Ads

Saturday, October 21, 2017

Banjir Darah di Borobudur Jilid 28

Sang Prabu Samaratungga berdiri dari kursinya dengan wajah pucat. Ia teringat akan sabda seorang wiku sakti yang telah meinggal dunia dahulu yang menyatakan bahwa apabila gendewa pusaka Dewandanu patah, maka itu berarti bahwa Kerajaan Syailendra telah tiba masanya untuk lenyap dari tanah Jawa !

Siddha Kalagana melemparkan patahan gendewa itu ke tanah, tertawa bergelak dan berkata kepada Sang Prabu Samaratungga,

“Ha, ha, ha ! Tidak tahunya gendewa pusaka itu hanya terbuat dari bahan kayu yang lembek saja! Mana dia dapat menahan tenaga tanganku Sang Prabu, sekarang setelah saya dapat menempuh syarat pertama dengan baik, umumkanlah apakah syarat selanjutnya ? Menurut pendengaranku, ditetapkan adanya tiga macam syarat ! “

Terpaksa Sang Prabu Samaratungga lalu berdiri dan berkata dengan suara lantang.
“Telah kusaksikan bahwa yang kuat menarik gendewa pusaka Dewandanu ada lima orang. Syarat-syarat sayembara ini masih ada dua macam lagi, yaitu pertama kali, peserta harus dapat melenyapkan hawa siluman yang mengotori puncak Gunung Papak. Adapun syarat terakhir ialah bahwa si peserta harus dapat mengusir semua ancaman musuh yang hendak menyerang atau mengganggu keamanan Kerajaan Syailendra!“

Tiba-tiba Pramodawardani berbisik kepada ayahnya,
“Ramanda Prabu, hamba kira lebih baik kalau para peserta itu memperkenalkan diri masing-masing terlebih dahulu. “

Diam-diam Prabu Samaratungga memuji kecerdikan puterinya ini, karena memang perlu sekali mengetahui nama-nama daripada calon suami puteri mahkota.

“Sebelum sayembara ini dilanjutkan, perlu diketahui nama-nama para peserta yang lulus dalam syarat pertama. Orang pertama dan kedua telah diketahui, yaitu utusan-utusan dari Kerajaan Sriwijaya yang bernama Senapati Kalinggapati dan Kalinggajaya. Orang ke empat adalah Raden Indrayana putera Wiku Dutaprayoga seorang kawula Syailendra sendiri dan orang kelima adalah Siddha Kalagana yang terkenal sebagai seorang pendeta dan juga kini menjadi raja. Akan tetapi, siapakah peserta ke tiga? Harap suka memperkenalkan nama dan kedudukan !“

Sang Rakai Pikatan berdiri dengan tenang dan senyum di bibirnya yang tak pernah meninggalkan wajahnya.

“Sang Maha Raja yang mulia harap maklum bahwa saya adalah Raja dari Mataram yang berjuluk Sang Rakai Pikatan. “

Berisiklah para penonton ketika mendengar nama raja muda yang amat terkenal ini. Memang, nama Rakai Pikatan sebagai raja muda di Mataram amat terkenal dan menjadi buah bibir rakyat, karena raja muda yang masih perjaka itu dikhabarkan amat tampan, sakti dan bijaksana sehingga dalam waktu setahun saja telah berhasil membangun Mataram kembali menjadi jaya dan makmur.

Sang Prabu Samaratungga sendiri tertegun sejenak mendengar nama ini. Ia merasa amat bangga dan juga bingung. Raja Mataram merupakan tandingan berat bagi pangeran sriwijaya, maka kini pilihannya hanya condong kepada kedua calon ini, yakni pangeran pati dari Sriwijaya atau raja muda dari Mataram.

Sebaliknya, Pramodawardani mengerutkan keningnya. Ia maklum bahwa raja muda dari Mataram itu beragama Hindu, maka bagaimanakah kalau sampai ia menjadi permaisurinya? Kalau mengingat akan kedudukan, tentu saja lebih baik menjadi permaisuri Mataram, akan tetapi kalau mengingat akan agama, agaknya lebih baik menjadi istri Raden Indrayana.






Adapun tentang kegagahan dan kecakapan, sukarlah untuk memilih antara kedua pemuda ksatria itu! Sama halus, sama tampan, sama gagah! Tiba-tiba mendapat sebuah pikiran yang baik. Betapapun juga, agaknya ayahnya tentu akan memilih Raja Mataram daripada Raden Indrayana dan untuk mencoba dari raja muda yang beragama Hindu itu hanya ada satu jalan yang amat baik.

Ibu kota Mataram dipindahkan kembali dari puncak Gunung dieng ke ibu kota medang yang makin lama makin menjadi besar dan ramai. Belum setahun Sang Prabu Pikatan memegang tampuk kerajaan, Mataram telah menjadi besar dan jaya, bahkan boleh dikata lebih besar daripada dahulu-dahulu. Semua ini berkat kebijaksanaan Sang Prabu Rakai Pikatan yang adil dan membela rakyat.

Para petugas yang curang dan memeras rakyat disapu habis-habisan. Semua pamongpraja bekerja dengan setia dan jujur, benar-benar merupakan pimpinan dan pembimbing rakyat yang membela dan melindungi kawula Mataram, tidak seperti di bawah perintah Prabu Panamkaran, dimana tidak ada pemimpin yang benar-benar memimpin, yang ada melainkan pembesar yang hanya mementingkan urusan perut sendiri tak perduli akan keadaan rakyat jelata yang tercekik, kelaparan dan telanjang! Setelah Sang Prabu Pikatan pindah ke Medang, Indrayana lalu minta diri dari sahabatnya ini untuk kembali ke Syailendra mencari ayahnya, Sang Wiku Dutaprayoga,

“Aduhai, dimas Indrayana. Mengapa hendak meninggalkan aku? Kita telah bersama semenjak mengalami kesengsaraan, sama-sama berjuang bahu-membahu. Setelah kini aku mencapai cita-cita dan menikmati hasil perjuangan kita, mengapa kau hendak meninggalkanku? Marilah kita bersama menikmati kebahagiaan di Mataram dan kau bantulah pekerjaanku. Tidak ada patih yang lebih kuingini selain engkau, adikku yang budiman!” kata Sang Prabu Pikatan.

Indrayana tersenyum dan menyembah. Setelah Pancapana menjadi raja, tentu saja ia tidak dapat bersikap seperti dahulu, dan menurut tatasusila, ia harus menunjukkan sikap sebagai seorang hamba kepada junjungannya.

“Paduka telah maklum bahwa tiada kegembiraan lain kecuali mengabdi kepada paduka dan bekerja sama dengan paduka yang selalu menjadi cita-cita hamba. Akan tetapi, sekarang Mataram telah bangkit kembali, sudah tercapai idam-idaman hati yang dikandung selama kita berjuang. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban hamba untuk mengingatkan kembali kepada Kerajaan Syailendra. Oleh karena betapapun juga, hamba adalah kawula Syailendra. Hamba mendengar berita angin bahwasannya kerajaan Sang Prabu Samaratungga kini sedang berada dalam ancaman musuh dari timur. Tentu takkan membenarkan apabila hamba berpeluk tangan saja.”

Sang Prabu Pikatan mengangguk-angguk.
“Kau benar, dimas, memang demikianlah seharusnya watak seorang ksatrya, siap-siaga berjuang membela negara, membela kebenaran, dan mengerahkan tenaga untuk menghancurkan segala macam kejahatan. Akan tetapi, sebelum kau pergi ke Syailendra, kuharap kau suka mampir lebih dahulu di pondok paman Panembahan Bayumurti.”

Merahlah wajah Indrayana mendengar ini karena tentu saja nama panembahan ini mengingatkan dia akan puteri panembahan itu, Candra Dewi, kekasihnya.

“Baiklah, dan ada pesan apakah yang harus hamba sampaikan?”

“Dimas Indrayana, dengarlah baik-baik, dimas. Aku hendak mengirim sebuah surat kepada paman panembahan, dan kau sebagai utusan dan wakilku, ada baiknya bila kau mengetahui apa yang menjadi maksud hatiku. Ketahuilah bahwa para pini sepuh yang mengembani Kerajaan Mataram, termasuk para panembahan dan senopati sepuh yang banyak berjasa semenjak rama prabu masih hidup, telah berkali-kali mendesak kepadaku untuk segera krama (menikah). Seorang raja besar tanpa permaisuri akan tampak janggal dan dapat mengecewakan hati para kawula. Kupikir benar juga desakan itu dan kurang enaklah kalau aku menolak terus-menerus, apalagi karena sekarang akupun telah cukup dewasa.”

Indrayana tersenyum dan mukanya berseri gembira.
“Catatlah Sang Prabu, bahwa hamba juga menjadi seorang diantara mereka yang mendesak usul ini! Alangkah gembira hati hamba menyaksikan paduka bersanding dengan permaisuri yang cantik dan juga mulia dan agung bijaksana.”

“Benar katamu, dimas. Seorang permaisuri harus cantik dan juga mulia, harus indah lahir batin. Inilah yang amat kukhawatirkan. Mudah saja mencari wanita cantik jelita, akan tetapi sukarlah mendapatkan yang cantik hatinya. Oleh karena itu, menurut pandanganku, hanya seoranglah wanita di dunia ini yang cantik lahir batin, yang sudah kuuji dan kuketahui sendiri keindahan lahir batinnya. Hanya dia seoranglah yang patut menjadi permaisuriku, dan terutama sekali, menjadi seorang wanita termulia yang dipuja-puja oleh seluruh rakyat di Mataram ! “

Makin berserilah wajah Indrayana. Tak pernah disangkanya bahwa Pancapana telah mempunyai pilihan ! Belum pernah pemuda itu dahulu memberitahukannya.

“Bolehkah kiranya hamba mengetahui siapa adanya puteri yang mulia itu ?“

“Siapa lagi kalau bukan diajeng Candra Dewi?"

Kalau ada halilintar menyambar masuk ke dalam ruang keraton itu dan meledak di depan matanya, tak mungkin Indrayana akan sekaget itu. Wajahnya seketika menjadi pucat dan sepasang matanya memandang ke arah Sang Prabu Pikitan dengan bengong bagaikan pandang mata orang yang kehilangan semangatnya.

“Ampunkan hamba, mohon diulang sekali lagi nama puteri itu, agar hamba tidak sampai salah dengar, “ akhirnya Indrayana dapat juga mengeluarkan suara, lalu mendengarkan jawaban yang akan diucapkan oleh raja muda itu dengan penuh perhatian hampir tak bernapas saking tegangnya.

Melihat pandangan mata Indrayana, terharulah Sang Prabu Pikatan, sehingga ia turun dari singgasana, menghampiri kawannya itu dan memegang kedua pundaknya.

“Indrayana, tidak salah pendengaranmu tadi, memang yang kumaksudkan adalah diajeng Candra Dewi, puteri tunggal paman Panembahan Bayumurti, atau juga adik seperguruan kita. “

Kedua pundak Indrayana mengeras di bawah pegangan Prabu Pikatan dan wajahnya kini seakan-akan tak berdarah lagi.

“Tidak…… tidak kelirukah pilihan paduka…… ?“ tanyanya perlahan dan lemah.

Sang Prabu Pikatan menarik napas panjang lalu duduk kembali di atas singgasananya. Ia memandang tajam lalu berkata dengan suara tenang.

“Dimas Indrayana, aku maklum akan perasaan hatimu. Aku tahu bahwa kau mencintai diajeng Candra Dewi dan mungkin juga dia mencintaimu. Akan tetapi, harus kau ketahui bahwa sebelum dia berjumpa denganmu, akupun telah menaruh hati kasih sayang yang besar kepadanya. Kasih sayangku itu dahulu seperti kasih sayang kepada seorang adik kandung, akan tetapi sekarang, karena aku membutuhkan seorang permaisuri yang sempurna, kiraku selain diajeng Candra Dewi, tidak ada lagi lain wanita yang patut menduduki singgasana Mataram sebagai permaisuri.

Kalau kiranya aku tidak menjadi raja di Mataram, agaknya akan dapat aku merelakan hati, mengalah terhadapmu, dimas Indrayana. Akan tetapi ketahuilah bahwa mataram adalah yang terutama bagiku, yang harus kujaga, baik namanya maupun kemakmuran dan kejayaannya. Kerajaan Mataram bagiku lebih berharga, lebih suci dan lebih kuutamakan daripada apapun juga. Lebih besar daripada rasa sayangku kepadamu, bahkan lebih besar daripada sayangku kepada nyawa sendiri. Harap kau maklum akan hal ini, dimas, “

Ucapan yang panjang itu terdengar oleh Indrayana bagaikan suara dari Khayangan yang lambat laun turun dan berubah menjadi sebatang keris yang menancap di jantungnya sehingga berdarah dan perih ia menundukkan mukanya dan berkata dengan suara berisik,

“Sang Prabu, tidak adakah lain wanita yang sepadan menjadi permaisurimu?“

“Jangan salah faham, dimas Indrayana. Banyak sekali wanita yang cukup pantas mejadi isteri Pancapana, akan tetapi, selain diajeng Candra Dewi, kiranya tidak ada lain dara yang patut menjadi permaisuri Sang Prabu Pikatan, raja dari Mataram! mengerti kau?“

Indrayana tak kuasa menjawab, hanya mengganguk. Kemudian ia menggigit bibirnya dan berkata,

“Serahkanlah surat itu kepada hamba, hendak hamba kerjakan tugas terakhir untuk paduka.“

Sang Prabu Pikatan memberikan suratnya kepada Indrayana dan berkata,
“Dimas Indrayana, selama hidupku takkan kulupakan kemuliaan budimu, dan kalau sewaktu-waktu kau telah menjatuhkan pilihanmu kepada seorang puteri, katakan saja kepadaku. Akulah yang akan mendapatkannya untukmu, baik dengan cara halus maupun kasar!“

Akan tetapi, tanpa menjawab Indrayana lalu menerima surat itu dan mundur. Bagaikan terbang, ia berlari keluar dari keraton dan terus melakukan perjalanan menuju ke tempat pertapaan Panembahan Bayumurti. Setelah bayangan Indrayana lenyap dari hadapannya. Sang Prabu Pikatan menarik napas panjang berulang-ulang dan berbisik seorang diri.

“Maafkan aku, dimas Indrayana. Aku tidak melihat jalan lain. Selain Candra Dewi, siapakah lagi yang patut disembah oleh rakyatku? Tidak ada pilihan lain bagiku. Biarlah kau dan aku berkorban perasaan demi kejayaan dan kebesaran nama Mataram……“

**** 28 ****
Banjir Darah di Borobudur







No comments:

Post a Comment