Ads

Sunday, October 22, 2017

Banjir Darah di Borobudur Jilid 36

Sarpajati dan Sarpawuyung lalu menggeram dan kedua orang ini menyerang dengan hebat sekali, lembing mereka yang ujungnya hitam dan berbisa itu menyambar-nyambar kearah tubuh Indrayana.

Indrayana harus menggunakan kegesitannya untuk menghindarkan diri daripada bahaya maut itu. Ia maklum akan keampuhan lembing itu dan ternyata bahwa gerakan kedua orang itu amat gesit. Diam-diam Indrayana yang tidak tahu bahwa lawannya adalah bekas perwira-perwira Mataram, merasa heran sekali bagaimana orang-orang liar ini memiliki gerakan ilmu berkelahi yang cukup tinggi dan indah. Ia mengerahkan kelincahan dan tenaga, menghadapi dua lembing yang berbahaya itu dengan kerisnya.

Berkali-kali ia mencoba untuk mematahkan senjata lembing lawan dengan kerisnya yang ampuh, akan tetapi ternyata bahwa lembing kedua orang kembar itupun terbuat daripada logam hitam yang kuat sekali.

Oleh karena kedua orang lawannya itu memiliki kepandaian tinggi, maka Indrayana yang dikeroyok dua lambat laun mulai terdesak. Hanya berkat kegesitannya yang luar biasa saja pemuda ini masih dapat meluputkan diri mempergunakan kekebalannya untuk menahan serangan lembing, akan tetapi bisa yang amat kuat dan berbahaya di ujung lembing itu akan dapat menimbulkan bencana juga.

Indrayana maklum sepenuhnya akan bahaya ini, maka ia selalu menghindarkan diri dari tusukan senjata lawan sehingga tubuhnya berkelebatan diantara sinar senjata lawan.

Sementara itu, setelah tadi dikebut oleh ikat kepala Indrayana, Rakai Pikatan menjadi sadar dari pengaruh aji panyirepan dia mulai membuka mata dan menggerakkan tubuhnya yang terasa kaku dan lemah karena pengaruh aji ilmu hitam itu. Sang Pikatan maklum bahwa ia tentu terkena hikmat ilmu hitam, maka cepat-cepat ia bangun duduk dan bersila, mengumpulkan napas dan bersamadhi sebentar, mengatur jalannya pernapasan untuk membersihkan hawa yang menghikmatinya selama ia tertidur tadi.

Kemudian, ia membuka matanya dan melihat betapa Indrayana terdesak hebat oleh kedua orang gundul yang amat sakti itu, ia cepat melompat berdiri. Rakai Pikatan dapat menduga bahwa ia tentu telah kena pengaruh ilmu hitam kedua orang itu dan bahwa Indrayanalah yang telah menolongnya.

“Dimas Indrayana, jangan khawatir, aku datang membantumu!”

Setelah berkata demikian, Raja Mataram ini mencabut pedangnya dan melompat ke dalam gelanggang pertempuran. Kini pertempuran menjadi makin seru. Rakai Pikatan dilawan oleh Sarpajati sedangkan Indrayana menghadapi Sarpawuyung.

Tiba-tiba saja Sarpajati menahan pedang Rakai Pikatan dengan lembingnya, lalu bertanya sambil memandang tajam.

“Kau Raja Mataram yang berjuluk Rakai Pikatan. Melihat wajahmu, kau serupa benar dengan mendiang Sang Prabu Sanjaya. Ada hubungan apakah kau dengan raja tua itu?”

“Sang Prabu Sanjaya adalah ramandaku. Apa perlumu menyebut nama mendiang ramanda prabu?”

Mendengar jawaban ini, Sarpajati tertawa tergelak dan mukanya Nampak makin buas.
“Ha, ha, ha! Kebetulan sekali! Kalau begitu, kau tentulah Pangeran pati Pancapana! Ha, akan tercapailah hasrat hatiku membalas dendam. Ketahuilah, Sang Prabu Pikatan! Aku dan adikku ini dahulu adalah perwira-perwira Kerajaan Mataram yang telah banyak membuat jasa terhadap kerajaan. Akan tetapi, ayahmu yang tidak mengenal budi itu telah mengusir kami. Sekarang, karena ayahmu telah meninggal dunia, kaulah yang menjadi penggantinya dan harus membayar hutang orang tuamu!”






“Sudah sepantasnya mendiang ramanda prabu mengusir kalian kaerna kalian adalah orang–orang yang jahat.”

“Keparat, rasakan pembalasanku!” Setelah membentak demikian, Sarpajati lalu menyerang dengan murka dan nekat.

Akan tetapi, Sang Rakai Pikatan dapat menahan dengan pedangnya dan mereka segera bertempur dengan seru sekali. Kini, setelah menghadapi Sarpawuyung seorang saja, Indrayana tidak merasa berat, bahkan gerakan kerisnya selalu mengancam jiwa lawannya.

Sarpawuyung selalu mundur dan amat terdesak oleh keris Indrayana yang bagaikan telah berubah menjadi puluhan buah itu. Sarpawuyung maklum bahwa ia takkan dapat menang, maka diam-diam ia membaca manteranya dan ketika ia menyemburkan hawa dari mulutnya, maka segumpal uap hijau menyerang kearah muka Indrayana!

Pemuda ini maklum akan bahaya dan dapat menduga bahwa uap hijau itu bukanlah sembarang uap, akan tetapi uap yang terjadi karena ilmu hitam dan yang mengandung bisa berbahaya atau pengaruh yang kuat, maka ia lalu menahan napas untuk menjaga diri, kemudian ia mengebutkan ikat kepalanya yang selain ampuh juga digerakkan dengan tenaga luar biasa.

Sarpawuyung hendak mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri, akan tetapi Indrayana cepat melompat mengejarnya.

“Keparat keji, jangan lari!" teriaknya sambil menyerang dengan kerisnya.

Ketika Sarpawuyung menangkis dengan lembingnya, Indrayana cepat menarik kembali kerinsya dan mengirim sebuah tendangan dengan kaki kirinya ke arah lawannya. Sarpawuyung terkejut sekali karena ia tidak menyangka akan serangan yang cepat sekali datangnya ini. Ia lalu menyabetkan lembingnya ke arah kaki Indrayana yang menendang dengan maksud melukai kaki itu, karena sekali saja ujung lembingnya dapat melukai kulit tubuh lawan, berarti ia akan memperoleh kemenangan.

Namun, Indrayana tidak dapat di jatuhkan begitu saja. Pemuda ini semenjak kecilnya memang telah mempelajari berbagai ilmu pukulan yang tinggi dan memiliki gerakan yang melebihi seekor raja kera gesitnya. Ia sengaja memperlambat gerakannya dan ketika ujung lembing lawan sudah dekat sekali dengan kakinya, secepat kilat ia menarik kembali kaki itu dan berbareng pada saat itu juga kerisnya bekerja. Keris itu di ditusukkan kedepan dan ……

“cap!“ uluhati Sarwapayung ternyata tidak dapat menahan serangan keris Indrayana sehingga keris itu menancap sampai ke gagangnya,

Indrayana mencabut kembali kerisnya sambil melompat ke belakang, sebelum roboh Sarwapayung telah melontarkan lembingnya ke depan dan kalau saja Indrayana berada di depannya, maka agaknya akan sukar bagi pemuda itu untuk mengelak. Sarwapayung roboh mandi darah dan tak dapat berkutik lagi.

Ketika Indrayana memandang ke arah Rakai Pikatan ternyata Raja Mataram itu masih bertempur ramai melawan Sarjapati yang ternyata juga hebat sekali kepandaiannya. Semenjak tadi, memang ilmu pedang Rakai Pikatan lebih unggul dan dapat menekan lembing lawannya, akan tetapi seperti juga Indrayana, Rakai Pikatan maklum akan kejamnya lembing berbisa itu, maka selalu bertempur dengan hati-hati jangan sampai terluka sedikitpun juga.

Sarjapati merasa kewalahan menghadapi Sang Prabu Pikatan, dan telah beberapa kali ia mencari jalan untuk melarikan diri. Lebih-lebih setelah ia melihat betapa adiknya telah tewas dalam tangan Indrayana, semangatnya telah terbang dan keberaniannya lenyap sama sekali. Ia lalu membaca mantera dan ketika ia memekik nyaring, dalam pandang mata Rakai Pikatan lawannya itu lenyap berobah menjadi asap!

Akan tetapi Raja Mataram itu cepat mempergunakan aji kesaktian yang ia pelajari dari Bagawan Ekalaya untuk melawan ilmu hitam. Tiga kali ia menggosok matanya sambil membaca mantera dan nampaklah lagi olehnya Sarjapati yang sedang melarikan diri.

“Jahanam, jangan kau lari ! “ serunya sambil mengejar.

Bukan main terkejutnya Sarjapati ketika melihat lawannya dapat mengejarnya, maka terpaksa ia melawan lagi dengan nekad dan mati-matian. Seperti juga adiknya ia mengeluarkan uap hijau dari mulutnya, namun tetap saja lawannya yang gagah itu apat menghindarkan diri.

Gerakan pedang Rakai Pikatan dipercepat sehingga mendatangkan angin dan sinar pedangnya berkilat-kilat menyambar. Uap hijau ketika terkena sambaran cahaya pedangnya, menjadi buyar pula. Akhirnya, dengan sebuah bacokan hebat, leher Sarjapati hampir putus oleh pedang Rakai Pikatan! Tewaslah dua orang manusia iblis yang telah lama merupakan gangguan bagi rakyat Syailendra itu, binasa di dalam tangan Indrayana dan Rakai Pikatan.

Kini kedua orang muda itu berdiri lagi berhadapan, saling pandang dengan senjata di tangan! Matahari telah naik tinggi dan wajah mereka berkilat karena peluh mereka membasahi jidat dan leher. Pertempuran melawan dua orang kembar tadi benar-benar membutuhkan pengerahan tenaga yang tidak sedikit. Apakah dua orang jago muda ini hendak melanjutkan pertempuran mereka malam tadi ?

“Bagaimana Indrayana? Masih hendak kau lanjutkan jugakah kekurang ajaranmu terhadap aku. Kalau kau memang membenciku, mengapa pula kau tadi menolongku dari ancaman kedua siluman ini ? Sungguh kau orang aneh, Indrayana ! “

“Mengapa tidak kuteruskan? Kau kira aku takut kepadamu?" jawab Indrayana dengan keris menggigil di tangannya. "Menolongmu tidak ada hubungannya dengan pertempuran kita. Sudah menjadi watak seorang ksatria untuk menolong siapa saja yang terancam bahaya karena kecurangan orang jahat. “

Sang Prabu Pikatan tersenyum menyindir.
“Pandai kau berbicara, Indrayana. Apakah kau sendiri juga tidak berlaku curang? Ketika kau membawa suratku dan menjadi utusanku, kau masih menjadi seorang kawula yang bertugas. Akan tetapi kau telah berlaku curang dan khianat. Kau telah melarikan Candra Dewi yang kupinang. Dan sekarang kau hendak menghalangi aku memboyong Pramodawardani? Apakah semua puteri hendak kau borong? Apakah kau tega untuk menyakiti hati Candra Dewi yang telah menjadi isterimu?“

“Kakangmas Pancapana…… demi Dewi Yang Maha Agung, katakanlah sekali lagi. Benarkah Candra Dewi tidak menjadi permaisurimu? Apakah artinya semua ini… ??“

Sang Prabu Pikatan juga memandang dengan penuh keheranan. Raja Mataram ini menyimpan kembali pedangnya.

“Dimas Indrayana! Bukankah Candra Dewi telah lari dengan kau? telah menjadi isterimu?“

“Tidak, tidak! Setelah memberikan surat pinanganmu kepada Paman Panembahan Bayumurti, aku lalu pergi kembali ke rumah rama wiku di syailendra. Dimanakah adanya Jeng Dewi ? “

Maka berceritalah Sang Prabu Pikatan akan berita dari Panembahan Bayumurti bahwa Candra Dewi menolak pinangan itu dan bahkan dara itu lalu melarikan diri.

“Tentu saja aku mengira bahwa Candra Dewi melarikan diri bersamamu karena kalian berdua saling mencintai. Itu pulalah yang membuat aku diam saja, bahkan aku telah merasa menyesal mengapa aku hendak memisahkan ikatan asmara yang dengan amat teguhnya mengikat hatimu berdua. Sungguh sama sekali tidak kuduga bahwa Candra Dewi melarikan diri tanpa kau!“

Mendengar ini, lemaslah tubuh Indrayana,
“Mengapa aku sebodoh ini? Sang Prabu, cabutlah pedangmu dan penggallah leherku. Hamba telah berlaku bodoh dan sesat. Ah, diajeng Dewi……“ Tak terasa pula air matanya menitik.

Sang Rakai Pikatan merasa terharu sekali. Ia memegang kedua bahu Indrayana.
“Jangan kau bersikap demikian. Kau hanya memperberat penderitaanku yang timbul karena penyesalanku. Sesungguhnya akulah yang menjadi gara-gara semua ini. Marilah kita pergi mencari Candra Dewi, dimas. Aku akan mendapatkannya untukmu. Aku takkan merasa bahagia memboyong Pramodawardani sebelum melihat engkau berkumpul kembali dengan Candra Dewi! “

Dengan hati terharu kedua orang muda yang dahulu menjadi sahabat karib itu bersama-sama pergi menuju tempat pertapaan Panembahan Bayumurti untuk mencari Candra Dewi.

Akan tetapi mereka kecele, karena setelah tiba di tempat itu, ternyata bahwa Sang Panembahan Bayumurti dan puterinya tidak berada disitu pula. Prabu Pikatan tidak putus harapan, dan ia lalu mengajak Imdrayana untuk mencari jejak ayah dan anak itu yang menuju ke timur. Raja Mataram ini tidak memperdulikan lagi akan sayembara meminang puteri mahkota Syailendra karena telah bertekad untuk mencari Candra Dewi sampai dapat. Dia merasa berdosa terhadap Candra Dewi dan Indrayana.

**** 36 ****
Banjir Darah di Borobudur







No comments:

Post a Comment