perhatikan, Eyang Begawan.“
“Indrayana, memang sudah seharusnya demikian semangat dan pendirian seorang pemuda. Pantang mundur dalam menghadapi cita-cita, takkan berhenti sejenakpun sebelum tercapai kandungan hati! Namun, kau harus mengerti bahwa dalam segala sepak terjang kita, kita harus mempergunakan pertimbangan dan kedewasaan. Betapapun tekun, rajin dan bersemangat adanya seseorang dalam mengerjakan sesuatu, apabila tindakannya hanya serampangan dan sembrono tanpa perhitungan masak-masak, maka hasil kerjanya kiraku takkan sempurna sebagaimana yang diharapkan semula ! Engkau tentu bukan termasuk golongan yang bertindak secara serudukan seperti kerbau gila itu, bukan ? “
Indrayana menundukkan kepalanya.
“Ayah, anakmu mendengarkan dengan penuh perhatian. Teruskanlah wejanganmu yang amat berharga, ayah. “
“Anakku, segala macam karya seni yang ada di dunia ini membutuhkan bakat dan watak dalam bidang masing-masing. Bakat atau watak ini telah ada dalam diri tiap manusia semenjak mereka terlahir. Disebut bakat setelah anak menjadi besar dan ternyata dari perbuatan-perbuatannya atau hasil-hasil karyanya. Akan tetapi pada hakekatnya adalah pengalaman-pengalaman yang terbawa dari kehidupan yang lampau. Oleh karena itu, bakat ini tak dapat dipaksakan pada diri seseorang. Mengertikah kau, anakku ? “
“masih belum jelas benar, ayah “
“Indrayana, engkau memang berbakat untuk menjadi ahli pembuat keris. Tahukah engkau, apa akan jadinya kalau seorang pembuat keris yang pandai dan sakti, memaksakan diri membuat sebatang keris dari bahan logam yang tidak baik seperti misalnya tembaga ?
“Keris itu akan jadi, akan tetapi tak mungkin dapat merupakan keris yang baik dan ampuh, “
Jawab bapaknya.
“Nah demikianlah pula dengan bakat seseorang. Tembaga tidak berbakat untuk di jadikan keris, maka, biarpun telah diusahakan oleh seorang ahli yang amat pandai, namun tetap saja bahan yang tidak berbakat baik itu takkan dapat menjadi sebatang keris yang sempurna. Biarpun dia belajar penuh ketekunan dan kerajinan, sungguhpun ia digembleng oleh seorang guru yang maha sakti, tak mungkin ia akan menjadi ahli ukir yang baik dan hasil ukirannya takkan sempurna pula.“
Indrayana tertegun dan mengangkat muka memandang ayahnya.
“Jadi… menurut pandangan ayah, aku tidak berbakat untuk menjadi seorang ahli ukir? Akan tetapi, aku suka sekali akan ukiran-ukiran yang indah, ayah ! “
Ayahnya tersenyum sabar dan tenang seperti biasanya.
“Kau memang seorang pemuda yang penuh semangat dan ingin memahami segala macam hal. Ini memang baik sekali, anakku, dan ayahmu merasa bangga melihat api semangatmu yang bernyala-nyala itu. Akan tetapi kau harus ingat bahwa di dalam dunia ini, ilmu kepandaian tidak ada batasnya bagaikan Segara Kidul. Tak mungkin kau akan dapat mencakupnya semua. Bakat dan wadah untuk menampung kepandaian pada seseorang diumpamakan hanya sebesar payung batok kelapa, bagaimana mungkin untuk menampung semua air dari segara kidul ? Kalau engkau tidak puas dengan yang segayung itu saja dan menghendaki lebih, banyak bahayanya kau akan keluar dari sana dengan gayungmu tinggal kosong ! dari pada terjadi hal demikian, jauh lebih baik mengisi gayungmu dengan air yang sebersih-bersihnya sampai penuh betul !“
Demikianlah wejangan ayahnya yang masih saja bergema dalam telinga Indrayana ketika ia duduk melamun di pinggir kali Praga. Kemudian pikirannya melayang jauh dan ia teringat kepada ibunya yang telah meninggalkannya semenjak ia masih kecil. Sungguhpun ibunya telah pergi lebih dari tujuh tahun yang lalu, akan tetapi Indrayana masih dapat membayangkan wajah ibunya yang cantik manis, senyumnya yang ramah dan sabar, pandangan matanya yang halus penuh kasih sayang.
“ Ibu……”
Indrayana mengeluh dengan bisikan perlahan. Hatinya terserang rasa rindu yang memerihkan hatinya, rindu kepada ibunya yang telah meninggal dunia. Dalam rindu dendamnya yang hebat, batu-batu besar di tengah sungai itu kelihatan seperti ibunya dalam berbagai-bagai keadaan. Ada yang seperti ibunya tengah duduk, ada yang berjongkok, berlutut bahkan ada yang seperti ibunya berbaring.
“ Ibu……”
Kembali ia mengeluh dan tak terasa pula ia bangkit berdiri diatas rumput kering dan melompat turun ke dalam sungai yang kering itu. Kemudian ia menghampiri sebuah batu besar sambil matanya memandang tanpa berkedip, batu besar yang kelihatan seperti ibunya tengah duduk bersimpuh itu.
“ Ibu, aku akan menghidupkanmu kembali, ibu, “ katanya dengan tak sadar.
Indrayana lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya, mengerahkan aji kesaktiannya, kemudian ia mulai bekerja. Dengan sepuluh jari tangannya yang berubah menjadi seperti pahat dan pisau baja, ia mulai mencongkel, mengukir dan membentuk batu karang besar itu, mencontoh gambar yang timbul dalam angan-angannya ketika ia merasa rindu kepada bundanya tadi.
Dari pagi sampai matahari naik tinggi, Indrayana bekerja tak kenal lelah. Batu karang menghitam itu telah mulai berbentuk seperti tubuh seorang wanita yang duduk bersimpuh. Akan tetapi makin dekat bentuk batu itu menyerupai manusia, makin kecewa dan berdukalah hati Indrayana.
Seperti yang sudah-sudah ! Selalu kedua tangannya tak kuasa mencontoh gambar dalam angan-angannya. Sama sekali tak sesuai, sama sekali tidak menyerupai bentuk tubuh dan potongan wajah ibunya. Beberapa kali ia menggosok-gosok batu bagian muka itu bagaikan dipahat saja, akan tetapi makin lama makin jauhlah bedanya wajah patung itu denagn wajah ibunya. Perasaan kecewa membuat Indrayana menjadi marah. Tiba-tiba tangan kanannya menebas kearah leher patung itu dan patahlah batu karang itu dengan mudahnya.
“Setan !“ Indrayana memaki perlahan. “Setan dan iblis air sungai yang mengganggu !“
Akan tetapi yang menjawab makiannya hanya suara air yang mencari jalan-jalan diantara batu-batu iblis dan setan air menertawakan kemarahannya.
Indrayana makin marah dan kecewa. Ia menusuk-nusukkan jari tangannya kepada batu yang tadi hendak dijadikan patung ibunya itu dan dimana saja jari tangannya menusuk, tentu batu itu berlobang. Memang dahsyat dan hebat sekali aji kesaktian Indrayana ini. Jangankan kulit seorang manusia yang menjadi lawannya, bahkan batu karang yang sedemikian kerasnya dengan mudah ditusuk oleh jari-jari tangannya.
Tiba-tiba terdengar suara yang halus berkata dari tepi sungai.
“ya Jagat Dewa Batara ! Alangkah lucunya anak ini. Mengapa menyakiti diri sendiri ? Batu karang yang demikian kerasnya ditusuk-tusuk, tentu saja jari tangannya yang sakit. “.
Baru saja ucapan ini habis diucapkan, Indrayana menjerit dan memegangi tangan kanannya yang berdarah. Ternyata ketika ia mendengar ucapan itu, tiba-tiba batu karang itu menjadi keras sekali dan jari tangan kanannya yang ditusukkan terbentur pada batu yang tiba-tiba kerasnya melebihi baja sehingga jarinya menjadi luka berdarah dan terasa sakit sekali.
Indrayana marah sekali dan cepat menengok. Ia melihat seorang kakek tua yang rambutnya panjang dan rambut serta kumisnya putih semua, berpakaian sebagai seorang pendeta Agama Hindu, sedang berdiri memegangi tongkatnya yang panjang di tepi sungai dan berhadapan dengan pendeta itu.
“hmm, anak muda yang tangkas !“ kakek itu memuji.
Akan tetapi Indrayana menyangka bahwa ia tentu berhadapan dengan iblis penjaga sungai yang mengganggunya, segera maju selagkah dan menyerang dengan pukulan tangan kirinya yang ampuh dan kuat. Pukulan kedua tangan Indrayana tak boleh dipandang ringan, karena pemuda ini telah diisi aji kesaktian yang disebut Astadenta atau Tangan gading. Pukulan tangannya sama kuatnya dengan tenaga seekor gajah yang menyerang dengan gadingnya !
Akan tetapi kakek itu tidak mengelak maupun menangkis sedikit juga, hanya memandang dengan mata berseri seakan-akan merasa geli hati melihat tingkah laku seorang bocah nakal.
Ketika tangan kiri Indrayana tepat mengenai dada kakek itu, kelihatannya dari luar seakan-akan tangan itu hanya menempel saja seperti seekor lalat hendak memukul pohon waringin, sedangkan Indrayana merasa seperti memukul pakaian yang tidak ada tubuhnya di sebelah dalamnya ! baju pendeta yang dipukulnya itu seakan-akan kosong, seperti juga kakek itu tidak bertubuh. Ia menjadi penasaran dan berkali-kali ia memukul, akan tetapi tetap saja, sama halnya dengan memukul air Kali Praga dikala sedang banjir.
Makin kuatlah dugaan Indrayana bahwa kakek ini tentulah bukan seorang manusia, melainkan iblis penjaga sungai. Ia membungkuk dan tiba-tiba menyergap kedua kaki kakek itu. Giranglah hatinya ketika kedua tangannya merasa bahwa kakek ini sesungguhnya mempunyai sepasang kaki yang kurus. Ia mengerahkan tenaga, hendak diangkatnya tubuh kakek itu hendak dibantingkannya kedalam Sungai Praga yang kosong !
Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika ia tidak mampu mengangkat tubuh kakek yang kecil kurus itu ! Indrayana mengerahkan tenaga dan aji kesaktiannya, akan tetapi kedua tangannya seakan-akan lumpuh dan semua tenaga telah meninggalkan raganya. Jangankan mengangkat tubuh kakek itu menggerakkan sedikitpun ia tak mampu !
Terkejutlah sekarang Indrayana. Ia melangkah mundur tiga tindak dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantera mengusir setan. Namun tetap saja kakek itu tidak lenyap seperti halnya seorang mahluk halus atau setan kalau mendengar mantera itu, bahkan tersenyum-senyum dan matanya tetap berpengaruh itu,
“Indrayana, bukankah kau putera Wiku Dataprayoga ? Kau benar-benar bersemangat seperti ayahmu diwaktu masih muda.“ Pendeta itu lalu tertawa terkekeh dengan girangnya. “Tentu saja kau tidak mengenalku, karena pertama kali engkau melihatku adalah ketika kau masih kecil sekali, baru berusia beberapa bulan. Ha, ha, masih jabang bayi dalam gendongan mendiang ibumu ! Indrayana, aku adalah Begawan Ekalaya, pernahkah ayahmu menyebut nama ini ? “
Untuk sejenak Indrayana berdiri bagaikan patung dan memandang kepada kakek itu dengan mata terbelalak. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut dan menciumi kaki kakek itu.
“ Eyang begawan….mohon ampun sebesarnya atas kelancaran cucumu tadi!“
Begawan Ekalaya hanya tertawa dan mengelus-elus kepala Indrayana, Memang sesungguhnya begawan Ekalaya ini adalah eyang dari Indrayana sendiri, karena begawan ini adalah ayah dari Sang Wiku Dutaprayoga.
Pendeta tua yang sakti ini bertapa di puncak Gunung Muria, sebuah gunung di atas pulau kecil di seberang pantai Pulau Jawa bagian Utara. Memang sebelum menjadi orang Mataram dan kemudian berpindah ke syailendra. Sang Wiku Dutaprayoga berasal dari Muria. Indrayana sering kali mendengar cerita ayahnya tentang kakeknya ini, dan menurut ayahnya, eyangnya ini adalah seorang pertapa yang amat sakti mandraguna.
“Kalau saja kau dapat menerima bimbingan eyangmu di Muria, “ayahnya pernah berkata, “ tentu kau akan mendapat banyak sekali kemajuan, Indrayana. Akan tetapi sayang sekali eyangmu Begawan Ekalaya adalah seorang begawan yang memuja Para Dewata di Kahyangan, sedangkan kita telah menjadi murid-murid Sang Buddha. Tentu eyangmu tidak akan senang melihat keadaan kita.“
Maka setelah kini tiba-tiba berhadapan dengan eyangnya itu dan yang tadi telah dibuktikan sendiri kesaktiannya yang luar biasa, Indrayana memeluk kaki eyangnya dan merasa girang sekali, juga khawatir kalau-kalau eyangnya ini akan memarahi ayahnya, ia teringat betapa tadi eyangnya telah mengganggunya ketika ia mencoba untuk melampiaskan marahnya dengan menusuk batu karang dengan jarinya, maka setelah menyembah dengan khidmat, ia lalu bertanya,
“eyang, apabila eyang merasa hamba bersalah dengan menusuk-nusuk batu karang tadi, mohon petunjuk dari eyang. “
Terdengar kakek sakti itu berkata dengan suara bersungguh-sungguh,
“Tentu saja engkau bersalah, Indrayana. Engkau telah menghina Dewa Brahma, melanggar larangan Dewa Wisnu, dan merendahkan tugas Dewa Syiwa !“
Bukan main terkejutnya hati Indrayana mendengar bahwa perbuatannya tadi telah menyinggung kehormatan dewata-dewata besar ! Karena pemuda ini menundukkan mukanya, ia tidak melihat betapa eyangnya memandangnya dengan bibir tersenyum, akan tetapi suaranya tetap bersungguh-sungguh ketika ia melanjutkan kata-katanya,
“Betara Brahma adalah Pencipta seluruh alam dan segala macam isinya, termasuk batu-batu karang di tengah Kali Praga ini Engkau telah merusaknya tanpa alasan sama sekali, bukankah itu berarti bahwa engkau tidak menghargai keindahan ciptaan Batara Brahma ? Ini penghinaan namanya dan jangan sekali-kali engkau melakukan hal seperti itu, cucuku ! “
Indrayana menyembah.
“Akan hamba perhatikan, Eyang Begawan.“
No comments:
Post a Comment