Winarti masih duduk ditepi laut seorang diri, kadang-kadang menangis, kadang-kadang mengibur diri sambil menarik napas panjang. Tak lama lagi, hari akan terang kembali dan aku bisa mencari jalan pulang atau minta tolong kepada orang kampong yang kujumpai di jalan, demikian ia menghibur diri sendiri dan menekan rasa takutnya. Akan tetapi kalau ia teringat kepada Kertapati, tak terasa air matanya mengalir turun kembali. Ia merasa amat kecewa, karena pemuda yang luar biasa, tampan dan gagah perkasa itu agaknya sama sekali tidak tertarik kepadanya. Yang menyakitkan perasaannya ialah bahwa pemuda itu tidak menaruh kasian kepadanya !
Alangkah kejamnya, meninggalkan aku seorang diri di tempat seperti ini. Ah, dia tidak berjantung, tidak berperasaan, tak kenal perikemanusiaan ! Winarti mengomel panjang-pendek di dalam hatinya dan mencoba untuk menanam rasa benci di dalam hatinya. Akan tetapi, diam-diam ia harus akui bahwa tak mungkin baginya untuk membenci pemuda itu. Ia kagumi kegagahannya, dan wajah itu ….. terutama matanya yang tajam tak mau hilang saja dari bayang-bayang lamunannya !
Ah, pikirnya sambil mengigit bibir, kalau dia berganti pakaian, berganti nama, dan menjadi…… mantu ayahku, siapa yang akan menyangka bahwa ayahku bahwa dia adalah bajak laut Kertapati? Alangkah bahagianya bersuamikan seorang gagah perkasa….. ah, akan tetapi ia sombong, sombong dan kejam ! Aku benci padanya ….. benci ! Ia menangis lagi.
Tengah malam telah lewat dan keadaan makin sunyi membuat hati Winarti makin gelisah dan takut. Sebetulnya bukan tak ada orang sama sekali di sekitar tempat itu, karena semenjak tadi, di luar tahunya Winarti, ada sepasang mata yang tajam dan bersembunyi di balik bulu mata yang sudah keputih-putihan dan pelupuk mata yang agak sipit dan berkeriput.
Ini adalah mata seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai seorang petani, baju biru panjang penuh tambalan, celana panjang sampi bawah lutut, juga penuh tambalan, rambutnya yang telah banyak uban itu tertutup oleh sehelai ikat hitam dan sarungnya diselempangkan pada pundak kirinya.
Kakek ini berdehem perlahan dan muncul dari tempat persembunyiannya. Winarti yang sedang menangis terkejut sekali hingga serentak ia bangun berdiri. Akan tetapi, ketika ia melihat seorang setengah tua berdiri tak jauh dari situ, ia berdiri bertindak menghampiri dan berkata.
“ Pak tua ….. kau tolonglah aku ….. “
Kakek itu melihat di bawah sinar bulan yang suram betapa seorang gadis cantik berlari kepadanya, maka ia segera membelalakkan matanya dan nampak terkejut sekali.
“Ya Jagat Dewa Batara….. !“ ia memuji. “ Bagaimana di tempat seperti ini muncul seorang kuntilanak ? Hai iblis ! Pergilah dan jangan ganggu Pak Sumpil ! Aku sudah tua dan takkan tertarik oleh kecantikanmu ! “ Sambil berkata demikian, kakek itu mengangkat kedua tangannya seakan-akan ia berdoa !
Sungguhpun ia tadi baru saja menangis, akan tetapi melihat kelakuan kakek itu, Winarti tertawa terkekeh-kekeh sehingga kakek itu makin ketakutan dan mundur dua langkah.
“Pak tua…… atau Pak Sumpil kalau memang itu namamu. Aku bukan kuntilanak! Lihatlah, apakah punggungku bolong?“ Sambil berkata demikian, Winarti lalu memutar tubuhnya memperlihatkan punggungnya yang halus, bersih dan sama sekali tidak bolong.
“Bukan kuntilanak…… ? Maaf…… kalau begitu, siapakah den ajeng ini? Mengapa seorang wanita muda seperti den ajeng berada di tempat ini pada saat seperti ini?“ Kakek itu menghampiri dengan membungkuk-nungkuk memberi hormat.
“Saya adalah puteri Tumenggung Basirudin di Jepara. Siapakah kau, pak? Apakah namamu Pak Sumpil? “
Kakek itu nampak tertegun mendengar bahwa puteri ini adalah anak seorang tumenggung, maka ia segera memberi hormat dan berkata.
“Memang benar nama hamba Pak Sumpil, karena selain menjadi petani, hamba suka mencari dan mengumpulkan sumpil ( keong kecil ), maka hamba disebut Pak Sumpil. Mengapa den ajeng berada di tempat ini seorang diri ? “
Dengan girang karena telah bertemu dengan seorang dusun, Winarti lalu menceritakan bahwa ia telah diculik oleh bajak laut Kertapati dan diturunkan di situ.
“Maka, harap kau suka tolong aku, Pak Sumpil. Antarkan aku ke Jepara, ayah tentu akan memberi hadiah besar kepadamu ! “
Pak Sumpil segera menyanggupi dan berkata, “ Karena malam gelap. Lebih baik kita berangkat besok pagi-pagi. Kalau den ajeng suka, dan den ajeng boleh mengaso atau tidur, hamba yang menjaga. “
Akan tetapi Winarti tak dapat tidur, dan setelah Pak Sumpil membuat api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk , ia malah mengajak kakek itu bercakap-cakap.
“Telah lama hamba dan sekalian saudara-saudara di kampung mendengar nama bajak laut Kertapati. Bahkan belakangan ini orang-orang mengabarkan bahwa bajak laut itu hendak menikah dengan seorang puteri Jepara yang bernama Roro Santi! Betulkah berita ini, den ajeng?“
“ Bohong ! Bagaimana seorang bajak laut yang jahat bisa menikah dengan seorang puteri Adipati? Menggelikan ! Andaikata Roro Santi sendiri setuju, tak mungkin ayahnya memberi ijin. Pula, Adipati Wiguna telah memberikan puterinya itu kepada letnan Kompeni, mereka sudah bertunangan ! “
Kakek itu nampak kaget. “Apa ?? Menikahkan puterinya dengan seorang Kompeni? Aneh benar!! Belum pernah hamba mendengar berita seaneh ini selama hamba hidup.“
“ Ini kehendak Adipati Wiguna, siapa bisa menghalanginya ? “
“Apakah den ajeng Roro Santi juga sudah setuju dinikahkan dengan seorang Belanda yang bermata biru dan berambut kuning ? “
Winarti menggeleng kepalanya. “ Jangankan kepada seorang letnan Kompeni, bahkan pada tunangannya yang dulupun, Roro Santi tidak pernah merasa suka. Padahal tunangannya yang dulu, Raden Suseno, adalah seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah ! “
“Seorang gadis yang keras hati dan tak mudah jatuh cinta …… “ kakek itu berkata perlahan, “diwaktu hamba masih muda dulu, pernah hamba bertemu dengan seorang gadis seperti itu. “
“Benarkah, Pak Sumpil? Tentu pengalamanmu banyak sekali tentang watak-watak wanita, bukan? Kau agaknya bukan seorang alim di waktu mudamu, pak ! “
Kakek itu tertawa bergelak. “ Ah, hamba hanyalah seorang dusun, dan wanita-wanita yang hamba kenalpun hanya perempuan-perempuan tani dan nelayan. “
“Menurut pendapatku, pak, seorang gadis seperti Roro Santi itu kalau sudah menjatuhkan hatinya kepada seseorang, akan dibelanya sapai mati ! “
Setelah mendengar ucapan Winarti yang terakhir ini, kakek itu nampak tak ingin banyak bicara lagi dan Winarti yang kini tidak merasa takut lagi lalu menyandarkan tubuhnya pada batang pohon dan tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Winarti diantar oleh Pak Sumpil menuju ke Jepara. Akan tetapi, oleh karena perjalanan melalui hutan dan jalan yang amat sukar, sedangkan sebagai puteri bangsawan Winarti tak biasa berjalan jauh, maka perjalanan itu makan waktu sampai sehari ! Gadis itu sama sekali tidak tahu bahwa kalau sekiranya mereka mengambil jalan langsung dan tidak berputar-putar dulu, tak sampai setengah hari mereka akan sampai di Jepara.
Menjelang senja mereka memasuki gerbang pintu Jepara dan para penjaga ketika melihat Winarti diantar pulang oleh seorang petani itu, menjadi girang sekali. Segera mereka memberitahukan hal ini kepada Tumenggung Basirudin yang segera dating menjemput puterinya Winarti bertangis-tangisan dengan ayah-ibunya dan ketika kedua orang tuanya itu mendengar bahwa puteri mereka selamat dan tidak terganggu oleh bajak laut kertapati, mereka merasa bersukur sekali.
Winarti menuturkan jasa Pak Sumpit yang mengantarkan sampai ke kota Jepara, maka dengan berterima kasih sekali Tumenggung Basirudin lalu memberi hadiah uang dan pakaian.
Pak Sumpit mengucapkan banyak terima kasih, kemudian ia diperkenankan untuk bermalam di situ, mendapat tempat di bagian para nelayan. Akan tetapi Pak Sumpit menyembah dan mengajukan permohonan.
“Gusti Tumenggung, banyak terima kasih hamba haturkan atas segala kurnia paduka kepada hamba yang sesungguhnya tidak melakukan sesuatu yang patut diberi jasa. Hamba adalah seorang dusun yang baru pertama kali semenjak puluhan tahun yang lalu melihat kota Jepara yang demikian indah. Oleh karena itu, karena besok pagi-pagi hamba harus kembali ke pondok hamba karena kuatir kalau-kalau anak cucu hamba mencari-cari, apabila diperkenankan, malam hari ini hamba tak hendak tidur. Hamba ingin menikmati keindahan kota Jepara dan berjalan-jalan di kota. “
Semua orang tertawa mendengar ini. “Tentu saja boleh, Pak Sumpil. Bahkan pintu samping akan kusuruh buka saja sehingga sewaktu-waktu kau datang, kau dapat terus masuk ke belakang,“ jawab Tumenggung Basirudin ramah.
Pak Sumpil lalu minta diri dan keluar dari gedung tumenggung. Dengan langkah perlahan dan memandang ke kanan kiri dengan penuh kekaguman, berjalan-jalan seorang diri di kota Jepara. Seorang penunggang kuda lewat cepat di dekatnya. Pak Sumpil menengok memberi isarat dengan tangan kirinya. Penunggang kuda itu lewat terus seakan-akan tidak melihatnya, akan tetapi tak lama kemudian ia datang kembali dan melemparkan segulung kertas yang jatuh dekat kaki Pak Sumpil. Kakek ini berhenti berjalan, mengeluarkan slepai tembakaunya. Ketika ia menyalakan sebatang rokok klobot, tiba-tiba slepainya terlepas dari tangan. Ia mengambilnya dan kertas gulungan itupun terbawa oleh jarinya. Lalu ia melanjutkan perjalanannya sambil tunduk membaca tulisan di kertas gulungan itu, yang hanya sebaris.
“Kawan-kawan siap, gerbang selatan lemah. Kita serbu di sana.”
“Bagus, Jiman!“ Kertapati tersenyum, karena kakek atau Pak Sumpil itu sebenarnya memang Kertapati sendiri yang menyamar dan mempergunakan Winarti sebagai “perisai“ atau “kunci masuk“ sehingga ia dapat memasuki Jepara tanpa banyak menimbulkan kecurigaan.
Jiman sendiri tadi tidak mengenalnya, demikian sempurna samaran yang dilakukan oleh Kertapati itu, akan tetapi ketika melihat tanda isarat yang diberikan oleh Kertapati, barulah Jiman mengenalnya. Pembantu ini memang semenjak tadi telah merasa gelisah karena tidak melihat Kertapati yang menurut kata kawan-kawan berada di dalam kota.
Setelah membaca surat itu yang lalu disobek-sobek dan dimasukkan ke saku bajunya untuk disebar di sepanjang jalan sedikit demi sedikit. Kertapati lalu melanjutkan perjalanannya dengan langkah perlahan dan lemah menuju ke selatan. Memang benar sebagaimana laporan Jiman, yang menjaga di gerbang ini hanya tiga orang penjaga.
Pada saat Kertapati tiba di situ, Jiman telah mendahuluinya dan kini pembantunya itu nampak sedang bercakap-cakap dengan mereka. Jiman adalah seorang pembantu Letnan Dolleman yang banyak dikenal oleh para penjaga.
“He, pak tua ! “ Jiman menegur ketika Kertapati berjalan dekat pintu gerbang. “ Kau hendak pergi ke mana ? “
Sambil terbatuk-batuk seperti seorang kakek yang menderita penyakit mengguk, Kertapati berjalan terseok-seok menghampiri mereka, kemudian berkata.
“Aku…….. adalah Pak Sumpil yang tadi mengantarkan pulang puteri Gusti Tumenggung. Waah, aku mendapat hadiah banyak sekali, coba lihat hadiah ini, alagkah indahnya…… “ sambil berkata demikian ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menggenggam dengan kedua tangan.
Tiga orang penjaga menjadi tertarik hatinya dan karena hadiah yang dikeluarkan dari saku itu agaknya kecil sekali sehingga tidak nampak dari tempat mereka, mereka bertiga lalu melangkah maju untuk melihat benda di dalam kedua tangan kakek itu.
Akan tetapi, alangkah kaget mereka ketika melihat bahwa kedua tangan itu kosong tak terisi apa-apa! Selagi mereka hendak menegur, secepat kilat kedua lengan Pak Sumpil bergerak dan tahu-tahu leher dua orang penjaga telah dijepit dengan lengannya sedemikian kerasnya sehingga tak dapat mengeluarkan teriakan sama sekali.
Pada saat itu juga, Jiman telah memukul kepala penjaga ketiga dengan gagang kerisnya sehingga penjaga itu roboh pingsan. Setelah membuat ketiga orang penjaga itu tak berdaya dan menyeret tubuh mereka ke dalam semak-semak di dekat gardu, Kertapati dan Jiman lalu membuka pintu gerbang. Jiman lari ke kudanya dan mengambil busur dan anak panah. Tak lama kemudian, dari gerbang itu meluncurlah anak panah yang dipasangi api keluar dari pintu gerbang.
Mereka menanti sebentar dan tak lama kemudian berserabutanlah kawan-kawan mereka berlari datang dari balik-balik pohon. Tanpa banyak ribut karena memang telah diatur terlebih dahulu, mereka memecah rombongan menjadi beberapa bagian, mendatangi gedung-gedung besar yang telah menjadi bagian masing-masing !
Suasana sunyi senyap, akan tetapi tak lama kemudian, ributlah seluruh Jepara oleh bunyi kentungan yang dipukul bertalu-talu dan bersaut-sautan. Titir! Tanda ada perampok menyerang kota. Akan tetapi rumah manakah yang dirampok? Demikian banyaknya kentungan berbunyi pada saat yang sama! Para penjaga menjadi panik dan tiba-tiba terdengar tembakan-tembakan senjata api di gedung tempat para Kompeni bermalam! Berlari-larilah para penjaga ke tempat itu dan hanya beberapa orang penjaga saja yang mendatangi rumah-rumah yang didatangi perampok, karena sebagaian besar berlari menuju ke arah datangnya suara senjata api. Mereka merasa lebih aman berlindung di belakang Kompeni yang bersenjata api !
Para penjaga dan Kompeni menjadi panik ketika rumah itu diserang dengan anak-anak panah yang meluncur itu, dapat diguga bahwa fihak penyerang sedikitnya tentu ada dua puluh orang. Kompeni yang berada di dalam rumah itu hanya ada dua belas orang, termasuk Dolleman yang memaki kalang kabut. Letnan ini lalu memimpin kawan-kawannya untuk menembak ke arah penyerbu, akan tetapi para penyerbu itu selain berlindung di balik batang-batang pohon, juga ternyata membawa karung-karung pasir yang ditumpuk-tumpuk di dekat pohon itu !
“Setan jahanam ! “ seru Dolleman marah sekali. “ Bagaimana mereka dapat masuk ke kota ? “
Ketika mendengar bahwa mereka datang dari pintu selatan, Dolleman makin marah. Telah lama ia mencurigai Jiman dan malam hari ini adalah giliran Jiman untuk melakukan pengawasan terhadap para penjaga !
Sementara itu, para anak buah bajak laut dengan mudah telah dapat memasuki gedung-gedung bagian mereka dan mengambil harta benda yang dapat mereka bawa. Kertapati sendiri dengan dikawani oleh empat orang kawannya, menyerbu ke gedung Wiguna dan beberapa orang penjaga yang masih berada di situ dengan mudah saja dapat mereka bikin tak berdaya. Adipati Wiguna sekeluarga bersembunyi di dalam kamar mereka karena ketika Adipati Wiguna hendak ikut menghadapi perampok, ia dipegang oleh isterinya yang mencegahnya.
“Biarlah mereka membawa semua harta benda, apakah artinya itu bagi kita ? Kalau kau sampai terkena bencana, bagaimanakah dengan kami?“ isterinya mencegah, juga Roro Santi mencegah ayahnya.
Kertapati setelah berhasil mengambil barang-barang berharga yang terbuat daripada emas, lalu memimpin kawan-kawannya untuk meninggalkan gedung itu, akan tetapi ia bertemu dengan seorang kawannya yang terluka pada pundaknya.
“ Wiji ! Kau terluka ? Bagaimana kawan-kawan ? “
“Celaka, Kertapati ! Lima orang kawan kita yang menyerbu rumah Kompeni telah tertawan ! “
Kagetlah Kertapati mendengar ini. Lima orang ahli panahnya tertawan? Dengan cepat Wiji menuturkan bahwa kelima orang itu telah kena tipu oleh Dolleman. Ketika Jiman datang ke tempat itu, tiba-tiba ia ditodong oleh Dolleman dan dipaksa untuk mengambil jalan memutar, menghampiri lima orang ahli panah itu.
Mereka tidak mau memanah melihat Jiman, tidak tahunya di belakang Jiman ini terdapat Dolleman dan seorang lain yang memegang senjata api ! Untuk menyerang Kompeni itu, tentu tubuh Jiman yang dijadikan perisai akan terkena, maka terpaksa di bawah todongan Dolleman dan kawannya, kelima orang ahli panah itu mengangkat tangan dan tertawan !
“Keparat!“ seru Kertapati. “Beri tanda agar semua segera berlari keluar!“
Setelah Wiji berlari pergi untuk menjalankan perintah ini. Kertapati sendiri lalu berlari masuk kembali ke gedung Adipati Wiguna ! Alangkah kagetnya hati Adipati Wiguna sekeluarga ketika tiba-tiba pintu kamar itu tertendang dari luar dan masuklah seorang pemuda baju hitam dengan keris di tangan!
“ Kertapati ! “ terdengar Adipati Wiguna dan Roro Santi berseru hampir berbareng.
“Diam dan jangan bergerak!“ Kertapati mengancam. “Kawan-kawanku tertawan, dan Roro Santi kujadikan tawananku untuk kelak ditukar ! “ Sebelum semua orang sadar, ia telah menubruk maju dan cepat sekali tubuh gadis itu telah berada dalan penodongannya. Adipati Wiguna hendak menyerang, akan tetapi Kertapati membentak.
“Kau tidak sayangi jiwa anakmu sendiri?“ Kerisnya diangkat dan ditempelkan ke arah dada Roro Santi, sehingga Adipati Wiguna melangkah mundur lagi denagn pucat. Kertapati lalu melompat dan menghilang ke dalam gelap, gadis itu meronta-ronta dalam pondongannya !
Geger dan ributlah kota Jepara dengan adanya serangan itu. Setelah para penyerang itu melarikan diri jauh barulah para penjaga itu mencari-cari dan memburu ke sana ke mari !
Ketika Kertapati berkumpul dengan anak buahnya, ternyata bahwa dua orang kawan mereka tewas, tiga dengan Jiman yang ditembak mati oleh Dolleman, empat orang luka-luka dan lima orang ahli panah tertawan ! Akan tetapi hasil rampasan mereka amat banyak dan mereka membayangkan betapa akan gembiranya Trunajaya menerima bantuan ini !
“Kau…… pemuda yang berahlak rendah ! Kau ksatria yang sesat dan membikin malu nama keluargamu sendiri ! “ Di dalam gubuk tempat ia ditahan, Roro Santi berdiri dan menudingkan jari telunjuknya ke arah muka Kertapati yang telah meninggalkan samarannya, Wajah gadis itu merah dan matanya bersinar-sinar, memandang dengan penuh kemarahan.
Kertapati duduk di atas sebuah bangku, menatap wajah Roro Santi dengan penuh kekaguman, Alangkah indahnya mata itu kalau sedang marah, memancarkan cahaya berapi-api. Alis yang kecil panjang menghitam itu lebih manis lagi ketika dikerutkan. Bagaikan terpesona Kertapati menatap bibir yang bergerak-gerak, mencela dan memakinya itu.
“Sudah cukupkah? atau masih ada lagi? Kalau masih ada, teruskan, nanti dating giliranku!“ jawabnya sambil tersenyum dan Roro Santi merasa agak binggung melihat senyum itu. Senyum itu nampak demikian manis dan manarik hatinya sehingga diam-diam ia merasa kemarahannya memuncak.
“Kau pemuda tidak tahu malu ! Orang gagah perkasa yang rendah budi membikin malu bangsa sendiri ! Kau menbajak, merampok, bahkan berani menculik puteri-puteri bangsawan ! Pekerjaan apakah yang lebih rendah daripada semua kejahatan yang kaulakukan itu ? “
Kertapati mendengarkan sambil tersenyum dan mengangguk-angguk.
”Kau menculik Winarti dan menghinanya! Sekarang kau tidak hanya merampok penduduk Jepara termasuk ayahku, akan tetapi juga berani menculik aku! Kau mencemarkan nama dan kehormatan keluarga kami, sekarang aku sudah kau tawan, mau bunuh lekas bunuhlah ! “ Sambil mengangkat dadanya Roro Santi memandang dengan menantang, akan tetapi dari dua matanya melompat keluar dua titik air mata !
“Sudah cukupkah?“ kata Kertapati dengan suara halus dan tenang. “Sekarang giliranku. Kau tadi bertanya apakah ada kejahatan yang lebih rendah daripada perbuatanku? Banyak! Perbuatan orang tuamu, perbuatan para bangsawan di Jepara, bahkan perbuatanmu sendiri jauh lebih rendah! “
“ Apa katamu ?? Perbuatanku yang mana yang kau anggap rendah ? “
“Sebagai seorang puteri bangsawan, seorang umat Islam pula, kau telah menyediakan dirimu untuk menjadi jodoh seorang kafir, seorang Belanda yang banyak mendatangkan malapetaka bagi bangsa kita sendiri ! “
“Keparat! Jangan sembarangan membuka mulut! Siapa sudi menjadi jodohnya? Aku…… aku tidak sudi ! “
“Akan tetepai kau tidak melawan kehendak ayahmu. Pertunanganmu dengan Dolleman bukan rahasia lagi ! “
“Aku…… aku terpaksa, harus tunduk kepada ayahku, dan…… dan hal ini sama sekali bukan urusanmu, kau perduli apa?“ kembali dara itu memandang marah dengan mata menantang.
“Tentu saja aku perduli! Orang lain yang manapun kalau hendak dijodohkan dengan mata-mata Kompeni musuh kita itu, tentu membuat hatiku tak seneng. Apalagi …… kau ! “
“ Kalau aku mengapa ! “
“Kau…… kau…… aku harus melarang hal ini terjadi, biarpun akan kuhalangi dengan nyawaku. Aku tidak rela kau menjadi jodoh keparat Kompeni itu atau…… jodoh siapa saja !! “
“Kau gila! Ada hak apakah kau atas diriku maka kau berani berkata demikian ? “
“Hal yang timbul karena perasaan kita, perasaanku dan perasaanmu. Santi, ikatan hati kita tak akan putus sedemikian mudahnya ! “
Roro Santi memandang denang mata terbelalak.
“ Apa maksudmu …… ?”
Kini wajah Kertapati nampak bersungguh-sungguh. Lenyaplah senyum mengejek tadi dari bibirnya dan matanya yang tadi berseri jenaka kini berubah sayu dan pandang matanya mesra ditujukan ke arah wajah gadis itu.
“Santi, semenjak kau memberi tusuk konde itu…… kita saling mencintai. Kau tahu akan hal ini sama baiknya dengan aku, dan jangan kau menipu hatimu sendiri ! “
“Tidak……. ! Bohong…… Tak mungkin aku menyinta seorang bajak, seorang perampok, lebih-lebih …… seorang penghianat yang mencelakakan bangsa sendiri ! “
“Diam!“ Kertapati membentak marah dan melompat lalu memegang kedua pundak Roro Santi. “Dengarlah, gadis…… ! Kau boleh menyebut aku apa saja akan tetapi jangan sekali-kali menyebutku penghianat. Aku tidak mau ! Apalagi kalau keluar dari mulutmu dan mulut orang-orang yang bersekutu dengan Belanda! Kau mau dipertunangkan dengan Kompeni, ayahmu bersetia kepada Sunan yang untuk mempertahankan gelar dan singgasana, rela membuat kita diperbudak oleh orang-orang kafir! Apakah orang-orang macam kalian itu patut menyebutku seorang penghianat ? “
Sambil berkata demikian, dalam kemarahannya Kertapati mengguncang-ngguncang kedua pundak Roro Santi yang tak berdaya dalam pegangan sepasang tangan yang kuat itu sehingga gadis ini mulai menangis !
Melihat air amata yang membanjir keluar dari kedua mata Roro Santi, lemaslah tubuh Kertapati dan kekerasan hatinya hancur luluh sama sekali. Tanpa disadarinya, tangannya masih memegang pundak gadis itu, menarik tubuh itu ke dadanya dan sesaat kemudian ia mendekap kepala orang yang dikasihinya itu ke dada !
Bagaikan terkena pesona dan hilang ingatan, untuk beberapa lamanya Roro Santi menangis sambil menyandar keningnya pada dada yang bidang dan kuat itu. Hal ini mendatangkan rasa damai dan tentram kepadanya.
“Kalau saja…… kau bukan bajak laut Kertapati…… dan aku……. Aku bukan Roro Santi puteri seorang Adipati …… “ bisiknya perlahan.
Kertapati tidak menjawab, hanya mempererat dekapananya. Akan tetapi, tiba-tiba Roro Santi merenggutkan tubuhnya dari pelukan itu dan berkata dengan wajah pucat,
“Tidak…… tidak!! Ini tidak mungkin! Kertapati kau dengarlah baik-baik karena kurasa kau mesih mempunyai cukup kebijaksanaan untuk menimbang dengan adil. Jangan kaukira bahwa aku demikian gila dan suka kepada Kompeni juga mendengar percakapan-percakapan antara ayah dan ibu, mereka juga tidak suka kepada Kompeni ! akan tetapi, ayah adalah seorang ponggawa kerajaan yang harus setia kepada junjungan. Dan aku…… aku adalah puteri tunggal dari orang tuaku, maka aku betapapun juga harus berbakti dan tunduk. Aku tahu bahwa ayah dan ibu tidak begitu gila untuk mempertunangkan aku dengan Kompeni itu apabila tidak ada hal yang amat memaksa mereka. Dan kalau menolak…… pasti ayah akan mendapat bencana! Sebagai seorang anak yang berbakti, tentu saja aku harus membela orang tuaku, biarpun untuk itu aku harus berkorban nyawa ! “
“ Lebih baik berkorban nyawa daripada mengurbankan kesucianmu sebagai gadis bangsawan yang beribadat kepada seorang Kompeni ! “ kata Kertapati gemas.
“Apa kaukira aku akan tunduk begitu saja, Kertapati? Aku tunduk hanya untuk membela orang tuaku, akan tetapi, Dolleman hanya akan dapat menjamah mayatku ! “
Sambil berkata demikian Roro Santi berdiri tegak dengan kepala dikedikan. Wajahnya yang masih basah air mata itu nampak pucat, akan tetapi membayangkan kegagahan dan ketabahan hati
“ Santi, alangkah gagahnya kau ! Hatiku tidak rela melepasmu untuk menjadi korban keganasan Kompeni dan ketamakan ayahmu ! Jangan kau pergi meninggalkan aku, Santi ! “
“ Akan tetapi ayahku …… “
“Ayamu membela fihak yang sesat, jangan dipikirkan lagi ! “
Roro Santi memandang marah. “Kertapati! Tentu saja kau tidak mengerti tentang cintakasih antara orang tua dan anak, tidak kenal akan rasa bakti terhadap orang tua di dalam hati anak ! Agaknya kau…… kau tak pernah berbakti kepada orang tuamu! Oleh karena itu agaknya maka kau tersesat dan menjadi seorang bajak, seorang perampok ! “
Tiba-tiba pucatlah wajah Kertapati. Bibirnya gemetar, ternyata bahwa ia sedang menderita pukulan batin dan menahan keperihan hati yang hebat mendengar ucapan itu. Kemudian katanya perlahan,
“Santi, ayah, ibu, semua saudaraku telah tewas karena peluru senapan Kompeni dibanten. Kebaktian apalagi yang dapat kulakukan selain memusuhi Kompeni dan kaki tangan serta sekutunya ? “
“Oh…… maafkan aku, Kertapati, “ kata Roro Santi dengan suara perlahan dan terharu, dan kini pandangannya terhadap pemuda itu sama sekali berobah.
“Jangan kaukira bahwa semua hasil rampokan dan rampasan yang kulakukan bersama anak buahku itu kami pakai untuk kepentingan sendiri. Tidak! Semua harta benda yang kami dapatkan, kami kirim untuk mambantu pemberontakkan-pemberontakan para pemimpin rakyat terhadap Kompeni. Maka, janganlah kau memandang terlampau rendah dan hina kepadaku, Santi…… “ Suara Kertapati bukan bersifat menyombong, bahkan terdengar sebagai seorang terdakwa yang membela diri dan minta dikasihani.
“Kertapati……. Kertapati…… “ kata Roro Santi perlahan sambil memandang dengan air mata berlinang. “Sekarang aku merasa menyesal mengapa aku dilahirkan sebagai seorang puteri bangsawan, ……. Aku ingin menjadi seorang gadis dusun agar dapat…… membantumu……. ! “
“Santi…… ! “ Kertapati melangkah maju dan kembali memeluk dara itu yang kini telah menyerahkan hatinya bulat-bulat terhadap pemuda yang memang semenjak pertemuan pertama kali telah menarik hatinya itu.
Pada saat itu, dari luar pintu rumah terdengar panggilan,
“ Kertapati ! “
Sepasang teruna remaja itu cepat-cepat memisahkan diri dan melepaskan pelukan.
“ Masuklah, Karim ! “ kata Kertapati yang mengenali suara kawannya itu.
Alangkah kejamnya, meninggalkan aku seorang diri di tempat seperti ini. Ah, dia tidak berjantung, tidak berperasaan, tak kenal perikemanusiaan ! Winarti mengomel panjang-pendek di dalam hatinya dan mencoba untuk menanam rasa benci di dalam hatinya. Akan tetapi, diam-diam ia harus akui bahwa tak mungkin baginya untuk membenci pemuda itu. Ia kagumi kegagahannya, dan wajah itu ….. terutama matanya yang tajam tak mau hilang saja dari bayang-bayang lamunannya !
Ah, pikirnya sambil mengigit bibir, kalau dia berganti pakaian, berganti nama, dan menjadi…… mantu ayahku, siapa yang akan menyangka bahwa ayahku bahwa dia adalah bajak laut Kertapati? Alangkah bahagianya bersuamikan seorang gagah perkasa….. ah, akan tetapi ia sombong, sombong dan kejam ! Aku benci padanya ….. benci ! Ia menangis lagi.
Tengah malam telah lewat dan keadaan makin sunyi membuat hati Winarti makin gelisah dan takut. Sebetulnya bukan tak ada orang sama sekali di sekitar tempat itu, karena semenjak tadi, di luar tahunya Winarti, ada sepasang mata yang tajam dan bersembunyi di balik bulu mata yang sudah keputih-putihan dan pelupuk mata yang agak sipit dan berkeriput.
Ini adalah mata seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sebagai seorang petani, baju biru panjang penuh tambalan, celana panjang sampi bawah lutut, juga penuh tambalan, rambutnya yang telah banyak uban itu tertutup oleh sehelai ikat hitam dan sarungnya diselempangkan pada pundak kirinya.
Kakek ini berdehem perlahan dan muncul dari tempat persembunyiannya. Winarti yang sedang menangis terkejut sekali hingga serentak ia bangun berdiri. Akan tetapi, ketika ia melihat seorang setengah tua berdiri tak jauh dari situ, ia berdiri bertindak menghampiri dan berkata.
“ Pak tua ….. kau tolonglah aku ….. “
Kakek itu melihat di bawah sinar bulan yang suram betapa seorang gadis cantik berlari kepadanya, maka ia segera membelalakkan matanya dan nampak terkejut sekali.
“Ya Jagat Dewa Batara….. !“ ia memuji. “ Bagaimana di tempat seperti ini muncul seorang kuntilanak ? Hai iblis ! Pergilah dan jangan ganggu Pak Sumpil ! Aku sudah tua dan takkan tertarik oleh kecantikanmu ! “ Sambil berkata demikian, kakek itu mengangkat kedua tangannya seakan-akan ia berdoa !
Sungguhpun ia tadi baru saja menangis, akan tetapi melihat kelakuan kakek itu, Winarti tertawa terkekeh-kekeh sehingga kakek itu makin ketakutan dan mundur dua langkah.
“Pak tua…… atau Pak Sumpil kalau memang itu namamu. Aku bukan kuntilanak! Lihatlah, apakah punggungku bolong?“ Sambil berkata demikian, Winarti lalu memutar tubuhnya memperlihatkan punggungnya yang halus, bersih dan sama sekali tidak bolong.
“Bukan kuntilanak…… ? Maaf…… kalau begitu, siapakah den ajeng ini? Mengapa seorang wanita muda seperti den ajeng berada di tempat ini pada saat seperti ini?“ Kakek itu menghampiri dengan membungkuk-nungkuk memberi hormat.
“Saya adalah puteri Tumenggung Basirudin di Jepara. Siapakah kau, pak? Apakah namamu Pak Sumpil? “
Kakek itu nampak tertegun mendengar bahwa puteri ini adalah anak seorang tumenggung, maka ia segera memberi hormat dan berkata.
“Memang benar nama hamba Pak Sumpil, karena selain menjadi petani, hamba suka mencari dan mengumpulkan sumpil ( keong kecil ), maka hamba disebut Pak Sumpil. Mengapa den ajeng berada di tempat ini seorang diri ? “
Dengan girang karena telah bertemu dengan seorang dusun, Winarti lalu menceritakan bahwa ia telah diculik oleh bajak laut Kertapati dan diturunkan di situ.
“Maka, harap kau suka tolong aku, Pak Sumpil. Antarkan aku ke Jepara, ayah tentu akan memberi hadiah besar kepadamu ! “
Pak Sumpil segera menyanggupi dan berkata, “ Karena malam gelap. Lebih baik kita berangkat besok pagi-pagi. Kalau den ajeng suka, dan den ajeng boleh mengaso atau tidur, hamba yang menjaga. “
Akan tetapi Winarti tak dapat tidur, dan setelah Pak Sumpil membuat api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk , ia malah mengajak kakek itu bercakap-cakap.
“Telah lama hamba dan sekalian saudara-saudara di kampung mendengar nama bajak laut Kertapati. Bahkan belakangan ini orang-orang mengabarkan bahwa bajak laut itu hendak menikah dengan seorang puteri Jepara yang bernama Roro Santi! Betulkah berita ini, den ajeng?“
“ Bohong ! Bagaimana seorang bajak laut yang jahat bisa menikah dengan seorang puteri Adipati? Menggelikan ! Andaikata Roro Santi sendiri setuju, tak mungkin ayahnya memberi ijin. Pula, Adipati Wiguna telah memberikan puterinya itu kepada letnan Kompeni, mereka sudah bertunangan ! “
Kakek itu nampak kaget. “Apa ?? Menikahkan puterinya dengan seorang Kompeni? Aneh benar!! Belum pernah hamba mendengar berita seaneh ini selama hamba hidup.“
“ Ini kehendak Adipati Wiguna, siapa bisa menghalanginya ? “
“Apakah den ajeng Roro Santi juga sudah setuju dinikahkan dengan seorang Belanda yang bermata biru dan berambut kuning ? “
Winarti menggeleng kepalanya. “ Jangankan kepada seorang letnan Kompeni, bahkan pada tunangannya yang dulupun, Roro Santi tidak pernah merasa suka. Padahal tunangannya yang dulu, Raden Suseno, adalah seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah ! “
“Seorang gadis yang keras hati dan tak mudah jatuh cinta …… “ kakek itu berkata perlahan, “diwaktu hamba masih muda dulu, pernah hamba bertemu dengan seorang gadis seperti itu. “
“Benarkah, Pak Sumpil? Tentu pengalamanmu banyak sekali tentang watak-watak wanita, bukan? Kau agaknya bukan seorang alim di waktu mudamu, pak ! “
Kakek itu tertawa bergelak. “ Ah, hamba hanyalah seorang dusun, dan wanita-wanita yang hamba kenalpun hanya perempuan-perempuan tani dan nelayan. “
“Menurut pendapatku, pak, seorang gadis seperti Roro Santi itu kalau sudah menjatuhkan hatinya kepada seseorang, akan dibelanya sapai mati ! “
Setelah mendengar ucapan Winarti yang terakhir ini, kakek itu nampak tak ingin banyak bicara lagi dan Winarti yang kini tidak merasa takut lagi lalu menyandarkan tubuhnya pada batang pohon dan tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Winarti diantar oleh Pak Sumpil menuju ke Jepara. Akan tetapi, oleh karena perjalanan melalui hutan dan jalan yang amat sukar, sedangkan sebagai puteri bangsawan Winarti tak biasa berjalan jauh, maka perjalanan itu makan waktu sampai sehari ! Gadis itu sama sekali tidak tahu bahwa kalau sekiranya mereka mengambil jalan langsung dan tidak berputar-putar dulu, tak sampai setengah hari mereka akan sampai di Jepara.
Menjelang senja mereka memasuki gerbang pintu Jepara dan para penjaga ketika melihat Winarti diantar pulang oleh seorang petani itu, menjadi girang sekali. Segera mereka memberitahukan hal ini kepada Tumenggung Basirudin yang segera dating menjemput puterinya Winarti bertangis-tangisan dengan ayah-ibunya dan ketika kedua orang tuanya itu mendengar bahwa puteri mereka selamat dan tidak terganggu oleh bajak laut kertapati, mereka merasa bersukur sekali.
Winarti menuturkan jasa Pak Sumpit yang mengantarkan sampai ke kota Jepara, maka dengan berterima kasih sekali Tumenggung Basirudin lalu memberi hadiah uang dan pakaian.
Pak Sumpit mengucapkan banyak terima kasih, kemudian ia diperkenankan untuk bermalam di situ, mendapat tempat di bagian para nelayan. Akan tetapi Pak Sumpit menyembah dan mengajukan permohonan.
“Gusti Tumenggung, banyak terima kasih hamba haturkan atas segala kurnia paduka kepada hamba yang sesungguhnya tidak melakukan sesuatu yang patut diberi jasa. Hamba adalah seorang dusun yang baru pertama kali semenjak puluhan tahun yang lalu melihat kota Jepara yang demikian indah. Oleh karena itu, karena besok pagi-pagi hamba harus kembali ke pondok hamba karena kuatir kalau-kalau anak cucu hamba mencari-cari, apabila diperkenankan, malam hari ini hamba tak hendak tidur. Hamba ingin menikmati keindahan kota Jepara dan berjalan-jalan di kota. “
Semua orang tertawa mendengar ini. “Tentu saja boleh, Pak Sumpil. Bahkan pintu samping akan kusuruh buka saja sehingga sewaktu-waktu kau datang, kau dapat terus masuk ke belakang,“ jawab Tumenggung Basirudin ramah.
Pak Sumpil lalu minta diri dan keluar dari gedung tumenggung. Dengan langkah perlahan dan memandang ke kanan kiri dengan penuh kekaguman, berjalan-jalan seorang diri di kota Jepara. Seorang penunggang kuda lewat cepat di dekatnya. Pak Sumpil menengok memberi isarat dengan tangan kirinya. Penunggang kuda itu lewat terus seakan-akan tidak melihatnya, akan tetapi tak lama kemudian ia datang kembali dan melemparkan segulung kertas yang jatuh dekat kaki Pak Sumpil. Kakek ini berhenti berjalan, mengeluarkan slepai tembakaunya. Ketika ia menyalakan sebatang rokok klobot, tiba-tiba slepainya terlepas dari tangan. Ia mengambilnya dan kertas gulungan itupun terbawa oleh jarinya. Lalu ia melanjutkan perjalanannya sambil tunduk membaca tulisan di kertas gulungan itu, yang hanya sebaris.
“Kawan-kawan siap, gerbang selatan lemah. Kita serbu di sana.”
“Bagus, Jiman!“ Kertapati tersenyum, karena kakek atau Pak Sumpil itu sebenarnya memang Kertapati sendiri yang menyamar dan mempergunakan Winarti sebagai “perisai“ atau “kunci masuk“ sehingga ia dapat memasuki Jepara tanpa banyak menimbulkan kecurigaan.
Jiman sendiri tadi tidak mengenalnya, demikian sempurna samaran yang dilakukan oleh Kertapati itu, akan tetapi ketika melihat tanda isarat yang diberikan oleh Kertapati, barulah Jiman mengenalnya. Pembantu ini memang semenjak tadi telah merasa gelisah karena tidak melihat Kertapati yang menurut kata kawan-kawan berada di dalam kota.
Setelah membaca surat itu yang lalu disobek-sobek dan dimasukkan ke saku bajunya untuk disebar di sepanjang jalan sedikit demi sedikit. Kertapati lalu melanjutkan perjalanannya dengan langkah perlahan dan lemah menuju ke selatan. Memang benar sebagaimana laporan Jiman, yang menjaga di gerbang ini hanya tiga orang penjaga.
Pada saat Kertapati tiba di situ, Jiman telah mendahuluinya dan kini pembantunya itu nampak sedang bercakap-cakap dengan mereka. Jiman adalah seorang pembantu Letnan Dolleman yang banyak dikenal oleh para penjaga.
“He, pak tua ! “ Jiman menegur ketika Kertapati berjalan dekat pintu gerbang. “ Kau hendak pergi ke mana ? “
Sambil terbatuk-batuk seperti seorang kakek yang menderita penyakit mengguk, Kertapati berjalan terseok-seok menghampiri mereka, kemudian berkata.
“Aku…….. adalah Pak Sumpil yang tadi mengantarkan pulang puteri Gusti Tumenggung. Waah, aku mendapat hadiah banyak sekali, coba lihat hadiah ini, alagkah indahnya…… “ sambil berkata demikian ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menggenggam dengan kedua tangan.
Tiga orang penjaga menjadi tertarik hatinya dan karena hadiah yang dikeluarkan dari saku itu agaknya kecil sekali sehingga tidak nampak dari tempat mereka, mereka bertiga lalu melangkah maju untuk melihat benda di dalam kedua tangan kakek itu.
Akan tetapi, alangkah kaget mereka ketika melihat bahwa kedua tangan itu kosong tak terisi apa-apa! Selagi mereka hendak menegur, secepat kilat kedua lengan Pak Sumpil bergerak dan tahu-tahu leher dua orang penjaga telah dijepit dengan lengannya sedemikian kerasnya sehingga tak dapat mengeluarkan teriakan sama sekali.
Pada saat itu juga, Jiman telah memukul kepala penjaga ketiga dengan gagang kerisnya sehingga penjaga itu roboh pingsan. Setelah membuat ketiga orang penjaga itu tak berdaya dan menyeret tubuh mereka ke dalam semak-semak di dekat gardu, Kertapati dan Jiman lalu membuka pintu gerbang. Jiman lari ke kudanya dan mengambil busur dan anak panah. Tak lama kemudian, dari gerbang itu meluncurlah anak panah yang dipasangi api keluar dari pintu gerbang.
Mereka menanti sebentar dan tak lama kemudian berserabutanlah kawan-kawan mereka berlari datang dari balik-balik pohon. Tanpa banyak ribut karena memang telah diatur terlebih dahulu, mereka memecah rombongan menjadi beberapa bagian, mendatangi gedung-gedung besar yang telah menjadi bagian masing-masing !
Suasana sunyi senyap, akan tetapi tak lama kemudian, ributlah seluruh Jepara oleh bunyi kentungan yang dipukul bertalu-talu dan bersaut-sautan. Titir! Tanda ada perampok menyerang kota. Akan tetapi rumah manakah yang dirampok? Demikian banyaknya kentungan berbunyi pada saat yang sama! Para penjaga menjadi panik dan tiba-tiba terdengar tembakan-tembakan senjata api di gedung tempat para Kompeni bermalam! Berlari-larilah para penjaga ke tempat itu dan hanya beberapa orang penjaga saja yang mendatangi rumah-rumah yang didatangi perampok, karena sebagaian besar berlari menuju ke arah datangnya suara senjata api. Mereka merasa lebih aman berlindung di belakang Kompeni yang bersenjata api !
Para penjaga dan Kompeni menjadi panik ketika rumah itu diserang dengan anak-anak panah yang meluncur itu, dapat diguga bahwa fihak penyerang sedikitnya tentu ada dua puluh orang. Kompeni yang berada di dalam rumah itu hanya ada dua belas orang, termasuk Dolleman yang memaki kalang kabut. Letnan ini lalu memimpin kawan-kawannya untuk menembak ke arah penyerbu, akan tetapi para penyerbu itu selain berlindung di balik batang-batang pohon, juga ternyata membawa karung-karung pasir yang ditumpuk-tumpuk di dekat pohon itu !
“Setan jahanam ! “ seru Dolleman marah sekali. “ Bagaimana mereka dapat masuk ke kota ? “
Ketika mendengar bahwa mereka datang dari pintu selatan, Dolleman makin marah. Telah lama ia mencurigai Jiman dan malam hari ini adalah giliran Jiman untuk melakukan pengawasan terhadap para penjaga !
Sementara itu, para anak buah bajak laut dengan mudah telah dapat memasuki gedung-gedung bagian mereka dan mengambil harta benda yang dapat mereka bawa. Kertapati sendiri dengan dikawani oleh empat orang kawannya, menyerbu ke gedung Wiguna dan beberapa orang penjaga yang masih berada di situ dengan mudah saja dapat mereka bikin tak berdaya. Adipati Wiguna sekeluarga bersembunyi di dalam kamar mereka karena ketika Adipati Wiguna hendak ikut menghadapi perampok, ia dipegang oleh isterinya yang mencegahnya.
“Biarlah mereka membawa semua harta benda, apakah artinya itu bagi kita ? Kalau kau sampai terkena bencana, bagaimanakah dengan kami?“ isterinya mencegah, juga Roro Santi mencegah ayahnya.
Kertapati setelah berhasil mengambil barang-barang berharga yang terbuat daripada emas, lalu memimpin kawan-kawannya untuk meninggalkan gedung itu, akan tetapi ia bertemu dengan seorang kawannya yang terluka pada pundaknya.
“ Wiji ! Kau terluka ? Bagaimana kawan-kawan ? “
“Celaka, Kertapati ! Lima orang kawan kita yang menyerbu rumah Kompeni telah tertawan ! “
Kagetlah Kertapati mendengar ini. Lima orang ahli panahnya tertawan? Dengan cepat Wiji menuturkan bahwa kelima orang itu telah kena tipu oleh Dolleman. Ketika Jiman datang ke tempat itu, tiba-tiba ia ditodong oleh Dolleman dan dipaksa untuk mengambil jalan memutar, menghampiri lima orang ahli panah itu.
Mereka tidak mau memanah melihat Jiman, tidak tahunya di belakang Jiman ini terdapat Dolleman dan seorang lain yang memegang senjata api ! Untuk menyerang Kompeni itu, tentu tubuh Jiman yang dijadikan perisai akan terkena, maka terpaksa di bawah todongan Dolleman dan kawannya, kelima orang ahli panah itu mengangkat tangan dan tertawan !
“Keparat!“ seru Kertapati. “Beri tanda agar semua segera berlari keluar!“
Setelah Wiji berlari pergi untuk menjalankan perintah ini. Kertapati sendiri lalu berlari masuk kembali ke gedung Adipati Wiguna ! Alangkah kagetnya hati Adipati Wiguna sekeluarga ketika tiba-tiba pintu kamar itu tertendang dari luar dan masuklah seorang pemuda baju hitam dengan keris di tangan!
“ Kertapati ! “ terdengar Adipati Wiguna dan Roro Santi berseru hampir berbareng.
“Diam dan jangan bergerak!“ Kertapati mengancam. “Kawan-kawanku tertawan, dan Roro Santi kujadikan tawananku untuk kelak ditukar ! “ Sebelum semua orang sadar, ia telah menubruk maju dan cepat sekali tubuh gadis itu telah berada dalan penodongannya. Adipati Wiguna hendak menyerang, akan tetapi Kertapati membentak.
“Kau tidak sayangi jiwa anakmu sendiri?“ Kerisnya diangkat dan ditempelkan ke arah dada Roro Santi, sehingga Adipati Wiguna melangkah mundur lagi denagn pucat. Kertapati lalu melompat dan menghilang ke dalam gelap, gadis itu meronta-ronta dalam pondongannya !
Geger dan ributlah kota Jepara dengan adanya serangan itu. Setelah para penyerang itu melarikan diri jauh barulah para penjaga itu mencari-cari dan memburu ke sana ke mari !
Ketika Kertapati berkumpul dengan anak buahnya, ternyata bahwa dua orang kawan mereka tewas, tiga dengan Jiman yang ditembak mati oleh Dolleman, empat orang luka-luka dan lima orang ahli panah tertawan ! Akan tetapi hasil rampasan mereka amat banyak dan mereka membayangkan betapa akan gembiranya Trunajaya menerima bantuan ini !
“Kau…… pemuda yang berahlak rendah ! Kau ksatria yang sesat dan membikin malu nama keluargamu sendiri ! “ Di dalam gubuk tempat ia ditahan, Roro Santi berdiri dan menudingkan jari telunjuknya ke arah muka Kertapati yang telah meninggalkan samarannya, Wajah gadis itu merah dan matanya bersinar-sinar, memandang dengan penuh kemarahan.
Kertapati duduk di atas sebuah bangku, menatap wajah Roro Santi dengan penuh kekaguman, Alangkah indahnya mata itu kalau sedang marah, memancarkan cahaya berapi-api. Alis yang kecil panjang menghitam itu lebih manis lagi ketika dikerutkan. Bagaikan terpesona Kertapati menatap bibir yang bergerak-gerak, mencela dan memakinya itu.
“Sudah cukupkah? atau masih ada lagi? Kalau masih ada, teruskan, nanti dating giliranku!“ jawabnya sambil tersenyum dan Roro Santi merasa agak binggung melihat senyum itu. Senyum itu nampak demikian manis dan manarik hatinya sehingga diam-diam ia merasa kemarahannya memuncak.
“Kau pemuda tidak tahu malu ! Orang gagah perkasa yang rendah budi membikin malu bangsa sendiri ! Kau menbajak, merampok, bahkan berani menculik puteri-puteri bangsawan ! Pekerjaan apakah yang lebih rendah daripada semua kejahatan yang kaulakukan itu ? “
Kertapati mendengarkan sambil tersenyum dan mengangguk-angguk.
”Kau menculik Winarti dan menghinanya! Sekarang kau tidak hanya merampok penduduk Jepara termasuk ayahku, akan tetapi juga berani menculik aku! Kau mencemarkan nama dan kehormatan keluarga kami, sekarang aku sudah kau tawan, mau bunuh lekas bunuhlah ! “ Sambil mengangkat dadanya Roro Santi memandang dengan menantang, akan tetapi dari dua matanya melompat keluar dua titik air mata !
“Sudah cukupkah?“ kata Kertapati dengan suara halus dan tenang. “Sekarang giliranku. Kau tadi bertanya apakah ada kejahatan yang lebih rendah daripada perbuatanku? Banyak! Perbuatan orang tuamu, perbuatan para bangsawan di Jepara, bahkan perbuatanmu sendiri jauh lebih rendah! “
“ Apa katamu ?? Perbuatanku yang mana yang kau anggap rendah ? “
“Sebagai seorang puteri bangsawan, seorang umat Islam pula, kau telah menyediakan dirimu untuk menjadi jodoh seorang kafir, seorang Belanda yang banyak mendatangkan malapetaka bagi bangsa kita sendiri ! “
“Keparat! Jangan sembarangan membuka mulut! Siapa sudi menjadi jodohnya? Aku…… aku tidak sudi ! “
“Akan tetepai kau tidak melawan kehendak ayahmu. Pertunanganmu dengan Dolleman bukan rahasia lagi ! “
“Aku…… aku terpaksa, harus tunduk kepada ayahku, dan…… dan hal ini sama sekali bukan urusanmu, kau perduli apa?“ kembali dara itu memandang marah dengan mata menantang.
“Tentu saja aku perduli! Orang lain yang manapun kalau hendak dijodohkan dengan mata-mata Kompeni musuh kita itu, tentu membuat hatiku tak seneng. Apalagi …… kau ! “
“ Kalau aku mengapa ! “
“Kau…… kau…… aku harus melarang hal ini terjadi, biarpun akan kuhalangi dengan nyawaku. Aku tidak rela kau menjadi jodoh keparat Kompeni itu atau…… jodoh siapa saja !! “
“Kau gila! Ada hak apakah kau atas diriku maka kau berani berkata demikian ? “
“Hal yang timbul karena perasaan kita, perasaanku dan perasaanmu. Santi, ikatan hati kita tak akan putus sedemikian mudahnya ! “
Roro Santi memandang denang mata terbelalak.
“ Apa maksudmu …… ?”
Kini wajah Kertapati nampak bersungguh-sungguh. Lenyaplah senyum mengejek tadi dari bibirnya dan matanya yang tadi berseri jenaka kini berubah sayu dan pandang matanya mesra ditujukan ke arah wajah gadis itu.
“Santi, semenjak kau memberi tusuk konde itu…… kita saling mencintai. Kau tahu akan hal ini sama baiknya dengan aku, dan jangan kau menipu hatimu sendiri ! “
“Tidak……. ! Bohong…… Tak mungkin aku menyinta seorang bajak, seorang perampok, lebih-lebih …… seorang penghianat yang mencelakakan bangsa sendiri ! “
“Diam!“ Kertapati membentak marah dan melompat lalu memegang kedua pundak Roro Santi. “Dengarlah, gadis…… ! Kau boleh menyebut aku apa saja akan tetapi jangan sekali-kali menyebutku penghianat. Aku tidak mau ! Apalagi kalau keluar dari mulutmu dan mulut orang-orang yang bersekutu dengan Belanda! Kau mau dipertunangkan dengan Kompeni, ayahmu bersetia kepada Sunan yang untuk mempertahankan gelar dan singgasana, rela membuat kita diperbudak oleh orang-orang kafir! Apakah orang-orang macam kalian itu patut menyebutku seorang penghianat ? “
Sambil berkata demikian, dalam kemarahannya Kertapati mengguncang-ngguncang kedua pundak Roro Santi yang tak berdaya dalam pegangan sepasang tangan yang kuat itu sehingga gadis ini mulai menangis !
Melihat air amata yang membanjir keluar dari kedua mata Roro Santi, lemaslah tubuh Kertapati dan kekerasan hatinya hancur luluh sama sekali. Tanpa disadarinya, tangannya masih memegang pundak gadis itu, menarik tubuh itu ke dadanya dan sesaat kemudian ia mendekap kepala orang yang dikasihinya itu ke dada !
Bagaikan terkena pesona dan hilang ingatan, untuk beberapa lamanya Roro Santi menangis sambil menyandar keningnya pada dada yang bidang dan kuat itu. Hal ini mendatangkan rasa damai dan tentram kepadanya.
“Kalau saja…… kau bukan bajak laut Kertapati…… dan aku……. Aku bukan Roro Santi puteri seorang Adipati …… “ bisiknya perlahan.
Kertapati tidak menjawab, hanya mempererat dekapananya. Akan tetapi, tiba-tiba Roro Santi merenggutkan tubuhnya dari pelukan itu dan berkata dengan wajah pucat,
“Tidak…… tidak!! Ini tidak mungkin! Kertapati kau dengarlah baik-baik karena kurasa kau mesih mempunyai cukup kebijaksanaan untuk menimbang dengan adil. Jangan kaukira bahwa aku demikian gila dan suka kepada Kompeni juga mendengar percakapan-percakapan antara ayah dan ibu, mereka juga tidak suka kepada Kompeni ! akan tetapi, ayah adalah seorang ponggawa kerajaan yang harus setia kepada junjungan. Dan aku…… aku adalah puteri tunggal dari orang tuaku, maka aku betapapun juga harus berbakti dan tunduk. Aku tahu bahwa ayah dan ibu tidak begitu gila untuk mempertunangkan aku dengan Kompeni itu apabila tidak ada hal yang amat memaksa mereka. Dan kalau menolak…… pasti ayah akan mendapat bencana! Sebagai seorang anak yang berbakti, tentu saja aku harus membela orang tuaku, biarpun untuk itu aku harus berkorban nyawa ! “
“ Lebih baik berkorban nyawa daripada mengurbankan kesucianmu sebagai gadis bangsawan yang beribadat kepada seorang Kompeni ! “ kata Kertapati gemas.
“Apa kaukira aku akan tunduk begitu saja, Kertapati? Aku tunduk hanya untuk membela orang tuaku, akan tetapi, Dolleman hanya akan dapat menjamah mayatku ! “
Sambil berkata demikian Roro Santi berdiri tegak dengan kepala dikedikan. Wajahnya yang masih basah air mata itu nampak pucat, akan tetapi membayangkan kegagahan dan ketabahan hati
“ Santi, alangkah gagahnya kau ! Hatiku tidak rela melepasmu untuk menjadi korban keganasan Kompeni dan ketamakan ayahmu ! Jangan kau pergi meninggalkan aku, Santi ! “
“ Akan tetapi ayahku …… “
“Ayamu membela fihak yang sesat, jangan dipikirkan lagi ! “
Roro Santi memandang marah. “Kertapati! Tentu saja kau tidak mengerti tentang cintakasih antara orang tua dan anak, tidak kenal akan rasa bakti terhadap orang tua di dalam hati anak ! Agaknya kau…… kau tak pernah berbakti kepada orang tuamu! Oleh karena itu agaknya maka kau tersesat dan menjadi seorang bajak, seorang perampok ! “
Tiba-tiba pucatlah wajah Kertapati. Bibirnya gemetar, ternyata bahwa ia sedang menderita pukulan batin dan menahan keperihan hati yang hebat mendengar ucapan itu. Kemudian katanya perlahan,
“Santi, ayah, ibu, semua saudaraku telah tewas karena peluru senapan Kompeni dibanten. Kebaktian apalagi yang dapat kulakukan selain memusuhi Kompeni dan kaki tangan serta sekutunya ? “
“Oh…… maafkan aku, Kertapati, “ kata Roro Santi dengan suara perlahan dan terharu, dan kini pandangannya terhadap pemuda itu sama sekali berobah.
“Jangan kaukira bahwa semua hasil rampokan dan rampasan yang kulakukan bersama anak buahku itu kami pakai untuk kepentingan sendiri. Tidak! Semua harta benda yang kami dapatkan, kami kirim untuk mambantu pemberontakkan-pemberontakan para pemimpin rakyat terhadap Kompeni. Maka, janganlah kau memandang terlampau rendah dan hina kepadaku, Santi…… “ Suara Kertapati bukan bersifat menyombong, bahkan terdengar sebagai seorang terdakwa yang membela diri dan minta dikasihani.
“Kertapati……. Kertapati…… “ kata Roro Santi perlahan sambil memandang dengan air mata berlinang. “Sekarang aku merasa menyesal mengapa aku dilahirkan sebagai seorang puteri bangsawan, ……. Aku ingin menjadi seorang gadis dusun agar dapat…… membantumu……. ! “
“Santi…… ! “ Kertapati melangkah maju dan kembali memeluk dara itu yang kini telah menyerahkan hatinya bulat-bulat terhadap pemuda yang memang semenjak pertemuan pertama kali telah menarik hatinya itu.
Pada saat itu, dari luar pintu rumah terdengar panggilan,
“ Kertapati ! “
Sepasang teruna remaja itu cepat-cepat memisahkan diri dan melepaskan pelukan.
“ Masuklah, Karim ! “ kata Kertapati yang mengenali suara kawannya itu.
***Bajak Laut Kerta Pati Jilid 006
***Kembali
No comments:
Post a Comment