Ads

Friday, October 20, 2017

Banjir Darah di Borobudur Jilid 13

Kalau orang-orang lain tidak dapat melihat perobahan pada air muka pertapa Hindu itu, adalah Indrayana dan Pancapana dapat melihat getaran pada manik mata yang tajam dan berpengaruh itu, Begawan Siddha Kalagana mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Pantas, pantas ! Pantas saja kalian begini elok, gagah perkasa, dan menarik. Diseluruh tanah Jawa ini hanya Begawan Ekalaya saja satu-satunya pertapa yang kedudukannya setingkat dengan kedudukanku ! “

“Alangkah sombongnya ! “ tiba-tiba terdengar suara halus dan dengan heran dan terkejut Indrayana dan Pancapana melihat bahwa yang mencela ini bukan lain adalah Candra Dewi !

Dara ini adalah puteri Panembahan Bayumurti yang amat bangga akan kesaktian ayahnya, maka kini mendengar kesombongan pendeta asing ini, ia diam-diam merasa mendongkol sekali dan tak terasa pula mengeluarkan perasaan mendongkolnya itu dengan ucapan tadi ! Kini sepasang mata Begawan Siddha Kalagana tertuju kepada dara itu dan mulutnya makin menipis,

“Ah, engkau patut sekali menjadi pengiring utama dari Sang Batari Mulia ! “ katanya dan sambil memandang Indrayana, ia berkata, “ Anak muda, sebagai murid-murid Ekalaya, kalian boleh dibilang masih menjadi murid-murid keponakanku sendiri ! Dan sebagai murid-murid keponakan, sudah sepatutnya kalau kalian berbuat sesuatu yang sifatnya berbakti kepadaku ! Aku melihat dara jelita ini berjodoh untuk menjadi muridku dan untuk menjadi pengiring Sang Batari Yang Maha Mulia, maka relakanlah puteri ini kubawa serta. Jangan khawatir, kalau gurumu bertanya, katakan saja bahwa akulah yang membawanya, tentu ia tak akan marah ! “

Sebelum Indrayana dan Pancapana dapat melampiaskan amarah mereka ketika mendengar ucapan ini, tiba-tiba pertapa Hindu itu mengulurkan tangannya dan entah bagaimana, tubuh Candra Dewi seakan-akan terpegang oleh tangan yang kuat dan dilontarkan ke atas ke arah pendeta itu !

Candra Dewi bagaikan seorang yang sedang tidur, matanya meram dan tubuhnya lemas ketika tahu-tahu ia telah berada di dalam pelukan tangan Begawan Siddha Kalagana di atas kuda !

“Pendeta keparat ! Lepaskan adikku ! “

Pancapana berseru dan menubruk maju dengan tangan kanan diulur. Akan tetapi, terdengar seruan keras dan ketika pendeta Hindu itu mengebutkan ujung lengan jubahnya yang panjang, maka ujung lengan baju itu memukul ke arah dada Pancapana yang tiba-tiba terlempar ke belakang dan jatuh di atas tanah.

Ia merasa kepalanya pening, akan tetapi pemuda ini telah mendapat gemblengan yang hebat dari panembahan Bayumurti, sehingga kebutan yang mengandung tenaga mujijat itu hanya membuatnya pening sesaat saja. Ia telah berdiri lagi, akan tetapi ia telah di dahului oleh Indrayana yang tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia mencabut keris pusakanya yang dibuat sendiri oleh ayahnya, yaitu keris baja putih yang bernama Brajadenta ( Kilat Putih ). Dengan gerakan trengginas bagaikan seekor burung elang menyambar, tubuhnya berkelebat ke depan menyerang begawan Siddha Kalagana sambil berseru,

“Pertapa iblis ! Kau lepaskan jeng Dewi ! “






Serangan yang dilakukan Indrayana ini hebat sekali dan kalau saja yang diserangnya bukan seorang pendeta yang amat sakti tentu serangannya ini takkan meleset dan takkan dapat dielakkan pula. Akan tetapi, pendeta Hindu itu benar-benar sakti dan hebat kepandaiannya. Begitu melihat sinar senjata itu dan melihat gerakan yang sedemikian cepatnya, ia maklum bahwa pemuda ini memiliki pula ilmu kepandaian dan kedigdayaan yang tak boleh dipandang ringan, maka cepat sekali tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ia telah melompat turun dari atas kudanya !

“Keparat, jangan lari ! “ teriak Indrayana yang menyerang lagi dengan nekad dan marah.

“Eh, eh, anak muda, engkau benar-benar berani melawan aku ? “ kata pendeta itu yang memeluk tubuh Candra Dewi dengan tangan kiri, dan sekali tangan kanannya bergerak, maka ia telah mencabut keluar sebatang tongkat yang ternyata adalah seekor ular Cobra yang telah kering.

Ular itu besar sekali, lebih besar dari lengan tangannya dan panjangnya kurang lebih sedepa. Tubuh ular yang telah kering itu bengkak-bengkok dan kepalanya amat mengerikan, karena mulutnya terbuka lebar. Pendeta Siddha Kalagana memegang senjata aneh akan tetapi cepat sekali ia memutar-mutar senjata itu yang menyambar-nyamar ke arah Indrayana.

Pemuda yang gagah perkasa ini sama sekali tidak merasa gentar atau jerih menghadapi senjata lawannya ini, akan tetapi ketika dari senjata aneh itu keluar bau yang amat amis menimbulkan muak, ia terkejut sekali. Ia maklum bahwa ular kering di tangan Bagaman Siddha Kalagana itu mengandung racun yang amat hebat dan berbahaya.

Tak perlu terluka parah oleh senjata itu, baru kena digores sedikit saja oleh senjata itu, Indrayana lalu mengerahkan kepandaian dan kegesitannya, menggerakkan keris pusakanya untuk menjaga diri dan membalas dengan serangan-serangan hebat

“Dimas Indrayana, jangan takut, aku membantu !“ tiba-tiba Pangeran Pancapana berseru dan pedangnya di putar cepat menyerbu Bagawan Siddha Kalagana.

Tadi, dalam keadaan marah, Pancapana telah berlaku kurang hati-hati sehingga ia terkena kebutan ujung lengan jubah pendeta itu. Untung pemuda ini memiliki kesaktian tinggi, kalau tidak, tentu kepalanya akan pecah terkena pukulan yang ampuh itu. Setelah kepalanya tidak pening lagi. Pancapana melompat berdiri. Melihat betapa Indrayana didesak oleh senjata ular yang hebat itu, ia cepat mencabut sebatang pedangnya lalu menyerbu.

Serangan pedang di tangan kanan Pancapana ini kembali mengejutkan Begawan Siddha Kalagana. Ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian Pancapana tidak lebih rendah daripada kepandaian Indrayana ! gerakan kedua orang muda itu gesit, cepat dan kuat sekali.

Permainan mereka dalam gerakan senjata amat sempurna sehingga mereka merupakan lawan yang tangguh dan sukar dilawan. Diam-diam Bagawan Siddha Kalagana mengeluh di dalam hatinya. Kalau dia tidak sedang memondong tubuh Candra Dewi, belum tentu ia akan kalah menghadapi dua orang ksatria ini, akan tetapi kini gerakannya amat terbatas dan terhalang oleh tubuh dara itu. Ia tidak dapat mempergunakan ilmu sihir atau kesaktian yang timbul dari pada ilmu hitam, karena segala ilmu ini hanya bisa dilakukan apabila telah dipersiapkan semula.

Ilmu hitam hanya memiliki daya sementara saja, dan untuk ini ia belum mangadakan persiapan sebelumnya. Ia maklum bahwa untuk menjatuhkan kedua orang muda ini, tak mungkin dipergunakan ilmu-ilmu sihir yang rendah saja, karena dari cahaya muka dan sinar mata keduanya, ia maklum bahwa mereka memiliki tenaga yang cukup kuat. Akan tetapi, Begawan Siddha Kalagana adalah seorang yang amat cerdik dan memiliki banyak sekali akal-akal dan tipu muslihat yang curang. Melihat desakan kedua orang ia berseru,

“Tahan senjata ! “

Suara ini berpengaruh dan mengandung ancaman hebat, maka Indrayana dan Pancapana cepat melompat mundur dan memandang tajam.

“Mundur kalian !“ begawan Siddha Kalagana berseru. “Kalau kalian masih berlaku nekad, terpaksa aku harus membunuh gadis ini lebih dulu, baru akan kutewaskan kalian !“

Sambil berkata demikian, pendeta itu menggangkat senjata ularnya dan mendekatkan kepala ular itu ke dekat leher Candra dewi yang masih pingsan. !

“Jangan……. ! “ Tiba-tiba Indrayana berseru dengan suara gemetar. “Jangan bunuh dia! “

Bagawan Siddha Kalagana tertawa terbahak-bahak.
“Ha-ha-ha ! Siapa mau membunuh dara jelita ini ? Sayang kalau dibunuh ! Tidak, aku akan membawanya ke Candi Sang Batari Yang Maha Mulia dan ia akan dipuja-puja di tempat itu ! “

Bagawan Siddha Kalagana lalu memberi tanda kepada anak buahnya yang tadi pada turun dari kuda akan tetapi tak berani membantu pemimpin mereka karena mereka maklum bahwa kepandaian mereka masih jauh untuk dapat melawan kedua orang muda yang gagah itu.

Kini semua pasukan Serigala hitam melompat ke atas kuda, juga Bagawan Siddha Kalagana melompat dengan sigapnya ke atas kuda putih yang telah disediakan oleh anak buahnya, kemudian ia berpaling kepada Indrayana dan Pancapana.

“Sekali lagi, jangan kau halangi aku pergi membawa si denok ini, karena sekali saja engkau bergerak, si denok ini akan kulemparkan kepada kalian sebagai mayat !“ Ia tersenyum dan sepasang matanya bergerak liar. “Akan tetapi, aku tidak melarang kalau kalian memang memiliki kepandaian dan kegagahan, cobalah, kami siap menanti untuk menyambutmu ! “

Setelah berkata demikian, Bagawan Siddha Kalegana menendang perut kuda dengan tumit kakinya dan binatang itu meringkik keras lalu melompat ke depan, terus berlari cepat menyusul pasukan Serigala Hitam yang telah berangkat lebih dulu ! Pancapana menggerakkan tangannya dan ia telah menurunkan gendewa dan anak panahnya, akan tetapi Indrayana cepat memegang lengannya.

“Jangan, kakangmas Pancapana ! Apakah engkau ingin melihat jeng dewi dibunuh ? Orang macam pendeta itu berhati kejam dan keji, ia tak akan ragu-ragu untuk membuktikan ancamannya.“

“Habis bagaimana, dimas Indrayana ?“ tanya Pancapana dengan cemas dan binggung. “Apakah engkau akan membiarkan saja Candra Dewi diculik dan diganggu olehnya ?“

Indrayana mengertakkan giginya dan mengepal tinjunya.
“Tidak ! Aku tak akan membiarkan dia diganggu oleh siapapun juga ! Biar kupertaruhkan jiwaku untuk menolongnya ! Akan tetapi, kita harus dapat melihat gelagat dan berlaku hati-hati, kangmas. Bukankah tadi pendeta jahanam itu menantang kita untuk datang ke tempat tinggalnya? Nah, mari kita mengejar mereka dan berusaha menolong jeng Dewi. Kalau pendeta durhaka ini mengetahui bahwa kita mengejarnya, tentu ia tak akan sempat mengganggu jeng Dewi! “

Karena tidak berdaya dan dikalahkan oleh tipu daya licin dan curang dari Begawan Siddha Kalagana, maka Pancapana terpaksa membenarkan pendapat Indrayana. Tidak ada jalan untuk menolong Candra Dewi dari bahaya.

Kedua pemuda yang gagah perkasa itu lalu mengerahkan kesaktian mereka dan mempergunakan Ilmu Lari Cepat Maruta marga ( Jalan Angin ). Tubuh mereka merupakan bayangan yang cepat sekali bergerak maju, seakan-akan kedua kaki mereka tidak menginjak bumi !

**** 13 ****
Banjir Darah di Borobudur







No comments:

Post a Comment