Ads

Sunday, October 22, 2017

Banjir Darah di Borobudur Jilid 39

Akan tetapi, akhirnya tidak saja Siddha Kalagana harus mengakui keunggulan kedua pemuda perkasa itu, juga pasukan-pasukan Serigala Hitam harus mengakui pula kekuatan lawan yang jauh lebih besar jumlahnya.

Setelah melihat bahwa ia tidak mempunyai harapan lagi untuk menang maka Siddha Kalagana memberi isarat pada sisa pengikutnya untuk mundur, dan melihat tidak berguna lagi melanjutkan peperangan Siddha Kalagana lalu melarikan diri, diikuti oleh sisa pasukan Serigala Hitam dan dikejar oleh Rakai Pikatan dan Indrayana beserta pasukan-pasukan mereka.

“Babo-babo, sang prabu! Apa kau kira tidak ada orang yang berani menentangmu? Pergunakan senjatamu kalau engkau memang jantan!"

Pemuda itu menantang kembali sambil menyerang, dan Rakai Pikatan segera melompat ke belakang dan melarikan diri. Hampir saja ia bertubrukan dengan rombongan Prabu Samaratungga dan Indrayana memasuki tamansari. Semua orang terkejut dan heran melihat raja muda itu berlari ketakutan dengan muka pucat.

“Indrayana, adikku sayang…… kau tolonglah aku……“

Rakai Pikatan merangkul Indrayana dengan napas terengah-engah. Indrayana heran sekali dan memeluk raja muda itu.

“Apakah yang terjadi? Apakah paduka kalah menghadapi durjana itu?“

“Ah, aku tak kuat menghadapinya. Ia sakti mendraguna. Hanya engkaulah orangnya yang akan dapat mengalahkannya! Tolonglah aku dan tangkaplah maling itu, dimas Indrayana!“

Indrayana lalu mencabut kerisnya Bajradenta ( keris pusaka Kilat Putih ) dan secepat rusa melompat ia masuk ke dalam taman dengan hati panas. Siapa yang dapat mengganggu Pramodawardani dan menghina Sang Rakai Pikatan? Ketika ia masuk ke dalam pintu keputren, ia melihat seorang pemuda berdiri dengan keris di tangan.

“Maling hina dina, jangan kau lari!“ teriak Indrayana sambil melompat ke hadapan pemuda itu. Pemuda itu terkejut dan mengangkat muka memandang.

“Begitu lemahkah hatimu sehingga engkau masih mau membela raja yang tidak mengenal budi?“ pemuda itu menegur sambil memandang tajam.

Indrayana tertegun dan matanya terbelalak.
“Candra Dewi…… !“ bisiknya dan kerisnya terlepas dari pegangan. “Aduh, diajeng Dewi… kesuma hatiku…… , kemana saja gerangan engkau pergi selama ini? Tega benar engkau melihat aku merana…… mencari-carimu dengan hati luka karena duka nestapa dan bimbang……“

Pemuda itu menjadi lemas dan kerisnyapun terlepas dari pegangan, jatuh berdering di atas lantai. Ia menunduk dan dari kedua matanya menitik air mata! Indrayana maju menghampirinya dan memeluk kedua bahunya.

“Diajeng…… diajeng Dewi…… tak tahukah engkau bahwa aku dan kangmas Pancapana mencari-carimu sampai jauh? Siapa tahu engkau berada disini…… ah, jeng Dewi, bisa saja engkau mendatangkan gara-gara!“






“Aku…… aku hendak membalas dendam kepada Pancapana……“

Pada saat itu, rombongan Maha Raja Samaratungga datang diikuti oleh Rakai Pikatan yang masih nampak gelisah! Melihat betapa “maling“ itu berada dalam pelukan Indrayana, semua orang menjadi terheran-heran, kecuali Rakai Pikatan sendiri yang kini dapat tersenyum lega dan puas.

Puteri Mahkota Pramodawardani juga keluar dari biliknya dan tersenyum menggoda Candra Dewi yang cepat melepaskan diri dari pelukan Indrayana dan kini menggandeng tangan puteri mahkota itu.

“Eh, eh, apakah yang telah terjadi? Siapakah pemuda ini?“ Maha raja Samaratungga bertanya kepada puterinya sambil mengerutkan kening.

“Dia bukan pemuda, rama. Dia adalah seorang puteri pula, seorang puteri jelita yang bernama Candra Dewi, puteri dari Panembahan Bayumurti ! “

Maka berceritalah Candra Dewi kepada kedua pemuda itu, didengarkan pula oleh Maha Raja Samaratungga dan para senopati. Ternyata bahwa setelah melarikan diri dari tempat tinggal ayahnya, Candra Dewi yang merasa sakit hati kepada Rakai Pikatan karena pinangan yang membuat ia terpisah dari kekasihnya itu, Candra Dewi pergi merantau dan akhirnya bertapa di Puncak Gunung Suralaya di Pegunungan Kedeng.

Akhirnya ia lalu turun gunung dan menghadap Sang Puteri Pramodawardani, dan ia diterima oleh Puteri mahkota yang ramah tamah itu, dijadikan pelayan dan kawan yang terkasih.

Ketika diadakan sayembara, Candra Dewi mengaku kepada puteri Pramodawardani tentang keadaan dirinya, maka Pramodawardani yang juga merasa tidak senang mendengar perbuatan Rakai Pikatan yang pernah melamar Candra Dewi, lalu merencanakan akal untuk menggoda dan membalas. Rakai Pikatan terkena tipu ini dan mendapat malu di depan puteri calon permaisurinya !

Maha Raja Samaratungga menggeleng-geleng kepalanya.
“Aah, kalian orang-orang muda memang benar-benar aneh dan suka menimbulkan gara-gara! Sudahlah sekarang kalian telah bertemu dengan jodoh masing-masing. Hanya satu hal yang masih harus dilaksanakan, yaitu pembangaunan sebuah candi Buddha dan lambang persatuan antara Mataram dan Syailendra!“

Tiba-tiba, udara malam hari yang tadinya terang oleh bulan purnama itu, mejadi gelap seakan-akan mendung tebal menutup seluruh angkasa di atas Kerajaan Syailendra ! Bahkan api-api penerangan dari lampu-lampu yang terpasang disitu padam semua, membuat keadaan menjadi gelap sama sekali, sehingga melihat tangan sendiri tidak akan nampak.

Orang-orang menjadi kaget dan binggung, bahkan lalu terdengar jerit dan tangis di sana-sini seakan-akan iblis-iblis keluar mengamuk. Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak disusul oleh suara yang parau.

“Ha, ha, ha! Orang-orang Mataram dan syailendra! Jangan kira bahwa Siddha Kalagana mudah dikalahkan begitu saja!“

“Jahanam !“ berseru Rakai Pikatan dan Indrayana yang lalu mengambil senjata pusaka masing-masing.

Akan tetapi, apakah daya mereka dalam keadaan yang gelap gulita itu? Ternyata bahwa ilmu hitam yang dikeluarkan oleh Siddha Kalagana ini hebat sekali, membuat semua penerangan menjadi tertutup oleh kabut hitam tebal.

Dan lebih hebat lagi, di dalam kegelapan luar biasa itu, Siddha Kalagana membawa tentara Serigala Hitam menyerbu. Para prajurit yang menjaga di luar tamansari dan keraton menjadi bingung dan panik. Mereka tidak dapat melihat musuh dan tahu-tahu banyak prajurit jatuh bergelimpangan ditusuk lembing. Ada pula yang bertempur melawan kawan-kawan sendiri yang disangka musuh.

Terdengar pekik Pramodawardani dan Candra Dewi ketika dua buah lengan yang kuat menyambar tubuh mereka dan mereka diseret keluar dari tamansari. Indrayana dan Rakai Pikatan segera mengejar, akan tetapi mereka tersandung dan jatuh terguling di dalam gelap.

“Kakangmas Pancapana, lekas menyebut nama Eyang Ekalaya……”

Kedua orang muda itu lalu duduk bersila dan mengheningkan cipta, minta pertolongan guru mereka, Sang Panembahan Ekalaya.

Tiba-tiba terdengar suara guntur menyambar dibarengi kilat bercahaya dan seketika itu juga lenyaplah kabut hitam tebal yang menggelapi udara. Bulan purnama bercahaya kembali sepenuhnya, tidak lagi terhalang oleh mendung hitam.

Indrayana dan Rakai Pikatan melompat bangun dan melihat tiga orang kakek berdiri di hadapan mereka. Ternyata bahwa mereka ini adalah Wiku Dutaprayoga ayah Indrayana, Panembahan Bayumurti ayah Candra Dewi dan seorang tua tinggi dan berwajah agung yang mereka kenal. Agaknya tiga orang tua sakti inilah yang membuyarkan pengaruh ilmu hitam Siddha Kalagana.

Indrayana dan Rakai Pikatan hendak memberi hormat, akan tetapi panembahan Bayumurti menunjuk ke luar pintu tamansari dan berkata,

“Kesanalah larinya Siddha Kalagana yang menculik Sang Puteri dan Candra Dewi ! “

Bagai anak panah melesat dari busurnya, kedua orang muda itu lalu melompat keluar dari tamansari dan mengejar. Benar saja, disana kelihatan Siddha Kalagana sedang menyeret-nyeret kedua orang dara yang meronta-ronta itu.

Ketika Siddha Kalagana melihat Indrayana dan Rakai Pikatan datang memburu, terpaksa melepaskan kedua orang dara itu dan dengan muka buas ia menerjang.

Pertempuran terjadi hebat sekali. Kali ini Indrayana dan Rakai Pikatan menyerang dengan penuh amarah. Gerakan tangan mereka yang memegang senjata bagaikan tangan maut sendiri yang menjangkau dan hendak merenggut nyawa pendeta busuk itu, Siddha Kalagana menjadi gentar karena ilmu hitamnya dapat dibuyarkan, maka ia melawan dengan setengah hati dan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan diri.

Sementara itu, setelah keadaan menjadi terang kembali, para prajurit Syailendra, dibantu oleh para prajurit Mataram yang sudah menyerbu pula kesitu, membikin pembalasan hebat. Mereka menyerang pasukan Serigala Hitam, menghantam sepuasnya sehingga dalam waktu singkat semua anggota Serigala Hitam dapat dibunuh atau dilukai.

Pertempuran antara Siddha Kalagana melawan Indrayana dan Rakai Pikatan makin hebat. Pendeta itu beberapa kali mencoba untuk melarikan diri, akan tetapi ia selalu dikejar sehingga akhirnya, keris pusaka Bajradenta dengan tepat sekali telah terbenam ke dalam dadanya dan pedang Rakai Pikatan membacok lehernya sehingga hampir putus.

Siddha Kalagana memekik ngeri, akan tetapi sungguh luar biasa, pendeta ini masih dapat melompat jauh dan melarikan diri, sungguhpun luka-lukanya ini bagi orang lain tentu akan mendatangkan maut !

Indrayana dan Rakai Pikatan saling pandang dengan heran, dan hendak mengejar. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh Siddha Kalagana yang lari itu terhuyung-huyung, menabrak pohon waringin lalu jatuh terguling dalam keadaan tertelungkap. Indrayana menghampiri tubuh ini dan dengan kakinya ia membalikkan tubuh pendeta itu. Ternyata bahwa Siddha Kalagana telah tewas.

**** 39 ****
Banjir Darah di Borobudur







No comments:

Post a Comment