Ads

Wednesday, July 17, 2013

Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 032

***BACK***

Lereng Bromo yang menjadi sarang perkumpulan Jambuka Sakti menjadi geger! Budhidharma, Niken Sasi, dan Dewi Muntari datang dan mereka disambut oleh puluhan orang anak buah Jambuko Sakti. Para anak buah Jambuko Sakti sudah mengenal tiga orang ini yang mengamuk di Gagak Seto tempo hari. Di antara mereka yang lari pulang ke Gunung Bromo sudah memberi laporan kepada Ki Brotokeling, ketua Jambuko Sakti.

Ketika tiga orang ini muncul, para anak buah Jambuko Sakti itu seperti sekumpulan laron menyerang api. Begitu tiga orang itu menggerakkan kaki tangan, mereka berpelantingan jatuh bangun. Keadaan menjadi gempar dan Ki Brotokeling sendiri lalu maju. Melihat ketua mereka maju, para anak buahnya kini hanya mengepung dengan senjata terhunus.

Ki Brotokeling adalah seorang kakek berusia limapuluh delapan tahun yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya kemerahan, penuh brewok. Jenggotnya sekepal sebelah dan wajahnya menyeramkan. Sebatang golok besar bergagang kepala srigala tergantung di pinggangnya.

“Babo-babo..........!” Serunya sambil memandang kepada tiga orang yang sudah berhadapan dengannya itu. “Andika bertiga ini siapakah, berani datang membikin ribut di perkampungan kami?”

Budhidarma melangkah maju dan menjawab. “Andika tentu Ki Brotokeling ketua Jambuko Sakti, bukan?”

“Benar, akulah Ki Brotokeling. Siapa andika, orang muda?”

“Namaku Budhidharma dan tentu sebagian dari anak buahmu sudah melapor siapa adanya aku. Mereka tadi begitu kami datang sudah mengeroyok kami. Aku adalah ketua Gagak Seto yang baru.”

“Hemm, bagus. Jadi andika pengacau itu? Lalu sekarang andika bertiga datang ke sini mau apa?”

Tiba-tiba Dewi Muntari melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke muka brewokan itu.

“Dengar, Brotokeling! Kurang lebih delapan tahun yang lalu anak buahmu menyerang dan membunuh Raden Mas Rangsang di pegunungan Anjasmoro! Siapakah yang menyuruhmu mengirim anak buahmu membunuh Raden Mas Rangsang?”

Brotokeling terkejut. Memang pada waktu itu dia menyuruh anak buahnya menghadang dan membunuh Raden Mas Rangsang dan isterinya yang sedang bertamasya ke pegunungan Anjasmoro. Yang memberi perintah untuk itu adalah, Pangeran Panjiluwih yang bertindak atas nama Kanjeng Gusti!

“Kalau aku tidak mau menjawab pertanyaan itu, andika mau apa?” tantangnya.

“Jahanam keparat! Apa engkau minta mati?” bentak Dewi Muntari.

“Babo-babo, kalahkan aku dulu, baru aku akan menjawab!” kata Brotokeling, merasa penasaran diancam oleh seorang wanita cantik.

“Bagus, majulah kalau engkau ingin dihajar, Brotokeling!” bentak Dewi Muntari.

“Ibu, biar aku yang menghajar lutung buruk ini!” kata Niken Sasi, hendak mewakili ibunya.

“Jangan, Niken. Aku sendiri ingin menghajarnya untuk membalas kematian ramamu.” Dewi Muntari sudah maju mendekati Ki Brotokeling.

Dari keadaan anak buahnya yang kocar-kacir ketika menyerang tadi saja Brotokeling sudah dapat menduga bahwa lawan-lawannya tentu merupakan orang yang tangguh. Maka, begitu berhadapan dengan Dewi Muntari, tanpa malu-malu lagi dia sudah mencabut golok besarnya yang berkilauan saking tajamnya.

“Wanita nekat, keluarkan senjatamu!” bentaknya sambil mengelebatkan goloknya.

Dewi Muntari tersenyum mengejek. “Untuk melawan golok tumpulmu itu tidak perlu aku menggunakan senjata, cukup dengan kaki tanganku saja, Brotokeling!”

Ki Brotokeling menjadi semakin marah, merasa dipandang rendah sekali.

“Beritahukan namamu, jangan mati tanpa nama!” kembali dia membentak untuk menyembunyikan rasa gentarnya. Melihat sikap wanita itu hendak menghadapi goloknya dengan tangan kosong saja, di dalam hatinya telah menjadi gentar.

“Mau tahu namaku? Akulah Dewi Muntari, isteri Raden Mas Rangsang yang dibunuh anak buahmu!” bentak Dewi Muntari.

Brotokeling terkejut dan terbelalak, teringat akan cerita anak buahnya betapa Ki Blendu, wakilnya, telah berhasil membunuh Raden Mas Rangsang. Akan tetapi wanita itu ditolong seorang kakek yang buruk sekali, akan tetapi yang memiliki kesaktian hebat sehingga Ki Blendu dan hampir seluruh anak buahnya tewas oleh kakek itu. Kiranya wanita ini isteri Raden Mas Rngsang yang ditolong oleh kakek itu!

“Kalau begitu, sekarang engkau mampus!” Bentaknya dan dia sudah mengayunkan goloknya membacok dengan tenaga yang besar. Akan tetapi dengan lincahnya Dewi Muntari mengelak dan meloncat ke samping ia mengirim tendangan yang cepat. Kaki kanannya mencuat dan meluncur ke arah perut Brotokeling. Akan tetapi, biarpun terkejut karena hampir saja kakinya tertendang, Brotokeling dapat menghindar sambil menarik kakinya ke belakang. Kemudian dia menyerang lagi dengan lebih ganas.

Dewi Muntari menggunakan kegesitannya. Sebetulnya, dengan Aji Kekebalan Trenggiling Wesi ysng dimilikinya, ia tidak takut terbabat golok, akan tetapi ia khawatir kalau-kalau pakaiannya akan terobek, maka ia mengelak kesana-sini sambil mengirim temparan atau tendangan yang tidak kalah hebatnya dibandingkan sambaran golok.

Niken yang menonton pertandingan itu terbelalak kagum. Ibunya memang hebat sekali, bahkan Budhidharma juga kagum dan sama sekali tidak merasa khawatir akan keselamatan puteri itu. Dia yakin bahwa Dewi Muntari pasti akan dapat mengalahkan Ki Brotokeling.

“Yaaaaaaahhhh ...... !” Ki Brotokeling yang merasa penasaran karena perutnya kena serempet kaki Dewi Muntari sehingga merasa mulas, kini mengayunkan goloknya sambil menggerakkan seluruh tenaganya. Dia kaget dan girang sekali melihat wanita itu kini tidak mengelak bahkan menangkis sabetan golok itu dengan tangan kanannya! Buntung lenganmu, pikirnya dengan girang.

“Takkk..........!” Golok itu tertahan, seolah tertangkis tongkat baja yang amat kuat dan selagi Brotokeling terbelalak kaget, tangan kiri Dewi Muntari menyambar dengan tamparan Aji Jaladi Geni.

“Plakkk.........!”

“Aduhhhh, tobaaat .........!” Ki Brotokeling terpelanting dan goloknya terlepas dari tangannya.

Dia roboh dan memegangi pipinya yang terkena tamparan tadi. Rasa panas yang menusuk sampai membuat kepalanya seperti dibakar.

“Bagaimana, Brotokeling? Kita lanjutkan?” tantang Dewi Muntari.

“Ampun ........saya mengaku kalah.........!” kata Brotokeling tanpa malu-malu lagi.

Tamparan itu sedemikian hebatnya sehingga membuat dia merasa kepalanya dibakar dan setengah mati.

“Kalau begitu cepat katakan, siapa yang menyuruh engkau membunuh suamiku?”

“Kami......kami diperintah oleh Gusti Pangeran Panjiluwih........” akhirnya dia mengaku.

Pengakuan ini tidak mengejutkan hati Dewi Muntari. Memang ia sudah mengetahui akan hal itu. Ketika ia ditangkap oleh Ki Blendu dahulu, Ki Blendu juga mengaku bahwa Pangeran Panjiluwih yang menyuruhnya. Ia menghendaki keterangan yang lain.

“Jambuka sakti bersekutu dengan Gagak Seto yang dipimpin Klabangkoro dan dengan Pangeran Panjiluwih. Apa maksudnya dan siapakah pemimpinnya? Apakah Pangeran Panjiluwih pemimpinnya?”

“Kami hanya disuruh bersiap-siap, dan menanti perintah. Pemimpinnya adalah Kanjeng Gusti, kami tidak mengenalnya, bahkan tidak pernah bertemu. Akan tetapi kalau perintah beliau dilanggar hukumannya amat berat. Yang menjadi perantara adalah Pangeran Panjiluwih......”

“Dimana Kanjeng Gusti itu tinggal?”

“Kabarnya di kota raja, entah di mana. Kami belum boleh mengetahuinya. Yang tahu hanya Pangeran Panjiluwih seorang.”

“Hemm, kami percaya keteranganmu. Akan tetapi, mulai sekarang engkau harus memimpin Jambuko Sakti ke arah jalan yang baik. Awas kalau lain kali aku mendengar kelompokmu melakukan kejahatan, kami akan datang lagi untuk membasmi kalian!” kata Dewi Muntari sambil menendang dan tubuh Ki Brotokeling terlempar dan terguling-guling sampai jauh. Kepala perkumpulan yang terkenal ganas ini sekarang menjadi ketakutan dan berlutut minta ampun.

Dewi Muntari mengajak Niken dan Budhi meninggalkan sarang Jambuka Sakti dan menuruni Lereng Gunung Bromo.

Di tengah perjalanan menuju ke kota raja itu, Budhi minta agar kedua orang wanita berhenti berjalan karena dia hendak bicara.

“Ada apakah, Budhi?” tanya Dewi Muntari yang sekarang sudah merasa akrab dengan pemuda ini.

“Kanjeng Bibi, saya merasa tidak berhak untuk ikut pergi menghadap Gusti Prabu di istana. Oleh karena itu, sebaiknya saya tidak ikut saja pergi ke sana.”

“Eh, kenapa begitu, Budhi?” tanya Dewi Muntari dengan heran.

“Pertama, saya tidak mendapatkan Tilam Upih seperti yang dipesankan Bapa Guru, yang saya dapatkan Tilam Upih palsu. Tidak mungkin saya menghaturkan keris palsu ini kepada Gusti Prabu. Dan kedua, Kanjeng Bibi berdua Diajeng Niken akan mengadakan pertemuan keluarga besar di istana, bagaimana saya dapat menghadirinya? Saya adalah orang biasa dan tidak mempunyai kepentingan apapun di istana........” Berkata demikian, Budhi mengerling kepada Niken dan merasa rendah diri.

“Kakangmas Budhi, apa yang kaukatakan ini? Mengapa tiba-tiba saja sikapmu berubah seperti ini? Kita sudah mengalami banyak hal bersama, bahkan sudah menghadapi maut bersama, kenapa sekarang andika bersikap seolah-olah seorang asing di antara kami?”

“Diajeng Niken........aku.......aku......” Budhi tidak melanjutkan ucapannya, melainkan memandang kepada Dewi Muntari merasa rikuh dan canggung sekali.

Dewi Muntari tersenyum. Ia tahu bahwa ada urusan pribadi di antara mereka sebaiknya kalau ia menyingkir.

“Ah, sudahlah. Urusan itu kalian bicarakan berdua saja. Aku sudah lapar. Aku akan mendahului kalian pergi ke dusun di depan itu, mencari makanan. Nanti kalian menyusul.” Tanpa menanti jawaban, puteri ini segera pergi meninggalkan mereka.

Mereka berdiri saling berhadapan saling pandang. “Nah, kakangmas Budhidharma. Sekarang kita hanya berdua. Sebetulnya apakah yang menyebabkan engkau bersikap seperti ini?”

Budhi menghela napas panjang. Selama berdua dengan Niken, dia merasakan kehidupan ini demikian gemilang dan lengkap. Bahkan ketika mereka berdua menghadapi ancaman maut di goa dia tidak merasa nelangsa dan putus asa karena di sana ada Niken. Sekarang, dia seolah merasa ada ancaman yang akan merenggut gadis itu pergi darinya! Niken adalah cucu Sang Prabu Jayabaya, tentu setelah masuk istana keadaannya lain lagi, menjadi puteri istana dan bukan orang biasa. Bagaimana dia dapat menemuinya lagi, apa lagi bergaul seperti biasa dengannya? Tentu tidak mungkin. Membayangkan perpisahan yang dihalangi tembok istana ini, hatinya menjadi sedih dan inilah yang menyebabkan dia bermaksud tidak ikut agar jangan menghadapi perpisahan yang akan menghancurkan hatinya itu. Lebih baik berpisah sekarang, selagi mereka masih bergaul sebagai sahabat!

“Diajeng Niken Sasi, apa yang dapat kukatakan? Makin kubayangkan, makin meresahkan hatiku. Andika adalah cucu Sang Prabu Jayabaya, seorang puteri istana. Sedangkan aku.....aku seorang pemuda biasa, miskin papa, yatim piatu pula. Aku seharusnya menyembah-nyembah kepadamu, bahkan bicara seperti sekarangpun sudah tidak pada tempatnya. Karena itu aku......aku sebaiknya mengundurkan diri dan tidak mengganggumu lagi........”

“Kakangmas Budhi! Apa yang kau ucapkan ini? Apakah selama ini aku pernah bersikap tinggi dan tidak wajar kepadamu? Bukankah kita telah bergaul sebagai sahabat yang baik, yang sama-sama menghadapi ancaman maut berulang kali? Kakangmas Budhi. Bagiku, andika adalah seorang yang pantas kuhormati seorang budiman yang agung, dan aku merasa terhormat sekali menjadi sahabatmu. Kakangmas Budhi, apakah engkau tidak senang bersahabat denganku maka sekarang hendak meninggalkan aku?”




“Demi para dewata yang agung! Sama sekali tidak begitu, diajeng. Aku bahkan senang sekali, bangga dapat berdekatan denganmu. Akan tetapi justeru itulah yang membuat aku merasa ngeri. Kalau sudah sampai ke istana, engkau menjadi puteri istana dan sepantasnya engkau berdiam di istana. Sedangkan aku........bagaimana aku dapat bertemu denganmu lagi, dapat bergaul denganmu lagi? Aku.......aku takut kehilangan engkau diajeng.......”

Suara Budhidharma menggetar penuh perasaan dan ini terasa sekali oleh Niken Sasi. Gadis ini menghampiri lebih dekat dan berkata dengan wajah kemerahan dan suara lirih gemetar,

“Kakangmas Budhi! Katakan sekali lagi........”

Budhi tidak dapat lagi menahan gelora hatinya dan dia memegang kedua tangan gadis itu, digenggamnya erat-erat seolah dia tidak ingin melepaskannya lagi.

“Aku takut kehilangan engkau diajeng!”

Niken mengangkat mukanya dan menatap pemuda itu. Dua pasang mata bertemu, bertaut mewakili hati mereka dan dengan suara lirih Niken berkata.

“Aku juga tidak ingin kehilangan engkau, kakangmas.”

Kata-kata itu terdengar begitu merdu bagi telinga Budhi sehingga dia memejamkan matanya dan merasa seperti mimpi. Dia merangkul gadis itu dan seolah hendak membenamkan kepala itu ke dalam dadanya.

“Diajeng Niken, katakanlah apakah aku tidak sedang bermimpi?”

“Tidak, kakangmas. Kita dalam keadaan sadar.”

“Akan tetapi betapa mungkin? Engkau, cucu Sang Prabu, dan aku, Joko Lola{ yatim piatu} yang papa, mungkinkah kita saling mencinta?”

“Kenapa tidak mungkin, kakangmas. Aku tidak pernah merasa menjadi seorang puteri istana. Sejak aku masih kecil orang-orang dalam istana mencemoohku sebagai keturunan biasa, keturunan orang dusun. Tidak, aku tidak ingin menjadi puteri istana, aku ingin menjadi orang dusun saja asalkan selalu berada di sampingmu.”

“Diajeng.......!”

“Kakangmas.........!”

Keduanya berangkulan dan merasa hati mereka bersatu padu. Sampai lama mereka dalam keadaan mesra seperti itu. Akan tetapi Budhi segera menyadari keadaan dan dengan lembut dia melepaskan pelukannya dan menggandeng tangan Niken, diajak duduk di atas batu.

“Diajeng Niken Sasi,” kata Budhi setelah mereka duduk di atas batu. “Marilah kita kesampingkan dulu gelora perasaan hati dan mari kita sadar sepenuhnya melihat dan membicarakan kenyataan yang ada. Kita saling mencinta, dan aku berterima kasih sekali, merasa berbahagia sekali bahwa engkau juga mencintaiku seperti aku mencintaimu. Akan tetapi, diajeng. Bagaimana kasih sayang kita ini dapat diwujudkan menjadi perjodohan? Perjodohan bukan hanya urusan dua orang manusia seperti engkau dan aku, melainkan menyangkut pula keluarga dan menjadi urusan yang harus disetujui pula oleh keluarga. Bagiku sendiri tidak ada masalah, diajeng, karena aku adalah yatim piatu, tidak ada orang lain yang akan memutuskan kecuali aku sendiri. Akan tetapi engkau.......”

“Ibuku pasti menyetujui, kakangmas. Ingat, biarpun kami ini tadinya tinggal di istana, akan tetapi sudah bertahun-tahun kami menjadi orang biasa. Aku menjadi anggota Gagak Seto, dan ibu menjadi murid seorang sakti.”

“Aku percaya bahwa ibumu bijaksana dan akan menyetujui. Akan tetapi keluargamu bukan hanya ibumu saja. Seluruh penghuni istana adalah keluargamu. Bagaimana mereka dapat menerima seorang dusun biasa seperti aku menjadi anggota keluarga?” Budhi berkata dengan nada sedih.

“Sudahlah, kakangmas, jangan pikirkan yang tidak-tidak. Bagaimana nanti sajalah. Pendeknya, aku akan tetap setia kepadamu walaupun apa yang akan terjadi. Kalau perlu, aku akan meninggalkan istana dan ikut denganmu.”

Sepasang mata Budhi bersinar-sinar. Saking bahagianya dia kembali mendekap gadis itu dan menciumnya. Niken pasrah dan mandah saja sambil memejamkan mata dan dengan hati yang berbunga-bunga.

Akan tetapi tidak lama mereka terbuai suasana yang asyik itu karena mereka teringat akan Dewi Muntari.

“Wah, kita harus cepat menyusul kanjeng bibi ke dusun itu. Jangan sampai terlalu lama ia menunggu!” kata Budhi dan sambil bergandengan tangan mereka lalu pergi ke dusun di depan.

Ternyata Dewi Muntari telah dapat membeli ayam, telur, dan sayur-sayuran dan mereka lalu menumpang memasak semua itu di rumah seorang keluarga petani sederhana yang menerima mereka dengan senang hati.

Dewi Muntari tersenyum gembira melihat perubahan sikap Budhidharma.

“Anakmas Budhi, engkau tidak jadi pergi, Bukan?”

Wajah Budhi kemerahan dan dia melirik kepada Niken. “Tidak,kanjeng bibi. Saya ingin ikut, mengantarkan kanjeng bibi berdua sampai ke kota raja.”

“Bukan hanya mengantarkan, Budhi. Engkau harus membantu kami membongkar rahasia ini. Suamiku dibunuh penjahat yang katanya disuruh oleh Pangeran Panjiluwih, akan tetapi ternyata di belakang pangeran itu masih ada yang menjadi pemimpinnya, yang disebut Kanjeng Gusti. Kita harus dapat mengetahui siapa sebenarnya Kanjeng Gusti itu dan apa niat busuknya dengan persekutuan itu.”

“Saya juga penasaran tentang hilangnya Tilam Upih, kanjeng bibi. Pencuri yang dengan mudah mampu mengalahkan Ki Surodiro adipati Nusa Kambangan tentu seorang yang sakti. Saya ingin mencari Tilam Upih sampai dapat untuk dihaturkan kembali kepada Gusti Prabu.”

“Bagus, tekadmu itu baik sekali. Mudah-mudahan kita semua akan berhasil.”

Mereka lalu makan minum dengan gembira, Budhidharma makan dengan lahapnya. Hatinya penuh kebahagian karena hubungannya dengan Niken Sasi. Gadis itu mencintainya bahkan menyatakan akan setia kepadanya, apapun yang akan terjadi dan akan meninggalkan istana ikut dengannya!

Cinta memang amat berkuasa atas batin seseorang dan setiap orang manusia tidak akan pernah bebas dari godaan cinta. Cinta dapat membuat seseorang menjadi bahagia,akan tetapi sebaliknya dapat pula membuat seseorang menjadi sengsara. Demikianlah sifat cinta manusia. Cinta manusia berpamrih. Cinta manusia ingin selau mendapatkan, ingin menguasai, ingin memiliki, ingin disenangkan. Itulah pamrihnya. Seperti juga cinta Budhidharma terhadap Niken Sasi atau sebaliknya. Mereka saling mencinta karena saling membutuhkan,saling tertarik. Mereka ingin menikmati kesenangan dari masing-masing. Tentu saja cinta seperti ini dapat mendatangkan kesenangan dan juga kesengsaraan. Senang apabila keinginan hati terpenuhi, sebaliknya kecewa sengsara kalau keinginan hati tidak terpenuhi. Budhidharma merasa berbahagia karena cintanya terbalas. Dia tentu akan merasa sengsara andaikata cintanya tidak terbalas! Dan cinta seperti yang kita kenal selama dalam kehidupan ini adalah cinta seperti itulah. Cinta berpamrih. Seperti jual beli. Baik cinta terhadap kekasih, terhadap sahabat, terhadap anak,atau terhadap siapapun. Masih adakah cinta kita terhadap kekasih kalau sang kekasih itu tidak membalas cinta kita, kalau kekasih itu berpaling kepada orang lain? Masih adakah cinta kita kepada sahabat kalau sahabat itu melakukan hal yang merugikan kita? Masih adakah cinta kita kepada anak kalau si anak itu tidak menurut dan bahkan durhaka terhadap kita ? Dan masih banyak contohnya lagi. Kita mencintai seseorang karena kebaikannya, karena kepandaiannya,karena kecantikan atau ketampanannya,karena kedudukan atau hartanya. Kita bukan mencinta karena ORANGNYA. Kalau kita mencinta orangnya, mencinta dengan sepenuhnya, maka segala kekurangan dan cacat-celanya juga akan kita terima dengan hati terbuka.

Cinta Tuhan adalah cinta suci yang tidak berpamrih. Melalui alam ciptaNya, Tuhan melimpahkan kasih sayangnya kepada kita semua. Tuhan itu memberi, memberi dan memberi. Tidak pernah minta, namun segala sesuatu, tanpa kecuali, akhirnya akan kembali juga kepadaNya. Seperti cinta Tuhan melalui bumi. Bumi itu hanya memberi dan memberi tidak pernah minta,akan tetapi akhirnya semua akan kembali kepada Bumi. Demikianlah Kasih Tuhan. Tidak memilih, tidak bersyarat. Setangkai bunga mawar sama harumnya dalm penciuman seorang pendeta atau seorang penjahat, dalam penciuman seorang raja atau seorang pengemis. Kicau burung sama merdunya dalam pendengaran seorang pandai maupun seorang bodoh, seorang bangsawan maupun seorang dusun.

Kalau sudah merenungkan semua itu dan membuka mata melihat “cinta” kita terhadap siapa saja, akan nampak betapa dangkalnya cinta yang tadinya kita agungagungkan. Dan berbahagialah orang yang setelah menyadari akan hal ini dapat berubah. Selama cinta kita tidak berubah, masih berpamrih, selama itupula cinta kita terumbang-ambingkan kebahagian akan tetapi dapat pula mendatangkan penderitaan.

**** 032 ****

***NEXT***Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 033

***BACK***

No comments:

Post a Comment