Ads

Saturday, October 21, 2017

Banjir Darah di Borobudur Jilid 26

“Apa?“ seru Patih Bandudarma dengan mata melotot memandang wajah Indrayana penuh kecurigaan. “Pangeran Pancapana masih hidup? Tidak bohongkah kau, anak muda ? “

Indrayana menantang pandang mata Bandudarma dengan sinar marah.
“Untuk apa aku membohong kepadamu? Aku datang sebagai utusan Pangeran Pancapana, Putera Mahkota Mataram, juga utusan para senopati sepuh dari Mataram untuk menyampaikan surat kehadapan Sang Prabu Panamkaran. Mengapa aku harus membohong? Untuk apa? Lekas bawa aku menghadap Sang Prabu!“

Indrayana sudah kehilangan sabarnya karena semenjak ia datang di Mataram, orang selalu mencurigainya dan menyambut tidak sebagaimana mestinya.

“Serahkan saja surat itu kepada kami. Sebagai patih dalam dan senapati Mataram, kami hendak menerima surat itu mewakili Sang Prabu.“

“Tidak!“ jawab Indrayana tegas.“ Harus tanganku sendiri yang menyerahkan surat ini kepada Sang Prabu Panamkaran. Itu adalah tugasku. Mengapakah kalian agaknya tidak rela membiarkan aku menghadap Sang Prabu ? “

Bandudarma menyeringai.
“Kami masih belum percaya penuh kepadamu, Indrayana. Siapa tahu kalau-kalau kau adalah seorang pesuruh dari Yudasena yang datang untuk membunuh Sang Prabu1“

Merah muka Indrayana mendengar ini.
“kalau aku benar seorang pesuruh Yudasena, yang kubunuh bukannya Sang Prabu, melainkan kalian berdualah yang semenjak tadi tentu sudah menjadi makanan kerisku!“

“Bangsat kurang ajar!“ seru bandupati marah sekali.

Tanpa memberi peringatan terlebih dahulu, kepalan tangannya melayang ke arah kepala, Indrayana menangkap lengan lawan yang memukul itu, membetot, mengayun dan melepaskan dan…… melayanglah tubuh Bandupati keluar dari pendapa kepatihan itu, jatuh berdebuk di atas tanah !

Indrayana berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bertolak pinggang.

“Patih Bandudarma!“ bentaknya dengan muka merah dan mata berapi, “Bukan aku yang kurang ajar, akan tetapi kau dan adikmu itulah! Kalian sebagai patih yang sudah tua tentu maklum akan tata susila, maklum bagaimana harus menyambut seorang utusan raja! Kalian tidak menyambut aku sebagai mana mestinya, bahkan berani menghina. Hayo, sekarang kau mau membawa aku menghadap Sang Prabu, ataukah aku akan menghadap dengan kekerasan ?“

Melihat kedigdayaan pemuda ini, Bandudarma menjadi gentar juga dan cepat ia menghantarkan Indrayana menghadap Sang Prabu Panamkaran. Bandudarma setelah sadar tadi, lalu mengikuti dari belakang tanpa banyak cakap lagi.

Seperti juga kedua orang patihnya, Sang Prabu Panamkaran merasa terkejut sekali mendengar bahwa pemuda yang tampan itu adalah seorang utusan dari Pangeran pati Pancapana. Akan tetapi ia tidak menyatakan sesuatu dan hanya menerima surat yang dibawa oleh Indrayana dan membaca surat itu. Kedua tangannya gemetar dan jantungnya berdebar keras ketika ia membaca surat itu, yang ditulis dengan singkat oleh para panglima tua dari Mataram. Beginilah bunyi surat itu :






Sang Prabu Panamkaran.
Kiranya tak perlu dijelaskan lagi betapa buruk dan lemah keadaan Mataram semenjak paduka menggantikan kedudukan mendiang Sang Prabu Sanjaya. Pengepungan yang dilakukan oleh pemberontak Yudasena tentu akan menamatkan riwayat Mataram apabila tidak segera dipukul hancur. Kami, sebelas orang panglima-panglima dari Kerajaan Mataram yang pernah mengabdi dengan setia, kepada mendiang Sang Prabu Sanjaya dan telah ikut pula membantu Mataram menjadi jaya pada masa itu, telah berkumpul dan bertemu dengan Gusti Pangeran Pancapana, putera mahkota yang berhak penuh menduduki singgasana Kerajaan Mataram.

Melihat bahaya mengancam mataram kami berpendapat perlu sekali untuk menghancurkan musuh Mataram dengan syarat bahwa setelah pemberontak Yudasena dapat kami hancurkan, paduka harus mengundurkan diri dengan baik dan memberikan hak atas singgasana kepada Gusti Pangeran Pancapana. Kalau paduka menolak, kami akan membiarkan saja pemberontak Yudasena merampas kedudukan paduka, kemudian kamilah yang akan merampas pula singgasana Mataram dari tangan si pemberontak Yudasena. Semua jawaban dapat dipercayakan kepada Raden Indrayana pembawa surat ini,

Tertanda :
Sebelas orang Panglima sepuh Mataram

Setelah membaca surat itu, untuk beberapa lama Sang Prabu berdiam diri, tak kuasa berkata-kata. Apakah dayanya? Daripada kerajan jatuh ke dalam tangan Yudasena, lebih baik diserahkan secara baik kepada Pancapana yang berhak dan masih terhitung keponakan sendiri. Dari Pancapana ia dapat mengharapkan pengampunan dan mungkin kedudukan tinggi sebagai penasehat dan sebagainya. Maka setelah berpikir-pikir, ia lalu berkata.

“Raden Indrayana, katakanlah kepada keponakanku, Pangeran Pancapana itu bahwa hatiku merasa amat terharu bahwa dalam keadaan terjepit ini, dia masih mau membantuku mengusir musuh. Aku sendiri tidak mempunyai putera, maka siapa lagi kalau bukan Pancapana yang menggantikan kedudukanku? Tentu saja singgasana akan kuberikan kepada Pancapana, ini sudah semestinya. Nah, katakanlah kepada para senapati sepuh dan kepada Pangeran Pacapana agar supaya segera menghancurkan Yudasena. Aku berjanji bahwa setelah ia berhasil mengusir musuh, aku akan mengundurkan diri dan mengangkat dia sebagai Raja Mataram.“

Giranglah hati Indrayana. Kalau tadi ia masih bersikap angkuh terhadap Sang Prabu Panamkaran, kini ia menyembah dengan khidmat,

“Duhai, Sang Prabu, legalah hati hamba mendengar kebijaksanaan paduka ini. Hamba percaya bahwa tidak saja Gusti Pangeran akan merasa lega, juga para senopati dan prajurit Mataram tentu akan memuji keputusan paduka ini. Sekarang hamba mohon diri untuk menyampaikan warta menggirangkan ini kepada Gusti Pangeran, harap saja paduka berhati-hati menjaga serangan-serangan musuh dalam selimut, karena di dalam setiap kerusuhan selalu timbul penghianat-penghianat.”

Dengan kata-kata yang merupakan sindirian bagi kedua patih itu. Indrayana mengundurkan diri dan kembali kepada Pangeran Pancapana, melalui penjagaan musuh dengan gagah berani. Berbeda dengan ketika berangkatnya, kini Indrayana tidak lagi bersembunyi-sembunyi, bahkan penjagaan pasukan Yudasena dengan berani, dan berhasil merobohkan dan menewaskan banyak musuh sebelum ia sampai di tempat pasukan pangeran pancapana berkumpul.

Sementara itu ketika kedua patih Bandudarma dan Bandupati mendengar jawaban Sang Prabu Panamkaran kepada Indrayana menjadi terkejut sekali. Mereka mengundurkan diri dan berunding dengan cepat bersama para pembantu dan perwira lain yang menjadi kaki tangan mereka.

Setelah mengadakan perundingan kilat mereka lalu mengutus seorang perwira untuk diam-diam mendatangi kubu-kubu pertahanan musuh di bawah bukit, bertemu dengan Bupati Yudasena. Perwira ini berhasil bertemu dengan Yudasena dan menyerahkan sepucuk surat yang ditanda-tangani oleh Bandudarma dan Bandupati.

Yudasena menjadi amat terkejut dan juga girang setelah membaca surat itu. Di dalam surat itu, ia diberitahu bahwa sepasukan benar balatentara yang dipimpin oleh Pangeran Pancapana telah datang hendak membantu dan menghancurkan pasukan Yudasena, dan kedua patih itu menawarkan kerjasama yang baik.

Karena pasukan-pasukan Pangeran Pancapana itu dipimpin oleh senopati-senopati yang pandai dan merupakan lawan berat, maka kedua patih yang menjadi penghianat itu mengusulkan agar supaya Yudasena pura-pura kalah dan melarikan diri, menjaga sedapat mungkin agar jangan sampai pasukan-pasukannya menjadi lelah karena pertempuran itu.

Jadi, dengan sengaja barisan-barisan Pangeran Pancapana itu dibiarkan naik ke atas menduduki Kerajaan Mataram, kalau sudah tiba di depan benteng, perajurit yang dipimpin oleh kedua patih itu akan menyerang dari dalam benteng dan pada saat itu, barisan Yudasena harus segera naik dan menggempur tentara Pangeran Pancapana yang akan terjepit, digempur dari atas dan dari bawah bukit !

Sebagai penutup surat, kedua patih itu akan membantu agar singgasana kerajaan Mataram diserahkan kepada Yudasena, kemudian sebagai pengganti jasa, kedua patih itu akan diberi kedudukan tinggi dan tidak dianggap sebagai musuh !

Yudasena tertawa bergelak dengan girangnya
“Ha, ha, paman Patih Bandudarma dan Bandupati memang benar-benar cerdik sekali. Baiklah, aku setuju dengan usulnya, dan bawalah balasan surat ini ke atas bukit ! “

Demikianlah persekutuan gelap telah terjalin antara kedua penghianatan si pemberontak Yudasena itu.

Sementara itu setelah mendengar penuturan Indrayana, para pengliam tua dan Pangeran Pancapana menjadi girang sekali. Mereka lalu mengerahkan pasukan-pasukan mereka dan bergeraklah balatentara itu maju menuju ke kubu-kubu musuh, yakni tentara Yudasena.

Sebelum tentara Pangeran Pancapana sampai di kubu-kubu pertahanannya. Bupati Yudasena telah mengadakan perundingan dengan para pembantunya dan semua anggota barisan telah tahu belaka bahwa dalam menghadapi pasukan penyerbu dari luar, mereka tidak boleh menyerang dengan sungguh-sungguh dan setelah ada komando untuk mundur, mereka harus segera mengundurkan diri.

Kedua pasukan besar itu berhadapan dan Yudasena sendiri beserta belasan orang senapatinya menyambut rombongan Pangeran Pancapana yang menunggang kuda.

“Ha-ha!“ Yudasena tertawa bergelak. “Aku mendengar bahwa ada orang yang berani mengaku bernama Pangeran Pancapana yang sudah meninggal dunia. Manakah Pancapana palsu itu?“

Pangeran Panacana mengajukan kudanya dan membentak,
“Yudasena, pemberontak rendah! Di waktu kerajaan sedang mengalami kemunduran, kau tidak berusaha membantu dan membangun kembali, bahkan datang melakukan penyerangan. Alangkah rendah watakmu! Kalau kau pernah mengabdi kepada mendiang rama prabu, tentu kau dapat melihat bahwa aku adalah Pangeran Pancapana yang asli. Tengoklah para panglima sepuh bekas senapati-senapati mendiang rama prabu, adakah mereka ini juga palsu? Lihat paman Senapati Cakraluyung, paman Kelabangwulung, dan yang lain-lain. Benar-benarkah kau tidak kenal mereka ?“

Diam-diam Yudasena mengakui bahwa pemuda yang tampan ini memang serupa benar dengan mendiang Prabu Sanjaya dan bahwa semua senapati tua itu memang benar jago-jago mataram pada masa Sang Prabu Sanjaya masih memegang tampuk kerajaan. Akan tetapi ia memang sengaja berpura-pura tidak kenal, untuk menjalankan siasat yang telah diatur bersama kedua patih Mataram.

Seorang pembantunya, yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, adalah seorang senopati yang amat kuat. Orang ini bernama Limandaka dan bersenjata sebuah penggada besar yang mengerikan. Limandaka melompat maju dan berkata,

“Para perampok dari manakah berani datang menggangu kami? Laki-laki berunding dengan kepalan dan senjata, tidak seperti perempuan mengandalkan bibirnya. Hayo, aku menjadi senopati pertama dari barisan Pasisir, siapakah yang berani menghadapiku ?“

Melihat sikap orang yang kasar ini, Pancapana lalu memberi tanda kepada Surarudira untuk maju menghadapi senopati musuh itu. Surarudira menjadi girang sekali. Ia melompat turun dari kudanya dan menghampiri si muka hitam yang juga tinggi besar seperti dia, lalu menuding dengan telunjuknya.

“Eh, muka hitam bermulut lebar! Akulah orangnya yang sanggup mengirim kau kembali ke tempat asalmu, di neraka !“

Marah sekali Limandaka mendengar ucapan ini
“Siapakah kau, siluman brengos bermata jengkol? Katakan dulu namamu sebelum kedua matamu yang hampir keluar itu betul-betul melompat keluar terkena pukulan yang keras !“

“Aku tak pernah meninggalkan nama di rumah dan tak pernah menyembunyikan nama atau menggantinya. Namaku Surarudira, senopati Mataram yang tiada taranya. Kau ini prajurit baru yang masih belajar memegang keris, siapakah namamu yang rendah?“

“Surarudira, aku pernah mendengar bahwa orang yang bernama Surarudira hanyalah menjadi tukang membersihkan kandang kuda di Mataram! Ha, ha ha! Dan kau maju menjadi senopati menghadapi aku Senopati Limandaka yang sakti? Kau benar-benar sudah rindu kepada kuburan!“

Surarusdira marah sekali. Memang, sebelum ia menjadi seorang kepala barian pengawal dari Sang Prabu Sanjaya dahulu, ia bekerja sebagai pemeliharaan kuda, akan tetapi bukan kuda sembarangan kuda, melainkan kuda kelangenan (kesayangan) Sang Prabu Sanjaya, yang tidak mau mempercayakan pemeliharaan kuda itu ke tangan orang lain. Kini mendengar ejekan Limandaka, Sararudira menjadi mata gelap dan menubruk dengan terkaman kedua tangannya yang kuat !

Limandaka tidak mau membiarkan dirinya diterkam bagaikan seekor kelinci diterkam harimau, Ia mengangkat kedua tangannya dan menangkis pukulan Surarudira.

“Buk ! “ ketika kedua lengan orang tinggi besar itu saling beradu, keduanya terhuyung ke belakang beberapa tindak. Ternyata tenaga mereka sama kuatnya.

Banjir Darah di Borobudur







No comments:

Post a Comment