Ads

Wednesday, July 17, 2013

Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 035 ( TAMAT )

***BACK***

Kedatangan Budhi dan Niken disambut dengan hormat oleh Waskita yang oleh Budhi diserahi tugas mewakilinya memimpin Gagak Seto selagi dia pergi. Juga semua anak buah Gagak Seto yang masih setia, berjumlah kurang lebih empatpuluh orang, ikut menyambut dengan gembira.

“Paman Waskita, apakah Gajahpuro tidak datang ke sini?” tanya Budhi kepada Waskita.

“Ah, ada, anak mas. Dia datang ke sini kemarin dulu, katanya hendak menemuimu, akan tetapi kami semua minta agar dia pergi dari sini.” jawab Waskita.

“Eh,kenapa, paman?”

“Kenapa? Bukankah dia putera Klabangkoro yang telah menyesatkan kami semua?”

“Akan tetapi paman sendiri tentu tahu betapa Gajahpuro selalu menentang kejahatan Klabangkoro, bahkan sampai dilempar ke dalam sumur tua. Gajahpuro bukan seorang pemuda jahat, Sebaliknya dia seorang pemuda gagah perkasa dan baik sekali.”

Waskita nampak ragu. “Hal itu kami mengerti, akan tetapi karena dia putera Klabangkoro, kami merasa tidak enak kalau menerimanya, maka dia kami usir......”




“Keliru sekali, paman. Baik dia putera Klabangkoro maupun bukan, pada kenyatannya dia seorang anggota Gagak Seto yang baik dan aku yakin bahwa tidak ada anggota lain yang memiliki ilmu kepandaian setinggi dia.”

“Tidak, anak mas. Kurasa kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan kepandaian Gusti Puteri Nikan.......” karena sudah mendengar bahwa Niken Sasi adalah cucu Sang Prabu, maka kini Waskita menyebutnya gusti puteri!

“Ah, andika tidak tahu, Paman Waskita. Sekarang Kakang Gajahpuro memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampuiku. Dia telah menjadi pemuda sakti.” kata Niken dan bukan hanya Waskita yang merasa heran mendengar ini, bahkan para anggota lain juga memandang heran. Mereka semua sudah mendengar betapa Niken telah mewarisi Aji Hasta Bajra dari mendiang Ki Sudibyo. Akan tetapi gadis itu mengakui bahwa ia masih kalah dibandingkan kesaktian Gajahpuro.

“Demikianlah sesungguhnya,” kata pula Budhi. “Dan karena itu, kami hendak menemuinya, karena kami bermaksud mengangkatnya menjadi ketua Gagak Seto yang baru.”

Semua anggota terkejut mendengar ini, juga merasa heran. “Harap kalian semua dapat mengerti. Aku tidak cocok untuk menjadi ketua Gagak Seto. Pertama, biarpun aku putera Ki Sudibyo, akan tetapi aku bukan murid Gagak Seto. Kedua, aku telah diangkat menjadi seorang senopati muda oleh Kanjeng Gusti Prabu sehingga tidak mungkin lagi aku tinggal di sini menjadi ketua. Itulah sebabnya kami melihat bahwa yang paling tepat menjadi ketua adalah Gajahpuro dan kami yang bertanggung-jawab atas pengangkatan ini.”

Pada saat itu terdengar seruan orang,

“Kakangmas Budhi.......!” dan nampaklah Gajahpuro memasuki rumah induk itu.

“Adimas Gajahpuro, kebetulan andika datang. Maafkan Paman Waskita dan para anggota yang tidak berani menerimamu berkunjung ke sini.” kata Budhi.

“Ah, tidak mengapa, kakangmas. Akupun tahu diri dan menanti saja sampai andika datang.”

Gajahpuro dipersilakan duduk. Pemuda ini memandang kepada Niken dan kini pandang matanya berbeda dari biasanya. Biasanya, kalau dia memandang gadis itu, pasti terpancar sinar kasih sayang dari pandang matanya itu kepada gadis ini. Akan tetapi sekarang tidak lagi. Dia sudah mengetahui bahwa di antara Budhi dan Niken terjalin hubungan yang akrab dan mesra. Dia dapat menduga bahwa kedua orang muda itu saling mencinta dan dia sudah melepaskan harapannya atas diri Niken Sasi. Apalagi setelah dia mengetahui bahwa Niken Sasi adalah cucu Sang Prabu!

“Maafkan kami, Gajahpuro. Karena kemarin dulu anakmas Budhi belum datang, terpaksa kami menolak kunjungan andika.”

“Tidak mengapa, Paman Waskita. Perbuatanmu itu bahkan menunjukkan bahwa andika seorang wakil yang baik sekali dan memenuhi kewajiban.” jawab Gajahpuro.

Diam-diam Budhi merasa suka kepada pemuda ini. Niken Sasi yang sejak tadi mendengarkan saja, lalu berkata, “Kakang Gajahpuro,andika tentu heran mengapa kakangmas Budhidharma mengundangmu ke sini? Ada banyak hal perlu kita bicarakan, akan tetapi yang pertama membuat kami merasa heran sekali adalah penyangkalanmu bahwa andika bukan putera Klabangkoro. Benarkah itu kakang Gajahpuro?”

“Benar sekali, Gusti Puteri.”

“Ah, kakang Gajahpuro, bagimu aku tetap Niken yang dulu.”

“Paduka adalah cucu Kanjeng Gusti Prabu. Memang saya bukan putera Klabangkoro, bahkan dialah yang membunuh ayah kandung saya dan kemudian ibu saya. Ketika saya masih kecil, Klabangkoro membunuh ayah saya dan memaksa ibu saya menjadi istrinya.”

Hemm, betapa jahatnya Klabangkoro!” kata Budhi. “Akan tetapi, sudahlah. Adimas Gajahpuro. Bagaimanapun juga, dia pernah menjadi ayahmu yang menyayang dan kini dia sudah mati. Sekarang yang lebih penting lagi. Aku mengundangmu ke sini untuk mengangkatmu menjadi ketua Gagak Seto. Tentu engkau mau, bukan?”

Gajahpuro nampak terkejut dan heran. “Aku? Menjadi ketua Gagak Seto? Akan tetapi Gusti Puteri Niken.........”

“Hemm, tidak mungkin aku menjadi ketua Gagak Seto, kakang Gajahpuro!” kata gadis itu.

“Dan ada andika di sini, kakangmas Budhidarma.” bantah pula Gajahpuro.

“Aku tidak mungkin menjadi ketua Gagak Seto, adimas. Pertama, aku diangkat menjadi senopati muda oleh Kanjeng Gusti Prabu sehingga aku harus bertugas di kota raja. Dan kedua, aku sama sekali bukan murid Gagak Seto, tidak mengenal ilmu silat Gagak Seto. Engkaulah orangnya yang paling tepat menjadi ketua Gagak Seto, adimas Gajahpuro dan kuharap engkau tidak menolak lagi.”

Karena dibujuk oleh Budhi dan Niken, dan melihat semua anggota Gagak Seto juga sudah setuju, akhirnya Gajahpuro menerima kedudukan sebagai ketua Gagak Seto.

Dengan gembira peristiwa itu lalu dirayakan oleh Budhidharma, dan setelah tinggal di Gagak Seto selama dua hari, Budhidharma lalu berangkat bersama Niken Sasi meninggalkan pegunungan Anjasmoro. Niken Sasi sengaja mengajak kekasihnya melewati Grojokan Kluwung dan ketika mereka lewat di situ, kebetulan sekali nampak pelangi melengkung indah di atas gerojokan.

“Di sanalah aku ditolong mendiang Bapa Guru Sudibyo, kakangmas Budhi.” Kata Niken Sasi sambil menuding ke arah gerojokan { air mancur }.

“Bukan main indahnya tempat itu, diajeng. Dan kalau kuingat betapa aku datang ke pegunungan Anjasmoro ini dengan demdam yang membara........”

“Kasihan Bapa Guru. Dia seorang yang baik, kakangmas. Seorang yang gagah perkasa, namun gagal dalam asmara.”

“Semoga asmara yang kutemukan di balik dendam membara ini tidak akan gagal, diajeng.” kata Budhidharma.

Niken mengangkat muka, saling pandang kemudian mereka berangkulan dengan mesra, di bawah lengkungan Kluwung indah itu.

Sampai disini selesailah sudah kisah “Asmara di Balik Dendam Membara” ini dan harapan pengarang semoga kisah ini ada manfaatnya bagi kita semua. Sampai jumpa di kisah yang lain.

TAMAT

***BACK***

No comments:

Post a Comment