Ads

Monday, July 15, 2013

Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 024

***BACK***

Budhi berlari cepat, dibelakangnya berlari Niken. Setelah jauh meninggalkan tempat di mana mereka tadi dihadang pasukan dan dikeroyok, Budhi berhenti, Niken juga berhenti dan menghapus keringat yang membasahi lehernya, kemudia ia menghampiri Budhi yang sudah duduk di atas akar pohon yang menonjol kepermukaan tanah.

“Budhi, hendak engkau apakan Tilam Upih yang sudah berada di tanganmu itu?”

Budhi tersenyum dan memandang kepada wajah yang ayu dengan sinar mata yang bagaikan bintang kejora itu.

“Hendak kauapakan? Tentu saja hendak kuhaturkan kepada Sang Prabu Jayabaya di Kediri.”

“Hemm, aku tidak percaya engkau akan mampu menjaga pusaka itu. Tadi saja kalau tidak ada aku yang memperingatkan, dengan mudahnya sudah kauserahkan kepada mereka itu!”

“Karena mereka itu adalah pasukan dari Kediri yang dipimpin oleh senopati. Akan tetapi sekarang aku tidak akan percaya kepada mereka, akan kuserahkan sendiri kepada Sang Prabu.”

“Aku tidak percaya engkau mampu menyerahkan kepada Sang Prabu, Budhi, kauserahkan saja pusaka itu kepadaku dan aku yang akan menghaturkan pusaka itu kepada beliau.”

“Hemm, mengapa harus kuserahkan kepadamu?”

“Karena aku dapat menjaga lebih aman lagi, dan tidak perlu kujelaskan mengapa harus aku yang menghaturkan kepada Sang Prabu. Berikanlah kepadaku!”

“Ehm,kalau tidak kuberikan, lalu bagaimana?”

“Aku akan mencoba merampasnya darimu dengan kekerasan !” kata Niken, suaranya mulai terdengar mengancam.

“Niken,engkau seorang dara yang jelita dan gagah perkasa. Untuk apa engkau ikut-ikut memperebutkan Tilam Upih? Bahkan engkau ikut pula memasuki sayembara. Mengapa demikian?”

“Sudah kukatakan, tidak perlu kau tahu. Sekarang, engkau berikan atau tidak pusaka itu?” Sikap gadis itu makin ketus.

Budhidarma tertawa. “Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali. Semua orang memperebutkan pusaka Tilam Upih, pada hal keris pusaka ini hanyalah sepotong besi berkarat yang tidak ada gunanya. Nah, kalau engkau memang menghendaki besi berkarat ini, terimalah. Aku tidak mau lagi meperebutkannya!”

Budhi meloloskan pusaka yang bersarung itu dari ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Niken.

Kini Niken yang tertegun dan memandang dengan mata terbelalak. Keris pusaka Tilam Upih yang sudah berada di tangan pemuda itu, sekarang begitu saja diserahkan kepadanya! Kini ia yang menjadi terheran-heran dan ragu sehingga biarpun Budhi sudah lama menyodorkan pusaka itu, tetap saja belum diambilnya.

“Budhi, kenapa demikian mudah engkau hendak menyerahkan pusaka ini kepadaku?”

“Sudah kukatakan. Pusaka ini hanya sepotonga besi tua yang karatan, aku tidak mau memperebutkannya lagi, Nah,terimalah.”

Niken menerima pusaka itu dan dengan jantung berdebar-debar ia menghunus pusaka itu. Dan terbelalak, matanya tak lepas memandang pusaka itu dan nampak wajahnya amat kecewa.

Budhi merasa kasihan. “Tentu pusaka itu sudah berubah banyak. Kabarnya pusaka itu berada di perut ikan hiu sampai puluhan tahun. Tentu saja menjadi rusak dan karatan.”

“Tidak!” kata Niken setengah menjerit. “Ini bukan pusaka Tilam Upih yang tulen. Ini keris pusaka palsu!”

Budhi terbelalak. “Apa? Palsu?”

“Ya, ini bukan Tilam Upih ? Ini keris palsu!” kembali Niken berseru marah.

“Hemm, Niken. Bagimana engkau bisa tahu bahwa keris pusaka ini palsu? Apakah engkau pernah melihat yang asli?”

“Aku belum pernah melihat yang asli, akan tetapi aku sudah mendapat penjelasan yang lengkap tentang Kyai Tilam Upih. Aku berani memastikan bahwa ini keris palsu. Budhi, apakah engkau.......”gadis itu memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik.

“Eiiit-eiit, Niken. Jangan engkau menuduh aku yang memalsukan ketris pusaka Tilam Upih, engkau keterlaluan sekali! Kalau memang Tilam Upih itu palsu, berarti Sang Adipati di Nusa Kambangan yang memalsukannya. Aku telah ditipunya dan diberi keris yang palsu.”

“Aku percaya kepadamu, Budhi. Ini tentu ulah Adipati Surodiro dan aku akan menuntutnya!”

Setelah berkata demikian, Niken membawa keris itu pergi dari situ dengan berlari cepat, menuju kembali ke selatan!

“Niken,tunggu.....!!”Budhi meloncat dan tak lama kemudia dia dapat menyusul Niken.

Gadis itu berhenti dan memandang dengan sinar mata menentang.

“Budhi, mau apa engkau mengejar aku?”

“Niken, bukan engkau yang harus menuntut ke Nusa Kambangan, melainkan aku karena akulah yang dibohongi adipati itu.”

“Tidak, aku akan minta pusaka yang asli.”

“Aku juga. Mari kita pergi berdua dan mendengar apa yang hendak dikatakan oleh adipati keparat itu!” kata Budhi dan akhirnya Niken tidak menolak lagi karena bagimanapun juga, pemuda itu yang lebih berhak.

Dan Budhi sebetulnya ingin menemani gadis itu karena dia merasa khawatir. Gadis itu bukan tandingan Adipati Surodiro, dan kalau dibiarkan sendiri pergi ke Nusa Kambangan, bisa celaka.

Budhi dan Niken melakukan perjalanan cepat dan setelah tiba di pantai laut selatan, mereka lalu menyewa perahu pada seorang nelayan. Mereka diantar ke pulau Nusa Kambangan. Ketika keduanya mendarat beberapa orang penjaga mengenal mereka dan segera melaporkan kepada Sang Adipati.

Dua orang muda itu langsung saja pergi ke kadipaten dan mereka disambut oleh sepasukan penjaga keamanan yang menghadang mereka di depan gedung kadipaten.

“Katakan kepada Paman Adipati Surodiro bahwa kami berdua ingin menghadap karena ada urusan yang teramat penting!” kata Niken dengan suara tegas.

Para perjurit yang sudah mengenal gadis itu sebagai pengikut sayembara, dan juga pemuda itu yang sudah mampu mengalahkan sang adipati, segera mengawal mereka pergi ke dalam gedung kadipaten untuk menghadap Adipati Surodiro yang sudah diberitahu oleh para penjaga dan juga siap menyambut dua orang tamu itu.

Begitu bertemu, tanpa menanti penggunaan salam menyalam seperti biasanya orang bertemu, Niken sudah langsung saja menghardik.

“Paman Adipati Surodiro! Tidak kusangka seorang adipati seperti andika ini tidak merasa malu untuk bertindak curang!”

Adipati Surodiro memandang Niken dengan alis berkerut dan matanya mengeluarkan sinar marah.

“Hem, apakah maksudmu datang dan menuduhku seperti itu?” bentaknya.

Budhi lalu melerai. “Begini, Paman adipati. Ketika kami ditengah jalan memeriksa Kyai Tilam Upih yang saya terima dari paman, ternyatalah bahwa keris pusaka itu adalah keris pusaka palsu! Nah, bagaimana paman akan mempertanggungjawabkan kenyataan ini?”

Niken mengambil keris pusaka itu dan melemparkan kepada sang adipati yang segera menangkapnya dengan tangannya. Agaknya memang dia sudah menduga bahwa dua orang muda itu tentu datang untuk membicarakan urusan itu, maka diapun telah menati dan menyambut seorang diri saja, tanpa ditemani seorangpun. Juga tidak nampak Wijaya dan Wulansari, dua orang muda, murid dan puterinya, yang paling dipercayainya.

Adipati Surodiro menghunus keris pusaka itu dan memasukkannya kembali, menghela napas panjang. Lalu berkata, “Tadinya kuharapkan andika tidak akan tahu akan kepalsuan benda ini, anak mas Budhi. Akan tetapi ternyata dugaanku keliru dan baiklah, akan kuceritakan semua yang telah terjadi kepada andika berdua.”

“Harap saja cerita paman tidak dibuat-buat dan meyakinkan!” kata Niken dan sang adipati menghela napas sambil tersenyum.

“Peristiwa ini kurahasiakan dari siapapun juga, bahkan puteriku sendiri tidak mengetahuinya. Kurang lebih sebulan yang lalu, jauh sebelum aku mengumumkan akan mengadakan sayembara perebutan Tilam Upih, pada suatu malam, kamarku dimasuki sesosok tubuh manusia. Kukira hanya maling biasa, akan tetapi ternyata ketika hendak menangkapnya, dia seorang yanga amat sakti. Karena dia mengenakan sebuah topeng di mukanya, aku tidak mengenalnya, hanya tahu dia seorang yang bertubuh sedang dan tegap. Dialah yang mencuri Tilam Upih dan meninggalkan penggantinya, yang palsu itulah. Aku telah mengerahkan seluruh kepandaianku, akan tetapi aku tidak berdaya melawannya bahkan aku dipukulnya sampai pingsan!”

“Apakah paman tidak berteriak minta bantuan para pengawal?” tanya Niken.

“Tadinya aku merasa malu untuk minta bantuan. Bagaimana mungkin aku, Adipati Nusa Kambangan, berteriak-teriak menghadapi seorang pencuri saja. Dan akhirnya aku terpukul pingsan, dia lari membawa pusaka itu dan meninggalkan yang palsu. Aku merahasiakan peristiwa yang kuanggap amat memalukan dan memukul nama besarku itu.”

Budhidarma lalu menghela napas dan berkata, “Jadi karena pusaka itu telah hilang dan ditukar yang palsu, maka paman lalu mengadakan sayembara ini?”

Wajah adipati itu menjadi kemerahan. “Aku merasa amat sakit hati kepada maling itu, akan tetapi tidak berdaya. Maka, aku lalu mengadakan sayembara itu. Orang yang akan dapat memenangkan aku tentu akan mampu mencari maling yang telah melarikan Tilam Upih itu. Andika yang telah mengalahkan aku, anakmas Budhi dan sekarang aku telah berterus terang Oleh karena itu, aku berharap andika yang akan mampu menemukan maling itu dan merampas keris pusaka Tilam Upih.”

Tiba-tiba Niken bangkit berdiri, “Aku tidak percaya omonganmu, paman. Engkau tentu telah menyembunyikan Tilam Upih yang asli dan menyerahkan yang palsu! Kalau engkau tidak mengeluarkan yang asli, jangan salahkan aku kalau aku memaksamu dengan kekerasan!” Gadis itu sudah siap untuk menyerang.

“Hemm, aku tidak berbohong!” kata Adipati Surodiro.

“Siapa percaya akan dongeng itu?” bentak pula Niken akan tetapi Budhi segera bangkit dan berkata kepada Niken dengan suara halus.

“Niken, aku percaya kepada cerita paman adipati. Maka, marilah kita pergi dari sini!” Dia menerima kembali keris dari surodiro.

Niken cemberut, akan tetapi terpaksa ia keluar dari ruangan itu tanpa pamit seperti yang dilakukan Budhi, dan tak lama kemudian mereka telah menyeberangi pula Selat Nusa Kambangan itu dan mendarat di pantai Lautan Kidul.

Setelah turun ke darat, Niken marah-marah kepada Budhi. Tadi ia tidak dapat berbuat apa-apa karena tanpa bantuan Budhi, ia tahu bahwa ia tidak berdaya menghadapi Adipati Surodiro, apalagi di kadipaten itu terdapat banyak pasukan yang tentu akan mengeroyoknya.

“Budhi, aku tahu sekarang mengapa engkau begitu mengalah dan percaya kepada Surodiro. Padahal aku yakin dia pasti berbohong dan Tilam Upih tentu masih di tangannya!”

“Tidak mungkin, Niken. Kalau Tilam Upih masih berada di tangannya, lalu mengapa dia mengadakan sayembara? Tidak, keterangannya tadi tentu benar.”

“Lalu kemana engkau akan mencari orang aneh penuh rahasia itu? Engkau hanya tahu bahwa dia berkedok dan berkepandaian tinggi. Bagimana engkau bisa tahu atau menduga siapa adanya orang yang mencuri keris pusaka itu?”

“Aku akan mencarinya dan akan hasilnya, terserah kepada Hyang Widhi. Akan tetapi aku yakin bahwa kejahatan akan berakhir dengan kekalahan, Niken.”

“Hemm, kurasa engkau memang sengaja mengalah kepada Surodiro karena engkau jatuh cinta kepada puterinya!”

“Ah, jangan menuduh yang bukan-bukan, Niken!”

“Siapa menuduh? Engkau terang-terangan ditipu oleh Adipati Surodiro, akan tetapi engkau tidak marah bahkan membelanya. Apalagi yang menjadi sebab kalau bukan karena engkau jatuh cinta kepada Wulansari? Ia memang cantik menarik. Huh, muak aku melihatmu!

“Niken......!”

Akann tetapi gadis itu sudah melarikan diri dengan cepat tanpa menengok lagi dan Budhi hanya mengikuti bayangan gadis itu dengan pandang matanya sambil menghela napas panjang berkali-kali. Entah mengapa, dia merasa tiba-tiba suasana hatinya menjadi sunyi sekali setelah ditinggalkan Niken yang galak itu. Ketika Niken berada bersamanya, dia merasa segala sesuatu serba lengkap dan menyenangkan. Inilah yang dinamakan cinta? Dia menghela napas lagi dan tidak mampu menjawab.

“Bagus, aku masih dapat menyusulmu di sini, Budhi!” tiba-tiba terdengar seruan nyaring.

Budhi menengok dan melihat Wijaya telah meloncat dari perahunya dan berada di depannya. Wajah pemuda yang gagah jantan itu nampak kemerahan dan matanya mengeluarkan sinar mencorong penuh kemarahan. Karena sudah mengenal pemuda ini dan dia merasa suka, Budhi tersenyum menyambutnya, bukan menghampiri sehingga mereka berdiri berhadapan dalam jarak kurang dari dua meter.

“Ah, kiranya engkau, Wijaya?Ada keperluan apakah engkau menyusul aku? Apakah engkau diutus oleh paman adipati?”

“Tidak ada yang mengutusku! Aku sengaja mengejarmu karena aku mepunyai urusan pribadi yang harus diselesaikan di antara kita sekarang juga!”

“Urusan antara kita berdua? Eh, ki sanak, urusan apakah itu? Aku merasa tidak mempunyai urusan apapun denganmu.”

“Tidak perlu banyak cakap lagi, Budhidarma. Engkau datang dan memasuki sayembara, hendak merampas diajeng Wulansari dari tanganku! Hemm, aku akan mempertahankan dengan nyawaku!” kata pemuda gagah itu dengan geram.

Budhi terbelalak, akan tetapi lalu teringat betapa sang adipati pernah membujuknya untuk suka menikah dengan Wulansari. Kini tahulah dia. Pemuda ini mencintai Wulansari dan cemburu kepadanya. Tentu karena mendengar tentang maksud sang adipati mengambilnya sebagai mantu! Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada pemuda ini yang demikian gagah dan jantan. Bahkan sikapnya untuk “mempertahankan” Wulansari sudah menunjukkan kegagaghannya dan betapa besar cinta kasihnya pemuda itu kepada adik seperguruannya itu.

“Akan tetapi aku mamasuki sayembara bukan untuk merebut Wulansari, melainkan merebut Tilam Upih!” dia membantah.

“Biarpun demikian, tetap saja engkau juga bermaksud merebut daijeng Wulansari. Buktinya, paman adipati hendak menjodohkan engkau dengan Wulansari dan sikap Wulansari terhadap diriku sama sekali berubah setelah engkau memenangkan sayembara itu! Sudahlah, Budhidarma, tidak perlu banyak cakap lagi. Sekarang kita hanya berdua di sini, kita perebutkan Wulansari dengan taruhan nyawa. Engkau atau aku yang mati dan siapa menang dia akan mendapatkan Wulansari.”

“Gila................!” kata Budhi akan tetapi ucapannya itu disambut serangan oleh Wijaya yang sudah menjadi marah bukan main.

Cemburu memang suatu perasaan yang amat aneh. Dapat membuat orang yang betapa lemahpun menjadi kuat dan yang penakut menjadi pembarani, juga dapat membutakan mata pikiran sehingga dia tidak akan memperdulikan segala macam pertimbangan lagi.

Diserang secara dahsyat itu, Budhi mengelak. Dia tahu bahwa bicara dengan pemuda yang kalap itu tidak akan ada gunanya lagi, maka dia terus mengelak walaupun lawan menghujankan serangan bertubi-tubi. Dia merasa kasihan kepada Wijaya, maka tidak tega untuk membalas.

Pada saat itu berkelebat bayangan orang dan Wulansari telah berada di situ.

“Kakang Wijaya, apa yang kau lakukan ini?” bentaknya kepada kakak seprguruannya, akan tetapi agaknya Wijaya sudah tidak mau mendengar lagi dan bahkan menyerang semakin dahsyat. Kini Wijaya bahkan sudah mencabut sebatang keris dan menyerang dengan kerisnya! Budhi tetap hanya mengelak dan kadang menepis keris itu dengan tangannya, akan tetapi tetap saja tidak mau membalas.

“Kakang Wijaya, hentikan itu!” teriak pula Wulansari.

Dan tiba-tiba gadis itu terbelalak heran. Ia melihat Budhi terhuyung, terkena tamparan tangan kiri Wijaya! Hampir ia tidak dapat percaya! Bagaimana mungkin Wijaya dapat membuat pemuda
sakti yang telah mengalahkan ayahnya itu sampai terhuyung dengan sebuah tamparannya! Agaknya bukan Wulansari saja yang terkejut dan heran. Wijaya sendiripun heran, akan tetapi dia girang sekali dan mendesak terus dengan kerisnya dan tamparan tangan kirinya. Dan kini Budhi benar-benar terdesak hebat. Pemuda ini hanya mampu mengelak dan menangkis terus mundur.

“Desss......!” Sebuah pukulan tangan kiri mengenai dada Budhi dan pemuada itu terpelanting dan terjengkang.

Melihat dia dapat merobohkan lawan, Wijaya merasa bangga sekli, dia dapat mengalahkan Budhi, di depan Wulansari lagi! Dia bertolak pinggang dan berkata dengan lagak amat gagah.

“Budhidharma! Bangkitlah kalau engkau laki-laki!”

Budhidarma bangkit merangkak, lalu berkata, “Tobat, Wijaya, aku mengaku kalah....!”

Dan dia terus meloncat dan melarikan diri ketakutan.

Melihat ini, Wulansari terbelalak dan ia lalu menghampiri Wijaya,

“Kakang.........engkau mampu mengalahkannya.......!”

Wijaya tersenyum. “Untuk mempertahankan dan memperebutkanmu, semua iblis, bahkan dewa sekalipun akan kuhadapi dan kulawan dengan taruhan nyawaku, diajeng.”

Sementara itu, tak jauh dari situ, Budhi mengintai dari balik semak-semak dan diapun tersenyum puas. Inilah kemenangan yang paling indah baginya. Menang karena telah dapat menyatukan dua hati yang nyaris terpisah. Dia memang sengaja mengalah dan dia tahu bahwa ini satu-satunya jalan untuk menyatukan dua hati kakak beradik seperguruan itu. Diapun pergi sambil tersenyum, dengan cepat meninggalkan tempat itu tanpa diketahui oleh Wijaya dan Wulansari.

**** 024 ****

***NEXT***Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 025

***BACK***

No comments:

Post a Comment