Ads

Thursday, October 19, 2017

Banjir Darah di Borobudur Jilid 09

Taman Listyaloka yang berada di belakang istana Maha Raja Simaratungga adalah sebuah taman yang luar biasa indahnya. Ratusan macam bunga yang indah-indah mekar berseri di dalam taman. Harum semerbak bunga mawar yang bermacam-macam bentuk dan warnanya itu, ditambah pula dengan sedapnya bunga-bunga melati dan menur, bunga cempaka, kenanga, kaca piring, dan kantil.

Segala keindahan dan keharuman yang dikumpulkan menjadi satu di dalam Taman Listyaloka yang menakjubkan itu selain menarik perhatian kumbang-kumbang dan kupu-kupu serta burung-burung kecil yang berterbangan dari pohon ke pohon.

Memang indah sekali Taman Listyaloka, bahkan tamansari yang terkenal sekali di Kerajaan Mataram, takkan dapat melebihi keindahan Taman Listyaloka dari istana Syailendra ini. Apalagi kalau pemilik taman itu berada di dalam taman, maka akan bertambahlah kecantikan dan keindahan taman itu.

Apabila Sang Putera Pramodawardani berada di dalamnya, maka taman itu akan berubah seperti Taman Indraloka di Khayangan Batara Indra, karena puteri jelita itu tidak kalah elok dan cantiknya oleh puteri atau bidadari Khayangan yang manapun juga!

Akan tetapi, pada senja hari itu, keadaan di Taman Listyaloka tidak seperti biasa. Tidak gembira dan tidak bersinar, seakan-akan muram dan sunyi. Kemanakah perginya burung-burung, kumbang dan kupu-kupu yang biasanya meramaikan taman bunga itu ? mereka masih ada, akan tetapi burung-burung itu bersembunyi di dalam pohon, mendekam di atas cabang tak bergerak bagaikan sedang tidur, kumbang-kumbang bersembunyi di dalam kelompok bunga sedangkan kupu-kupu yang biasanya menari-nari itu kini menempel pada daun-daun bunga tanpa bergerak sedikitpun.

Semua tampak berduka seakan-akan berkabung. Mengapa demikian ? Kalau kita menengok ketengah taman, di dekat empang bunga teratai di dekat pancuran air, maka akan melihat sebab kesunyian dan kemuraman itu. Di atas bangku terbuat dari batu hitam yang terbentuk indah dan mengkilat, duduklah Kusumaning Ayu Pramodawardani sambil menyangga dagu dengan tangannya.

Keningnya yang indah itu berkerut, wajahnya muram dan berkali-kali terdengar tarikan napas halus. Banyak orang berkata bahwa kalau sang puteri ini tersenyum, maka dunia kan ikut tersenyum dengan dia, akan tetapi kalau dia bermuram durja, maka dunia akan menjadi gelap dan suram pula. Memang, siapakah orangnya dan mahluk manakah yang takkan menjadi kecil hati dan ikut berduka melihat keadaan sang jelita yang bermuram durja itu?

Semenjak peristiwa di depan Candi Lokesywara itu, sang puteri merasa tersinggung hatinya. Ia merasa amat kagum melihat keberanian dan kegagahan Indrayana, akan tetapi juga merasa kecewa mengapa pemuda yang menjadi kembang bibir para dara itu sedemikian kurang ajar kepadanya. Pramodawardani adalah seorang puteri yang tinggi hati dan ia sekali-kali tidak merasa puas bahwa ada seorang putera wiku berani berlaku sedemikian lancang terhadapnya.

Pramodawardani selalu dimanja dan merasa dirinya putera mahkota, ia menghendaki penghormatan sebesarnya dari siapapun juga. Diam-diam ia merasa bangga kepada diri sendiri bahwa ternyata pemuda yang sudah terkenal menggoncangkan iman di dada para jelita itu, tidak berhasil menggoncangkan imannya yang teguh kuat. Ia memang amat tertarik dan kagum melihat wajah elok dan tampan itu, akan tetapi sama sekali keliru kalau orang mengira bahwa dia “ jatuh hati “ ! Kusumaning Ayu Pramodawardani bukanlah seorang dara biasa yang mudah jatuh cinta dan mudah terluka oleh panah asmara.

Betapapun juga, terharu juga hatinya menyaksikan sepak terjang Indrayana yang jelas sekali menyatakan betapa besar cinta kasih dan kekaguman pemuda itu terhadap dia. Patung yang menyerupai wajahnya itu sampai dicuri dengan nekad oleh pemuda itu ! Merah wajah Pramodawardani apabila ia terkenang akan hal ini. Kemudian ia mendengar betapa ayah pemuda itu, Sang Wiku Dutaprayoga, ditangkap, dan betapa ayahnya mengeluarkan perintah penangkapan atas diri Indrayana!






Betapa duka dan kecewanya. Ia maklum bahwa gara-gara ini pada hakekatnya berdasar atas kelemahan hati pemuda itu yang jatuh cinta kepadanya ! Dan kalau sampai terjadi malapetaka dan hukuman menimpa diri pemuda itu dan Wiku Dutaprayoga, maka karena dialah itu ! dia merasa berdosa, seakan-akan dialah yang menyebabkan kemalangan menimpa keluarga itu.

Kemudian ia mendengar pula tentang kembalinya rombongan Wiku yang tidak berhasil menangkap Indrayana akan tetapi bahkan membawa pendeta yang membuat patung itu! Ia mendengar betapa pendeta Mataram yang aneh itu telah mengorbankan diri sendiri dan menyanggupi untuk memikul semua hukuman yang hendak dijatuhkan atas diri Indrayana dan Wiku Dutaprayoga dan bahwa kemudian pendeta yang bernama Panembahan Bayumurti itu hendak dikukum kubur hidup-hidup oleh maha Wiku Dharmamulya!

“Alangkah kejamnya ! alangkah ngerinya !“ berkali-kali Sang Puteri mengeluh seorang diri.

Terbayanglah pada wajahnya pendeta yang aneh itu, yang dengan usapan tangan pada patung Dewi Tara telah dapat membuat muka patung itu menjadi seperti mukanya sendiri ! Terbayanglah ia betapa pendeta itu selalu tersenyum ramah, sepasang matanya bersinar-sinar penuh seri gembira.

“Alangkah ngerinya ! Mengapa Rama Prabu membiarkan saja hukuman yang keji ini berlaku atas diri pertapa itu ?“ Hati Pramodawardani menjerit-jerit ketika ia duduk melamun dengan bunga teratai merah dan putih itu. “Biarpun pertapa itu orang mataram, akan tetapi iapun seorang manusia. Mengapa Rama Prabu tidak melarang dilangsungkannya hukuman yang melanggar perikemanusiaan ini ?“

Dengan hati sedih dan penuh kasian kepada sang pertapa, Pramodawardani tak terasa lagi turun dari batu tempat duduknya, berlutut dan berdoa ke arah empang. Disitu terdapat bunga-bunga teratai dan daun-daun teratai yang lebar dan indah mengambang di atas air. Siapa tahu, kalau pada saat itu, terdapat Dewata yang sedang duduk bertapa di atas daun-daun teratai itu, karena daun-daun teratai memang tempat bertapa para Dewata yang berhati mulya. Bibir pramodawardani yang merah dan indah bentuknya itu berbisik-bisik,

“Semoga Sang Buddha dan Para Dewata melindungi Panembahan Bayumurti daripada hukuman yang keji ini !“

Pada saat itu, terdengar tindakan kaki perlahan di belakang Sang Puteri, kemudian terdengar suara riang.

“Ayunda yang baik, engkau sedang berbuat apakah disitu ?“

Pramodawardani sadar kemudian ia berpaling. Wajah yang tadinya muram itu menjadi terang bagaikan wajah bulan purnama terbebas daripada selimutan mendung, bibirnya tersenyum kembali dan seakan-akan mekarlah semua bunga di dalam taman pada saat Sang Puteri tersenyum amat manisnya itu.

“Adikku yang manis, kau mengejutkan hatiku, akan tetapi berbareng juga menggembirakan perasaanku. “

“Ayunda Wardani, “ kata anak laki-laki yang masih kecil itu, “ tadi kulihat kau bermuram durja dan bersamadi seakan-akan ada yang mengganggu hatimu. Apakah gerangan yang mengesalkan hatimu, ayunda ? “

Pramodawardani memandang kepada adiknya dengan penuh kasih sayang. Adindanya ini, yang bernama Balaputeradewa atau biasa disebut Balaputera saja, memang seorang anak yang amat cerdik. Kepada adiknya ini sukarlah untuk membohong dan sukar sekali untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan matanya yang tajam.

Pramodawardani tidak ingin menceritakan hal-hal yang memusingkan pikirannya itu kepada Balaputera, karena dianggapnya bahwa balaputera masih terlampau kecil untuk mengetahui akan hal-hal itu, maka ia lalu memeluk adiknya dan membelai-belai rambutnya sambil berkata dengan penuh kasih sayang,

“Balaputera, adinda sayang. Aku tidak menyusahkan sesuatu, hanya sebelum kau datang, aku merasa kesunyian seorang diri di dalam taman. “

“Mengapa tidak kau lihat seorangpun emban dan pelayan ? Ke manakah mereka, ayunda ?“ tanya Balaputera sambil memandang ke kanan-kiri.

“Aku sudah bosan mendengar kelakar mereka yang tiada henti-hentinya, adikku, maka kusuruh mereka mengundurkan diri dan mengaso. Kasian juga mereka telah bekerja sepanjang hari, bukankah mereka itu manusia juga seperti kita yang dapat lelah dan capai ?“

“Kau memang berbudi dan berhati mulia, ayunda. “

“jangan memuji, adikku. Ayundamu hanya seorang manusia biasa saja, dan sebagai manusia, kita harus menanam budi sebanyak-banyaknya di hati sanubari kita, karena jangankan kita yang disebut manusia, mahluk terkasih dari para Dewata, sedangkan binatangpun tahu akan budi kemuliaan. Kau belum mendegar cerita tentang Burung Platuk dan Singa ?“

Balaputera berseri wajahnya. Kakaknya ini memang pandai sekali bercerita, maka melihat kesempatan ini, ia tidak mau menyia-nyiakannya. Sambil memegang tangan ayundanya yang halus dan lebih besar daripada tangannya sendiri itu, ia berkata mendesak manja,

“Belum, ayunda. Kau berceritalah, aku senang sekali mendengar ceritamu yang indah-indah ! “

Pramodawardani tersenyum dan setelah mencium kening adiknya dengan mesra, ia berkata,

“Dalam sebuah hutan yang amat besar hidup seekor singa yang amat liar dan buas. Hampir setiap hari terdengar singa itu mengaum dan menggereng keras menggetarkan seluruh hutan. Itulah tanda bahwa singa itu sedang menangkap seekor binatang lain menjadi kurban dan mangsanya, yaitu kelinci, kancil, rusa, dan binatang-binatang lemah sebangsa itu. Gerengan singa buas itu selalu diiringi pekik ketakutan dan kesakitan dari kurban yang diterkamnya.”

“Alangkah kejamnya singa itu !“ Balaputera mencela,

“Memang, adikku, singa memang seekor binatang yang amat kejam dan ganas. Oleh karenanya ia disebut raja hutan, sungguhpun bukan merupakan raja yang bijaksana, melainkan seekor raja hutan yang amat kejam dan ganas. Akan tetapi, telah beberapa hari tidak terdengar geraman dan auman kemenangan dari singa itu, yang terdengar hanyalah gerengan-gerengan perlahan tanda kesakitan dan kelaparan dari raja hutan itu, diselingi sorak sorai yang gembira ria dari para binatang kecil. Hal ini memang mengherankan dan tidak sewajarnya. Maka seekor burung platuk yang berbulu indah dan berpatuk kuat terbang berputar-putar di atas pohon-pohon untuk mencari tahu apakah gerangan yang terjadi dengan si raja hutan. Akhirnya dapat juga ia menemukan singa itu Kiranya singa itu tengah bergulingan di bawah pohon dalam keadaan hampir mati. Perutnya kempis tanda kelaparan, rahangnya terbuka lebar-lebar tak dapat ditutupkan kembali, ternganga bagaikan sebuah gua merah yang mengerikan.“

“Mengapakah gerangan dia ?“ tanya Balaputera dengan penuh perhatian.

Ayundanya demikian pandai bercerita, suaranya halus lembut dan merdu sedangkan wajahnya bergerak membayangkan keadaan ceritanya sehingga pangeran kecil itu seakan-akan melihat di depan matanya sendiri peristiwa yang sedang terjadi di dalam cerita ayundanya.

“Demikian pula pertanyaan yang diajukan oleh si burung pelatuk.“ jawab Pramodawardani kepada adiknya, “Ia bertanya kepada singa itu setelah terbang turun dan berdiri di atas cabang pohon di dekat si raja hutan. Singa merasa malu untuk menerangkan, akan tetapi akhirnya ia menjawab bahwa ketika ia sedang makan tubuh seekor kancil yang menjadi mangsanya tiga hari lalu, tulang punggung kancil yang nakal itu telah melintang dan terselit di tenggorokannya, sehingga tulang itu berhenti di tengah-tengah, tak dapat ditelan tak dapat pula dimuntahkan keluar, membuat mulutnya terbuka dan terganjal tak dapat ditutupkannya kembali.“

“Nah, itulah upah si rakus !“ kata Balaputera.

Kakaknya tersenyum memandangnya.
“Demikian pula yang dikatakan oleh burung platuk itu, adikku. Ia juga menegur singa dan mencelanya terlalu rakus. Orang makan tak boleh terburu-buru, tak boleh terlalu lahap dan rakus, harus memilih dengan hati-hati benda yang hendak dimasukkan ke mulut dan perut, demikian burung pelatuk yang bijaksana itu memberi nasihat. Singa merasa menyesal sekali dan baru insyaf akan segala kesalahannya, akan segala kekejamannya, kemudian sambil menangis sedih dia mohon pertolongan burung pelatuk itu untuk mengambilkan tulang yang mengganjal kerongkongannya. Tulang itu melintang di dalam tenggorokan, sedangkan mulut singa itu terbuka lebar-lebar mengerikan, terlihat giginya yang runcing dan tajam manakutkan, sedangkan tulang itu berada jauh di belakang gigi-gigi itu. Untuk dapat mengeluarkan tulang itu, burung platuk harus memasukkan kepalanya di dalam mulut itu sampai dalam, dan apabila tulang itu telah dilepaskan, maka sekali saja singa itu menutupkan mulut, akan putuslah leher burung platuk.“

“Jangan biarkan ia memasukkan kepalanya di dalam mulut singa, ayunda !“ seru Balaputera gelisah.

Ayunda tersenyum,
“Adikku, burung pelatuk itu penjelmaan Sang Bodisattwa yang bersifat suci dan mulia. Untuk memberi pertolongan kepada sesama hidup, dia takkan pernah merasa ragu-ragu, jangankan baru menghadapi bahaya, sungguhpun dia harus berkorban apa saja nyawanya sekalipun, dia takkan mundur ! Demikianlan, burung pelatuk yang bijaksana itu tanpa ragu-ragu lagi lalu memasukkan kepalanya ke dalam gua merah yang mengerikan itu, menggunakan paruh yang kuat untuk mematuk tulang kancil yang melintang di tenggorokan singa dan berusaha mengeluarkannya. Akhirnya berhasillah dia menolong nyawa singa itu dari bahaya maut !“

Banjir Darah di Borobudur







No comments:

Post a Comment