Sadar akan ketangguhan lawan, Dewa Arak tidak mau bersikap sungkan-sungkan lagi. Sambil mengelak, dijumputnya guci arak. Dan....
Gluk.. gluk.. gluk...!
Suara tegukan dari arak yang melewati tenggorokan Arya terdengar. Dan seperti biasanya, tubuh pemuda berpakaian ungu itu kemudian oleng ketika hawa arak yang hangat merayap naik dari lambung, terus ke kepalanya.
Dan dengan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya, Dewa Arak mengadakan perlawanan terhadap Dedemit Alam Akhirat. Tak pelak lagi, pertarungan sengit antara dua orang yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi pun berlangsung.
Arya kini benar-benar mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Ilmu 'Belalang Saktinya di keluarkan sampai ke puncak kemampuan. Kedua tangan, guci, dan juga semburan araknya dikeluarkan semua untuk menggilas habis perlawanan Dedemit Alam Akhirat.
Tapi lawan yang dihadapi Dewa Arak bukan orang sembarangan. Setan Mabuk yang menghadapi Dedemit Alam Akhirat lebih dulu, telah membuktikan kelihaian pemimpin orang-orang biadab itu. Buktinya, dia tidak mampu mengajak lawannya bertarung dalam jarak dekat.
Sama seperti ketika menghadapi Setan Mabuk, melawan Dewa Arak pun Dedemit Alam Akhirat menggunakan kelebihan ilmunya. Dia juga mengajak Dewa Arak untuk bertarung jarak jauh. Dipaksanya pemuda berambut putih keperakan itu untuk bertarung yang menguntungkan dirinya.
Pertarungan antara kedua tokoh itu berlangsung cepat. Hal ini tidak aneh, mengingat kedua belah pihak memang sama-sama memiliki kecepatan gerak luar biasa. Suara mencicit dari setiap serangan yang dilan¬carkan Dedemit Alam Akhirat terdengar, ditingkahi bunyi berdesir, mengaung, dan bercelegukan yang keluar dari gerakan Dewa Arak. Sehingga, suasana pertarungan jadi hingar bingar.
Ramainya pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Dedemit Alam Akhirat ternyata tidak kalah ramainya lagi pertarungan antara Setan Mabuk dan rombongan melawan anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Ternyata, Setan Mabuk tidak hanya membual saja sewaktu mengatakan kalau sanggup membasmi orang-orang biadab yang memiliki kekebalan pada kulit tubuhnya. Kakek berperut gendut itu ternyata mengetahui kelemahan anak buah Dedemit Alam Akhirat.
"Pisahkan buntalan kain hitam yang ada di pinggang mereka...!" seru Setan Mabuk lantang.
Mendengar seruan keras itu, tokoh-tokoh persilatan yang sejak tadi sudah putus asa menjadi timbul kembali semangatnya. Serentak pandangan mereka dialihkan pada bagian pinggang orang-orang biadab itu.
Memang seperti yang dikatakan kakek berkepala botak itu, pada bagian pinggang makhluk pemakan manusia itu terdapat buntalan kain hitam kecil yang diikatkan pada tali pinggang terbuat dari tumbuh-tum¬buhan.
Sebagian besar tokoh persilatan merasa heran mendengar perintah Setan Mabuk itu. Hanya sebagian kecil saja yang bisa mengerti kalau buntalan kain kecil berwarna hitam itu adalah sejenis jimat.
Dan itulah yang menyebabkan kulit tubuh anak buah Dedemit Alam Akhirat kebal. Selama ada buntalan hitam itu, mereka tetap tidak bisa dilukai. Dan apabila tidak ada buntalan itu, baru mereka bisa dibunuh.
Meskipun tidak mengerti, tapi tokoh persilatan yang sebagian besar itu menuruti juga perintah Setan Mabuk. Dan memang, tidak ada salahnya mencoba-coba.
Kali ini tokoh-tokoh persilatan itu menujukan serangan-serangan untuk memisahkan buntalan kain hitam itu dari bagian pinggang.
Keragu-raguan yang menghinggapi perasaan sebagian tokoh persilatan mulai memudar ketika melihat tanggapan makhluk-makhluk pemakan manusia itu atas serangan yang tertuju ke arah buntalan kain hitam.
Anak buah Dedemit Alam Akhirat terlihat cemas. Kini mereka selalu mengelak dan tidak membiarkan serangan-serangan mengenai tubuh mereka.
Hasil yang diperoleh benar-benar membuat hati mereka berbunga¬-bunga. Makhluk-makhluk yang semula kebal itu, kini bisa dilukai setelah buntalan kain hitam itu berhasil dilepaskan. Maka semakin besarlah semangat mereka jadinya.
Sekarang keadaan berubah banyak! Makhluk-makhluk pemakan manusia kini mulai terdesak hebat. Memang kalau dibuat perbandingan, kepandaian yang dimiliki oleh seorang makhluk pemakan manusia itu paling hanya menyamai seorang murid persilatan yang baru masuk perguruan. Mereka memang tidak memiliki kepandaian yang terlalu hebat, karena Dedemit Alam Akhirat tidak mengajari ilmu silat.
Tidak aneh jika korban di antara mereka pun berguguran, karena satu orang di antara mereka menghadapi beberapa orang lawan.
Tak lama kemudian, makhluk-makhluk pemakan manusia itu pun sudah tidak ada yang berdiri tegak lagi. Semua bergeletakan di tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Begitu semua orang biadab Penghuni Pulau Selaksa Setan itu tewas, Setan Mabuk dan sisa tokoh-tokoh persilatan mengalihkan perhatian pada pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Dedemit Alam Akhirat.
Dedemit Alam Akhirat meskipun tidak bisa memperhatikan secara jelas karena dia harus memusatkan perhatian pada Dewa Arak, ternyata mengetahui semua kejadian yang menimpa anak buahnya. Berbagai perasaan kini mendera hatinya.
Memang bukan Dedemit Alam Akhirat yang memberikan jimat itu. Tapi dukun suku makhluk pemakan manusia, yang kini telah tewas tersapu badai. Dukun itu memang ahli dalam ilmu hitam. Berbagai ilmu hitam dimilikinya. Bermacam-macam jimat dibuatnya. Di antaranya adalah jimat yang membuat tubuh tidak bisa dilukai!
Kalau tidak melihat buktinya sendiri, Dedemit Alam akhirat tidak akan percaya. Betapa tidak? Isi buntalan itu hanya berupa tulang-tulang manusia. Ada yang tulang jempol, kelingking, dan macam-macam lagi.
Sementara itu, pertarungan Dewa Arak melawan Dedemit Alam Akhirat telah lebih dari tujuh puluh jurus. Dan selama itu belum nampak ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Meskipun begitu, tampak jelas kalau Dewa Arak berada dalam pihak yang terdesak. Pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mampu balas menyerang. Dan andaikata menyerang, hanya dengan semburan araknya saja. Dewa Arak lebih sering menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang', untuk mengelakkan setiap serangan Sedangkan jurus 'Belalang Mabuk'nya mati kutu!
Beberapa kali Dewa Arak berusaha mengadakan pertarungan jarak dekat, tapi usahanya selalu kandas. Dia malah kadang-kadang terpaksa melompat mundur kembali, karena cecaran serangan lawan yang bertubi-¬tubi. Dedemit Alam Akhirat juga melompat mundur ke belakang, untuk mempertahankan jarak.
Arya mengeluh dalam hati, menyadari betapa sulitnya mendekati lawan. Disadarinya kalau keadaan begini terus, dia akan mengalami kerugian sendiri. Betapapun hebatnya langkah ajaib dalam jurus 'Delapan Langkah Belalang', tapi serangan yang datang ke arahnya bagaikan hujan.
Jadi, bukan suatu hal yang mustahil kalau serangan lawan akhirnya akan berhasil mengenainya. Maka harus dicari terobosan untuk melakukan serangan balasan agar lawan tidak terus-menerus menghujani serangan.
"Hih...!"
Sambil melenting ke atas untuk menghindari serangan lawan, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan. Arya menggunakan jurus 'Pukulan Belalang', untuk membuat serangan lawan berhenti beberapa saat. Ini dilakukan agar bisa mendesak lawan.
Wusss...!
Angin keras berhawa panas menyengat berhembus keras ke arah Dedemit Alam Akhirat. Karuan saja hal ini membuat laki-laki berwajah kasar itu terperanjat. Serangan Dewa Arak memang sama sekali tidak diduga, karena datangnya secara tiba-tiba.
Tahu akan kedahsyatan serangan pukulan jarak jauh itu, Dedemit Alam Akhirat melempar tubuh ke samping dan bergulingan di tanah.
Dewa Arak tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Buru-¬buru dia melompat, memburu tubuh yang tengah bergulingan. Ini adalah satu-satunya kesempatan untuk memaksa lawan bertarung dalam jarak dekat.
Dedemit Alam Akhirat tahu maksud lawannya. Maka, dia pun terus bergerak menjauh. Tapi, Arya pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Maka, pemuda berambut putih keperakan itu terus melompat memburu seraya melancarkan serangan bertabi-tubi.
Tak pelak lagi, sebuah kejar-kejaran yang aneh pun terjadi. Dedemit Alam Akhirat yang terus menerus bergulingan untuk menjauhkan diri, dan Dewa Arak yang tak henti-hentinya bergerak memburu.
Akhirnya, Dedemit Alam Akhirat tidak punya pilihan lagi. Kalau dipaksakan terus berguling, bukan tidak mungkin akan celaka di tangan Dewa Arak. Maka terpaksa tangannya digerakkan untuk menangkis.
Plakkk, plakkk, plakkk..!
Kembali terjadi benturan keras antara dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi. Dan untuk yang kedua kalinya, tangan Dewa Arak terluka kembali.
Kali ini Arya bertindak cepat. Buru-buru ditotoknya jalan darah di sekitar luka untuk menghentikan aliran darah. Kemudian, langsung dilancarkannya serangan bertubi-tubi kembali.
Dedemit Alam Akhirat tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Terpaksa keinginan lawannya harus diladeni untuk bertarung dalam jarak dekat.
Dengan terjadinya pertarungan jarak dekat ini, pertempuran yang terlihat jadi lebih menarik. Kedua belah pihak kini dapat saling melancarkan serangan.
Sebenarnya, ilmu 'Jari Pemutus Gunung' sama sekali tidak berkurang kedahsyatannya bila bertarung dalam jarak dekat. Sementara ilmu 'Belalang Sakti' juga lebih mengandalkan pertarungan jarak dekat. Bila dilakukan dalam jarak jauh, akan pupus keampuhannya.
Dedemit Alam Akhirat mengeluh dalam hati. Kini setelah bertarung dalam jarak dekat, baru dirasakan beratnya serangan-serangan Dewa Arak. Ilmu lawan yang begitu aneh, dan mempunyai perkembangan tidak terduga-duga, benar-benar membuatnya kewalahan. Sukar diperkirakan serangan lanjutan yang akan dilancarkan Dewa Arak.
Satu hal lagi yang membuat hati pemimpin orang-orang biadab itu heran adalah, pemuda berambut putih keperakan itu seperti tidak peduli dan malah menenggak araknya. Tapi anehnya, justru setelah menenggak araknya dan kemudian kedudukan kakinya oleng, serangan yang dilancarkan terhadapnya malah berhasil dielakkan.
Meskipun memang ilmu 'Belalang Sakti' yang dimiliki Dewa Arak adalah sebuah ilmu yang luar biasa, tapi karena yang dihadapi pun bukan lawan sembarangan, maka baru setelah melewati dua ratus jurus, lawan mulai terdesak. Itu pun karena yang dihadapinya sudah mulai merasa lelah.
Seiring timbulnya perasaan lelah itu, tenaga Dedemit Alam Akhirat pun mulai mengendur. Dan dengan sendirinya, serangan-serangan yang dilancarkannya tidak sedahsyat sebelumnya. Bahkan gerakannya pun tidak sigap lagi.
Sementara serangan-serangan dan kegesitan Dewa Arak tampak seperti tidak berkurang. Gerakan-gerakan pemuda berambut putih keperakan itu masih terlihat gesit. Serangan-serangannya pun masih terasa dahsyat. Seakan-akan, tenaga Arya sama sekali tidak berkurang.
Tidak merasa lelahkah pemuda berpakaian ungu ini? Ah, mustahil! Tidak mungkin Dewa Arak tidak merasa lelah! Apalagi sampai empat puluh jurus lamanya, seluruh kemampuan yang dimiliki dikerahkan untuk memaksanya bertarung dalam jarak dekat. Berbagai macam pertanyaan dan bantahan berkecamuk dalam benak Dedemit Alam Akhirat.
Sama sekali Dedemit Alam Akhirat tidak tahu kalau arak yang diminum pemuda berambut putih keperakan itulah yang telah membuat tenaganya pulih kembali.
Semakin lama, keadaan Dedemit Alam Akhirat semakin mengkhawatirkan, karena tenaganya terus merosot. Dan dengan sendirinya keampuhan ilmu 'Jari Pemutus Gunung'nya pun jadi berkurang pula. Me¬mang ilmu itu amat mengandalkan pada kekuatan tenaga dalam. Orang yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi, tidak akan mampu memiliki ilmu 'Jari Pemutus Gunung'.
Tidak aneh kalau kini laki-laki berwajah kasar ini mulai terdesak hebat. Keampuhan ilmunya semakin merosot seiring semakin lemah tenaganya. Sementara keampuhan ilmu Dewa Arak sama sekali tidak beru¬bah, karena tenaga dalam yang dimilikinya sama sekali tidak berkurang.
Semula, benturan tangan Dewa Arak sama sekali tidak berpengaruh pada Dedemit Alam Akhirat. Tapi kini, keadaan banyak berubah. Setiap kali terjadi benturan, membuat tangannya terasa sakit dan ngilu bukan kepalang. Bahkan beberapa kali pemimpin makhluk pemakan manusia itu terhuyung-huyung ke belakang setiap kali terjadi benturan.
"Hih...!"
Sambil mengeluarkan seruan melengking nyaring Dewa Arak kembali melancarkan serangan bertubi-tubi. Kedua punggung tangannya dalam permainan jurus 'Belalang Mabuk', memukul bertubi-tubi ke arah ulu hati dan dada dengan kekuatan penuh. Namun mana mampu Dedemit Alam Akhirat berbuat banyak?
Tak pelak lagi, tubuhnya pun terhuyung-huyung ke belakang. Dadanya seketika terasa sesak bukan kepalang. Terutama sekali tangannya. Kedua tangan itu seperti patah-patah!
Di saat itulah, Dewa Arak melompat melakukan tendangan dengan kedua kaki ke arah dada lawan. Persis seperti seekor ayam jago yang merangsek lawannya.
Desss...!
Suara berderak keras dari tulang dada yang berpatahan dan semburan darah segar dari mulut, mengiringi terlemparnya tubuh Dedemit Alam Akhirat. Seketika itu juga, tokoh yang menggiriskan itu tewas tanpa sempat bersambat lagi.
Brukkk!
Diiringi suara berdebuk nyaring, tubuh tokoh sesat yang menggiriskan itu jatuh ke tanah sekitar dua belas tombak dari tempat semula. Setelah berkelojotan sejenak kemudian dia diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Mati!
"Horeee...!"
Sambutan meriah dari tokoh-tokoh persilatan bergemuruh menyambut kemenangan Dewa Arak. Tapi tentu saja tidak semuanya bersikap seperti itu. Ada sebagian yang diam saja melihat kemenangan Dewa Arak. Satu di antara mereka adalah Setan Mabuk. Dan kakek berperut gendut itu malah menenggak araknya.
Glek...glek... glek...!
Waktu berlalu tak terasa. Terkadang cepat seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, tapi tak jarang seperti seekor keong merayap.
Akhirnya waktu yang dinantikan untuk pertarungannya raja-raja arak tiba. Bulan bulat penuh yang tampak di langit memancarkan sinarnya yang berwarna kuning keemasan di Pulau Selaksa Setan. Sehingga, suasana di pulau itu cukup terang.
Di Pulau Selaksa Setan sendiri telah berkumpul tokoh-tokoh persilatan baik dari aliran hitam, maupun dari aliran putih. Memang, pertarungan memperebutkan kedudukan sebagai jago minum arak ini tidak hanya terbatas untuk satu golongan saja. Tapi terbuka bebas bagi siapa saja yang berminat.
Belasan orang tokoh persilatan yang bertindak sebagai penonton, sekaligus juri dan saksi untuk melihat siapa di antara mereka yang unggul, telah ramai berkumpul. Mereka berdiri mengelilingi sebuah lapangan luas terbuka, dan di bagian tengahnya terdapat batu-batu yang berbentuk sebagai meja dan kursi.
Di kanan kiri dua batu besar, lebar, dan pipih terdapat dua buah batu yang jauh lebih kecil daripada batu yang dipakai sebagai pengganti meja itu. Tapi seperti juga batu besar, batu kecil itu pun mempunyai permukaan pipih. Bisa diperkirakan kalau kegunaan batu kecil itu adalah sebagai pengganti bangku.
Dugaan itu tidak keliru, karena pada batu kecil yang berada di sebelah kanan batu lebar tengah duduk seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Perutnya buncit. Tampak cambang bauk lebat menghias wajahnya. Dialah tokoh yang berjuluk Raja Minum Danau Sengon.
Dari julukannya, bisa diketahui dari mana asal tokoh tua bercambang bauk lebat ini. Asalnya, dari Danau Sengon. Dialah yang telah menjadi pemenang dalam pertarungan antara raja-raja arak tahun kemarin.
Di desa-desa sekitar Danau Sengon, julukan Raja Minum Danau Sengon amat terkenal. Dia mendapat julukan Raja Minum, setelah tidak seorang pun jago-jago minum di daerahnya yang mampu mengalahkannya. Telah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali dia bertarung minum tanpa pernah kalah!
Oleh karena itu, timbul keinginannya untuk menjadi raja minum tak terkalahkan bukan hanya di tempatnya saja. Tapi juga di dunia persilatan.
Ternyata bukan hanya dia saja yang berpikiran demikian. Jago-¬jago minum wilayah lain pun memiliki maksud sama. Maka diadakanlah pertemuan antara mereka, dan ditentukan pertarungan minum itu.
Selama beberapa kali pertemuan, Setan Mabuk yang menjadi juara, baru tahun kemarin Raja Minum Danau Sengon keluar sebagai pemenang.
Karena telah menjadi juara, maka Raja Minum Danau Sengon yang terlebih dulu duduk di arena pertarungan. Laki-laki pemabukan ini akan berusaha mempertahankan gelar sebagai Jago Arak Nomor Satu.
"Siapa yang akan menjadi penantang pertamaku?" tanya laki-laki bertubuh tinggi besar itu.
Suaranya keras mengguntur. Jelas kalau dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam yang tidak rendah. Dan me¬mang, Raja Minum Danau Sengon ini bukan hanya jago minum saja, tapi juga dalam hal ilmu silat.
Laki-laki bercambang bauk lebat ini segera mengalihkan pandangannya ke arah tiga orang yang akan menjadi lawannya, karena beberapa di antara raja-raja arak yang akan mengikuti pertarungan telah tewas di tangan anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Sementara yang lain sama sekali tidak diketahui nasibnya. Sama sekali semua orang itu tidak tahu kalau raja-raja arak dan para tokoh persilatan yang akan menonton telah habis dibantai makhluk-makhluk pemakan manusia itu.
Ketiga orang itu adalah Dewa Arak, Setan Mabuk, dan seorang laki-laki yang juga berperut buncit. Tubuhnya tinggi besar, dan berkumis tebal. Dialah yang menjadi lawan berat Raja Minum Danau Sengon tahun lalu. Laki-laki berkumis tebal itu berjuluk Biang Guci Gunung Kari, karena dia memang berasal dari Gunung Kari.
"Ha ha ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, laki-laki berkumis tebal yang berjuluk Biang Guci Gunung Kari ini melangkah meninggalkan kerumunan orang. Dia kemudian menghampiri arena pertarungan.
Bukan sembarangan tawa yang dikeluarkan Biang Guci Gunung Kari ini. Suara tawanya ternyata dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Rupanya, dia tidak mau kalah dalam hal unjuk gigi kepada musuh bebuyutannya, Raja Minum Danau Sengon.
Berbarengan langkah majunya laki-laki berkumis tebal itu, beberapa orang persilatan pun bergerak maju sambil membawa guci-guci besar yang berisi arak. Mereka kemudian membawanya ke arah tempat Raja Minum Danau Sengon.
"Akulah yang akan menjadi lawan pertamamu, Raja Minum!" sambut Biang Guci Gunung Kari, tak kalah keras.
"Ha ha ha...!" Raja Minum Danau Sengon tertawa bergelak. "Apakah kau sudah berlatih keras untuk mengalahkanku, Biang Guci?! Kalau tidak, lebih baik kau kembali daripada jatuh di tempat yang sama sampai dua kali!"
"Kau boleh umbar bacotmu yang busuk itu sepuasmu, Raja Minum! Yang jelas, gelar Jago Arak Nomor Satu akan kurebut dari tanganmu!"
Biang Guci Gunung Kari yang rupanya tidak bisa berdebat, langsung saja memutus pembicaraan.
Belum lagi gema ucapannya habis, laki-laki berkumis tebal ini sudah duduk di atas bangku kecil yang masih kosong.
Empat orang persilatan yang berpakaian seragam warna kuning, dan rupanya bertindak sebagai juri, meletakkan delapan buah guci besar yang penuh arak di atas meja batu. Tak lupa, dua buah gelas bambu pun diletakkan di depan kedua jago minum yang akan bertarung.
"He he he...!"
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Raja Minum Danau Sengon menjumput guci araknya, kemudian menuangkan ke dalam gelas bambunya. Ringan saja sepertinya guci itu di tangannya. Padahal guci itu besar sekali, dan penuh berisi arak!
"Hmh...!"
Biang Guci Gunung Kari mendengus. Dengan sikap tidak mau kalah dari lawannya, tangannya diulurkan ke arah guci arak. Gerakannya tampak sembarangan saja. Dan sepertinya tanpa pengerahan tenaga sama sekali. Tapi, toh guci arak itu berhasil diangkat dan juga dituangkan ke dalam gelas bambunya.
Begitu Raja Minum Danau Sengon meletakkan kembali guci arak itu di meja, Biang Guci Gunung Kari pun telah meletakkan kembali gucinya di tempat yang sama. Tampak jelas kalau laki-laki berkumis tebal itu tidak mau kalah lagak terhadap lawannya.
Kedua belah pihak saling tatap sejenak. Masing-masing dengan sorot mata memancarkan ejekan. Baru kemudian, Raja Minum Danau Sengon selaku pemenang tahun lalu, mengangkat gelas bambu dan me¬nenggak isinya.
Biang Guci Gunung Kari pun tidak mau kalah. Buru-buru diangkatnya gelas bambu, dan ditenggak araknya. Pertarungan adu minum pun telah dimulai.
Dewa Arak, Setan Mabuk, dan semua tokoh persilatan memperhatikan jalannya pertarungan penuh perhatian. Sepasang mata mereka semua hampir tidak berkedip memperhatikan gelas demi gelas arak yang masuk ke dalam perut Biang Guci Gunung Kari dan Raja Minum Danau Sengon.
Sebagai orang-orang persilatan, semua tokoh yang berada di situ tahu sesuatu yang mendukung tokoh itu bertarung agar keluar sebagai pemenang. Selain kebiasaan meminum arak, juga tenaga dalam yang kuat memegang peranan penting.
Semua tokoh persilatan berharap, agar salah satu tokoh yang bertarung itu menang tipis dari lawannya. Karena bila hal itu terjadi, pertarungan akan dilanjutkan kembali dalam adu semburan arak dan pertarungan.
Tapi ternyata hal yang diharapkan tidak terjadi. Baru satu guci arak yang dihabiskan, Biang Guci Gunung Kari sudah kelenger. Kepalanya sudah berputar ke sana kemari. Mulutnya pun sudah mengoceh tak karuan.
Sementara, Raja Minum Danau Sengon baru memerah saja wajahnya. Meskipun juga sudah terpengaruh dengan arak yang diminumnya, tapi tidak separah lawannya. Memang arak yang disuguhkan untuk pertarungan antara raja-raja arak itu tergolong keras.
Melihat pertunjukan ini saja, sudah bisa diperkirakan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Dan memang, ketika guci arak yang kedua baru ditenggak satu gelas, Biang Guci Gunung Kari tak kuat lagi mengangkat gelas araknya.
Bukan itu saja. Laki-laki berkumis tebal ini mendadak bangkit dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan arena pertarungan sambil mengoceh tak karuan. Jelas, kalau pikirannya sudah tidak berjalan normal lagi. Jalannya pun lucu. Sekali melangkah ke depan, tapi kemudian ke belakang dua kali. Itu pun dengan terhuyung-huyung.
Hanya beberapa langkah saja Biang Guci Gunung Kari melangkah. Untuk kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah.
Orang-orang persilatan yang berseragam kuning pun bergegas menghampiri, dan membawa laki-laki berkumis tebal yang sudah setengah tidak sadar untuk meninggalkan tempat itu.
"Ha ha ha...!"
Raja Minum Danau Sengon tertawa terbahak-bahak menyambuti kemenangannya. Meskipun begitu, melihat raut wajahnya yang sudah mulai merah padam, semua orang tahu kalau dia tidak akan mampu minum sampai satu setengah guci arak lagi.
Sesuai peraturan, tokoh yang telah bertarung minum, tidak akan bertarung lagi sampai esok harinya. Maka kini pertarungan dilanjutkan antara Dewa Arak melawan Setan Mabuk.
Menilik dari keadaan Arya, hampir semua orang persilatan menjagoi Setan Mabuk Mereka semua tahu, siapa adanya kakek berkepala botak itu. Dialah orang yang telah memegang gelar juara Jago Arak Nomor Satu untuk berkali-kali pertarungan.
Bukan hanya itu saja. Perut Dewa Arak yang tidak, buncit, dan usia Arya yang masih muda, lebih membuat tokoh persilatan itu condong menjagoi Setan Mabuk!
Pertarungan seperti yang berlangsung antara Raja Minum Danau Sengon dan Biang Guci Gunung Kari kembali berlangsung. Tapi, kali ini antara Dewa Arak menghadapi Setan Mabuk.
Sebenarnya Arya tidak yakin kalau akan mampu menandingi kemampuan Setan Mabuk dalam hal minum arak, setelah melihat sendiri kemampuan Raja Minum Danau Sengon.
Dewa Arak memang bukan seorang pemabukan. Walaupun memang tidak bisa melepaskan arak dari kehidupannya, tapi dia tidak pernah minum arak sampai berguci-guci. Dewa Arak hanya minum sekadarnya saja karena bukan pecandu arak.
Kalau saja tidak mengingat janji, Arya lebih suka menolak tantangan itu. Tapi sekarang hal itu tidak mungkin dilakukannya lagi. Kini, Dewa Arak telah duduk berhadapan dengan Setan Mabuk untuk mengadu kemampuan dalam hal meminum arak.
"He he ke...! Tunjukkan kemampuanmu kalau tidak ingin julukanmu hapus, Dewa Arak!" ejek Setan Mabuk sambil mulai menenggak arak yang berada dalam gelas bambunya.
Arya sama sekali tidak menanggapi ejekan itu. Dengan sikap tenang diangkatnya arak yang berada di dalam gelas bambu dan dituangkan ke mulutnya.
Kini pemuda berpakaian ungu ini mempunyai semangat memenangkan pertarungan adu minum, kalau tidak ingin kehilangan gelarnya. Padahal, dia risih mendapat julukan seperti itu. Tapi, alangkah malunya bila julukannya tergusur. Harus menang! Begitu keputusan Dewa Arak!
Berbeda dengan Arya yang merasa ragu bisa mengungguli lawan, Setan Mabuk yakin sekali kalau dirinya akan mampu mengalahkan lawan. Banyak alasan yang menyebabkan kakek berkepala botak itu begitu yakin. Satu di antaranya adalah usia pemuda itu yang masih begitu belia! Sedangkan dirinya telah puluhan tahun lamanya hidup bergelimang arak. Arak baginya sudah merupakan bagian dari hidup.
Pertarungan adu minum pun dimulai. Gelas demi gelas ditenggak kedua tokoh berbeda aliran, dan juga berbeda usia itu.
Para tokoh persilatan mulai merasa heran dan takjub ketika melihat Dewa Arak ternyata sanggup menandingi Setan Mabuk dalam meminum arak. Bahkan hingga habis satu buah guci, tidak tampak adanya perubahan pada wajah Arya.
Karuan saja hal itu membuat heran bukan hanya tokoh-¬tokoh persilatan. Setan Mabuk dan juga Raja Minum Danau Sengon pun kaget bukan kepalang. Dari pertunjukan itu saja sudah bisa dilihat kalau kekuatan Dewa Arak berada di atas Biang Guci Gunung Kari dan Raja Minum Danau Sengon.
Buktinya, Raja Minum Danau Sengon sendiri sewaktu menghabiskan seguci arak, wajahnya merah padam. Jelas, dia telah terpengaruh hawa arak! Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu ternyata sama sekali tidak terpengaruh.
Jangankan semua orang yang melihat, Dewa Arak sendiri pun merasa heran. Sama sekali di luar dugaan kalau dirinya sanggup menghabiskan seguci arak itu tanpa terpengaruh sama sekali.
Padahal, semula dikira tidak akan sanggup, karena memang tidak pernah meminum arak sampai sebanyak itu. Dan bila minum pun, baik dalam pertempuran yang paling berat, biasanya tidak sampai seguci. Paling banyak hanya setengah guci. Guci kecil lagi! Dan dia mabuk!
Sama sekali pemuda berpakaian ungu itu tidak tahu kalau arak yang biasa diminumnya amat keras! Jauh lebih keras daripada arak yang paling keras sekalipun! Bahkan arak untuk pertandingan ini, seperti tidak ada apa-apanya.
Oleh karena itu, karena sudah terbiasa dengan arak yang sangat keras, Arya sama saja seperti meminum air putih biasa saat minum arak itu!
Begitu satu guci telah selesai, dilanjutkan dengan guci kedua. Sampai akhirnya isi guci itu pun kandas, kedua tokoh yang bertarung belum ada yang mengalah.
Akhirnya, sampai perut kedua tokoh itu tidak mampu lagi menenggak arak, tetap saja belum mabuk. Maka Setan Mabuk pun menghentikan pertarungan. Memang secara pasti belum ketahuan, siapa yang keluar sebagai pemenang.
Tapi melihat raut wajah kakek berkepala botak yang mulai merah padam, sementara wajah Arya masih biasa, sudah bisa diduga siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Dan Setan Mabuk pun mengetahui hal itu. Maka, rasa penasarannya pun semakin menjadi-¬jadi.
Keesokan harinya, pertarungan pun dilanjutkan. Tapi kali ini tidak adu minum arak lagi, melainkan adu ketangkasan meruntuhkan beberapa butir batu yang digantung di atas cabang pohon. Belasan butir batu dijajarkan. Baik Dewa Arak maupun Setan Mabuk akan mengadu kemampuan merobohkan batu-batu itu dalam jarak tiga tombak!
"He he he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Dengan pongahnya kakinya melangkah maju mengambil kesempatan menjadi peserta pertama. Kakek berperut buncit itu menyipitkan sepasang mata, menatap jajaran batu-batu yang digantungkan di atas cabang pohon.
Glek... glek... glek...!
Suara tegukan keras dan kasar terdengar ketika arak yang dituangkan kakek berperut buncit itu jatuh ke dalam mulut. Tapi kali ini tidak langsung ditelan, melainkan disimpan dalam mulutnya sehingga kedua pipinya tampak menggembung. Dan....
Pruhhh...!
Setan Mabuk menyemburkan arak yang disimpan dalam mulutnya. Seketika itu juga, arak itu meluncur ke arah tali-tali yang menggantung batu-batu itu. Suara mendesing nyaring terdengar tatkala arak itu meluncur deras menuju sasaran.
Tasss, tasss, tasss...!
Tiga belas buah batu jatuh berguguran ke tanah tatkala percikan-¬percikan arak Setan Mabuk memutuskan tali-tali penggantungnya.
"He he he...!"
Sambil terkekeh-kekeh, Setan Mabuk menatap Dewa Arak, penuh kemenangan. Tapi Arya sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan langkah tenang, pemuda berambut putih keperakan itu melangkah menghampiri tempat gantungan batu. Kemudian guci araknya diangkat ke atas kepala. Dan....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu masuk ke dalam mulut Dewa Arak. Seperti juga Setan Mabuk, Dewa Arak pun tidak menelan arak itu melainkan, menyemburkannya!
Pruhhh...!
Laksana anak panah, percikan arak itu melesat ke arah batu yang bergantungan di cabang lainnya. Memang, batu untuk sasaran Dewa Arak dan Setan Mabuk ditempatkan pada cabang yang berlainan.
Tasss, tasss, tasss...!
Batu-batu kontan berguguran dan jatuh ke tanah ketika tali-tali penggantungnya putus. Seketika itu juga pandangan mata semua tokoh persilatan yang ada di situ, beralih ke arah batu-batu yang bergeletakan di tanah. Batu-batu kecil yang masih terlibat tali.
Dengan pandangan mata, tokoh-tokoh persilatan itu menghitungnya. Ternyata jumlahnya empat belas! Lebih banyak satu buah ketimbang batu yang dijatuhkan Setan Mabuk.
"Grrrhhh...! Awas serangan, Dewa Arak!"
Setan Mabuk menggeram keras melihat kekalahannya. Sudah dua kali dia dikalahkan Dewa Arak. Meskipun yang pertama kali tidak secara jelas, tapi semua orang yang menonton mengetahuinya.
Seiring lenyap geramannya, kakek berperut buncit itu melompat menerjang Dewa Arak! Guci besar di tangannya meluncur deras ke arah kepala Arya.
Dewa arak yang memang sudah bersiaga sejak semula, tidak menjadi gugup. Buru-buru kepalanya ditundukkan. Dan....
Wusss...!
Sambaran guci itu melesat lewat di atas kepala Arya. Menilik dari rambut dan pakaian pemuda berambut putih keperakan yang berkibaran keras, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam ayunan guci lawan.
Dewa Arak tidak berani bertindak ayal. Buru-buru guci araknya diangkat ke atas kepala. Lalu....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanan menuju ke perut. Seketika itu juga, ada hawa hangat yang beredar di dalam perut Arya dan perlahan naik ke atas kepala.
Pertarungan antara dua tokoh yang sama-sama tangguh, dan sama-¬sama memiliki ilmu aneh pun tidak bisa dielakkan lagi. Maka tokoh-tokoh yang berada di sekitar tempat itu buru-buru menjauh.
Kini pertarungan yang aneh pun berlangsung. Pertarungan aneh ini mungkin untuk pertama kalinya terjadi di dunia persilatan. Dua orang tokoh sakti yang sama-sama memiliki ilmu aneh. Menggeliat-geliat, terkadang lemas seperti orang mabuk akan jatuh. Tapi tak jarang secara mendadak mengejang kaku penuh kekuatan.
Perubahan gerakan kedua orang itu me¬mang terjadi secara tiba-tiba. Dari lembut berubah keras. Juga, sebaliknya.
Tapi berbeda ketika menghadapi Dedemit Alam Akhirat melawan Setan Mabuk, Dewa Arak sama sekali tidak mengalami kesulitan. Ilmu yang dimiliki lawan mirip ilmu yang dimilikinya. Sehingga, dia tidak mengalami kesulitan menghadapinya.
Pertarungan antara kedua tokoh itu berlangsung menarik, karena berkali-kali keduanya mengadu guci atau semburan arak.
Tapi setelah pertarungan berlangsung hampir seratus jurus, tampak keunggulan Dewa Arak. Ilmu yang dimiliki Setan Mabuk meskipun mirip dengannya, tapi mengandung banyak kelemahan di sana-sini. Dan ini jelas berbeda jauh dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Setan Mabuk menggertakkan gigi ketika menyadari kalau tidak akan bisa mengungguli Dewa Arak. Tampak jelas, pemuda berambut putih keperakan itu memiliki ilmu yang lebih tinggi mutunya.
Gerakan guci, tangan, kaki, dan araknya merupakan satu kesatuan yang saling tunjang¬menunjang dan menutup celah-celah yang dapat digunakan lawan untuk memasukkan serangan.
Sadar kalau dirinya tidak akan mungkin bisa mengalahkan Dewa Arak, kakek berperut buncit itu jadi nekat untuk mengadu nyawa. Maka tanpa mempedulikan keselamatan diri, kakek berkepala botak itu melancarkan serangan secara membabi buta.
Arya tahu, kalau Setan Mabuk tidak akan bisa disadarkan. Lagi pula, dia adalah seorang tokoh sesat yang kejam dan berbahaya. Adalah suatu kewajiban baginya untuk melenyapkan tokoh itu selama-lamanya.
"Hattt..!"
Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, Setan Mabuk yang telah tidak mempedulikan keselamatan diri mengayunkan gucinya ke arah kepala Dewa Arak.
Wuttt..!
Guci itu lewat setengah jengkal di depan wajah ketika Arya menarik kepala ke belakang. Tidak hanya itu saja yang dilakukan pemuda berpakaian ungu itu. Pada saat yang bersamaan, kaki kanannya mencuat ke arah leher.
Setan Mabuk yang sejak tadi sama sekali tidak mempedulikan pertahanan, menjadi terkejut bukan kepalang. Sedapat mungkin, dia berusaha mengelak. Tapi...
Tukkk...!
Usaha kakek berperut buncit itu sia-sia belaka. Kala Arya telah terlebih dulu menghantam lehernya dengan telak. Tanpa sempat bersambat lagi, Setan Mabuk jatuh berdebuk di tanah. Dan selagi Setan Mabuk terjerembab, Dewa Arak cepat melesat kembali. Langsung dijejaknya leher tokoh sesat itu sekali lagi. Akibatnya, kontan kakek itu tewas.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Ditatapnya mayat Setan Mabuk. Setelah mengedarkan pandangan pada tokoh-tokoh persilatan yang ada di sekitarnya, pemuda berambut putih keperakan itu melangkah meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali langkah saja, tubuhnya sudah berada di pinggir pantai.
Tanpa peduli pada panggilan dan pandangan tokoh-tokoh persilatan, Dewa Arak mengambil sebuah perahu yang berada di situ dan mengayuhnya meninggalkan pulau.
Raja Minum Danau Sengon dan semua tokoh persilatan yang ada di situ, hanya bisa memandangi kepergian Dewa Arak. Dalam hati, mereka mengakui kalau Dewa Arak-lah yang berhak menjadi Jago Arak Nomor Satu!
SELESAI
Gluk.. gluk.. gluk...!
Suara tegukan dari arak yang melewati tenggorokan Arya terdengar. Dan seperti biasanya, tubuh pemuda berpakaian ungu itu kemudian oleng ketika hawa arak yang hangat merayap naik dari lambung, terus ke kepalanya.
Dan dengan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya, Dewa Arak mengadakan perlawanan terhadap Dedemit Alam Akhirat. Tak pelak lagi, pertarungan sengit antara dua orang yang sama-sama memiliki kepandaian tinggi pun berlangsung.
Arya kini benar-benar mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki. Ilmu 'Belalang Saktinya di keluarkan sampai ke puncak kemampuan. Kedua tangan, guci, dan juga semburan araknya dikeluarkan semua untuk menggilas habis perlawanan Dedemit Alam Akhirat.
Tapi lawan yang dihadapi Dewa Arak bukan orang sembarangan. Setan Mabuk yang menghadapi Dedemit Alam Akhirat lebih dulu, telah membuktikan kelihaian pemimpin orang-orang biadab itu. Buktinya, dia tidak mampu mengajak lawannya bertarung dalam jarak dekat.
Sama seperti ketika menghadapi Setan Mabuk, melawan Dewa Arak pun Dedemit Alam Akhirat menggunakan kelebihan ilmunya. Dia juga mengajak Dewa Arak untuk bertarung jarak jauh. Dipaksanya pemuda berambut putih keperakan itu untuk bertarung yang menguntungkan dirinya.
Pertarungan antara kedua tokoh itu berlangsung cepat. Hal ini tidak aneh, mengingat kedua belah pihak memang sama-sama memiliki kecepatan gerak luar biasa. Suara mencicit dari setiap serangan yang dilan¬carkan Dedemit Alam Akhirat terdengar, ditingkahi bunyi berdesir, mengaung, dan bercelegukan yang keluar dari gerakan Dewa Arak. Sehingga, suasana pertarungan jadi hingar bingar.
Ramainya pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Dedemit Alam Akhirat ternyata tidak kalah ramainya lagi pertarungan antara Setan Mabuk dan rombongan melawan anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Ternyata, Setan Mabuk tidak hanya membual saja sewaktu mengatakan kalau sanggup membasmi orang-orang biadab yang memiliki kekebalan pada kulit tubuhnya. Kakek berperut gendut itu ternyata mengetahui kelemahan anak buah Dedemit Alam Akhirat.
"Pisahkan buntalan kain hitam yang ada di pinggang mereka...!" seru Setan Mabuk lantang.
Mendengar seruan keras itu, tokoh-tokoh persilatan yang sejak tadi sudah putus asa menjadi timbul kembali semangatnya. Serentak pandangan mereka dialihkan pada bagian pinggang orang-orang biadab itu.
Memang seperti yang dikatakan kakek berkepala botak itu, pada bagian pinggang makhluk pemakan manusia itu terdapat buntalan kain hitam kecil yang diikatkan pada tali pinggang terbuat dari tumbuh-tum¬buhan.
Sebagian besar tokoh persilatan merasa heran mendengar perintah Setan Mabuk itu. Hanya sebagian kecil saja yang bisa mengerti kalau buntalan kain kecil berwarna hitam itu adalah sejenis jimat.
Dan itulah yang menyebabkan kulit tubuh anak buah Dedemit Alam Akhirat kebal. Selama ada buntalan hitam itu, mereka tetap tidak bisa dilukai. Dan apabila tidak ada buntalan itu, baru mereka bisa dibunuh.
Meskipun tidak mengerti, tapi tokoh persilatan yang sebagian besar itu menuruti juga perintah Setan Mabuk. Dan memang, tidak ada salahnya mencoba-coba.
Kali ini tokoh-tokoh persilatan itu menujukan serangan-serangan untuk memisahkan buntalan kain hitam itu dari bagian pinggang.
Keragu-raguan yang menghinggapi perasaan sebagian tokoh persilatan mulai memudar ketika melihat tanggapan makhluk-makhluk pemakan manusia itu atas serangan yang tertuju ke arah buntalan kain hitam.
Anak buah Dedemit Alam Akhirat terlihat cemas. Kini mereka selalu mengelak dan tidak membiarkan serangan-serangan mengenai tubuh mereka.
Hasil yang diperoleh benar-benar membuat hati mereka berbunga¬-bunga. Makhluk-makhluk yang semula kebal itu, kini bisa dilukai setelah buntalan kain hitam itu berhasil dilepaskan. Maka semakin besarlah semangat mereka jadinya.
Sekarang keadaan berubah banyak! Makhluk-makhluk pemakan manusia kini mulai terdesak hebat. Memang kalau dibuat perbandingan, kepandaian yang dimiliki oleh seorang makhluk pemakan manusia itu paling hanya menyamai seorang murid persilatan yang baru masuk perguruan. Mereka memang tidak memiliki kepandaian yang terlalu hebat, karena Dedemit Alam Akhirat tidak mengajari ilmu silat.
Tidak aneh jika korban di antara mereka pun berguguran, karena satu orang di antara mereka menghadapi beberapa orang lawan.
Tak lama kemudian, makhluk-makhluk pemakan manusia itu pun sudah tidak ada yang berdiri tegak lagi. Semua bergeletakan di tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
Begitu semua orang biadab Penghuni Pulau Selaksa Setan itu tewas, Setan Mabuk dan sisa tokoh-tokoh persilatan mengalihkan perhatian pada pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Dedemit Alam Akhirat.
Dedemit Alam Akhirat meskipun tidak bisa memperhatikan secara jelas karena dia harus memusatkan perhatian pada Dewa Arak, ternyata mengetahui semua kejadian yang menimpa anak buahnya. Berbagai perasaan kini mendera hatinya.
Memang bukan Dedemit Alam Akhirat yang memberikan jimat itu. Tapi dukun suku makhluk pemakan manusia, yang kini telah tewas tersapu badai. Dukun itu memang ahli dalam ilmu hitam. Berbagai ilmu hitam dimilikinya. Bermacam-macam jimat dibuatnya. Di antaranya adalah jimat yang membuat tubuh tidak bisa dilukai!
Kalau tidak melihat buktinya sendiri, Dedemit Alam akhirat tidak akan percaya. Betapa tidak? Isi buntalan itu hanya berupa tulang-tulang manusia. Ada yang tulang jempol, kelingking, dan macam-macam lagi.
Sementara itu, pertarungan Dewa Arak melawan Dedemit Alam Akhirat telah lebih dari tujuh puluh jurus. Dan selama itu belum nampak ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang.
Meskipun begitu, tampak jelas kalau Dewa Arak berada dalam pihak yang terdesak. Pemuda berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mampu balas menyerang. Dan andaikata menyerang, hanya dengan semburan araknya saja. Dewa Arak lebih sering menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang', untuk mengelakkan setiap serangan Sedangkan jurus 'Belalang Mabuk'nya mati kutu!
Beberapa kali Dewa Arak berusaha mengadakan pertarungan jarak dekat, tapi usahanya selalu kandas. Dia malah kadang-kadang terpaksa melompat mundur kembali, karena cecaran serangan lawan yang bertubi-¬tubi. Dedemit Alam Akhirat juga melompat mundur ke belakang, untuk mempertahankan jarak.
Arya mengeluh dalam hati, menyadari betapa sulitnya mendekati lawan. Disadarinya kalau keadaan begini terus, dia akan mengalami kerugian sendiri. Betapapun hebatnya langkah ajaib dalam jurus 'Delapan Langkah Belalang', tapi serangan yang datang ke arahnya bagaikan hujan.
Jadi, bukan suatu hal yang mustahil kalau serangan lawan akhirnya akan berhasil mengenainya. Maka harus dicari terobosan untuk melakukan serangan balasan agar lawan tidak terus-menerus menghujani serangan.
"Hih...!"
Sambil melenting ke atas untuk menghindari serangan lawan, Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan. Arya menggunakan jurus 'Pukulan Belalang', untuk membuat serangan lawan berhenti beberapa saat. Ini dilakukan agar bisa mendesak lawan.
Wusss...!
Angin keras berhawa panas menyengat berhembus keras ke arah Dedemit Alam Akhirat. Karuan saja hal ini membuat laki-laki berwajah kasar itu terperanjat. Serangan Dewa Arak memang sama sekali tidak diduga, karena datangnya secara tiba-tiba.
Tahu akan kedahsyatan serangan pukulan jarak jauh itu, Dedemit Alam Akhirat melempar tubuh ke samping dan bergulingan di tanah.
Dewa Arak tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Buru-¬buru dia melompat, memburu tubuh yang tengah bergulingan. Ini adalah satu-satunya kesempatan untuk memaksa lawan bertarung dalam jarak dekat.
Dedemit Alam Akhirat tahu maksud lawannya. Maka, dia pun terus bergerak menjauh. Tapi, Arya pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Maka, pemuda berambut putih keperakan itu terus melompat memburu seraya melancarkan serangan bertabi-tubi.
Tak pelak lagi, sebuah kejar-kejaran yang aneh pun terjadi. Dedemit Alam Akhirat yang terus menerus bergulingan untuk menjauhkan diri, dan Dewa Arak yang tak henti-hentinya bergerak memburu.
Akhirnya, Dedemit Alam Akhirat tidak punya pilihan lagi. Kalau dipaksakan terus berguling, bukan tidak mungkin akan celaka di tangan Dewa Arak. Maka terpaksa tangannya digerakkan untuk menangkis.
Plakkk, plakkk, plakkk..!
Kembali terjadi benturan keras antara dua pasang tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi. Dan untuk yang kedua kalinya, tangan Dewa Arak terluka kembali.
Kali ini Arya bertindak cepat. Buru-buru ditotoknya jalan darah di sekitar luka untuk menghentikan aliran darah. Kemudian, langsung dilancarkannya serangan bertubi-tubi kembali.
Dedemit Alam Akhirat tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Terpaksa keinginan lawannya harus diladeni untuk bertarung dalam jarak dekat.
Dengan terjadinya pertarungan jarak dekat ini, pertempuran yang terlihat jadi lebih menarik. Kedua belah pihak kini dapat saling melancarkan serangan.
Sebenarnya, ilmu 'Jari Pemutus Gunung' sama sekali tidak berkurang kedahsyatannya bila bertarung dalam jarak dekat. Sementara ilmu 'Belalang Sakti' juga lebih mengandalkan pertarungan jarak dekat. Bila dilakukan dalam jarak jauh, akan pupus keampuhannya.
Dedemit Alam Akhirat mengeluh dalam hati. Kini setelah bertarung dalam jarak dekat, baru dirasakan beratnya serangan-serangan Dewa Arak. Ilmu lawan yang begitu aneh, dan mempunyai perkembangan tidak terduga-duga, benar-benar membuatnya kewalahan. Sukar diperkirakan serangan lanjutan yang akan dilancarkan Dewa Arak.
Satu hal lagi yang membuat hati pemimpin orang-orang biadab itu heran adalah, pemuda berambut putih keperakan itu seperti tidak peduli dan malah menenggak araknya. Tapi anehnya, justru setelah menenggak araknya dan kemudian kedudukan kakinya oleng, serangan yang dilancarkan terhadapnya malah berhasil dielakkan.
Meskipun memang ilmu 'Belalang Sakti' yang dimiliki Dewa Arak adalah sebuah ilmu yang luar biasa, tapi karena yang dihadapi pun bukan lawan sembarangan, maka baru setelah melewati dua ratus jurus, lawan mulai terdesak. Itu pun karena yang dihadapinya sudah mulai merasa lelah.
Seiring timbulnya perasaan lelah itu, tenaga Dedemit Alam Akhirat pun mulai mengendur. Dan dengan sendirinya, serangan-serangan yang dilancarkannya tidak sedahsyat sebelumnya. Bahkan gerakannya pun tidak sigap lagi.
Sementara serangan-serangan dan kegesitan Dewa Arak tampak seperti tidak berkurang. Gerakan-gerakan pemuda berambut putih keperakan itu masih terlihat gesit. Serangan-serangannya pun masih terasa dahsyat. Seakan-akan, tenaga Arya sama sekali tidak berkurang.
Tidak merasa lelahkah pemuda berpakaian ungu ini? Ah, mustahil! Tidak mungkin Dewa Arak tidak merasa lelah! Apalagi sampai empat puluh jurus lamanya, seluruh kemampuan yang dimiliki dikerahkan untuk memaksanya bertarung dalam jarak dekat. Berbagai macam pertanyaan dan bantahan berkecamuk dalam benak Dedemit Alam Akhirat.
Sama sekali Dedemit Alam Akhirat tidak tahu kalau arak yang diminum pemuda berambut putih keperakan itulah yang telah membuat tenaganya pulih kembali.
Semakin lama, keadaan Dedemit Alam Akhirat semakin mengkhawatirkan, karena tenaganya terus merosot. Dan dengan sendirinya keampuhan ilmu 'Jari Pemutus Gunung'nya pun jadi berkurang pula. Me¬mang ilmu itu amat mengandalkan pada kekuatan tenaga dalam. Orang yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi, tidak akan mampu memiliki ilmu 'Jari Pemutus Gunung'.
Tidak aneh kalau kini laki-laki berwajah kasar ini mulai terdesak hebat. Keampuhan ilmunya semakin merosot seiring semakin lemah tenaganya. Sementara keampuhan ilmu Dewa Arak sama sekali tidak beru¬bah, karena tenaga dalam yang dimilikinya sama sekali tidak berkurang.
Semula, benturan tangan Dewa Arak sama sekali tidak berpengaruh pada Dedemit Alam Akhirat. Tapi kini, keadaan banyak berubah. Setiap kali terjadi benturan, membuat tangannya terasa sakit dan ngilu bukan kepalang. Bahkan beberapa kali pemimpin makhluk pemakan manusia itu terhuyung-huyung ke belakang setiap kali terjadi benturan.
"Hih...!"
Sambil mengeluarkan seruan melengking nyaring Dewa Arak kembali melancarkan serangan bertubi-tubi. Kedua punggung tangannya dalam permainan jurus 'Belalang Mabuk', memukul bertubi-tubi ke arah ulu hati dan dada dengan kekuatan penuh. Namun mana mampu Dedemit Alam Akhirat berbuat banyak?
Tak pelak lagi, tubuhnya pun terhuyung-huyung ke belakang. Dadanya seketika terasa sesak bukan kepalang. Terutama sekali tangannya. Kedua tangan itu seperti patah-patah!
Di saat itulah, Dewa Arak melompat melakukan tendangan dengan kedua kaki ke arah dada lawan. Persis seperti seekor ayam jago yang merangsek lawannya.
Desss...!
Suara berderak keras dari tulang dada yang berpatahan dan semburan darah segar dari mulut, mengiringi terlemparnya tubuh Dedemit Alam Akhirat. Seketika itu juga, tokoh yang menggiriskan itu tewas tanpa sempat bersambat lagi.
Brukkk!
Diiringi suara berdebuk nyaring, tubuh tokoh sesat yang menggiriskan itu jatuh ke tanah sekitar dua belas tombak dari tempat semula. Setelah berkelojotan sejenak kemudian dia diam tidak bergerak lagi untuk selamanya. Mati!
"Horeee...!"
Sambutan meriah dari tokoh-tokoh persilatan bergemuruh menyambut kemenangan Dewa Arak. Tapi tentu saja tidak semuanya bersikap seperti itu. Ada sebagian yang diam saja melihat kemenangan Dewa Arak. Satu di antara mereka adalah Setan Mabuk. Dan kakek berperut gendut itu malah menenggak araknya.
Glek...glek... glek...!
Waktu berlalu tak terasa. Terkadang cepat seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, tapi tak jarang seperti seekor keong merayap.
Akhirnya waktu yang dinantikan untuk pertarungannya raja-raja arak tiba. Bulan bulat penuh yang tampak di langit memancarkan sinarnya yang berwarna kuning keemasan di Pulau Selaksa Setan. Sehingga, suasana di pulau itu cukup terang.
Di Pulau Selaksa Setan sendiri telah berkumpul tokoh-tokoh persilatan baik dari aliran hitam, maupun dari aliran putih. Memang, pertarungan memperebutkan kedudukan sebagai jago minum arak ini tidak hanya terbatas untuk satu golongan saja. Tapi terbuka bebas bagi siapa saja yang berminat.
Belasan orang tokoh persilatan yang bertindak sebagai penonton, sekaligus juri dan saksi untuk melihat siapa di antara mereka yang unggul, telah ramai berkumpul. Mereka berdiri mengelilingi sebuah lapangan luas terbuka, dan di bagian tengahnya terdapat batu-batu yang berbentuk sebagai meja dan kursi.
Di kanan kiri dua batu besar, lebar, dan pipih terdapat dua buah batu yang jauh lebih kecil daripada batu yang dipakai sebagai pengganti meja itu. Tapi seperti juga batu besar, batu kecil itu pun mempunyai permukaan pipih. Bisa diperkirakan kalau kegunaan batu kecil itu adalah sebagai pengganti bangku.
Dugaan itu tidak keliru, karena pada batu kecil yang berada di sebelah kanan batu lebar tengah duduk seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Perutnya buncit. Tampak cambang bauk lebat menghias wajahnya. Dialah tokoh yang berjuluk Raja Minum Danau Sengon.
Dari julukannya, bisa diketahui dari mana asal tokoh tua bercambang bauk lebat ini. Asalnya, dari Danau Sengon. Dialah yang telah menjadi pemenang dalam pertarungan antara raja-raja arak tahun kemarin.
Di desa-desa sekitar Danau Sengon, julukan Raja Minum Danau Sengon amat terkenal. Dia mendapat julukan Raja Minum, setelah tidak seorang pun jago-jago minum di daerahnya yang mampu mengalahkannya. Telah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali dia bertarung minum tanpa pernah kalah!
Oleh karena itu, timbul keinginannya untuk menjadi raja minum tak terkalahkan bukan hanya di tempatnya saja. Tapi juga di dunia persilatan.
Ternyata bukan hanya dia saja yang berpikiran demikian. Jago-¬jago minum wilayah lain pun memiliki maksud sama. Maka diadakanlah pertemuan antara mereka, dan ditentukan pertarungan minum itu.
Selama beberapa kali pertemuan, Setan Mabuk yang menjadi juara, baru tahun kemarin Raja Minum Danau Sengon keluar sebagai pemenang.
Karena telah menjadi juara, maka Raja Minum Danau Sengon yang terlebih dulu duduk di arena pertarungan. Laki-laki pemabukan ini akan berusaha mempertahankan gelar sebagai Jago Arak Nomor Satu.
"Siapa yang akan menjadi penantang pertamaku?" tanya laki-laki bertubuh tinggi besar itu.
Suaranya keras mengguntur. Jelas kalau dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam yang tidak rendah. Dan me¬mang, Raja Minum Danau Sengon ini bukan hanya jago minum saja, tapi juga dalam hal ilmu silat.
Laki-laki bercambang bauk lebat ini segera mengalihkan pandangannya ke arah tiga orang yang akan menjadi lawannya, karena beberapa di antara raja-raja arak yang akan mengikuti pertarungan telah tewas di tangan anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Sementara yang lain sama sekali tidak diketahui nasibnya. Sama sekali semua orang itu tidak tahu kalau raja-raja arak dan para tokoh persilatan yang akan menonton telah habis dibantai makhluk-makhluk pemakan manusia itu.
Ketiga orang itu adalah Dewa Arak, Setan Mabuk, dan seorang laki-laki yang juga berperut buncit. Tubuhnya tinggi besar, dan berkumis tebal. Dialah yang menjadi lawan berat Raja Minum Danau Sengon tahun lalu. Laki-laki berkumis tebal itu berjuluk Biang Guci Gunung Kari, karena dia memang berasal dari Gunung Kari.
"Ha ha ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, laki-laki berkumis tebal yang berjuluk Biang Guci Gunung Kari ini melangkah meninggalkan kerumunan orang. Dia kemudian menghampiri arena pertarungan.
Bukan sembarangan tawa yang dikeluarkan Biang Guci Gunung Kari ini. Suara tawanya ternyata dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Rupanya, dia tidak mau kalah dalam hal unjuk gigi kepada musuh bebuyutannya, Raja Minum Danau Sengon.
Berbarengan langkah majunya laki-laki berkumis tebal itu, beberapa orang persilatan pun bergerak maju sambil membawa guci-guci besar yang berisi arak. Mereka kemudian membawanya ke arah tempat Raja Minum Danau Sengon.
"Akulah yang akan menjadi lawan pertamamu, Raja Minum!" sambut Biang Guci Gunung Kari, tak kalah keras.
"Ha ha ha...!" Raja Minum Danau Sengon tertawa bergelak. "Apakah kau sudah berlatih keras untuk mengalahkanku, Biang Guci?! Kalau tidak, lebih baik kau kembali daripada jatuh di tempat yang sama sampai dua kali!"
"Kau boleh umbar bacotmu yang busuk itu sepuasmu, Raja Minum! Yang jelas, gelar Jago Arak Nomor Satu akan kurebut dari tanganmu!"
Biang Guci Gunung Kari yang rupanya tidak bisa berdebat, langsung saja memutus pembicaraan.
Belum lagi gema ucapannya habis, laki-laki berkumis tebal ini sudah duduk di atas bangku kecil yang masih kosong.
Empat orang persilatan yang berpakaian seragam warna kuning, dan rupanya bertindak sebagai juri, meletakkan delapan buah guci besar yang penuh arak di atas meja batu. Tak lupa, dua buah gelas bambu pun diletakkan di depan kedua jago minum yang akan bertarung.
"He he he...!"
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Raja Minum Danau Sengon menjumput guci araknya, kemudian menuangkan ke dalam gelas bambunya. Ringan saja sepertinya guci itu di tangannya. Padahal guci itu besar sekali, dan penuh berisi arak!
"Hmh...!"
Biang Guci Gunung Kari mendengus. Dengan sikap tidak mau kalah dari lawannya, tangannya diulurkan ke arah guci arak. Gerakannya tampak sembarangan saja. Dan sepertinya tanpa pengerahan tenaga sama sekali. Tapi, toh guci arak itu berhasil diangkat dan juga dituangkan ke dalam gelas bambunya.
Begitu Raja Minum Danau Sengon meletakkan kembali guci arak itu di meja, Biang Guci Gunung Kari pun telah meletakkan kembali gucinya di tempat yang sama. Tampak jelas kalau laki-laki berkumis tebal itu tidak mau kalah lagak terhadap lawannya.
Kedua belah pihak saling tatap sejenak. Masing-masing dengan sorot mata memancarkan ejekan. Baru kemudian, Raja Minum Danau Sengon selaku pemenang tahun lalu, mengangkat gelas bambu dan me¬nenggak isinya.
Biang Guci Gunung Kari pun tidak mau kalah. Buru-buru diangkatnya gelas bambu, dan ditenggak araknya. Pertarungan adu minum pun telah dimulai.
Dewa Arak, Setan Mabuk, dan semua tokoh persilatan memperhatikan jalannya pertarungan penuh perhatian. Sepasang mata mereka semua hampir tidak berkedip memperhatikan gelas demi gelas arak yang masuk ke dalam perut Biang Guci Gunung Kari dan Raja Minum Danau Sengon.
Sebagai orang-orang persilatan, semua tokoh yang berada di situ tahu sesuatu yang mendukung tokoh itu bertarung agar keluar sebagai pemenang. Selain kebiasaan meminum arak, juga tenaga dalam yang kuat memegang peranan penting.
Semua tokoh persilatan berharap, agar salah satu tokoh yang bertarung itu menang tipis dari lawannya. Karena bila hal itu terjadi, pertarungan akan dilanjutkan kembali dalam adu semburan arak dan pertarungan.
Tapi ternyata hal yang diharapkan tidak terjadi. Baru satu guci arak yang dihabiskan, Biang Guci Gunung Kari sudah kelenger. Kepalanya sudah berputar ke sana kemari. Mulutnya pun sudah mengoceh tak karuan.
Sementara, Raja Minum Danau Sengon baru memerah saja wajahnya. Meskipun juga sudah terpengaruh dengan arak yang diminumnya, tapi tidak separah lawannya. Memang arak yang disuguhkan untuk pertarungan antara raja-raja arak itu tergolong keras.
Melihat pertunjukan ini saja, sudah bisa diperkirakan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Dan memang, ketika guci arak yang kedua baru ditenggak satu gelas, Biang Guci Gunung Kari tak kuat lagi mengangkat gelas araknya.
Bukan itu saja. Laki-laki berkumis tebal ini mendadak bangkit dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan arena pertarungan sambil mengoceh tak karuan. Jelas, kalau pikirannya sudah tidak berjalan normal lagi. Jalannya pun lucu. Sekali melangkah ke depan, tapi kemudian ke belakang dua kali. Itu pun dengan terhuyung-huyung.
Hanya beberapa langkah saja Biang Guci Gunung Kari melangkah. Untuk kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah.
Orang-orang persilatan yang berseragam kuning pun bergegas menghampiri, dan membawa laki-laki berkumis tebal yang sudah setengah tidak sadar untuk meninggalkan tempat itu.
"Ha ha ha...!"
Raja Minum Danau Sengon tertawa terbahak-bahak menyambuti kemenangannya. Meskipun begitu, melihat raut wajahnya yang sudah mulai merah padam, semua orang tahu kalau dia tidak akan mampu minum sampai satu setengah guci arak lagi.
Sesuai peraturan, tokoh yang telah bertarung minum, tidak akan bertarung lagi sampai esok harinya. Maka kini pertarungan dilanjutkan antara Dewa Arak melawan Setan Mabuk.
Menilik dari keadaan Arya, hampir semua orang persilatan menjagoi Setan Mabuk Mereka semua tahu, siapa adanya kakek berkepala botak itu. Dialah orang yang telah memegang gelar juara Jago Arak Nomor Satu untuk berkali-kali pertarungan.
Bukan hanya itu saja. Perut Dewa Arak yang tidak, buncit, dan usia Arya yang masih muda, lebih membuat tokoh persilatan itu condong menjagoi Setan Mabuk!
Pertarungan seperti yang berlangsung antara Raja Minum Danau Sengon dan Biang Guci Gunung Kari kembali berlangsung. Tapi, kali ini antara Dewa Arak menghadapi Setan Mabuk.
Sebenarnya Arya tidak yakin kalau akan mampu menandingi kemampuan Setan Mabuk dalam hal minum arak, setelah melihat sendiri kemampuan Raja Minum Danau Sengon.
Dewa Arak memang bukan seorang pemabukan. Walaupun memang tidak bisa melepaskan arak dari kehidupannya, tapi dia tidak pernah minum arak sampai berguci-guci. Dewa Arak hanya minum sekadarnya saja karena bukan pecandu arak.
Kalau saja tidak mengingat janji, Arya lebih suka menolak tantangan itu. Tapi sekarang hal itu tidak mungkin dilakukannya lagi. Kini, Dewa Arak telah duduk berhadapan dengan Setan Mabuk untuk mengadu kemampuan dalam hal meminum arak.
"He he ke...! Tunjukkan kemampuanmu kalau tidak ingin julukanmu hapus, Dewa Arak!" ejek Setan Mabuk sambil mulai menenggak arak yang berada dalam gelas bambunya.
Arya sama sekali tidak menanggapi ejekan itu. Dengan sikap tenang diangkatnya arak yang berada di dalam gelas bambu dan dituangkan ke mulutnya.
Kini pemuda berpakaian ungu ini mempunyai semangat memenangkan pertarungan adu minum, kalau tidak ingin kehilangan gelarnya. Padahal, dia risih mendapat julukan seperti itu. Tapi, alangkah malunya bila julukannya tergusur. Harus menang! Begitu keputusan Dewa Arak!
Berbeda dengan Arya yang merasa ragu bisa mengungguli lawan, Setan Mabuk yakin sekali kalau dirinya akan mampu mengalahkan lawan. Banyak alasan yang menyebabkan kakek berkepala botak itu begitu yakin. Satu di antaranya adalah usia pemuda itu yang masih begitu belia! Sedangkan dirinya telah puluhan tahun lamanya hidup bergelimang arak. Arak baginya sudah merupakan bagian dari hidup.
Pertarungan adu minum pun dimulai. Gelas demi gelas ditenggak kedua tokoh berbeda aliran, dan juga berbeda usia itu.
Para tokoh persilatan mulai merasa heran dan takjub ketika melihat Dewa Arak ternyata sanggup menandingi Setan Mabuk dalam meminum arak. Bahkan hingga habis satu buah guci, tidak tampak adanya perubahan pada wajah Arya.
Karuan saja hal itu membuat heran bukan hanya tokoh-¬tokoh persilatan. Setan Mabuk dan juga Raja Minum Danau Sengon pun kaget bukan kepalang. Dari pertunjukan itu saja sudah bisa dilihat kalau kekuatan Dewa Arak berada di atas Biang Guci Gunung Kari dan Raja Minum Danau Sengon.
Buktinya, Raja Minum Danau Sengon sendiri sewaktu menghabiskan seguci arak, wajahnya merah padam. Jelas, dia telah terpengaruh hawa arak! Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu ternyata sama sekali tidak terpengaruh.
Jangankan semua orang yang melihat, Dewa Arak sendiri pun merasa heran. Sama sekali di luar dugaan kalau dirinya sanggup menghabiskan seguci arak itu tanpa terpengaruh sama sekali.
Padahal, semula dikira tidak akan sanggup, karena memang tidak pernah meminum arak sampai sebanyak itu. Dan bila minum pun, baik dalam pertempuran yang paling berat, biasanya tidak sampai seguci. Paling banyak hanya setengah guci. Guci kecil lagi! Dan dia mabuk!
Sama sekali pemuda berpakaian ungu itu tidak tahu kalau arak yang biasa diminumnya amat keras! Jauh lebih keras daripada arak yang paling keras sekalipun! Bahkan arak untuk pertandingan ini, seperti tidak ada apa-apanya.
Oleh karena itu, karena sudah terbiasa dengan arak yang sangat keras, Arya sama saja seperti meminum air putih biasa saat minum arak itu!
Begitu satu guci telah selesai, dilanjutkan dengan guci kedua. Sampai akhirnya isi guci itu pun kandas, kedua tokoh yang bertarung belum ada yang mengalah.
Akhirnya, sampai perut kedua tokoh itu tidak mampu lagi menenggak arak, tetap saja belum mabuk. Maka Setan Mabuk pun menghentikan pertarungan. Memang secara pasti belum ketahuan, siapa yang keluar sebagai pemenang.
Tapi melihat raut wajah kakek berkepala botak yang mulai merah padam, sementara wajah Arya masih biasa, sudah bisa diduga siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Dan Setan Mabuk pun mengetahui hal itu. Maka, rasa penasarannya pun semakin menjadi-¬jadi.
Keesokan harinya, pertarungan pun dilanjutkan. Tapi kali ini tidak adu minum arak lagi, melainkan adu ketangkasan meruntuhkan beberapa butir batu yang digantung di atas cabang pohon. Belasan butir batu dijajarkan. Baik Dewa Arak maupun Setan Mabuk akan mengadu kemampuan merobohkan batu-batu itu dalam jarak tiga tombak!
"He he he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Dengan pongahnya kakinya melangkah maju mengambil kesempatan menjadi peserta pertama. Kakek berperut buncit itu menyipitkan sepasang mata, menatap jajaran batu-batu yang digantungkan di atas cabang pohon.
Glek... glek... glek...!
Suara tegukan keras dan kasar terdengar ketika arak yang dituangkan kakek berperut buncit itu jatuh ke dalam mulut. Tapi kali ini tidak langsung ditelan, melainkan disimpan dalam mulutnya sehingga kedua pipinya tampak menggembung. Dan....
Pruhhh...!
Setan Mabuk menyemburkan arak yang disimpan dalam mulutnya. Seketika itu juga, arak itu meluncur ke arah tali-tali yang menggantung batu-batu itu. Suara mendesing nyaring terdengar tatkala arak itu meluncur deras menuju sasaran.
Tasss, tasss, tasss...!
Tiga belas buah batu jatuh berguguran ke tanah tatkala percikan-¬percikan arak Setan Mabuk memutuskan tali-tali penggantungnya.
"He he he...!"
Sambil terkekeh-kekeh, Setan Mabuk menatap Dewa Arak, penuh kemenangan. Tapi Arya sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan langkah tenang, pemuda berambut putih keperakan itu melangkah menghampiri tempat gantungan batu. Kemudian guci araknya diangkat ke atas kepala. Dan....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu masuk ke dalam mulut Dewa Arak. Seperti juga Setan Mabuk, Dewa Arak pun tidak menelan arak itu melainkan, menyemburkannya!
Pruhhh...!
Laksana anak panah, percikan arak itu melesat ke arah batu yang bergantungan di cabang lainnya. Memang, batu untuk sasaran Dewa Arak dan Setan Mabuk ditempatkan pada cabang yang berlainan.
Tasss, tasss, tasss...!
Batu-batu kontan berguguran dan jatuh ke tanah ketika tali-tali penggantungnya putus. Seketika itu juga pandangan mata semua tokoh persilatan yang ada di situ, beralih ke arah batu-batu yang bergeletakan di tanah. Batu-batu kecil yang masih terlibat tali.
Dengan pandangan mata, tokoh-tokoh persilatan itu menghitungnya. Ternyata jumlahnya empat belas! Lebih banyak satu buah ketimbang batu yang dijatuhkan Setan Mabuk.
"Grrrhhh...! Awas serangan, Dewa Arak!"
Setan Mabuk menggeram keras melihat kekalahannya. Sudah dua kali dia dikalahkan Dewa Arak. Meskipun yang pertama kali tidak secara jelas, tapi semua orang yang menonton mengetahuinya.
Seiring lenyap geramannya, kakek berperut buncit itu melompat menerjang Dewa Arak! Guci besar di tangannya meluncur deras ke arah kepala Arya.
Dewa arak yang memang sudah bersiaga sejak semula, tidak menjadi gugup. Buru-buru kepalanya ditundukkan. Dan....
Wusss...!
Sambaran guci itu melesat lewat di atas kepala Arya. Menilik dari rambut dan pakaian pemuda berambut putih keperakan yang berkibaran keras, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam ayunan guci lawan.
Dewa Arak tidak berani bertindak ayal. Buru-buru guci araknya diangkat ke atas kepala. Lalu....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan Dewa Arak dalam perjalanan menuju ke perut. Seketika itu juga, ada hawa hangat yang beredar di dalam perut Arya dan perlahan naik ke atas kepala.
Pertarungan antara dua tokoh yang sama-sama tangguh, dan sama-¬sama memiliki ilmu aneh pun tidak bisa dielakkan lagi. Maka tokoh-tokoh yang berada di sekitar tempat itu buru-buru menjauh.
Kini pertarungan yang aneh pun berlangsung. Pertarungan aneh ini mungkin untuk pertama kalinya terjadi di dunia persilatan. Dua orang tokoh sakti yang sama-sama memiliki ilmu aneh. Menggeliat-geliat, terkadang lemas seperti orang mabuk akan jatuh. Tapi tak jarang secara mendadak mengejang kaku penuh kekuatan.
Perubahan gerakan kedua orang itu me¬mang terjadi secara tiba-tiba. Dari lembut berubah keras. Juga, sebaliknya.
Tapi berbeda ketika menghadapi Dedemit Alam Akhirat melawan Setan Mabuk, Dewa Arak sama sekali tidak mengalami kesulitan. Ilmu yang dimiliki lawan mirip ilmu yang dimilikinya. Sehingga, dia tidak mengalami kesulitan menghadapinya.
Pertarungan antara kedua tokoh itu berlangsung menarik, karena berkali-kali keduanya mengadu guci atau semburan arak.
Tapi setelah pertarungan berlangsung hampir seratus jurus, tampak keunggulan Dewa Arak. Ilmu yang dimiliki Setan Mabuk meskipun mirip dengannya, tapi mengandung banyak kelemahan di sana-sini. Dan ini jelas berbeda jauh dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Setan Mabuk menggertakkan gigi ketika menyadari kalau tidak akan bisa mengungguli Dewa Arak. Tampak jelas, pemuda berambut putih keperakan itu memiliki ilmu yang lebih tinggi mutunya.
Gerakan guci, tangan, kaki, dan araknya merupakan satu kesatuan yang saling tunjang¬menunjang dan menutup celah-celah yang dapat digunakan lawan untuk memasukkan serangan.
Sadar kalau dirinya tidak akan mungkin bisa mengalahkan Dewa Arak, kakek berperut buncit itu jadi nekat untuk mengadu nyawa. Maka tanpa mempedulikan keselamatan diri, kakek berkepala botak itu melancarkan serangan secara membabi buta.
Arya tahu, kalau Setan Mabuk tidak akan bisa disadarkan. Lagi pula, dia adalah seorang tokoh sesat yang kejam dan berbahaya. Adalah suatu kewajiban baginya untuk melenyapkan tokoh itu selama-lamanya.
"Hattt..!"
Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, Setan Mabuk yang telah tidak mempedulikan keselamatan diri mengayunkan gucinya ke arah kepala Dewa Arak.
Wuttt..!
Guci itu lewat setengah jengkal di depan wajah ketika Arya menarik kepala ke belakang. Tidak hanya itu saja yang dilakukan pemuda berpakaian ungu itu. Pada saat yang bersamaan, kaki kanannya mencuat ke arah leher.
Setan Mabuk yang sejak tadi sama sekali tidak mempedulikan pertahanan, menjadi terkejut bukan kepalang. Sedapat mungkin, dia berusaha mengelak. Tapi...
Tukkk...!
Usaha kakek berperut buncit itu sia-sia belaka. Kala Arya telah terlebih dulu menghantam lehernya dengan telak. Tanpa sempat bersambat lagi, Setan Mabuk jatuh berdebuk di tanah. Dan selagi Setan Mabuk terjerembab, Dewa Arak cepat melesat kembali. Langsung dijejaknya leher tokoh sesat itu sekali lagi. Akibatnya, kontan kakek itu tewas.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Ditatapnya mayat Setan Mabuk. Setelah mengedarkan pandangan pada tokoh-tokoh persilatan yang ada di sekitarnya, pemuda berambut putih keperakan itu melangkah meninggalkan tempat itu. Hanya dalam beberapa kali langkah saja, tubuhnya sudah berada di pinggir pantai.
Tanpa peduli pada panggilan dan pandangan tokoh-tokoh persilatan, Dewa Arak mengambil sebuah perahu yang berada di situ dan mengayuhnya meninggalkan pulau.
Raja Minum Danau Sengon dan semua tokoh persilatan yang ada di situ, hanya bisa memandangi kepergian Dewa Arak. Dalam hati, mereka mengakui kalau Dewa Arak-lah yang berhak menjadi Jago Arak Nomor Satu!
SELESAI
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================


