Ads

Monday, July 15, 2013

Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 025

***BACK***

Di dalam kamar yang agak gelap itu, Ki Sudibyo menghela napas panjang. Dia merasa betapa kesehatannya semakin memburuk Dan dia amat merindukan Niken. Ingin dia melihat Niken, muridnya yang terkasih itu berada di dekatnya, timbul perasaan menyesal mengapa dia memberi tugas seberat itu, mencari Tilam Upih, kepada muridnya itu. Biarpun Niken sudah menguasai aji Hasta Bajra, namun di dunia ini banyak terdapat orang-orang jahat yang amat pandai.

Kini timbul kekhawatiran dalam hatinya kalau-kalau muridnya itu akan terancam bahaya dan dia
sama sekali tidak berdaya. Tubuhnya sudah amat lemah dan selama muridnya itu pergi, dia hanya bersembunyi saja di dalam kamarnya, duduk bersamadhi memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar muridnya diselamatkan dari semua malapetaka, dijauhkan dari marabahaya. Dia sama sekali tidak memperdulikan lagi keadaan Gagak Seto, mempercayakan saja kepada Klabangkoro dan Mayangmurko, dua orang muridnya tertua yang sudah dipercayanya sebagai murid-murid yang setia kepadanya.

Pada suatu hari, menjelang malam, Ki Sudibyo memanggil Jinten yang melayaninya selama Niken pergi! Pelayan itu selalu siap melayaninya dan berada di luar kamarnya.

“Jinten.......!” Dia memanggil dan pelayan itu segera memasuki kamar.

Baru sekarang Ki Sudibyo menyadari betapa kini sudah berubah. Mukanya yang manis itu dibedaki tebal, alisnya ditambah warna hitam dan kedua pipinya dan bibirnya juga diberi pemerah. Nampak cantik pesolek. Akan tetapi Ki Sudibyo diam saja karena menganggap bahwa hal seperti itu wajar saja dilakukan wanita muda.

“Jinten, buatkan aku wedang jahe. Yang pedas,ya?”kata Ki Sudibyo dan diapun terbatuk-batuk. “Badanku terasa tidak enak dan lemah sekali.” Dia terbatuk-batuk lagi.

“Baik, bendara, akan saya persiapkan.” kata Jinten dengan hormat dan lembut, akan tetapi setelah keluar dari kamar itu, pelayan ini bergegas lari ke tempat tinggal Klabangkoro yang tidak berada jauh dari rumah induk. Ia segera nampak berbisik-bisik dengan sikap manja kepada Klabangkoro.

“Ki Sudibyo kelihatan lemah sekali dan sakit, terbatuk-batuk dan minta dibuatkan wedang jahe yang pedas.” ia melapor.

Klabangkoro mengangguk-angguk. “Bagus, kini saatnya yang baik telah tiba.”

Dia mengambil sebuah bungkusan dari almari lalu menyerahkannya kepada Jinten.

Jinten, masukkan obat bubuk ini ke dalam wedang jahe yang akan kau hidangkan kepada Ki Sudibyo, lalu tinggalkan di kamarnya. Akan tetapi engkau harus mengintai dari luar dan melihat bahwa wedang jahe itu benar-benar telah diminumnya. Nanti aku menyusul ke sana.”

Dengan tangan gemetar Jinten menerima bungkusan itu. “Akantetapi.........bagaimana.... kalau dia mengetahui? Aku bisa celaka!”

“Hushh, aku ada di sini, takut apa? Cepat laksanakan, manis!” dia merangkul dan mencium wanita itu yang segera nampak tabah lalu pergi meninggalkan rumah Klabangkoro untuk membuat wedang jahe yang akan dicampur dengan obat bubuk berwarna putih itu.

Sementara itu, Klabangkoro cepat menghubungi Mayangmurko di pondoknya.

“Adi Mayang murko, cepat engkau membuat persiapan. Saatnya telah tiba untuk kita bertindak terhadap Ki Sudibyo.” Dia lalu menceritakan pelaporan Jinten. “Kau tangkap tiga orang murid untuk dibawa kepada Ki Sudibyo kalau diperlukan. Aku sekarang hendak pergi dulu ke sana. Nanti engkau menyusul segera.”

“Baik, kakang Klabangkoro.” kata Mayangmurko dengan gembira dan diapun cepat pergi berpisah dari kakak seperguruannya itu.

Ketika Klabangkoro tiba di luar kamar Ki Sudibyo, dia melihat Jinten. Wanita ini segera menghampiri dan berbisik,

“Wedang jahe itu telah diminum sampai habis.”

“Bagus, sekarang engkau pergilah menjauh dan jaga agar tidak ada murid dapat mendekat ke sini.”

Setelah Jinten pergi, Klabangkoro lalu membuka pintu kamar itu dan dia melihat Ki Sudibyo duduk bersila dengan alis berkerut dan mulut menyeringai seperti menahan rasa nyeri. Dengan jantung berdebar tegang dia mendekati lalu berlutut ketika Ki Sudibyo mambuka matanya.

“Klabangkoro, mau apa engkau masuk ke sini tanpa kupanggil?” Ki Sudibyo menegur sambil memandang tajam.

“Bapa Guru, saya datang menjenguk karena mendengar bahwa keadaan Bapa Guru tidak sehat.”

“Hem, siapa bilang aku tidak sehat? Aku.......ahhhh......” Tiba-tiba Ki Sudibyo memegang dadanya dan terbatuk-batuk.

“Bapa sakit keras, karena itu saya kira sebaiknya kalau Bapa Guru meninggalkan pelajaran Aji Hasta Bajra kepada saya agar aji itu tidak akan lenyap dan dapat dimiliki oleh ketua baru. Juga sudah sepantasnya kalau Bapa Guru mengangkat saya sekarang juga menjadi ketua sebelum terlambat.”

Sepasang mata itu terbelalak marah. “Klabangkoro, apa yang kaukatakan itu?”

Kini sikap Klabangkoro tidaklah sehormat tadi lagi. “ Maksud saya, Bapa harus mengangkat saya menjadi ketua Gagak Seto dan mengajarkan Hasta Bajra kepada saya. Kalau sudah tidak keburu sebaiknya Bapa Guru menuliskannya pelajaran aji itu dalam sebuah kitab.”

“Jahanam! Berani kau berkata demikian? Mengharuskan aku?” Ki Sudibyo marah sekali.

“Bapa Guru tidak perlu marah-marah, hal itu hanya akan mempercepat kamatian Bapa!”

“Keparat!” Ki Sudibyo meloncat bangun untuk menyerang muridnya itu, akan tetapi tiba-tiba dia terpelanting dan mengeluh, memegangi dadanya.

“Ha-ha-ha, andika sudah tidak berdaya, Ki Sudibyo!” kata Klabangkoro dengan sikap kurang ajar. “Cepat angkat aku menjadi ketua dan tuliskan Aji Hasta Bajra menjadi kitab pelajaran, atau aku terpaksa menyiksamu sampai mati!”

“Klabangkoro! Engkau yang bertahun-tahun menjadi muridku, kupercaya dan kuberi pelajaran, begiini tega.....?” tanyanya,hampir tidak percaya.

“Salahmu sendiri, Ki Sudibyo. Aku yang sudah bersetia kepadamu selama bertahun-tahun, membantu menegakkan dan mambesarkan Gagak Seto, sama sekali tidak kauperhatikan bahkan engkau akan mengangkat gadis itu menjadi ketua dan mengajarkan Hasta Bajra kepadanya! Karena itu, sekarang engkau harus mengangkatku menjadi ketua dan mengajarkan Hasta Bajra kepadaku. Percuma karena tubuhmu sudah keracunan!”

“Keracunan?”

“Ya, dalam wedang jahe tadi!”

“ Sudah.......jadi Jinten......?”

“Sudah lama ia menjadi pembantuku yang setia. Dan hampir semua murid Gagak Seto juga menjadi pendukungku.”

“Tidak! Tidak sudi. Biar engkau akan menyiksa dan memnunuhku, tidak akan kuangkat engkau menjadi ketua, apalagi mengajarkan Hasta Bajra kepadamu!” Dia kembali bangkit berdiri, mengepal kedua tinjunya. “Aku akan melawanmu mati-matian!”

Kini Ki Sudibyo menerjang ke depan. Akan tetapi dia terhuyng dan ketika Klabangkoro menangkisnya, diapun terpelanting lagi dan jatuh terduduk. Tahulah bahwa murid durhaka itu tidak berbohong. Dia telah keracuanan. Andaikata tidak keracuanan sekalipun belum tentu dia dapat menendingi muridnya karena tubuhnya sakit-sakitan dan lemah, apalagi kini telah keracunan. Dia benar-benar tidak berdaya!

“Bunuhlah, aku tidak takut mati!!” kata Ki Sudibyo dengan marah. “ Nyawaku akan mengutukmu!”

“Ha-ha-ha, hendak kulihat apakah engkau dapat menolak permintaanku!”

Klabangkoro bertepuk tangan tiga kali dan pintu itu terbuka. Masuklah Mayangmurko dan orang ini mendorong masuk tiga orang murid muda. Tiga orang itu terdorong dan berlutut di atas lantai.

“Nah, Ki Sudibyo, apakah engkau masih menolak menuliskan Aji Hasta Bajra untukku?” Klabangkoro kini mencabut senjatanya yang ampuh, yaitu Pecut Dahono dan mengancamkan senjata itu di atas kepala tiga orang murid muda itu.

Melihat itu, Ki Sudibyo memandang marah dan akhirnya dia menghela napas panjang.

“Bebaskan mereka, aku akan menuliskan aji itu.” akhirnya dia berkata.

Bagimanapun juga tidak mungkin dia mau mengorbankan nyawa tiga orang murid muda yang tidak berdosa itu.

“Adi Mayamurko, bawa mereka keluar!” kata Klabangkoro, dan sambil tartawa Mayangmurko membawa tiga orang tawanan itu keluar dari dalam kamar.

Klabangkoro ternyata sudah mempersiapkan segalanya. Dia sudah membawa kertas serta alat tulis dan menyerahkan semua itu kepada Ki Sudibyo. Dengan dijaga dan ditunggui Klabangkoro, Ki Sudibyo menuliskan aji Hasta Bajra di atas kertas kosong itu. Sampai pagi barulah tulisannya selesai dan setelah memeriksa tulisan itu dengan girang Klabangkoro tetawa dan memasukannya ke dalam balik sabuknya.

“Klabangkoro muri murtad. Sekarang jangan ganggu aku lagi. Keluarlah!”

“Ha-ha, tidak semudah itu, Ki Sudibyo. Biarpun engkau telah menuliskan Aji Hasta Bajra, bagimana aku dapat yakin bahwa tulisan itu tidak palsu? Aku harus menahanmu sebagai sandera sampai terbukti bahwa tulisan ini tidak palsu. Aku akan mempelajarinya lebih dulu dan engkau boleh menunggu dalam tahanan bawah tanah yang sudah kubuat untukmu, ha-ha-ha!”

“Murid jahanam!” Ki Sudibyo mengutuk akan tetapi dia tidak berdaya ketika Klabangkoro memegang dan menarik lengannya, memaksanya berdiri dan mendorongnya keluar dari rumah menuju ke bukit di kebun belakang. Di situ ternyata telah dibuatkan sebuah penjara bawah tanah dan Ki Sudibyo dimasukkan ke dalam tahanan bawah tanah ini dan dijaga secara bergiliran oleh lima orang anak buah Klabangkoro!

Ki Sudibyo menderita sengsara sekali. Klabangkoro memang memberi obat penawar untuk racun yang dicampurkan dalam wedang jahe itu. Akan tetapi tubuh orang tua ini memang sudah lemah karena tidak sehat lagi. Di dalam kamar tahanan itu, setiap hari dia hanya duduk bersila atau tiduran. Akan tetapi dia tetap bersabar dan makan hidangan yang disuguhkan agar tidak mati kelaparan. Bagaimanapun juga, dia masih mempunyai harapan, yaitu menunggu kembalinya Niken Sasi. Murid tercintanya ini tentu akan mencarinya, dan dia merasa yakin bahwa akhirnya Niken Sasi yang akan dapat menolongnya keluar dari neraka itu.

Harapan Ki Sudibyo memang tidak sia-sia. Kurang lebih satu bulan setelah ia dikeram ke dalam tahanan bawah tanah, pada suatu pagi datanglah Niken Sasi di perkampungan Gagak Seto di lereng Gunung Anjasmoro!

Pada waktu itu semua murid Gagak Seto, baik yang menjadi anak buah Klabangkoro maupun yang setia kepada Gagak Seto, menganggap bahwa Klabangkoro telah menggantikan Ki Sudibyo sebagai ketua, atau setidaknya mewakili Ki Sudibyo yang oleh Klabangkoro dikatakan telah pergi merantau tanpa memberitahu ke mana perginya. Tiga orang murid muda yang dipergunakan untuk memaksa Ki Sudibyo telah lenyap entah kemana. Hanya Klabangkoro yang tahu bahwa tiga orang itu telah mati dan mayat mereka dibuang ke dalam sebuah jurang. Dengan demikian, rahasia yang telah diperbuat atas diri Ki Sudibyo hanya diketahui mereka bertiga, yaitu Klabangkoro, mayangkoro dan Jinten saja.

Kedatangan Niken Sasi disambut gembira oleh semua murid Gagak Seto, akan tetapi tentu saja tiga orang itu berdebar tegang melihat munculnya dara perkasa itu Setelah saling bertukar salam dengan para murid Gagak Seto, Niken langsung bertanya kepada Klabangkoro ke mana gurunya.

“Kakang Klabangkoro, ke mana Bapa Guru? Kenapa dia tidak berada di rumahnya?”

“Ah, kami juga bingung memikirkan Bapa Guru, Niken. Sudah sebulan ini Bapa Guru pergi tanpa memberitahu ke mana perginya, Kami juga bingung, akan tetapi tidak tahu harus mencari ke mana.”

“Hemm, ke mana beliau pergi? Jangan-jangan beliau pergi untuk menyusul aku.” kata Niken.

“Mungkin saja karena selama ini Bapa Guru mengharap-harap kedatanganmu. Akan tetapi, sebaiknya kita tunggu saja. Kurasa tidak lama lagi dia juga akan kembali.” Kata Klabangkoro.

Niken menerima pendapat ini dan dia menanti dengan sabar. Sambil menati kembalinya gurunya, Niken setiap hari pergi berjalan-jalan ke dusun-dusun di sekitar Gunung Anjasmoro. Dara ini memang dikenal oleh penduduk sekeliling tempat itu dan iapun di mana-mana diterima dengan ramah oleh warga dusun.

Lima hari kemudian semenjak Niken pulang, pada suatu siang muncullah seorang pemuda diperkampungan Gagak Seto. Pada siang hari itu Niken juga tidak berada di situ, sedang berjalan-jalan di sebuah dusun di kaki gunung untuk mencari durian karena waktu itu musim durian dan kaki bukit itu banyak orang menjual durian.

Pemuda itu bukan lain adalah Budhidarma. Tentu saja dia segera dihadapi banyak murid Gagak Seto yang merasa heran melihat datangnya seorang pemuda yang tidak mereka kenal.

“Ki sanak, siapakah andika dan ada keperluan apa andika datang ke tempat kami?” tanya seorang di antara para murid itu.

“Apakah di sini perkampungan Gagak Seto?” Tanya Budhi.

“Benar, siapakah andika dan apa kepentingan andika?”

“Saya bernama Budhidharma dan kedatangan saya ini untuk bertemu dengan ketua Gagak Seto. Harap laporkan kepada ketua kalian bahwa aku mohon mengahadap karena ada urusan yang penting sekali.”

“Kau tunggulah sebentar, Ki sanak, akan kami laporkan ke dalam kepada pimpinan kami.” Beberapa orang murid lalu pergi melapor kepada Klabangkoro dan mayangmurko yang sedang bercakap-cakap di ruangan dalam.

Kedua orang itu sedang menyusun siasat bagimana mereka dapat mengalahkan Niken yang tentu saja merupakan ancaman bahaya bagi mereka. Untuk menggunakan kekerasan terhadap dara itu, mereka belum berani. Biarpun Klabangkoro sudah mempelajari aji Hasta Bajra dari catatan yang dia dapatkan dari Ki Sudibyo, akan tetapi dia masih belum yakin apakah benar ilmu yang dipelajarinya itu asli dan ampuh walaupun ketika dia menggerkkan kedua tangannya, ada hawa yang dahsyat keluar dari kedua tangannya. Ketika mereka sedang berbincang-bincang itulah datang para murid yang melaporkan bahwa di luar datang seorang pemuda yang hendak bicara dengan pimpinan Gagak Seto.

Mendengar ini, Klabangkoro dan Mayangmurko segara keluar dari rumah itu dan bergegas pergi ke pintu gerbang perkampungan Gagak Seto untuk menemui pemuda yang baru datang itu.

Mereka melihat pemuda yang sama sekali tidak mereka kenal. Akan tetapi sebaliknya Budhi segera mengenal Klabangkoro. Biarpun sudah lewat sepuluh tahun, namun Klabangkoro masih seperti dulu. Usianya sekarang kurang lebih limapuluh tahun, tubuhnya masih tinggi besar seperti raksasa dengan sabuk kuning gading melilit pinggangnya. Kulitnya hitam dan matanya lebar. Akan tetapi yang membuat Budhi sama sekali tidak dapat melupakannya adalah sebatang pecut yang terselip di pinggangnya itulah. Orang inilah yang dulu membunuh ibunya, bahkan hampir membunuhnya pula. Kalau tidak ditolong oleh Sang Bhagawan Tejolelono, tentu dia telah tewas oleh cambuk raksasa itu.

Budhi menahan gejolak jantungnya yang terasa panas teringat akan kematian ibunya. Akan tetapi dia lalu teringat pula akan nasihat gurunya. Tidak, dia tidak boleh membiarkan hati akal pikirannya bergelimang dengan dendam. Pembunuh ini hanyalah seorang pesuruh, dia harus dapat bicara dengan orang yang menyuruh raksasa ini membunuh ibunya dan mengapa ibu dan ayahnya mereka bunuh.

“Hemm, orang muda! Siapakah andika dan mau apa ingin bertemu dengan ketua kami?”

“Nama saya Budhidarma dan saya hanya mempunyai kepentingan dengan ketua Gagak Seto. Oleh karena itu, saya hanya mau bicara dengan ketua Gagak Seto. Harap laporkan kepada ketua andika.” kata Budhi dengan tenang dan menahan kesabarannya.

Klabangkoro menjadi marah. “Hemm,orang muda! Ketua kami sedang tidak berada di rumah, sedang pergi dan selama dia pergi, akulah yang menjadi ketuanya. Maka, apa keperluanmu katakan saja kepadaku!”

“Tidak, kalau ketuanya tidak ada sekarang, lebih baik lain kali saja,” jawab Budhi sambil membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu.

“Tahan!” Bentak Klabangkoro marah. “Sudah kukatakan, akulah ketuanya. Akulah ketua Gagak Seto! Hayo katakan apa keperluanmu atau kami akan menghukummu karena engkau telah berani lancang memasuki tampat kami!”

“Aku tidak ingin berurusan dengan segala macam pembunuh dan anak buah melainkan dengan ketuanya!” kata Budhi yang juga marah.

“Keparat kurang ajar!” Klabangkoro lalu membentak marah dan dia sudah menerjang dengan pukulan kilat ke arah dada budhi. Budhi yang bagaimanapun juga pernah dihajar orang ini, cepat miringkan tubuh dan ketika kepalan tangan menyambar lewat, dia mendorong dengan tangannya ke arah pundak kanan Klabangkoro. Tubuh Klabangkoro terputar dan hampir roboh!

Merah sekali wajah Klabangkoro dan alisnya berdiri, matanya semakin lebar. Dia sedemikian marahnya dipermainkan di depan anak buahnya. Rasanya ingin dia menelan pemuda itu bulat-bulat!

“Jahanam busuk, berani engkau melawan?” Dan tiba-tiba timbul ingatannya akan aji Hasta Bajra. Kenapa tidak dia coba aji itu kepada pemuda yang nampaknya tangguh ini? Dia lalu mengeluarkan suara menggeram, mengerahkan tenaga dari Aji Hasta Bajra yang selama ini dia latih dari catatan Ki Sudibyo, lalu memukul dengan sepenuh tenaganya.

“Wirrrrr.......!” hawa panas sekali menyambar ke arah Budhi. Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa lawannya yang telah membunuh ibunya itu amat tangguh, sudah mengelak dengan cepat ke samping. Akan tetapi tangan kedua Klabangkoro sudah menyambar lagi ke arah kepalanya, mengeluarkan hawa panas yang sama. Budhi menagkis pukulan itu dan terasa batapa tenaga pukulan lawan tidaklah berapa hebat seperti tampaknya.

“Dukkk!” Tubuh Klabangkoro terdorong ke belakang dan terhuyung.

Klabangkoro terkejut sekali dan merasa penasaran. Benarkah aji Hasta Bajra yang dipelajarinya itu dapat ditangkis pemuda ini? Dia merasa tidak yakin dan segera menyerang lagi, sekali ini menggunakan kedua tangannya untuk menghantam dada Budhi. Akan tetapi Budhi yang sudah mengukur tenaga lawan menerima pukulan itu dengan dadanya.

“Bukk!” Dan kini tubuh Klabangkoro terpelanting sedangkan Budhi yang dipukul tidak bergeser sedikitpun. Klabangkoro terkejut setengah mati! Kalau begitu Hasta Bajra yang dipelajarinya itu palsu. Kalau asli tidak mungkin ada orang dapat bertahan menerima pukulan itu dengan dadanya! Dengan penasaran dia lalu mencabut pecutnya sambil berteriak kepada Mayangmurko dan kawan-kawannya.

“Maju, bunuh keparat ini! Tar-tar-tar.............!”

Akan tetapi sebelum mereka maju mengeroyok Budhi, terdengar bantakan nyaring,

“Tahan! Jangan berkelahi!”

Mendengar bentakan itu,semua murid Gagak Seto menahan senjatanya, bahkan Klabangkoro dan Mayangmurko juga mundur, membiarkan Niken untuk menghadapi pemuda yang ternyata digdaya itu. Niken meloncat maju ke depan Budhi. Kedua orang ini saling pandang. Keduanya terbelalak penuh keheranan.

“Niken.............!!”

“Budhi.................!!”

“Kau di sini, Niken?”

“Tentu saja! Aku memang tinggal disini. Dan engkau ......ada keperluan apa di sini?”

“Aku mencari ketua Gagak Seto, ada urusan penting sekali yang harus kusampaikan kepadanya!”

“Engkau mencari Bapa Guru Ki Sudibyo?”

“Bapa Guru? Jadi ketua Gagak Seto itu..........”

“Beliau bernama Ki Sudibyo dan dia guruku, Budhi.”

“Ahhh..............!” Budhi terkejut sekali sehingga dia melangkah tiga langkah ke belakang dan memandang wajah Niken dengan mata terbelalak dan wajah agak pucat.

“Kenapa, Budhi? Ada urusan apa engkau dengan guruku?”

“Aku hanya mau bertemu dengannya, bicara dengannya,Niken.”

“Nah, itulah, Niken. Dia tidak mau berterus terang, hanya berkeras hendak bertemu dengan Bapa Guru, maka kami menyerangnya.” kata Klabangkoro yang diam-diam merasa terkejut bukan main melihat hubungan yang nampaknya demikian akrab antara Niken dan Budhi.

Niken menatap wajah Budhi dengan penuh selidik. “Budhi, kita sudah saling mengenal. Karena guruku sedang tidak berada di sini, maka engkau boleh mengatakan urusan itu kepadaku saja. Aku yang akan mewakili guruku untuk membereskan semua persoalan. Tentu engkau percaya kepadaku, bukan?”

“Hemm, amat tidak enak kalau engkau mendengar urusan ini, Niken.”

“Tidak mengapa. Aku siap mendengarnya!”

“Baiklah,kalau engkau memaksa. Nah, dengarkan baik-baik. Orang yang bernama Klabangkoro ini, dialah yang membunuh ayah ibuku! Akan tetapi karena dia hanya suruhan, maka aku masih belum bertindak keras kepadanya. Aku ingin bertemu dengan orang yang menyuruhnya membunuh ayah ibuku, yaitu ketua Gagak Seto!”

Sepasang mata Niken terbelalak dan mukanya berubah pucat sekali. “Jadi engkau.........engkau ......Putera mendiang Ni Sawitri.......?”

“Bagus kalau engkau sudah tahu! Nah, aku harus membuat perhitungan dengan Ki Sudibyo yang telah mengutus murid-muridnya untuk membunuh ayah ibuku!”

“Budhi, jangan lakukan itu!” Niken berseru, hatinya seperti ditusuk rasanya karena bagaimanapun ia tentu saja membela gurunya, akan tetapi di lain pihak iapun tahu bahwa gurunya itu telah merasa berdosa membunuh ibu Budhi yang dulu adalah isterinya. Pada saat itu Klabangkoro dan Mayangmurko. Juga para murid lain sudah serentak maju mengeroyok Budhi.

“Dia hendak mencelakai Bapa Guru. Bunuh dia!” teriak Klabangkoro yang sudah menerjang dengan pecutnya. Diikuti Mayangmurko dan para murid yang lain. Karena melihat para murid sudah maju, Niken tidak dapat mencegahnya lagi. Tentu saja para murid itu menjadi marah mendengar bahwa guru mereka akan dicelakai orang.

Melihat semua orang maju mengeroyoknya, Budhi lalu meloncat jauh ke belakang dan melarikan diri. Dia menghendaki ketua Gagak Seto, bukan semua murid Gagak Seto. Apalagi di antara mereka terdapat Niken. Hatinya sedih bukan main dan dia mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga para murid Gagak Seto itu tidak ada yang mampu menyusulnya. Niken sendiri berdiri bengong dengan hati bingung bukan main. Bagaimana ia mampu mengalahkan Budhidarma yang hendak membalas kematian ayah ibunya? Akan tetapi kemudian ia teringat bahwa ia harus menceritakan segalanya kepada Budhi. Pemuda itu harus tahu apa yang sebenarnya yang membuat gurunya menyuruh Klabangkoro membunuh Ni Sawitri dan Margono. Dan harus memberitahu bahwa sebetulnya Budhi adalah anak kandung sendiri dari Ki Sudibyo. Begitu ingat akan hal ini, iapun cepat meloncat dan melakukan pengejaran.

Melihat gadis itu berlari cepat mengejar, Klabangkoro cepat mengajak Mayangmurko berunding.

“Celaka,” katanya setelah mereka berada berdua saja di dalam kamar.

“Agaknya pemuda itu adalah bocah yang dulu terlepas dari tanganku dan ditolong seorang kakek sakti.” kata Klabangkoro kepada adik seperguruannya.

“Akan tetapi, Niken sudah mengejarnya dan mudah-mudahan saja dapat membunuhnya!” kata Mayngmurko.

“Justeru itulah yang mengkhawatirkan hatiku. Mereka nampak begitu akrab. Bagaimana kalau mereka tidak jadi bermusuhan, dan Niken bahkan membantu pemuda itu?”

“Kalai begitu kita harus cepat membunuh Niken!” Kata Mayangmurko.

“Kita lihat saja nanti. Kalau Niken tidak dapat membunuh pemuda itu, kita harus cepat turun tangan. Ingat, kirim berita kepada Jinten agar ia bersembunyi terus, jangan sekali-kali keluar dari tempat persembunyiannya agar jangan sampai terlihat Niken”.

Demikianlah, kedua orang itu telah mengatur rencana untuk membunuh Niken andaikata Niken tidak memusuhi Budhidarma. Dan kurang lebih dua jam kemudian, Niken pulang dengan tangan Hampa.

“Bagaimana, Niken? Apakah engkau berhasil mengejar dan membunuh pengacau yang hendak memusuhi Bapa Guru itu?”

Niken menggeleng kepala. “Dia telah lari jauh dan aku kehilangan jejaknya. Paman, benarkah dia itu putera dari mendiang Ni Sawitri?”

Klabangkoro mengangguk. “Dahulu ketika aku mendapat tugas dari Bapa Guru, aku berhasil membunuh Ni Sawitri dan suaminya, Margono. Dan sekarang aku ingat, bocah itulah yang mengamuk dan menyerangku, dan dia tentu sudah kubunuh kalau saja tidak muncul seorang kakek sakti yang menolongnya.”

Niken menghela napas panjang. “Sayang sekali Bapa Guru mengeluarkan perintah seperti itu”.

“Kau mengenal pemuda itu, Niken?”

“Tentu saja. Dalam perjalanku beberapa kali kami bahkan saling bantu membantu dan dia adalah seorang ksatria yang gagah perkasa.” kata Niken dengan suara sedih dan iapun memasuki rumah induk Gagak Seto.

Malam itu Klabangkoro dan Mayangmurko mengadakan pesta untuk menyambut kedatangan Niken. Biarpun Niken tidak ada nafsu untuk makan enak, akan tetapi tentu saja ia merasa sukar untuk menolak penghormatan yang diberikan oleh para murid Gagak Seto itu. Dalam pesta makan enak itu, Niken berpesan kepada Klabangkoro dan Mayangmurko dengan suara sungguh-sungguh,

“Paman Klabangkoro dan Mayangmurko, pemuda bernama Budhidarma itu adalah putera mendiang Ni Sawitri dan Margono yang telah dibunuh atas perintah Bapa Guru. Karena itu, mulai sekarang harus diatur penjagaan ketat karena aku yakin bahwa dia tentu akan berusaha membalas dendam. Sayang Bapa Guru tidak berada di sini sehingga tidak ada yang mengambil keputusan.”

“Niken, bagaimana engkau bisa tahu tentang Ni Sawitri?” tanya Klabangkoro dengan heran.

Niken menghela napas panjang. “Bapa Guru yang memberitahu kepadaku.” Jawabnya singkat. “Berhati-hatilah. Budhidarma itu sakti mandraguna, jangan dilawan. Kalau dia muncul,cepat beritahu kepadaku.”

***NEXT***Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 026

***BACK***

No comments:

Post a Comment